Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24. Sepotong Obrolan di Minimarket

"Apa-apaan, sih, Eyang?! Belum nanya, belum dijelasin udah marah-marah duluan," gerutu Valeri sembari berjalan keluar dari rumah neneknya.

Namun, saat keluar gerbang Valeri baru menyadari bahwa dia tidak memiliki tempat untuk pergi. Setelah berpikir sejenak, Valeri memutuskan untuk duduk-duduk sejenak di sebuah mini market dekat rumah neneknya sembari meminum soda. Hitung-hitung mendinginkan kepala sebelum kembali menghadapi sang nenek.

Jika Valeri pikir lagi, sifat neneknya kurang lebih sama dengan ibunya yang akan langsung menyerang orang saat panik. Jadi Valeri mengetahui bahwa dia dan neneknya tidak bisa saling berhadapan saat sama-sama sedang berkepala panas.

"Tapi nanti kalau Eyang tetep marah gimana, ya? Huftt ... males banget," gerutu Valeri sembari mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. "Oh, iya. Belum aku nyalain ternyata dari tadi."

Kemudian valeri baru menyadari bahwa ponselnya sudah non-aktif sejak tadi. Dia lupa menghidupkan ponselnya lagi setelah mematikan benda pipih itu karena kehujanan. Pantas saja dia tidak menerima pesan atau panggilan apa pun dari neneknya.

Tidak sampai tiga menit, ponsel Valeri sudah kembali menyala. Untungnya kehujanan tadi tidak menimbulkan efek apa pun. Setelah ponsel tersebut menyala, ternyata banyak orang mencarinya termasuk Nyonya Handoko, ayah dan ibu Valeri, kakak dari perempuan itu. Sampai yang terbaru adalah Klana yang ikut berusaha menghubungi Valeri.

Drrrrt ... drrrt ... Baru juga Valeri memperhatikan satu per satu notif yang masuk, sebuah panggilan sudah kembali berusaha meraih Valeri. Nyonya Handoko menelepon.

"Kamu ini ke mana?! Malah kabur!" semprot Nyonya Handoko yang membuat Valeri langsung menjauhkan ponselnya dari dekat telinga.

"Cepat jawab, Eyang! Kamu ke mana, Valeri? Pulang sekarang! Kamu di sini masih tanggung jawab Eyang, jangan macam-macam."

Valeri menghela napas dalam. "Valeri lagi beli air dingin, sebentar. Valeri nggak ke mana-mana. Eyang tenangin diri dulu baru kita ngobrol. Kalau Eyang masih bentak-bentak Valeri, jadinya Valeri nggak bisa jelasin apa-pun."

"Iya, Eyang tenang tapi pul-" Tut. Valeri langsung memutuskan sambungan telepon. Neneknya belum tenang, tidak ada orang tenang yang masih berteriak seperti itu.

Valeri memutuskan untuk duduk-duduk dulu selama setengah jam sembari membuka pesan dari Klana. Terdapat dua panggilan tidak terjawab dari lelaki itu. Selain itu ada beberapa pesan yang turut masuk dari dia.

"Valeri, saya sudah sampai rumah."

"Ini nenek kamu tadi telepon saya beberapa kali buat nyariin kamu, tapi saya nggak tau soalnya saya matikan hp karena kehujanan tadi. Kondisi kamu aman, kan?"

"Kalau ada apa-apa kabarin saya, ya?"

Melihat pesan tersebut, Valeri mengusap wajahnya kasar karena kesal. Bukan kesal karena dicari-cari Nyonya Handoko, tetapi kesal karena neneknya itu harus sampai membuat panik semua orang.

"Emang dikira gue masih anak tk apa gimana, sih?" Lagi-lagi Valeri menggerutu kesal.

"Aman, kok, Mas. Makasih, ya, buat tadi. Nanti barang-barangnya aku kembaliin waktu kita ketemu lagi."

Setelah membalas pesan Klana, Valeri mendadak terdiam. Pipinya terasa panas, merah merona. Jika saja tadi Gemuris tidak datang tepat waktu, pasti Klana dan Valeri sudah berciuman.

Valeri berdebar sendiri mengingat hal tersebut. Padahal berciuman adalah sesuatu yang sudah pernah dilakukan Valeri dengan beberapa mantan kekasihnya. Selain itu, jika hanya berciuman dengan lawan jenis atau kekasih adalah suatu hal yang dianggap normal.

Saat Valeri sedang memikirkan Klana, tiba-tiba seorang lelaki berdiri di hadapan Valeri. Perempuan itu mengerutkan dahi sembari menatap lelaki di depannya yang tampak tidak asing.

"Halo, Mbak Val. Ngapain di sini sendirian, nih?" Valeri tetap diam dan masih dengan kerutan di jidatnya. "Mbak Valeri lupa sama saya, ya? Tetangga sebelah."

Kini Valeri mengingatnya. Dia adalah mahasiswa semester tua yang menjadi tetangga baru rumah nenek Valeri. "Oh, astaga! Mas Jaya? Yang katanya ngontrak di samping rumah Eyang?"

"Iya, betul!" Jaya menjawab dengan sumringah. "Mbak Valeri sendirian aja di sini? Pasti lagi cari angin, ya?"

Valeri tersenyum tipis sembari menganggukkan kepala. "Mas Jaya sendiri? Rapi banget, mau pergi, ya?" Valeri balas menyapa sebagai bentuk basa-basi supaya tidak sungkan.

"Rapi apanya, sih, Mbak? Orang saya habis pulang kerja ... eh, saya ikut duduk sini, ya. Mbak." Jaya pun menduduki kursi di seberang Valeri sebelum perempuan itu memberi izin.

"Eh ... iya, Mas. Duduk aja, nggak usah sungkan. Saya juga mau ngabisin minuman terus pulang, kok," jelas Valeri sembari sedikit mengangkat botol kopinya untuk menunjukkan bahwa isi dari botol tersebut memang tinggal sedikit.

"Oalah, kalau begitu barengan sekalian aja, Mbak. Saya juga nyari minuman dingin terus niatnya mau pulang ... eh, malah ketemu Mbak cantik lagi duduk sendirian di sini."

Valeri terkekeh kecil mendengar ucapan Jaya. "Hahaha ... bisa aja, Mas Jaya."

"Loh, kok, bisa aja, Mbak? Kenapa nggak bisa? Memang kenyataannya Mbak Valeri ini cantik, kok. Saking cantiknya sampai saya mikir kalau gak mungkin Mbak Valeri ini belum punya pacar. Iya, kan?"

Valeri pun dibuat semakin melebarkan senyumannya. "Saya belum punya pacar, ya, Mas. Ada-ada aja, Mas Jaya ini."

"Belum punya pacar, tapi udah punya calon. Iya, kan? Jujur aja, Mbak ... wong saya beberapa kali lihat Mbak Valeri diantar jemput cowok. Ganteng lagi cowoknya, cocok sama Mbak Valeri."

Ucapan Jaya berhasil membuat Valeri tersenyum, tersipu. "Tuh, pipi Mbak Valeri sampai merah. Tebakan saya pasti bener."

"Iya, deh ... biar Mas Jaya seneng. Doain yang terbaik aja, deh, Mas. Saya capek ketemu cowok nggak bener terus di Jakarta. Saya kadang iri sama temen-temen saya yang tetep bisa ketemu cowok baik di sana," balas Valeri sekaligus sedikit berkeluh kesah.

"Iyaa ... siap-"

Drrtt ... drttt ... drttt. Ponsel Valeri di atas meja sudah kembali bergetar. Sang nenek kembali menelepon perempaun itu. Valeri menghela napas, sedangkan Jaya menghentikan ucapannya.

Valeri dengan tidak sabran menghabiskan minumannya lalu berdiri sembari menyambar ponselnya yang berada di atas meja. "Saya duluan, Mas. Ada urusan."

Sebelum Jaya sempat menjawab ucapan Valeri, perempuan itu sudah terlebih dahulu berjalan cepat meninggalkannya. "Ah, iya ... saya juga ada urusan," lirih Jaya setelah Valeri tidak lagi terlihat.

Kemudian dalam satu kedipan mata, tempat duduk di depan minimarket tersebut sudah kosong.

***

"Kangmas?" Candraneswara nyaris terlonjak kaget saat tiba-tiba ada yang memeluknya.

"Kangmas merindukanmu, Cah Ayu. Apa kamu juga merindukanku?"

Dewa Jaya Kusuma menenggelamkan wajahnya pada tubuh harum milik Candraneswara. Rambutnya, senyumannya, tatapan wajahnya, bahkan aroma tubuh Candraneswara masih begitu sama bagi Dewa Jaya Kusuma seperti berabad-abad lalu.

"Tentu saja, Kangmas. Bagaimana tidak rindu jika saya sangat mencintai, Kangmas." Dewa Jaya Kusuma tersenyum puas saat mendengar kalimat itu.

"Baguslah, tetap bersamaku dan cukup cintai aku saja, Cah Ayu. Tidak perlu Di Ajeng memikirkan pria itu lagi, karena sebentar lagi dia akan menjalin kasih dengan orang lain."

Candraneswara seketika terdiam saat mendengar kalimat Dewa Jaya Kusuma. "Apa maksud, Kangmas?" tanya Candraneswara dengan suara yang masih lemah lembut tetapi tangan perempuan itu jelas secara perlahan melepaskan pelukan Dewa Jaya Kusuma.

"Apa lagi? Tentu saja Inu Kertapati akan segera bersatu kembali dengan Candra Kirana yang bereinkarnasi menjadi Valeri," jelas Dewa Jaya Kusuma dengan tenangnya.

Candraneswara mengerutkan dahinya. "Bagaimana Kangmas bisa mengetahui hal tersebut? Apakah Kangmas mendatangi mimpi Valeri?"

Candraneswara langsung merasa panik saat mengetahui bahwa Dewa Jaya Kusuma telah ikut campur. Perempuan itu takut jika semuanya akan berantakan.

"Tentu saja aku mengetahuinya, Di Ajeng seharusnya lebih bertanya-tanya jika aku tidak mengetahui hal-hal seperti itu. Selain itu ... mendatangi lewat mimpi?" Dewa Jaya Kusuma mengangkat salah satu alisnya.

"Aku tidak menggunakan cara seperti itu, Cah Ayu. Aku bisa langsung mendekati Valeri," lanjut Dewa Jaya Kusuma yang membuat Candraneswara semakin terkejut.

"Ka ... kenapa Kangmas melakukan itu? Bukankah Kangmas ingin segera bersatu lagi denganku? Jika, iya. Tolong jangan halangi Kangmas Inu Kertapati dan Valeri untuk bersatu."

Setelah mendengar kalimat Candraneswara, Dewa Jaya Kusuma sedikit menjauhkan diri. Ekspresi wajahnya tampak kecewa. "Apakah aku seburuk itu di matamu, Cah Ayu?"

Candraneswara terdiam, seketika menyadari bahwa dirinya sudah kelewatan dengan sembarangan menuduh Dewa Jaya Kusuma. "Kangmas ...."

"Sekarang aku mengetahunya, Di Ajeng memang tidak akan mengubah pemikiran bahwa aku adalah penjahatnya dalam cerita ini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro