Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kotak Surat Keluarga Harsa


Lampu-lampu jalan sudah menyala begitu aku tiba di rumah. Aku berdiri di depan pagar semak boxwood, memandangi kotak surat merah yang menyembul dari sela-selanya. Suatu hari di masa lalu, surat dari Nenek pernah mampir di sana. Aku bertanya-tanya, bagaimana reaksi Kakek ketika itu? Bertahun-tahun kemudian, surat ibuku juga pernah terkirim ke sana. Aku tidak tahu persis bagaimana isinya karena ayahku tidak pernah menceritakannya. Itu urusan yang pelik. Akan kuceritakan begitu waktunya tepat. Pokoknya, saat itu aku masih kecil dan hampir tidak tahu apa-apa soal "mati". Sementara Naka, adikku, belum bisa berpikir karena masih bayi. Apakah saat itu ayahku baik-baik saja? Aku tidak pernah tahu karena ayahku tidak pernah menceritakannya dan aku tidak pernah bertanya karena kurasa, apa pun kebenaran yang disimpan sendirian oleh ayah dan kakekku itu, pastilah sesuatu yang menyedihkan. Aku tidak suka hal-hal sedih. Yang pasti, aku tidak mau berurusan dengan kotak surat aneh itu.

Cepat-cepat aku memalingkan wajah, seolah-olah kotak surat itu hidup dan bisa tersinggung jika dipandangi lama-lama. Ketika mendorong motorku memasuki halaman, sepeda motor milik Hara melintas dan jika aku tidak salah lihat (atau kegeeran), sepertinya Hara sempat tersenyum kepadaku. Hanya sekilas, tapi aku hampir yakin bahwa aku baru saja melihat dia tersenyum. Setelah kupikir-pikir lagi, mungkin aku hanya berhalusinasi karena beberapa jam sebelumnya kami juga bertemu dan hanya saling memandangi dari kejauhan. Jadi, seharusnya, Hara tidak tersenyum karena kami hampir tidak pernah bertegur sapa, apalagi mengobrol. Orang yang hampir tidak pernah mengobrol seharusnya tidak saling melempar senyum.

Ketika melintasi halaman berumput rumah kami, aku bisa melihat Kakek yang duduk di sisi jendela besar ruang surat. Kacamata bacanya melorot hingga ke sayap hidung dan setumpuk surat membentuk bukit kecil di sisinya. Tahun ini Kakek akan berusia 85, yang artinya, seharusnya Kakek sudah memikirkan gagasan untuk berhenti membaca surat-surat. Aturan mainnya, tugas itu sudah harus berpindah tangan ke Ayah dan aku. Tetapi aku, seperti yang sudah dan selalu kubilang, tidak ingin berurusan dengan surat-surat.

"Cucu tampan Kakek!" begitu Kakek berseru sewaktu melihatku berdiri di pintu ruang surat.

"Sebentar lagi jam makan malam," kataku.

"Kenapa? Kamu sudah lapar, ya?"

Aku melirik tumpukan surat di atas meja dan Kakek segera memahami maksudku. Kakek melepas kacamatanya lalu mendesah.

"Nak, Kakek tidak bisa meninggalkan ini begitu saja."

Yang dimaksud Kakek, bukan meninggalkan surat-surat itu untuk makan malam, melainkan untuk tidak pernah menyentuhnya lagi. Kami sudah berdebat soal ini berkali-kali, jadi, tanpa menjelaskan maksudku pun, Kakek sudah paham.

"Tapi Kakek sebentar lagi ulang tahun."

"Justru karena itu. Mungkin angka 85 adalah angka terakhir Kakek. Kakek harus membereskan semua ini."

Kakek memandangi tumpukan surat itu dengan sedih, seakan-akan surat-surat itu berada di sana karena kesalahannya.

"Kenapa sih, urusan mereka harus jadi urusan kita?" Aku benci situasi ini, karena setiap kali aku dan Kakek berdebat soal surat-surat, kami akan melakukannya selama berjam-jam. "Kita juga punya kehidupan. Yang bakal meninggalkan kehidupan seharusnya nggak jadi tanggung jawab kita. Mereka pernah hidup. Mereka pernah punya waktu buat nyelesaiin urusan-urusan mereka. Mereka saja yang membuang-buang waktu."

"Soal waktu, sebagian orang tidak seberuntung yang lainnya, Nak"

"Tapi, Kek ...."

"Makan malaaam!" teriak ayahku dari suatu tempat. Tampaknya Ayah sudah selesai memasak. Timing yang bagus.

Kakek masih menatapku. Dari caranya tersenyum, Kakek seperti sedang mengasihaniku. Padahal menurutku, Kakek-lah yang perlu dikasihani. Di usia delapan puluh empat jelang delapan puluh lima, seseorang seharusnya lebih sering mengobrol dengan cucu-cucunya di beranda. Menceritakan masa lalu di mana dia pernah begitu hidup dan gemilang sambil minum teh dan mengudap kue-kue lezat. Di akhir pekan, mereka akan berkendara untuk duduk-duduk di tepi danau, mengisi paru-paru dengan udara bersih sambil memancing dan memanggang ikan dan udang. Alih-alih, Kakek lebih suka membaca surat dari orang-orang yang kemungkinan besar akan berhenti hidup.

"Sampai ketemu di meja makan, Kek," ucapku.

Kakek melambai dengan riang sebelum mengenakan kacamata dan kembali menghadapi surat-suratnya.

***

Pesta ulang tahun Kakek jatuh di hari Kamis dua pekan lagi. Biasanya, kami selalu menyiapkannya sepekan sebelumnya, tetapi karena ini ulang tahun istimewa, kami mempersiapkannya dua pekan lebih awal. Jadi, hari ini aku akan berbelanja besar-besaran. Ayah sudah menuliskan daftar panjang barang-barang yang harus kubeli. Untuk itu, aku akan mendapat pinjaman mobil. Naka akan ikut denganku karena tahun lalu dia demam sehingga tidak bisa ikut berbelanja persiapan ulang tahun Kakek. Tahun ini, perayaannya cukup istimewa. Ayah akan mengambil cuti, dan aku juga Naka akan meminta izin sehari di sekolah untuk membolos. Untuk hal itu, Ayah yang akan mengurusnya.

Ayah menyerahkan kunci mobil kepadaku. "Ini ulang tahun ke-85," katanya, seakan-akan aku belum mengetahuinya. "Pokoknya harus dirayain sebeda mungkin."

"Jadi, Ayah juga mikir ini mungkin saja bakal jadi ulang tahun terakhirnya Kakek?"

Ayah melirikku tajam. "Yang sopan, Nak, kalau ngomong tentang kakekmu."

"Maaf, Yah."

"Kamu bilang 'Ayah juga'," ujar Ayah, menyipitkan mata ke arahku. "Jadi, ada siapa lagi yang mikir kalau ini bakal jadi ulang tahun terakhirnya Kakek? Kamu? Naka?"

"Jadi, Ayah beneran mikir begitu?"

"Kok, ayahnya nanya malah ditanya balik? Kamu kan, yang tadi bilang kalau Ayah mikir kayak gitu?" ucap Ayah, setengah berkelakar.

"Kakek bilang gitu ke Yoda semalam."

Raut wajah Ayah berubah serius. Dari balik jendela ruang makan, aku (dan tampaknya Ayah juga) mengamati Kakek yang membawa surat-surat beramplop warna-warni sebanyak satu pelukan. Ia tersenyum lebar-lebar kepada Naka yang membantunya membawa satu pelukan kecil surat-surat, seakan-akan kehadiran surat-surat itu merupakan berkat dari surga. Saat tersenyum, Kakek menampakkan sebaris gigi palsu yang putihnya keterlaluan. Ketika kukatakan hal itu kepada Naka suatu kali, adikku itu bilang, "Kalau Kakek sudah nggak ada, kita bakal kangen sama senyum gigi-palsu-berkilau-yang putihnya keterlaluan itu." Kadang kala, aku merasa Naka jauh lebih dewasa dariku.

Kotak surat aneh itu berukuran selazimnya kotak surat mana pun yang bisa ditemukan rumah-rumah biasa di pinggir kota. Namun, karena itu kotak surat yang tidak biasa, jadi daya tampungnya juga tidak terbayangkan. Surat-surat berdatangan seperti sungai mengalir, sehingga adakalanya, Kakek tidak bisa membaca keseluruhannya.

"Gimana nasib orang-orang yang suratnya nggak terbaca, Kek?" tanya Naka suatu kali.

"Surat-surat itu mungkin akan terbang menuju kotak surat lainnya," jelas Kakek.

Naka tampak puas dengan jawaban itu, tetapi kakekku mengerutkan kening dan terlihat agak sedih. Kurasa, Kakek tidak benar-benar yakin akan nasib surat-surat itu. Di masa depan, kalau aku, entah bagaimana menjadi sinting dan memutuskan untuk terlibat dalam urusan tidak masuk akal ini, Ayah akan menjadi tukang sortir, menggantikan Kakek. Sementara aku (mungkin juga Naka, jika melihat jiwa sosialnya yang tinggi) akan menjadi "penyampai pesan." Lalu ayahku akan hidup seperti Kakek, penuh kecemasan dan kesedihan untuk orang-orang yang bahkan tidak dikenalnya.

"Kakek bilang apa emangnya?"

Aku agak tersentak, dan buru-buru meraih gelas susu yang diulurkan Ayah. Aku menirukan ucapan Kakek semirip mungkin.

"Mungkin angka 85 adalah angka terakhir Kakek. Kakek harus membereskan semua ini. Gitu katanya."

Seketika wajah Ayah yang sudah murung sejak tadi, berubah menjadi semakin murung.

"Kakek juga bilang, nggak bisa ninggalin surat-surat itu begitu saja."

Ayah berupaya agar wajahnya kembali tampak netral, tetapi itu tidak cukup berhasil. Setelah menyeruput kopi hitamnya, Ayah berkata, "Yoda, ini bukan sekadar tradisi, Nak. Ini takdir keluarga Harsa. Begitu Kakek berhenti mengurusi surat-surat, Ayah akan sendirian. Karena itu Ayah butuh kamu."

Entah kenapa, perkataan Ayah membuatku marah sehingga ketika berbicara, nada suaraku mulai meninggi.

"Takdir, Yah? Konyol banget. Takdir macam apa yang harus kita pikul seumur hidup? Takdir seharusnya bisa berubah kalau diupayain, kan, Yah?"

Ayahku tidak jadi menyesap kopinya. Dia mendesah dan menatapku dengan wajah letih.

"Nggak semua takdir bisa diubah, Nak. Lagi pula, keluarga kita adalah yang terpilih. Menurut kamu, kenapa kotak surat itu adanya di rumah kita? Menurutmu, kenapa hanya keluarga kita yang bisa membaca surat-surat itu? Itu karena kita sudah terpilih untuk melakukan tugas itu, menyampaikan pesan orang-orang yang berada di ambang kematian."

"Tapi kenapa harus kita, Yah?"

"Karena emang seperti itulah takdir bekerja. Nggak selalu, hanya sesekali. Takdirlah yang memilih orang-orang. Ada saat-saat di mana orang-orang nggak bisa memilih takdirnya sendiri."

"Itu nggak adil."

Ketika ayahku terdiam, aku tahu bahwa aku benar. Takdir memang tidak adil. Manusia seharusnya punya kendali memilih takdirnya sendiri. Selalu. Bukan hanya sesekali.

Setelah terdiam lama dan amarah tidak lagi menggelegak di paru-paruku, aku pun berkata setenang mungkin, "Yoda mau jadi orang pertama di keluarga Harsa yang nggak ngurusin surat-surat. Yoda akan jadi dokter dan menyelamatkan orang-orang dari kematian. Biar mereka nyelesaiin urusannya sendiri-sendiri kalau mereka berhasil hidup. Yoda akan mengubah jalan hidup Yoda, Yah."

"Yoda ...."

"Yah, bisa nggak sih kita cuma saling melindungi aja? Ayah, aku, Naka, dan Kakek." Aku mendengar nada memelas dalam suaraku sendiri. "Bisa nggak sih, kita nggak sibuk memikirkan orang lain?"

Ayah menelengkan kepala. Aku menganggap itu berarti "tidak."

"Yoda, untuk sekarang mungkin akan sulit kamu pahami ini karena kamu masih terlalu muda. Mungkin butuh beberapa tahun lagi buat kamu untuk menyadari, kalau manusia, nggak bisa hidup sendirian. Nggak akan bisa, Nak."

Tentu saja aku tahu itu. Bayi mana pun bahkan akan memahaminya secara instingtif. Namun, karena aku mendadak kehabisan energi untuk mendebat ayahku, jadi aku mengangguk dan berkata, "Ayah benar, Yoda nggak paham soal itu. Nggak akan pernah."

Aku tidak jadi menghabiskan sarapanku. Kerongkonganku mendadak menolak apa pun. Kuletakkan gelasku begitu saja dan meninggalkan ayahku yang bergeming. Naka mengejarku dengan mulut dipenuhi makanan. Jejak susu menodai sudut-sudut mulutnya. Kuharap dia juga menghabiskan susu yang tadi kutinggalkan. Ketika berbalik, kulihat Ayah masih memandangiku. Sosoknya terbingkai jendela yang langsung menghadap ke halaman, meneguk kopi sendirian.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro