Bab 1 { The Crown Princess }
Tahun demi tahun tak terasa berlalu begitu cepat setelah kepergian sang putra mahkota. Pada malam pergantian tahun di kekaisaran Targayen hari ini, keheningan masih menyelimuti seluruh lapisan masyarakat yang tengah berdoa di alun-alun utama. Laki-laki, perempuan, anak-anak hingga orang tua berkumpul di sana untuk memanjatkan doa, harapan dan meminta pengampunan sebelum lembaran baru kehidupan mereka di mulai.
Ritual itu pun berlanjut dengan menyalakan lilin di setiap sisi jalan dan menebar bunga teratai pada kolam besar yang terletak di sebelah kanan alun-alun. Akan tetapi acara itu tak benar-benar berakhir di situ, mereka akan menunggu sang Kaisar juga para penerusnya untuk melakukan ritual pemurnian diri.
Hembusan angin lembut yang menggerakan lonceng di sana hingga berdentang dengan kencang selalu menjadi isyarat datangnya orang-orang paling berkuasa di kekaisaran itu. Semua masyarakat yang mendengarnya pun segera berlutut penuh hormat tanpa keraguan sedikitpun.
Suara dencing gemerincing gelang kaki pun semakin terdengar nyaring mendekat. Beberapa orang yang merasa ganjal karena tak ada derap langkah sang kaisar atau permaisuri yang mengiringi suara gelang kaki sang putri mahkota pun diam-diam mengangkat pandangannya dan mulai saling berbisik saat hanya melihat sesosok gadis cantik, berambut merah sepinggang memasuki ruangan dengan membawa nampan berisi tiga lilin yang sudah menyala di tangannya.
Para prajurit juga pelayan terlihat mengikutinya dari belakang sembari tertunduk. Akan tetapi tidak ada satupun anggota keluarga kekaisaran yang hadir bersamanya. Seorang tetua nampak langsung menghampiri sang putri mahkota yang bernama Aruna itu dan mengambil baki yang di pegangnya, lalu mempersilahkannya menuju ke altar utama.
Di sana Aruna nampak tak langsung duduk di kursinya. Ia malah berdiri menghadap pada rakyatnya sembari mencakupkan kedua tangan di depan dada, "Masyarakat kekaisaran Targayen. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena yang mulia kaisar Haller, permaisuri, kakak juga adik saya tidak bisa hadir mengikuti acara ini dikarenakan mereka sedang berada di kerajaan lain. Untuk memenuhi tradisi juga adat kita, saya akan menggantikan tugas beliau. Mohon pengertian juga bimbingannya,"
Semua masyarakat kini mengangguk dan menyerukan pendapat mereka yang sangat setuju jika Freya menggantikan posisi sang kaisar untuk memimpin acara ini. Mereka pun mendengarkan dengan khidmat setiap kata yang terucap dari gadis merah itu. Nada suaranya yang lembut sekaligus lantang mampu menarik perhatian masyarakat dalam sekejap.
Setelah selesai memberi pidato singkat ia turun dari altar dan berjalan menuju ke tengah alun-alun. Di mana sudah ada tumpukan kayu bakar untuk melakukan ritual terakhir. Saat ia menjentikan jemarinya, para pengawal langsung turun dan membakar kayu itu dengan sihir api putihnya.
Ini adalah upacara penutup yang sesungguhnya di mana orang-orang akan memurnikan diri mereka dengan api sebelum melangkah pada awal yang baru.
Saat Aruna mulai mendekati kobaran api itu, para peri tiba-tiba datang dan menaburi langkahnya dengan kelopak bunga. Mereka terdengar tertawa riang sembari sesekali iseng menaburi pucuk kepala gadis itu juga. Walau di usili seperti itu, tak ada raut kesal ataupun amarah yang pada wajahnya. Aruna malah terlihat masih berjalan dengan begitu tenang, walau percikan api mulai mengenai tubuh juga wajahnya.
Pancaran kepercayaan, harapan dan keyakinan tergambar jelas pada manik mata amethysnya yang berkilau. Saat kakinya pertamakali melangkah masuk pada kobaran api itu. Suhu panas di hadapannya seketika turun di iringi semilir angin layaknya angin musim dingin yang menenangkan.
Kelopak mata yang bagai busur kokoh itu pun perlahan terpejam saat percikan api di hadapannya menggelitik wajahnya. Semerbak aroma bunga asing yang begitu harum juga mulai menguar dari tubuhnya. Bagaikan memasuki dunia lain di dalam kobaran api itu semuanya kini terlihat serba putih seperti ruang hampa.
"Leluhurku .... Dewi Harmonia. Kami datang untuk membuka lembaran baru dalam hidup ini. Tolong kuatkan juga tetap tuntun dan jaga kami," Gumamnya membuat semilir angin yang menerbangkan bulir bubuk emas menerpa mereka.
Beberapa akar keemasan kini muncur dan membentuk sebuah pintu besar di hadapannya, saat Aruna melangkah memasuki pintu itu mereka tiba-tiba kembali ke tempat awal. Semua orang terlihat sudah berkumpul di depan sebuah bangunan kuno dengan lonceng besar di atasnya. Simbol kekaisaran yang berupa sabit kematian dan sebuah pedang yang menyilang diantara matahari, juga terukir jelas di tengah-tengah bangunan itu.
Saat Aruna membuka kelopak matanya, semua lilin juga penerangan mulai bercahaya terang. Kembang api yang berasal dari sihir para peri maupun prajuritnya, bertebaran dengan indah di hamparan langit malam. Semua orang seketika bersorak sorai dan menari dengan bahagia menyambut lembaran baru kehidupan mereka. Sementara Aruna nampak lebih memilih terduduk di sisi air mancur menikmati kemeriahan itu, karena tubuhnya terasa benar-benar lelah.
"Putri mahkota Aruna," panggil seorang pria yang memakai baju prajurit lengkap berwarna hijau dengan ikat kepala hitam, penyangga rambut keemasannya yang berantakan, sembari menyodorkan cangkir perak pada gadis itu.
"Terimakasih Allen," Ucapnya dengan lembut sembari mengambil cangkir itu dan meminumnya.
Malam ini terasa lebih dingin dari pada malam tahun baru sebelumnya. Coklat panas yang di berikan kepala prajurit sekaligus tangan kanan kakaknya itu nampak tak mempengaruhi tubuhnya yang mulai menggigil.
Tiba-tiba pria bernama Allen itu, menyampirkan jubah yang ia kenakan pada bahu Aruna. Manik amethysnya kini bergulir cepat ke arah pria yang terus berdiri di sisinya itu dengan posisi siaga menatap ke depan dimana masyarakat tengah berpesta.
"Allen, apa harapanmu kali ini?" Tanyanya membuat pria itu menoleh dengan sebuah senyuman manis yang selalu membuat jantungnya berdebar.
"Saya hanya berharap putri, pangeran juga yang mulia kaisar bisa selalu berbahagia dan sehat,"
"Kenapa? Apa kau tidak ingin meminta hal lain?"
"Saya tidak punya siapapun di dunia ini selain putri mahkota, pangeran juga yang mulia kaisar. Jadi itu saja keinginan saya,"
"Bagaimana dengan ibu dan adikku?" Tanyanya membuat raut wajah pria itu menjadi datar.
"Anda pasti sudah tahu saya tidak menyukai mereka. Kenapa anda masih bertanya?"
"Fikiran seseorang bisa berubah, siapa tahu kau terantuk sesuatu hingga pemikiranmu pada mereka berubah kan?"
"Walau ingatan saya hilang, saya tetap tidak akan menyukai mereka putri mahkota," Ucapnya dengan penuh ketegasan membuat gadis itu tersenyum simpul.
Ia pun segera menepuk-nepuk tempat duduk di sisi kirinya sembari memberi isyarat kecil pada pria itu, "Duduklah, kau pasti lelah sejak pagi terus berdiri,"
"Tidak putri, ini sudah tugas ...." Ucapannya seketika terhenti karena Aruna tiba-tiba menarik tangannya untuk duduk di sisinya.
Saat ia bergeser untuk duduk di bawah seperti prajurit atau pelayan lainnya. Tangan gadis itu segera menahan ujung jubahnya yang membuat Allen tak bisa berbuat apa-apa, selain kembali duduk di sisinya. Pada raut wajahnya tergambar dengan jelas kekhawatiran juga keraguan besar karena jika ada yang melihat, ia bisa saja di hukum karena telah lancang menyetarakan cara duduknya dengan majikannya.
Saat Allen tengah berfokus memperhatikan keadaan sekitar, ia seketika terkejut saat Aruna menyentuh tangannya. Manik mata hijaunya seketika terbelalak melihat Aruna yang tiba-tiba sudah lebih dekat dengannya.
Allen yang mengerti gadis itu ingin mengatakan sesuatu pun, segera menguarkan sihirnya. Mereka kini tertutupi sebuah kubah ungu yang membuat masyarakat tak dapat melihat atau mendengar percakapannya.
"Putri, apa ada yang ingin anda katakan?"
Aruna nampak mengalihkan pandangannya dan menjawab, "Ayah sebentar lagi pulang. Bisakah kau membawaku pergi dari sini sekarang?"
Pria berambut keemasan itu nampak segera melepas gengaman tangannya dan melayangkan tatapan dinginnya, "Putri, kenapa anda bersikukuh ingin pergi? Yang mulia kaisar sangat menyayangi anda, beliau akan hancur jika anda tidak ada. Pangeran Arusha juga akan mengamuk jika ada tiba-tiba pergi tanpa pamit padanya,"
Ucapan Allen yang ada benarnya semakin membuat Aruna tertunduk. Ya, ayahnya memang sangat menyayangi Aruna lebih dari apapun begitu juga kakaknya, akan tetapi kenyataan ia tak mampu menggunakan kekuatan sihir membuatnya kurang percaya diri dan selalu ingin pergi. Sekalipun kemapuan bertarungnya sangat diakui, ia masih saja merasa tidak yakin mampu melindungi rakyat juga kekaisarannya.
"Putri, jika anda berfikir untuk pergi maka ingatlah bagaimana efeknya pada yang mulia kaisar juga pangeran Arusha. Juga bagaimana efeknya pada masyarakat dan kekaisaran. Anda tentu tidak mau kan jika semua orang merasa bersedih?"
"Aku tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, Allen. Sihirku ...."
"Sihir hanya sebagai pelengkap saja putri. Poin utama untuk memimpin adalah fikiran juga hati yang bersih. Anda tidak perlu khawatir akan hal seperti itu, karena anda memiliki banyak ahli sihir yang melindungi kekaisaran ini," Jelasnya membuat Aruna diam seribu bahasa.
Perlahan sihir Allen pun memudar, pria itu dengan cepat berjalan pergi ke tempat lain agar tidak ada yang mengira jika ia tengah berduaan bersama majikannya. Sementara gadis itu masih saja melamun, hingga ia di kejutkan oleh tepukan pada pundaknya.
Saat ia mendongak nampak seorang wanita paruh baya berpakaian seperti kepala pelayan tersenyum ke arahnya setelah menunduk penuh hormat, "Putri, kepala prajurit Vallendias mengatakan jika anda lelah jadi kami memanggil kereta kuda istana,"
"Hah dasar, padahal aku hanya ingin istirahat sebentar," Gerutunya sembari perlahan bangkit berdiri dan berjalan pergi dari sana, akan tetapi bukan ke arah kereta kuda berada. Ia malah pergi ke jalan setapak lain yang memiliki jalur berliku juga sedikit sempit untuk menuju ke istana.
"Putri, maaf kereta kuda ada di sana," Ucap salah seorang prajurit.
"Aku ingin berjalan saja,"
"Tapi putri ...."
"Shh!"
Prajurit itu seketika menundukan pandangannya dan mulai mengikutinya tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, setelah mendapat desisan juga tatapan tajam dari Aruna.
Jalanan yang masih di hiasi dengan arsitektur bangunan kuno di sisi kiri juga kanan terlihat sangat indah. Para masyarakat seketika menunduk hormat saat melihat Aruna berjalan melewati mereka. Memang ini bukan kali pertama Aruna berjalan di sana, tapi tetap saja semua orang begitu antusias ingin melihatnya.
Beberapa anak kecil juga segera mendekat dan memberikan banyak hadiah seperti permen, bunga juga lainnya yang membuat hati gadis itu menghangat.
"Putri, lihatlah mereka begitu menyayangi anda. Apakah anda masih berfikir untuk pergi?" Bisik Allen yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya dan membuat gadis itu terperanjat kaget, hingga tak sengaja memukul wajahnya dengan buket bunga yang di berikan anak kecil tadi.
"Ma ... Maaf," Ucapnya dengan setengah bergumam, membuat pria itu terkekeh senang.
"Anda begitu cantik saat terkejut hingga burung-burung berterbangan," Ledeknya sembari tersenyum jahil.
Aruna yang begitu kesal pun memilih tak menggubrisnya dan semakin mempercepat jalannya. Bulir-bulir salju perlahan mulai kembali turun menghujaninya. Saat Allen akan membuka payung yang di bawanya, gadis itu segera menahan tangannya.
Ia terlihat maju beberapa langkah lalu mengulurkan tangannya sembari mendongak ke langit. Tetes air mata tiba-tiba jatuh saat kenangan akan mendiang ibunya yang selalu bermain dan mengajaknya keluar saat salju turun pun kembali terngiang.
Jika saja ayahnya atau kakaknya ada di sini, ia pasti akan langsung memeluk Aruna dan melakukan berbagai cara agar ia tidak bersedih. Tapi kali ini ia harus menahan semua kesedihan juga kerinduannya seorang diri.
"Putri," Panggil pria berambut keemasan itu yang seketika menyentak lamunannya.
Aruna pun segera menyeka pipinya lalu menoleh dengan tatapan penuh tanya, "Hari mulai dingin. Ayo kembali," Ucapnya membuat pria itu seketika mengangguk.
Setelah setengah jam berjalan, mereka akhirnya tiba di istana utama tempat gadis itu tinggal. Para pelayan di terlihat buru-buru berjajar rapih di sisi kiri juga kanan saat ia memasuki istana itu. Tempat yang sangat megah itu, sebagian bangunannya terbuat dari kristal ungu. Tak hanya itu, saat Aruna atau keluarganya melangkah masuk kristal-kristal di sana langsung berkilau juga bercahaya.
Kamar Aruna yang berada di lantai dua pun tak kalah indahnya dan selalu di sebut sebagai pusat keindahan atau tempat paling spesial juga utama di istana itu. Karena hanya di kamar itu saja yang memiliki kolam kecil di tengah ruangan juga ayunan emas pada balkoninya.
Langit malam bertabur bintang juga bisa di lihat dengan jelas, karena atap kamar itu bisa di geser sesuka hati dengan jentikan jarinya.
Akan tetapi di balik semua kenikmatan juga kenyamanan itu, Aruna masih saja merasa tidak puas dan sering mengeluh karena di istana itu ia merasa sangat kesepian karena hanya Allen saja yang menjadi teman berbicara, bermain hingga beradu pendapat dengannya.
*******
Keesokan paginya saat Aruna tengah merias diri. Allen tiba-tiba datang dengan tergopoh dan langsung menggedor pintu dengan kencang, "Yang mulia putri mahkota, tuan besar telah datang ke istana,"
"Apa! Bagaimana bisa? Bukankah tuan besar tidak pernah keluar dari mansionnya?" Pekik sang kepala dayang yang terlihat lebih terkejut daripada Aruna.
"Aku bosan dengan suasana kuil, jadi aku memutuskan untuk datang kemari," Ucap sebuah suara yang terdengar sangat lembut di belakang Allen.
Para pelayan, pengawal termasuk Aruna langsung berlutut penuh hormat saat sosok seorang pria berpakaian serba putih memasuki kamar itu. Rambut merahnya yang menjuntai panjang hingga lantai nampak berkilauan. Wajahnya juga hampir mirip dengan Aruna, karena ia ternyata adalah kakek dari gadis itu.
Sekalipun tahun ini usianya akan memasuki angka 200 tahun, tetapi wajahnya masih terlihat seperti anak remaja berusia belasan tahun. Karena klan Euraline memiliki anugerah untuk tetap awet muda hingga akhir hayatnya.
Tangannya pun perlahan terangkat dan mengibaskan bubuk cahaya yang keluar dari jemarinya, "Sekarang, aku hanya ingin mengobrol dengan cucu kesayanganku,"
Mendengar itu semua orang di sana langsung pergi dan meninggalkan mereka berdua. Dengan lembut ia menarik lengan atas gadis itu dan menuntunnya untuk duduk pada bangku di balkoni.
Dengan sekali kibasan tangan, salju yang menumpuk di sana seketika terhempas jauh oleh angin kencang yang keluar dari tangannya. Pria itu terlihat segera menopang dagunya di atas railing dan menatap dengan dalam pada pusat wilayah kekaisaran yang semakin berkembang pesat tak jauh dari istana mereka.
Saat seorang pelayan datang, menyajikan teh biru kesukaannya. Pria itu segera mengambilnya dengan gerakan begitu pelan namun indah juga elegan. Ia juga terlihat menyeruputnya dengan sangat tenang lalu tersenyum hangat pada pelayan itu, "Terimakasih. Walau tidak seenak buatan mendiang istriku,"
Pelayan itu pun segera mengangguk lalu pergi dari sana. Sementara Aruna nampak terus terdiam memperhatikannya karena ia tidak boleh berbicara terlebih dahulu, sesuai peraturan turun temurun keluarganya.
Trak ...
Lamunan Aruna seketika buyar saat kakeknya itu menyimpan cangkir dengan sedikit kencang. Manik amethys mereka kini saling melempar tatap penuh tanya, satu sama lain.
"Aruna, kau adalah cucuku yang sangat istimewa sama seperti Arusha. Sebentar lagi kalian akan berusia delapan belas tahun, apa kalian sudah memilih akan menikah atau naik tahta terlebih dahulu?"
Aruna kini sedikit menundukan pandangannya, ia sudah tahu akan di beri pertanyaan seperti ini akan tetapi sebenarnya ia belum memikirkan atau mempertimbangkan dua pilihan itu.
Saat tangan dingin pria tua menggenggamnya. Aruna seketika menatap padanya dengan sorot bingung, "Jangan selalu menunggu keputusan Haller. Ini hidupmu, kau yang menjalaninya jadi putuskanlah sendiri,"
"Kakek, saya sudah berjanji pada kakak kalau saya akan menikah setelah kakak kembali. Saya juga telah berjanji di pusara mendiang ibunda agar selalu menjaga kebahagiaan ayah dan menyerahkan seluruh keputusan hidup Aruna ada di tangan ayah. Jadi pilihan kali ini pun beliau yang akan memutuskan,"
"Bagaimana jika Haller atau Arusha mengkhianatimu?"
"Aruna yakin keputusan mereka selalu yang terbaik,"
Pria tua itu seketika menghela napas kasar lalu kembali menggulirkan arah pandangannya ke pusat kota.
"Sebenarnya kau dan Arusha sudah sangat layak menjadi pemimpin. Lihatlah, kalian telah merubah tradisi kuno di masyarakat. Para wanita yang dahulu di anggap tidak berharga kini sudah setara kedudukannya dengan pria. Perekonomian semakin berkembang pesat dengan adanya perdangangan lintas dimensi, lintas laut dan lintas darat. Apa lagi yang membuat kalian ragu untuk naik tahta?"
Aruna perlahan melepas genggaman kakeknya itu dan kembali tertunduk, "Kami hanya memikirkan pandangan dan penilaian masyarakat,"
"Apa? Bukankah mereka sangat menyayangimu dan menghormatimu?"
"Kakak Arusha memang bisa mengatur pemerintahan dengan baik, tapi dia belum membulatkan hatinya. Freya juga belum bisa menguasai sihir dan tidak yakin bisa melindungi mereka, kakek. Jika masyarakat tahu, mereka akan berasumsi jika kami bukanlah keturunan asli klan ini. Usaha kami juga akan di lupakan karena kekuatan adalah pilar utama seorang pemimpin,"
Telapak lembut pria tua itu perlahan menyentuh pipi kiri gadis itu. Sensasi dingin pada telapak tangannya perlahan memberi ketenangan pada hatinya.
"Kekuatan sebenarnya seorang pemimpin bukanlah kekuatan yang di pertontonkan pada masyarakat. Akan tetapi kekuatan itu seharusnya di rasakan langsung oleh masyarakat," Ucapnya membuat Aruna kembali terngiang dengan nasihat Allen kemarin.
"Kakek...."
"Kau pasti akan mengerti suatu saat nanti Aruna. Kini kita bahas hatimu,"
"Hatiku?" Ulangnya yang seketika membuat kakek itu tersenyum jahil.
"Hmm, apa ada pemuda yang sudah membuat jantungmu berdebar?"
Gadis itu nampak menggulirkan maniknya ke kiri juga kanan. Melihat dahinya berkerut, sang kakek semakin yakin jika Aruna memiliki sesuatu yang sangat sulit ia sampaikan.
"Pengawal itu kah?" Tanya sang kakek sembari menunjuk pada Allen yang tengah berjalan menuju gerbang istana di bawah mereka.
Aruna seketika memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan semburat kemerahan pada pipinya.
"Ku dengar dia pernah menyelamatkan hidupmu hingga hampir kehilangan nyawanya. Apakah dia juga mencintaimu?" Tanyanya lagi dengan nada sedikit menggoda.
"Kakek berhentilah membicarakan masalah ini. Lebih baik kakek beristirahat," Elaknya sembari bangkit berdiri, memunggunginya.
Pria tua itu pun semakin menyunggingkan senyuman jahilnya. Tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya lalu menjentikan jari dan membuat waktu langsung terhenti. Aruna yang tak terkena efek sihir itu seketika mengedip bingung melihat semua aktifitas terhenti. Bahkan bulir salju yang tengah turun pun nampak diam di tempat hingga ia bisa menyentuhnya.
"Ikuti aku," ucapnya yang membuat gadis itu tersentak kaget.
Entah sejak kapan pria tua itu sudah berpindah ke ambang pintu. Tanpa banyak bicara atau berfikir, Aruna pun segera mengikutinya sebelum terkena omel. Sekalipun sudah sering melihat kakeknya menghentikan waktu, ia masih saja merasa kagum dengan apa yang di lakukan kakeknya itu.
Tak terasa mereka sudah berada di luar istana dan kakeknya ternyata menuntun Aruna pada Allen. Kakeknya nampak berdiri tepat di hadapan pengawal muda itu sembari menelisik penampilannya dari atas sampai bawah.
Pria tua itu kini terlihat menyibak jubah yang ia kenakan dengan jemarinta. Sebuah name tag bertuliskan Trinity Vallendias Harmonia yang ia lihat dari balik jubah itu membuatnya tiba-tiba menyunggingkan sebuah senyuman simpul.
"Vallendias .... sang Ivy Guard dari galaksi ke-3 dan simbol bintang ke-7. Jika saja di kehidupan sebelumnya kau tidak melakukan kesalahan fatal. Maka kau akan dengan mudah mendapatkan segalanya sekarang," Gumamnya membuat Aruna mengernyit bingung karena tak mendengar dengan jelas apa yang di ucapkan kakeknya itu.
Jemarinya nampak menyentuh wajah tirus Allen dan membuka sedikit ikat kepala yang di kenakannya. Guratan garis putih bekas lukanya yang memanjang hingga membelah alis membuat pria tua itu menghela napas pelan, "Takdir begitu kejam, hmm? Kau harus menuai apa yang kau tanam di kehidupan sebelumnya Vallendias,"
Ia kini melirik pada Aruna yang masih menatapnya bingung. Isyarat lambaian tangannya membuat gadis itu seketika mendekat dan melirik pada Allen.
"Apapun yang terjadi tetaplah berbahagia, Aruna dan sampaikan pada Arusha aku akan mengunjunginya bulan depan," ucapnya sembari membelai lembut pipi gadis itu, "Aku harus pergi sekarang sebelum Haller kembali dan mengomeliku karena datang tanpa pemberitahuan,"
Aruna pun perlahan mengangguk dan tiba-tiba angin kencang berhembus kencang. Kakeknya sedikit demi sedikit melebur menjadi kelopak bunga merah lalu pergi terbawa oleh angin.
Saat ia sudah benar-benar pergi waktu kembali berputar. Allen sangat terkejut melihat Aruna sudah ada di sisinya. Hentakan gerakannya yang cepat untuk berlutut memberimu hormat membuat gadis itu seketika tersentak kaget hingga mundur dua langkah.
"Yang mulia putri, maaf saya tidak melihat anda," ucapnya dengan tergesa.
Saat ia akan menjawab sang kepala pelayan dan beberapa prajurit tiba-tiba berlari ke arahnya, dengan raut yang begitu khawatir.
"Putri, kenapa anda tidak bilang jika ingin keluar," Ucap kepala pelayan itu setelah menyampirkan mantel pada bahunya lalu menunduk untuk memberi hormat bersama yang lainnya.
"Uhm, aku hanya mengantar kakek keluar dan beliau tak ingin ada yang tahu,"
Merekapun hanya mengangguk pelan mendengar penjelasannya. Aruna kini kembali melirik pada Allen yang masih berlutut di sisinya, "Kau mau kemana? Bukankah tugasmu berjaga di depan kamarku?"
"Maaf, saya hanya ingin membeli camilan yang di tawarkan rekan saya disana,"
"Kalau begitu pergilah," Titahnya sembari berjalan pergi dari sana dengan cepat, sembari tertunduk menyembunyikan pipinya yang masih bersemu merah.
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro