Bab 19. Janji dan Kebohongan
Sementara keributan terjadi, Candraneswara sibuk dengan isi pikirannya sendiri. Entah kenapa, sejak tadia dia bisa merasakan keberadaan Dewa Jaya Kusuma. Padahal lelaki itu sudah pergi setelah selesai menyisir rambut Candraneswara. Lalu tepat saat rombongan Pangeran Anggar keluar dari aula, Valeri dan Candraneswara sama-sama merasakan ada menyentuh pundak mereka.
Valeri terkejut hingga terbangun sebelum sempat memastikan siapa yang sudah menyentuh pundaknya. Sementara itu, Candraneswara dibuat terbelak. Dewa Jaya Kusuma berdiri tepat di belakangnya dengan ekspresi datar.
"Apa yang Di Ajeng lakukan di sini?" tanya Dewa Jaya Kusuma yang tidak sanggup dijawab oleh Candraneswara.
Hanya dengan satu jentikan jari, Dewa Jaya Kusuma dan Candraneswara sudah kembali ke gua. Candraneswara terus menundukkan kepala selagi berdiri di depan Dewa Jaya Kusuma. Lelaki itu terus diam dan menatap dengan tatapan dinginnya.
Sampai kemudian Candraneswara mulai bersuara. "Kangmas, maafkan saya," cicit Candraneswara dengan sangat pelan. Suaranya nyaris bergetar.
"Bagaimana aku bisa mempercayai bahwa Di Ajeng tidak akan pernah kembali kepada Inu Kertapati, jika Di Ajeng saja masih belum bisa berbicara sejujur-jujurnya kepada saya?"
Dewa Jaya Kusuma benar-benar kecewa dengan kebohongan yang sudah dilakukan oleh Candraneswara. "Apa Di Ajeng pikir aku tidak mengetahui semuanya? Apa kau pikir semudah itu membohongiku?!" Dewa Jaya Kusuma mulai meninggikan nada suaranya.
Candraneswara langsung berpikir cepat untuk memeluk Dewa Jaya Kusuma. Dia benar-benar takut jika lelakinya itu akan marah hingga membabi buta lagi. "Kangmas, saya meminta maaf. Saya tidak akan berbohong dan berbicara sejujur-jujurnya mengenai semuanya, apapun itu. Saya juga sudah berjanji bahwa saya setia kepada Kangmas."
Suara Candraneswara terdengar bergetar dan tersendat-sendat. Meskipun perempuan itu menyembunyikan wajahnya di dada Dewa Jaya Kusuma. Akan tetapi, tentu saja Dewa jaya Kusuma mengetahui bahwa wanitanya itu sedang menangis ketakutan. Untuk sedikit, amarahnya mereda. Dewa Jaya Kusuma pun balas memeluk Candraneswara.
"Kenapa kamu berbohong kepadaku saat terakhir aku bertanya kamu habis dari mana? Kenapa kamu berbohong jika sebenarnya kamu sedang membantu Inu kertapati dengan menemui Valeri? Apa kamu pikir, aku tidak mengetahui siapa sebenarnya perempuan itu?" Dewa Jaya Kusuma masih menggunakan suara dinginnya meskipun emosi lelaki itu sudah sedikit menurun.
Masih di dalam pelukan Dewa Jaya Kusuma, Candraneswara mendongakkan kepala untuk melihat wajah kekasihnya. Emosi Dewa Jaya Kusuma langsung menurun drastis saat melihat wajah Candraneswara yang memerah dan berlinang air mata.
"Maaf, Kangmas. Saya takut Kangmas akan melarang saya membantu Kangmas Inu Kertapati lagi."
Dewa Jaya Kusuma menghela napas. Jika tidak sedang memeluk Candraneswara, lelaki itu pasti sudah mengelus dadanya sendiri. "Kangmas sudah memperbolehkan Di Ajeng untuk membantu orang itu, kan?" Mendadak suara Dewa Jaya Kusuma kembali melembut.
"Jadi kenapa Kangmas harus melarang Di Ajeng? Hanya saja, tolong jangan membuat Kangmas khawatir bahwa mungkin Di Ajeng akan berkhianat dengan cara menyembunyikan sesuatu seperti ini."
"Saya tidak akan berkhianat, tidak akan ...."
"Ya sudah, kalau begitu jangan berbohong dan menyembunyikan sesuatu lagi, Di Ajeng. Bahkan jika Inu kertapati menyakitimu, Kangmas akan membalas semuanya!"
***
Valeri terus mengerutkan dahinya sepagian. "Siapa yang menyentuh pundakku tadi?"
Awalnya valeri berpikir bahwa yang menyentuh pundaknya adalah Candraneswara. Akan tetapi, rasanya aneh jika Candraneswara. Jelas-jelas perempuan itu berdiri di samping Valeri. Sedangkan rasanya tangan itu berasal dari belakang. Sehingga jelas bukan Candraneswara pelakunya.
Sebelum malam tadi, selama mimpinya didatangi Candraneswara. Valeri tidak pernah berinteraksi dengan orang lain selain Candraneswara. Jangankan berkontak fisik. Berbicara dengan selain Candraneswara saja tidak pernah.
Saat Valeri sedang sibuk memikirkan mimpinya semalam, neneknya memanggil dari halaman depan. "Valeri! Ini ada pesenan makanan katanya buat kamu!"
Valeri yang berada di ruang tengah pun langsung berlari menghampiri neneknya. Benar saja, di depan gerbang rumah neneknya sudah berdiri seorang ojek online yang menenteng plastik yang berisi makanan.
"Kamu pesen makanan, Nduk? Kan, sudah sarapan tadi?" tanya Nyonya Handoko saat Valeri melewatinya. Valeri pun menggelengkan kepala dengan ekspresi bingung.
"Dengan Mbak Valeri, ya?" tanya tukang ojeknya.
"Iya, Pak. Benar, dengan saya sendiri."
"Oh, iya. Ini saya mau mengantarkan pesanan makanan untuk, Mbak Valeri." Tukang ojek itu pun menyodorkan plastik berisi makanan kepada Valeri.
"Tapi saya nggak pesan makanan, Pak." Valeri berusaha mengkonfirmasi sebelum menerima makanan tersebut. Valeri takut jika makanan ituternyata kiriman dari orang yang berniat jahat kepadanya.
"Iya, Mbak. Ini memang dipesankan oleh orang lain. Di dalam ada suratnya, kok, Mbak. Bisa dicek nanti."
Setelah itu, valeri pun menerima makanan tersebut. Kemudian membiarkan si bapak-bapak ojek online pergi setelah Valeri berterima kasih.
Seperti yang sudah diberitahukan bapak-bapak ojek online tadi, Valeri pun mencari-cari surat dimaksudkan. Kemudian di bawah kotak makanan, ternyata ada sebuah kertas.
"Valeri, ini saya belikan selat solo dua buat kamu sama Eyang. Kemarin kamu bilang pengen nyobain, kan? Dimakan, ya. Kapan-kapan kalau senggang saya ajak kamu makan langsung di warungnya. Akan tetapi, hari ini saya sedang cukup sibuk di rumah sakit, jadi kemungkinan tidak bisa mengajakmu jalan-jalan. Saya usahakan besok, ya."
Lalu pada bagian bawah surat itu tertulis nama si pengirim makanan. "Dengan penuh cinta, Klana."
Valeri mengulum senyumnya sendiri. Perempuan itu tersipu malu. Valeri berpikir bahwa Klana benar-benar definisi; aku tidak akan mencintaimu diam-diam, akan kucintai kamu dengan ugal-ugalan.
Melihat cucunya yang tersenyum-senyum sendiri, tentu saja Nyonya Handoko tidak akan diam saja. Wanita itu pun berjalan mendekati Valeri. "Dari siapa, Nduk?" Tentu saja Nyonya Handoko bukannya tidak mengetahui makanan itu dari siapa. Sudah terlihat jelas siapa yang mengirim hanya dengan melihat ekspresi Valeri.
"Mas Klana. Dia ngirim selat solo," jawab Valeri sembari berjalan menuju tempat duduk yang memang sengaja di letakkan di halaman rumah. Biasanya untuk tamu atau sekedar tempat Nyonya Handoko bersantai pada sore hari.
"Selat solo?" Valeri mengeluarkan dua bungkus selat solo ke atas meja.
"Iya, kemarin waktu perjalanan pulang, aku sama Mas Klana lewat warung selat solo langganan dia, Eyang. Terus aku bilang penasaran sama rasanya, kapan-kapan pengen nyobain. Eh, habis itu dia bilang mau ngajak nyobain. Tapi ternyata hari ini dia sibuk di rumah sakit."
"Ohh ... pantesan senyum-senyum sendiri. Ternyata dari calon suami," goda Nyonya Handoko sembari membuka salah satu bungkus selat solo untuk dia makan.
"Ih, Eyang. Apa, sih? Orang jadian aja belum. Udah jadi calon suami," gerutu Valeri yang juga sedang membuka bungkus makanannya.
"Ya, enggak apa-apa. Omongan itu doa, loh. Emang kamu nggak mau didoai nikah sama orang yang kamu suka dan kamu anggap baik? Lagian Eyang juga udah ngasih restu, jadi udah pasti restu dari Papa Mama kamu aman. Nanti bilang aja sama Eyang kalau mereka nggak ngasih restu."
Valeri terkekeh pelan. Perempuan gila satu ini bukan hanya sebatas membayangkan akan menikah menggunakan adat apa dengan Klana. Dia bahkan sampai memikirkan akan tinggal di rumah yang seperti apa jika menikah dengan lelaki itu. Memiliki anak berapa? Lalu saat tua akan pensiun di mana?
Nyonya Handoko dan Valeri terus membicarakan Klana hingga selesai makan. Lalu setelah selesai makan, Nyonya Handoko menyuruh Valeri membuang sampah.
"Sama yang di dapur sekalian buang depan ya, Val. Hari ini jadwalnya sampah diambil," pesan Nyonya Handoko sembari berjalan masuk ke dalam tanpa menunggu Valeri setuju dengan permintaan itu atau tidak.
Sehingga mau tidak mau, Valeri pun pergi membuang sampah ke depan. Akan tetapi tepat setelah Valeri membuang sampah, gerbang rumah sebelah terbuka dan seorang lelaki keluar dari gerbang itu untuk membuang sampah. Valeri dan lelaki itu pun tanpa sengaja bertukar pandangan sembari tersenyum.
Valeri memperkirakan bahwa lelaki ini adalah penghuni baru rumah sebelah. Hal ini karena sepengetahuan Valeri, rumah tersebut kosong dan sering kali dikontrakkan. Bahkan satu tahun terakhir, terpasang tulisan dijual di pagarnya.
"Halo, Mbak yang tinggal di sini, ya?" Lelaki itu menyapa valeri terlebih dahulu dengan logat jawanya yang masih sangat kental.
"Bukan, Mas. Eyang saya yang tinggal di sini. Saya kalau lagi libur semester saja di sini. Kalau, Mas ... yang beli rumah ini?" Valeri menebak.
Lelaki itu buru-buru menggelengkan kepalanya. "Enggak, Mbak. Saya kontrak aja soalnya cuma saya buat menetap di sini sampai selesai kuliah ... maklum, mahasiswa akhir."
"Oalah ... iya, iya." Valeri bisa melihat dari perawakan lelaki itu, jika dia memang mahasiswa semester tua. Meskipun wajahnya lumayan, tetapi aura mahasiswa semester tuanya tidak bisa disembunyikan.
"Oh, iya." Lelaki itu menggosok-gosokkan tangan kanan ke celananya yang terlihat sedikit lusuh. Kemudian mengulurkan tangan tersebut kepada Valeri. "Mbak, namanya siapa? Kayaknya kita perlu kenalan soalnya mungkin kita akan tetanggaan meskipun cuma sebentar."
Valeri kembali tersenyum tipis dan menerima uluran tangan tersebut dengan sedikit tidak yakin. "Valeri. Kalau Mas siapa?"
"Oh, iya. Saya malah belum nyebutin nama, ya? Saya Jaya Kusuma. Mbak bisa panggil saya Jaya."
Ya, tetangga baru Valeri itu bernama Jaya Kusuma.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro