Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2. Ramalan

"Kayaknya emang paling bener Valeri fokus sama diri sendiri dulu, deh. Capek diselingkuhin terus." Valeri mengangkat tubuh dari bersandar pada tubuh neneknya.

"Terus kemarin kamu diselingkuhin gitu langsung kamu putusin?" Valeri menganggukkan kepala. Memang mau apa lagi jika tidak putus? Valeri tidak mau terjebak di dalam hubungan toksik dengan tukang selingkuh.

"Sorry, Eyang. Valeri nggak suka ngasih kesempatan kedua buat tukang selingkuh."

"Huh, basi. Masa langsung diputusin? Eyang, dong. Waktu muda diselingkuhin sama mantan Eyang."

"Terus, Eyang?"

"Eyang bikin dia putus sama selingkuhannya, terus baru Eyang tinggalin. Enak aja mereka mau bermesraan di bawah penderitaan Eyang. Sorry ... Eyang bukan cewek menye-menye!" Valeri tertawa saat melihat sang Eyang menghayati kalimat terakhirnya.

"Loh, nggak bahaya, ta? Eyang ini."

Tin. Tin. Tin. Di tengah obrolan Valeri dan neneknya, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Kemudian disusul suara pintu gerbang depan dibuka.

"Siapa, Eyang?"

"Budhe-mu, paling. Nganterin makan biasanya jam segini."

"Budhe Endah?"

"Iya, siapa lagi ...."

Terdengar suara pintu depan dibuka. "Ibuk, lagi apa?" Benar saja yang dikatakan Nyonya Handoko. Terdengar suara Endah–anak tertua dalam Keluarga Handoko.

"Loh, loh, loh! Cah Ayu, kok, di sini?" sapa Endah kepada Valeri sembari memeluk keponakannya itu.

"Iya, Budhe. Lagi liburan kuliah, makanya di sini."

"Walahh ... kapan sampainya? Sendirian?"

"Barusan, sendirian, Budhe. Mau sama siapa lagi? Mama sama Papa juga masih sibuk kerja. Apa lagi Mas Dika? Sibuknya ngalah-ngalahin presiden."

Endah tertawa saat mendengar celetukan keponakannya itu. "Lha yang kemarin kamu posting-posting di medsos itu mana? Nggak kamu ajak ke sini? Kenalin ke Budhe, dong."

Valeri mencebikkan bibirnya saat mendengar pertanyaan itu. "Buat apa diajak ke sini, orang udah putus. Selingkuh orangnya."

"Loh? Mukanya pas-pasan, kok selingkuh juga ternyata ... ya udah, lupain aja kalau kayak gitu. Mending kamu besok ikut Budhe ke Pak Harno. Budhe mau nyari tanggal, siapa tau kamu bisa sekalian dihitung jodohnya. Kok, perasaan Budhe, kamu diselingkuhin mulu. Jangan-jangan ada yang nggak beres."

"Hah?" Nyari tanggal? Hitung jodoh?

"Iya, Budhe mau nyari tanggal buat lamarannya Mbak Vina .... Oh, iya. Ibuk udah telepon Pakdhe Mijan belum? Besok aku mau ke sana sama Mas Hardjanto." Tiba-tiba Endah mengalihkan fokusnya dari Valeri. Melupakan pertanyaan gadis itu.

"Sudah, Nduk. Lha, Vina sama calonnya nggak diajak?"

"Mereka masih ada kerjaan katanya. Vina aja hari ini lembur lagi. Coba nanti biar Mas-nya yang ngomong, orang Vina itu malah lebih nurut sama Mas-nya dari pada sama bapaknya," keluh Endah sembari menggeleng-gelengkan kepala.

"Ya udah, kalau bisa Vina sama calonnya ikut. Biar lebih enak komunikasinya sama Mijan. Wong yang mau nikah juga mereka, kok. Malah kamu sama suamimu yang ke sana. Memang kalian mau nikah lagi?"

"Loh, ya ndak apa-apa kalau Ibuk mau membiayai," jawab Endah dengan ekspresi cengengesan.

Mendak pembicaraan sudah berubah haluan. Valeri yang tidak memahami apa yang dua orang tua di depannya bicarakan, memilih untuk diam saja.

"Ah! Angel koe iki!" Kini giliran Nyonya Handoko yang menggeleng-gelengkan kepala dengan kelakuan anak perempuannya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu kata pepatah.

Sesaat kemudian, Endah kembali teringat akan kehadiran sang keponakan. "Gimana, Nduk? Besok ikut aja, yuk. Mbak Vina sebentar lagi lamaran, loh. Habis itu gantian kamu."

Valeri tertawa kecil. "Valeri baru sembilan belas, Budhe. Kuliah juga belum selesai, udah mau nikah aja."

"Ya, nggak sekarang juga nikahnya, tapi yang namanya orang mau nikah juga perlu masa perkenalan dulu, kan? Pacaran dulu, saling mengenal satu sama lain, persiapan juga butuh waktu satu tahun lebih, Nduk. Dulu juga Mbak Vina umur sembilan belas sudah pacaran sama calonnya."

Valeri diam sebentar. Jika diingat-ingat, benar yang dikatakan Endah. Kayak sepupunya, Vina sudah berpacaran dengan calon suaminya ini semenjak awal kuliah. Kemudian baru akan menikah sekarang saat usia kakaknya itu hampir 23 tahun–meskipun menurut Valeri usia tersebut masih terlalu muda untuk menikah, tetapi ....

"Memang kamu enggak pengen punya pacar?"

Akan tetapi, tidak mau menikah buru-buru bukan berarti tidak mau punya pacar juga. Lagi pula, Valeri juga tidak keberatan jika diminta mencari calon sekarang. "Ya ... pengen, Budhe. Cuma ketemunya sama tukang selingkuh terus." Valeri mencebikkan bibirnya di akhir kalimat.

"Makanya, besok ikut Budhe sama Pakdhe. Siapa tau bisa dibantu." Endah menawarkan bantuan dengan tulus kepada Valeri.

"Tunggu dulu, deh, Budhe. Valeri nggak paham sebenernya sama yang Eyang sama Budhe obrolin dari tadi. Hitung jodoh, nyari tanggal, maksudnya gimana?" Valeri mengerutkan dahi. Dia perlu memastikan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk ikut atau tidak ikut.

"Sudah, ikut saja. Besok juga kamu akan tau sendiri," bujuk Endah sekali lagi.

Valeri merasa sungkan untuk menolak ajakan Enda yang sudah dilontarkan berkali-kali. Hingga gadis itu pun memilih untuk menganggukkan kepala setuju. "Hem ... oke, deh."

Besoknya, Valeri benar-benar diajak menemui seorang pria yang mungkin seusia dengan Nyonya Handoko, rambutnya yang nampak sebagai pun sudah putih semua. Pria tersebut penampilannya biasa saja, cenderung sederhana. Rumahnya juga nampak sederhana. Tidak megah, tidak kecil juga. Akan tetapi, Valeri merasakan aura berwibawa yang sangat kuat dari pria itu.

"Pakdhe Mijan, apa kabar?" sapa Endah.

"Pakdhe baik, Nduk. Ibumu bagaimana? Sudah lama tidak bertemu." Mijan tersenyum tipis. Senyum yang Valeri nilai sebagai senyum orang "baik-baik".

Setelah sedikit basa-basi, Endah dan Hardjanto berbicara dengan Mijan di ruang tersendiri dan meminta Valeri untuk menunggu di ruang tamu. Tidak lama, hanya sekitar setengah jam. Kemudian Endah dan suaminya keluar bersama Pakdhe Mijan.

"Nanti coba saya obrolkan lagi sama anaknya, Pakdhe. Memang agak susah Vina, itu." Lalu Endah beralih kepada Valeri. "Oh, iya, Pakdhe. Ini Valeri yang tadi saya ceritakan. Anak keduanya Puri. Masih ingat tidak, Pakdhe?"

"Oalah! Sudah segini besarnya ternyata kamu, Nduk. Puri apa kabar? Lama tidak bertemu." Pertanyaan yang sama.

Valeri tersenyum. "Baik, Pakdhe."

"Bagus kalau begitu .... Weton-mu apa, Nduk?" Valeri mengerutkan dahinya saat mendengar pertanyaan tersebut. Dia saja tidak mengetahui apa itu weton.

Valeri diam kebingungan sembari menatap Endah. "Hari lahirmu menurut tanggalan Jawa, Cah Ayu."

Petunjuk dari Endah bukannya membuat Valeri semakin paham, justru perempuan itu semakin kebingungan. Valeri pun menggelengkan kepala dengan kikuk.

"Nggak tau, Budhe."

"Ya, sudah. Kamu lahirnya kapan?" Mijan berusaha mencari solusi lainnya.

"Dua puluh tiga November dua ribu tiga."

"Tunggu sebentar, ya" Mijan kembali masuk ke dalam ruangan yang tadi. Tidak lama dia kembali keluar sembari menggerak-gerakkan jarinya seperti menghitung sesuatu. "Minggu Pon, ya?"

"Seharusnya dari hitungannya tidak ada yang salah. Coba saya lihat telapak tangan kamu." Pria itu berbicara dengan ekspresi serius.

Valeri ragu untuk menjulurkan tangannya, tetapi Endah meyakinkan Valeri dengan menganggukkan kepala. Mijan pun menyentuh telapak tangan Valeri dengan jari telunjuknya untuk mengurut garis tangan Valeri. Akan tetapi, tiba-tiba jari telunjuk Mijan seperti tersengat aliran listrik.

Valeri juga merasakan sengatan yang sama sehingga dia memekik dan menjauhkan tangannya. "Awh!"

Sementara itu, Mijan memejamkan mata sembari terdiam. Beberapa detik kemudian, dia berbicara dengan suara berat, "Wahai Inu Kertapati, kau akan selamanya berduka atas kehilangan pujaan hatimu! Hanya jika kau bersatu kembali dengan Candranareswara, maka semuanya akan berakhir dan suralaya akan menerimamu."

***

DEG. BRAK. Klana yang baru saja pulang dari menyelesaikan tugas layanan home care-nya tiba-tiba merasa sangat nyeri di ulu hati. Lelaki itu ambruk begitu membuka pintu rumah. Klana menekan dadanya dengan kuat untuk menahan rasa sakit tersebut.

Sembilan abad lamanya, Klana belum pernah merasakan sakit fisik apa pun. Tidak mungkin dia tiba-tiba mengalami gagal jantung atau serangan jantung. Lelaki itu buru-buru mengambil ponsel dari tasnya lalu menekan tombol panggilan darurat.

"Ke sini, sekarang!" ucap Klana dengan susah payah.

Tidak lama kemudian, terdengar suara pagar dibuka. Seorang lelaki yang tampak seumuran dengan Klana pun masuk dan segera membantu Klana untuk duduk di sofa ruang tamu. "Gusti Prabu, kenapa?" tanya lelaki tersebut.

"Minum ...," ucap Klana masih dengan posisi menekan dadanya sendiri.

Gemuris, abdi paling setia milik Klana yang turut menanggung kutukan. Gumuris bergegas mengambil segelas air seperti yang diminta oleh Klana.

Sementara itu, Klana perlahan merasakan sakit di dadanya mulai mereda. Dia mulai bisa bernapas dengan lebih lega. Klana pun menurunkan tangan kanannya untuk menerima segelas air dari Gemuris.

Sementara Klana meminum airnya perlahan, Gemuris dengan sabar menunggu sang Gusti Prabu menjelaskan kondisinya. "Aku tidak apa-apa," ucap Klana akhirnya.

"Hanya tadi saat pulang, tiba-tiba dadaku sangat sakit. Seperti ... nyeri setelah dipukul dengan sangat keras. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Kenapa, ya?" Gemuris tanpa sadar ikut mengerutkan dahinya. Berpikir keras mengenai kondisi Klana.

"Rasa sakit yang belum pernah Gusti Prabu rasakan? Mungkinkah itu pertanda untuk Gusti Prabu?"

Klana menaikkan salah satu alisnya sembari menatap Gemuris yang masih berdiri di samping lelaki itu. "Pertan ... da? Candraneswara?"

Gemuris menganggukkan kepala dengan tatapan seriusnya kepada Klana.

"Candraneswara sudah kembali?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro