Kemalangan-Kemalangan Tak Terhindarkan dalam Hidup
Dengan kecelakaan yang menimpanya, peran ayahku sebagai juru masak keluarga secara otomatis beralih kepadaku. Malang bagi semua orang karena aku tidak berpengalaman soal dapur. Singkatnya, aku teramat payah. Aku butuh sekitar sepuluh jam untuk mencacah bawang (itu hiperbolis, tapi sekarang kau bisa membayangkan kelambananku).
"Naka bisa makan apa aja, kok, Kak. Sumpah!" kata adikku dengan nada sabar yang membuatku terharu. "Nasinya kayaknya bisa digoreng nggak ada bawangnya deh. Asal pakai telur, itu juga udah enak banget."
Aku menoleh ke arah jam dinding untuk memastikan kami dapat menyantap sarapan tepat waktu. Aku sudah berjanji pada Naka untuk memasak nasi goreng persis seperti yang selalu dimasak ayahku. Yang kumaksud bukan rasanya, melainkan bahan dan tahapan memasaknya (aku sudah mencatatnya semalam dari ayahku). Jadi, ketika aku bilang begitu pada adikku, pada dasarnya aku tidak terlalu membual.
Kakekku berlalu lalang dari dan ke kamar ayahku hanya agar dapat mengintip apa saja yang sedang kulakukan. Sejak tadi kakekku belum mendatangi kotak suratnya. Ajaib sekali. Padahal selama ini tidak pernah ada yang bisa mencegahnya dari mengecek kotak surat sepagi mungkin.
"Kakek mungkin bisa bantu sesuatu," katanya, setiap kali melintasi dapur. "Kakek dulu sering memasak untuk nenekmu."
Aku mengusap air mata setelah mencincang butir bawang terakhir. "Makasih, Kek. Yoda bisa, kok. Cuma butuh adaptasi. Tenang aja."
Adikku mendesah. Ketel di atas kompor sudah bersiul. "Biar Naka yang ngurus air panasnya," ucapnya.
"Jangan!" teriakku. "Biar Kakak aja. Bentar, bentar." Aku memotong sayuran sambil menoleh ke arah jam dinding dan aku berhasil mengiris tanganku.
Aku mengumpat, terkejut dengan rasa nyerinya. Sepertinya lukaku cukup dalam karena pisau kutekan cukup kuat saat memotong. Tak lama setelahnya, adikku ikut berteriak karena dia baru saja menumpahkan air mendidih ke tangannya sendiri. Tampaknya dia sedang mencoba menyeduh susu untuk kami berdua. Aku melompat menuju meja makan untuk memastikan Naka tidak melukai dirinya lebih dari yang sudah terjadi. Kesabaranku menyusut jauh di bawah titik nol. Mataku perih, tetapi kali ini bukan karena bawang merah.
"Kakak sudah bilang, Naka yang sabar, dong. Kakak bakal beresin semuanya, kok."
Aku tidak ingat kapan aku pernah mengomeli adikku dengan suara keras. Sepertinya tidak pernah. Aku selalu menganggap Naka benda keramat yang harus kujaga baik-baik melebihi apa pun. Aku tidak pernah meninggikan suara kepadanya bahkan jika dia membuat onar. Jadi, ketika adikku menangis tanpa suara, aku ingin menampar diriku sendiri.
Kugendong Naka dan membawanya ke bak cuci piring untuk mengguyur tangannya dengan air dingin.
"Sakit?" tanyaku dengan suara pelan. "Maafin Kakak, ya."
"Nggak sakit, kok," dia menahan isaknya. "Maafin Naka. Kalau jarinya Kak Yoda sakit, nggak?"
Aku baru merasakan nyeri di bekas sayatan lukaku ketika Naka menanyakannya. Darahnya menetes di bak cuci piring.
"Nggak sakit, kok. Lukanya kecil gini."
Setelah mengoleskan salep luka bakar ke punggung tangan Naka, aku menyelesaikan nasi goreng perdanaku yang payah. Semua orang menyantapnya dengan antusias. Rasanya berantakan. Telur setengah matangnya gagal, nugget-nya separuh gosong, dan sayurannya setengah mentah. Rasa asinnya tidak merata sehingga ada bagian yang terlalu asin atau terlalu hambar. Meski begitu, semua orang memujinya. Aku merasa semakin payah.
Karena luka Naka tampaknya tidak begitu parah, ayahku mengizinkannya bersekolah seperti biasa. Aku dan Naka meninggalkan rumah empat puluh sekian menit lebih lama dari biasanya. Ketika melewati garasi, kupandangi motor ringsek milik ayahku. Aku memikirkan berbagai skenario mengerikan yang mungkin dialami ayahku kemarin. Skenario ketiga, ayahku jujur, bahwa itu kecelakaan tunggal. Murni keteledorannya. Skenario kedua, seseorang memang menabraknya, tetapi itu murni kecerobohan si penabrak. Ayahku berbohong agar kami semua tidak terlalu khawatir. Skenario pertama, seseorang menabrak ayahku karena memang ingin mencelakainya. Entah kenapa, skenario pertama itulah yang paling sering muncul di benakku. Sialnya, aku tidak bisa membuktikannya.
Menjadi seorang Penyampai Pesan adalah pekerjaan berisiko. Tidak semua orang senang mendengar kabar buruk tentang orang-orang yang mereka cintai. Terlebih lagi, jika kabar buruk itu harus menyeret mereka ke dalam kabar buruk lainnya. Ayahku tidak pernah menceritakan apa-apa, tetapi aku tahu, beberapa orang pernah mencoba melakukan hal-hal jahat kepadanya karena surat-surat itu. Setiap kali mencoba mencari tahu detail peristiwanya, baik kakek maupun ayahku, akan mencoba menutup-nutupinya. Aku tidak akan terkejut kalau tiba-tiba ayahku mengaku bahwa seseorang sudah mencoba menabraknya kemarin.
Naka meniup-niup luka bakarnya dan aku mengekorinya sambil berharap luka itu berpindah ke tanganku secara ajaib. Kami berpapasan dengan kakekku yang membawa setumpuk surat. Ia tidak seceria biasanya, dan aku maklum. Dalam kurang dari dua puluh empat jam terakhir, kami telah ditimpa oleh sesuatu yang disebut kakekku sebagai kemalangan tak terhindarkan dalam hidup. Dan dengan segala kekacauan pagi ini, kemalangan itu baru saja naik level menjadi kemalangan-kemalangan. Kupikir, setelah ini, kemalangan-kemalangan itu akan menampakkan wujud-wujudnya yang lain, satu demi satu. Misalnya saja, kemalangan yang akan kujumpai karena misi penting tolol dari Arga. Omong-omong, aku belum memikirkan cara apa pun untuk membantu Arga mendekati Hara. Semalam kuhabiskan waktuku dengan memandangi ayahku di tempat tidurnya. Sekadar memastikan dia terus bernapas sampai pagi. Dan pagi ini kuhabiskan dengan ... kau tahu cerita lengkapnya. Jika nanti Arga menanyaiku tentang rencana yang kususun untuknya demi menarik perhatian Hara, tidak ada yang bisa kukatakan. Matilah aku!
Naka menghentikan langkah untuk menyapa kakekku. Aku berhenti untuk menunggunya. Mulai sekarang, aku akan menjadi pengawal Naka yang setia, pikirku.
"Kek, gimana nasib surat-surat ini sampai Ayah sembuh nanti?"
Kakekku tersenyum, tampak setegar biasanya. Aku memalingkan muka karena tidak sanggup melihatnya. Kupandangi kerikil yang menghampar di sepanjang jalan masuk menuju teras rumah kami sambil memikirkan ulang tahun kakekku yang ke-85 (entah dengan cara apa kami merayakannya nanti), masihkah kami merayakannya tahun depan?
"Kita akan tetap mengabulkan permintaan seperti biasanya. Tidak ada yang berubah."
"Tapi, siapa yang bakal nyampein pesan-pesannya?"
"Kakek, tentu saja," jawab kakekku tanpa ragu. "Siapa lagi?"
Aku terkesiap dan hatiku terasa sakit, tetapi aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin menguping. Aku tahu bagaimana akhir pembicaraan itu kalau aku sampai ikut nimbrung. Ayahku tidak akan menengahi kami karena dia sendiri tidak bisa menopang tubuhnya dengan benar sekarang.
"Kalau gitu, Naka yang bakal bantuin Kakek, biar Kakek nggak sendirian. Berdua kan lebih baik daripada sendirian."
Aku tidak tahan lagi. Pembicaraan ini penuh omong kosong. Adikku masih terlalu kecil untuk urusan sebesar itu. Lagi pula, si bayi Naka tidak tahu apa yang sedang dibicarakannya.
"Naka, kita udah telat sejam," tegurku.
Naka menyentuhkan puncak kepalanya di pergelangan tangan kakekku lalu meremasnya pelan sebagai ganti menyalami tangannya, begitu pun aku (sebab kedua tangan kakekku sedang sibuk memeluk surat-suratnya).
Kakekku mengantar kami dengan pandangannya. Aku memandanginya dari kaca spion motorku sampai sosoknya tidak lagi terlihat. Kubayangkan kakek dan adikku berjalan perlahan, menyusuri gang demi gang, bangunan demi bangunan. Sebelah tangan kakekku bertumpu pada tongkat, sementara tangannya yang lain menggandeng Naka. Bersama, mereka mencari sosok penerima pesan: orang-orang yang tertimpa kemalangan tak terhindarkan bernama kehilangan. Semua itu dilakukannya demi mengabulkan permohonan orang-orang yang tertimpa kemalangan tak terhindarkan bernama kematian yang begitu tiba-tiba.
***
Gerbang sekolah sudah ditutup begitu aku sampai. Pak Satpam Penjaga Gerbang menginterogasiku dari balik pintu besi ulir sebelum mengizinkanku masuk. Kukatakan padanya bahwa aku baru saja mengalami kekacauan besar bernama kemalangan tak terhindarkan dalam hidup. Pak Satpam Penjaga Gerbang menggeleng penuh simpati. Kepadaku dia berkata bahwa dia mengerti maksudku. Katanya, itu pastilah hal yang buruk sekali karena aku belum pernah melewatkan pelajaran Matematika sekali pun seumur kehidupan SMA-ku. Aku hanya mengangguk, mengucapkan terima kasih, lalu mendorong motorku melewati gerbang begitu dia membukanya.
Berhubung aku sudah melewatkan lebih dari separuh pelajaran Matematika, kuputuskan untuk tidak masuk sekalian. Aku menunggu kelas selanjutnya dengan menongkrong di teras laboratorium bahasa. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat kelas Penjaskes berlangsung. Tampaknya, olahraga pekan ini adalah atletik. Sekitar tiga puluhan anak berkumpul secara berkelompok di lapangan, bersiap menunggu instruksi guru Penjaskes. Jadwal kelas olahragaku adalah besok, dan aku bertanya-tanya, apa aku akan datang terlambat lagi. Bagaimanapun keadaannya nanti, Naka akan kularang keras masuk dapur.
Aku menjatuhkan kunci motorku ke lantai begitu melihat Hara berada di antara anak-anak yang sedang bersiap melakukan lari jarak menengah. Selama beberapa saat wajahnya tampak serius, menatap jauh ke depan selagi mengambil sikap awal. Anehnya, akulah yang merasa gugup.
Begitu peluit panjang berbunyi, Hara melesat bagai peluru. Sebelum ini, aku tidak pernah tahu jika dia pelari yang baik. Rambutnya yang dikucir gaya ekor kuda berayun ke sana kemari. Ketika dia melewati gedung laboratorium bahasa, aku melihat wajahnya yang tersenyum lepas. Kupikir, itulah kali pertama aku melihatnya begitu bahagia, seolah dia baru saja terbebas dari sesuatu yang mengerikan. Hara tidak tampak atletis, tetapi dia tiba lebih dulu di garis akhir. Teman-teman ceweknya memberinya high five dan dia menyambutnya dengan gembira. Saat itulah aku sadar bahwa sejak tadi aku ikut tertawa senang.
Ketika Hara merapikan anak-anak rambutnya yang lepas dari kuciran, aku terpikir untuk membelikan minuman dingin untuknya. Tiba-tiba saja aku tahu bagaimana harus menjawab Arga, jika dia bertanya tentang rencanaku memulai misi darinya.
Mengabaikan teman-teman sekelas Hara yang tengah mengompres wajah dengan botol air dingin, kuhampiri Hara yang sedang mengencangkan tali sepatu. Aku berjongkok di sampingnya. Dia menatapku agak lama ketika sebotol minuman berenergi kuulurkan ke arahnya. Hara lantas tersenyum, menerima botol minuman sambil menatapku. Dibukanya botol itu dengan cepat, lalu meneguk isinya sampai tandas.
"Makasih, ya."
Aku mengangguk. Tepat saat itulah kulihat Arga di kejauhan. Aku menelan ludah. Bel pergantian kelas berbunyi.
"Itu dari Arga," kataku terburu-buru.
Hara berdiri dan aku mengikutinya. Wajahnya seketika berubah. Keramahannya lenyap begitu saja.
"Kamu patuh banget ya, sama Arga," katanya. "Kalau dia nyuruh kamu mengeringkan Danau Kacawarna, kamu mau juga?"
Danau Kacawarna adalah danau buatan yang dibangun tak jauh dari rumah kami. Salah satu proyek ambisius pemerintah kota untuk menciptakan ruang terbuka hijau sebanyak mungkin. Aku bertemu Hara di danau itu beberapa kali, saat kami berpiknik dengan keluarga masing-masing.
Dari balik pundak Hara, aku bisa melihat Arga dan gengnya mengawasiku dari laboratorium bahasa.
"Arga nggak mungkin nyuruh kayak gitu," ucapku, agak terlalu pelan. "Dia nggak suka danau."
Aku menyesali kalimat bodoh yang kulontarkan, meski itu benar adanya. Teman-teman cewek Hara mengelilingiku dan untuk sesaat aku merasa akan dikeroyok. Namun, mereka hanya ingin menyeret Hara pergi. Arga berlari-lari kecil menuju lapangan olahraga, diikuti oleh teman-temannya.
"Gimana?" tanya Arga.
Aku mengangkat bahu. "Kayaknya dia kesal."
"Emang lo habis ngapain tadi?"
"Ngasih ini." Kuacungkan botol minuman berenergi kosong di depan hidung Arga. Kuputuskan untuk tidak membahas soal danau.
"Kasih bunga aja udah," ucap Nolan, salah satu teman Arga yang paling banyak bicara.
"Betul, Ga," sahut Jeje, temannya yang lain. "Cewek mana sih yang nggak meleleh kalau dikasih bunga?"
Tapi Hara kan bukan lilin, pikirku.
Arga menatapku, menungguku mengucapkan sesuatu. Satu-satunya yang ingin kuucapkan kepadanya adalah saran agar dia berhenti mendekati Hara.
"Bunga terlalu biasa nggak, sih?" Arga meminta pendapatku.
Aku mengiakan saja, karena kupikir, itulah yang ingin Arga dengar.
"Lo nggak punya ide lain, apa? Apa lagi yang Hara suka?" Arga bertolak pinggang, terlihat tidak sabar. "Lo kan tetangganya, lo pasti tahu banyak soal dia."
Salah satu tabiat menyebalkan Arga adalah, dia tidak pernah percaya kalau aku bilang, "nggak tahu". Karena tidak punya pilihan, dengan terpaksa kukatakan pada Arga, "Hara suka ngelukis. Dia mungkin bakal senang kalau dikasih alat lukis."
Arga menjentikkan jari lalu mengarahkan dua telunjuk ke arahku, seperti selebrasinya ketika mencetak angka di lapangan basket. "Lo emang jenius!"
Dia mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. Diserahkannya berlembar-lembar uang seratus ribuan. "Nanti, pas pulang sekolah, lo cari alat lukis itu. Bungkus yang cakep, jangan lupa tulis di kartu ucapan, kata-kata manis apa pun deh. Puisi atau apalah, gitu. Jangan lupa juga cantumin nama gue." Arga mengedipkan sebelah mata sebelum kembali ke kelasnya.
Aku melangkah kembali ke kelasku sambil menyesali kata-kataku. Kuingat-ingat lagi ekspresi jengkel Hara saat meninggalkanku di lapangan olahraga tadi. Setelah ini, dia akan semakin membenciku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro