Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kali Ini Sinting Betulan

Adikku tidak pernah main-main dengan ucapannya meskipun dia belum bisa berpikir dengan jernih. Kepada ayahku, diutarakannya rencana untuk menemani kakekku menyampaikan pesan dari Pengirim besok. Ayahku terbatuk sambil meringis (karena setiap gerakan mendadak atau refleks tubuhnya akan menimbulkan rasa sakit).

"Naka nggak boleh ke mana-mana," tegasnya. "Temani Ayah aja di rumah. Ayah mungkin harus pipis di pispot. Ayah nggak bisa sendirian."

Aku lega mendengar ayahku tidak memberi izin kepada adikku. Ketika kulirik Naka, dia menyeka wajah ayahku begitu perlahan, begitu penuh kasih sayang, meski wajahnya murung. Biarpun Naka memiliki antusiasme yang aneh dan inisiatif mencengangkan yang berhubungan dengan orang lain, pada dasarnya dia anak yang patuh.

Kuseka sisi tubuh ayahku yang dipenuhi lebam dengan handuk panas selagi dia mengaduh.

"Jadi, Kakek bakal sendirian?" tanyaku, seakan-akan kepada diriku sendiri.

"Mau gimana lagi? Kamu kan nggak mau gantiin Ayah. Kamu kan nggak mau berurusan dengan kotak surat konyol itu." Dengan suaranya yang pelan, ayahku menekankan setiap kata dalam kalimat terakhirnya untuk mengejekku.

Aku tidak menanggapi perkataan ayahku. Kabel-kabel dalam kepalaku sedang kusut masai. Keputusan bahwa kakekkulah yang akan menangani semua surat itu sendirian membuatku khawatir. Rasa khawatir itu terasa seperti digelitik paku di seluruh tubuh.

"Kapan hasil CT Scan Ayah keluar?" tanyaku, mengusir jauh-jauh topik horor soal kotak surat. Aku tidak ingin memikirkannya lama-lama. Bisa-bisa aku jadi sinting lalu berubah pikiran.

"Kalau nggak besok, sepertinya lusa. Ayah nunggu teleponnya Om Heri."

Om Heri adalah sahabat ayahku sejak remaja. Persahabatan mereka bertahan lama bahkan ketika mereka jatuh cinta kepada gadis yang sama. Gadis itu pada akhirnya menjadi ibuku. Om Heri kemudian menikah dengan Tante Mira, rekannya sesama dokter. Om Heri adalah dokter spesialis anestesi, sedangkan Tante Mira adalah dokter spesialis anak. Meski bidang spesialisasi keduanya tidak berhubungan dengan kasus patah tulang ayahku, tetapi mereka menggunakan segala privilese yang mereka miliki di rumah sakit untuk memudahkan ayahku menjalani pemeriksaan dan segalanya. Mereka jugalah yang mengupayakan agar ayahku tidak perlu dirawat di rumah sakit. Bukannya ayahku tidak punya uang. Ayahku hanya tidak ingin membuat kami kesulitan karena harus mengurusinya di rumah sakit.

Setelah tubuh ayahku selesai kubersihkan, Naka bergelung di sampingnya seperti bayi yang hendak menyusu. Dia berhati-hati agar tidak sampai menyentuh bagian kulit ayahku yang biru keunguan. Ayahku tampak ea r. Gerakan sekecil apa pun mambuatnya kelelahan. Namun, kepada Naka, dia selalu menunjukkan wajah seorang ibu. Sebenarnya, dia juga menunjukkan itu kepadaku. Selalu. Hanya saja, aku tidak ingin dia sadar bahwa aku menyadarinya. Ayahku seharusnya hanya menunjukkan raut muka seorang ayah. Raut wajah ibu sudah lama hilang dari rumah kami. Aku tidak ingin berusaha keras menggantikannya dengan cara apa pun karena rasanya amat tidak tertahankan.

Selagi membereskan ea ra air panas dan handuk, kudengar bisikan adikku yang setengah merengek, meminta ayahku mengubah keputusannya. Kupel lantai yang menyisakan genangan air. Aku sengaja berlama-lama agar bisa menguping.

"Kasihan Kakek, Yah," adikku mencicit. Gaya khas Naka jika sedang teramat sangat menginginkan sesuatu. "Kakek kalau jalan kan udah kayak kapal yang miring ke kiri miring ke kanan. Gimana kalau Kakek jatuh di jalan?"

Adikku pasti tidak sadar, andaipun dia diizinkan menemani kakekku, dia juga bisa jatuh di jalan. Dia hanya akan merepotkan kakekku saja.

"Naka nggak mau Kakek kenapa-napa juga kayak Ayah. Hati Naka sekarang rasanya kayak ranting kayu yang lagi dipatah-patahin."

Aku mendengar ayahku mendesah berat. Tampaknya ini pembicaraan yang serius. Adikku tidak pernah memohon begitu gigih karena menginginkan sesuatu. Dia selalu mendapatkan segalanya tanpa memohon. Seingatku, Naka tidak pernah benar-benar menginginkan sesuatu untuk dirinya sendiri. Dia hanya menginginkan sesuatu jika itu menyangkut orang lain. Semua mainan yang dimilikinya adalah hadiah dari ayahku atau kakekku atau aku, yang tidak pernah dimintanya. Dia akan menerima semua pemberian dengan senang hati. Dia mengenakan pakaian apa pun yang kami pilihkan untuknya. Apa pun yang menjadi makanan favorit kami akan menjadi makanan favoritnya juga. Sejujurnya, ea rah khawatir kepadanya.

Sebelum meninggalkan kamar ayahku, kulihat adikku menangis tanpa suara. Dia menyembunyikan wajahnya di samping lengan ayahku, lalu menutupnya dengan sebelah tangannya yang melepuh. Ayahku menatap langit-langit, menepuk-nepuk kaki adikku dengan sisa-sisa kekuatannya.

***

Malam ini aku berhasil memasak makan malam kami tanpa membuat mataku buta akibat percikan minyak panas. Rasa masakanku lebih parah dari sarapan pagi tadi, tetapi hanya itulah yang bisa kami makan. Aku tidak akan menceritakan detailnya karena aku sangat malu. Semua orang tetap memuji masakanku dan aku ingin melemparkan wajahku ke dalam lemari lalu menguncinya dari luar. Ayahku berjanji, aku hanya perlu memasak satu sarapan lagi dan tugas dapur akan diambil alih oleh seorang asisten rumah tangga.

Selepas membereskan kekacauan yang kubuat di dapur, aku tidak punya tenaga lagi untuk belajar. Sebagai gantinya, aku menonton Geographic Channel yang menayangkan binatang buas liar di sebuah padang rumput Afrika. Mereka sedang asyik bersantai dalam gerombolan. Sementara itu, seorang kru dengan nyali yang tidak terbayangkan mengambil gambar dari balik rerumputan. Beberapa ekor singa tampak berlalu-lalang di bawah sebatang pohon sosis. Pohon sosis membuatku membayangkan pohon nugget, pohon ayam goreng, dan pohon makanan lainnya, yang mungkin bisa membantu orang-orang sepertiku agar tidak perlu memasak. Sayangnya, itu bukan pohon sosis seperti yang kubayangkan. Itu pohon buah beracun yang kebetulan bentuk buahnya mirip sosis. Mereka seharusnya menamai pohon itu "pohon-buah-beracun-mirip-sosis", bukannya "pohon sosis".

Aku melirik ke arah pintu ruang surat yang selalu dibiarkan terbuka. Dari tempatku duduk, aku bisa dengan leluasa memandangi kakekku yang tengah memeriksa surat-surat. Kacamata melorot ke hidungnya ketika dia membaca dengan fokus penuh. Di sisi kirinya, surat-surat yang tidak akan dikabulkan tertumpuk rapi. Kakekku selalu memperlakukan setiap surat dengan penuh hormat. Mungkin itu bagian dari tatakrama menangani surat-surat. Seandainya saja kotak surat itu bisa memberiku keajaiban untuk memasuki pikiran kakekku, aku akan memuja kotak surat itu habis-habisan. Aku sungguh ingin berenang di dalam benak kakekku: membaca setiap keinginan, niat, dan pemahamannya akan segala sesuatu, termasuk surat-surat itu.

Yang kudengar dari Naka (karena dialah yang mengiringi kakekku mengumpulkan surat-surat setiap pagi, dan kerap menemaninya membaca di ruang surat), surat-surat itu tidak tampak berbeda dari surat biasa. Dengan kertas yang tampak nyata dan tulisan tangan yang dimiliki para pengirimnya. Soal apakah surat-surat itu dituliskan oleh para pengirimnya sendiri dan bagaimana cara mereka menuliskannya (apakah mereka memiliki pulpen ajaib di Gerbang Antara atau bagaimana), aku tidak tahu. Adikku tidak pernah menanyakannya kepada kakekku. Kukira, adikku hanya tertarik pada gambaran besarnya: surat-surat itu terkirim ke kotak surat kami, berasal dari orang-orang yang sedang kebingungan di garis yang memisahkan kehidupan dan kematian. Itu pastilah terdengar luar biasa keren untuk anak umur sepuluh tahun seperti Naka. Aku sendiri tidak pernah (lagi) menanyakannya kepada kakek maupun ayahku, karena aku tidak (lagi) berminat menjadi Penyampai Pesan.

Dulu sekali, ketika ibuku masih ada dan kehidupan kami masih senormal kehidupan beratus-ratus juta keluarga lainnya di planet ini (kecuali keberadaan kotak surat itu), aku pernah begitu terobsesi dengan surat-surat itu. Sepulang sekolah, aku akan duduk di depan pintu ruang surat, menunggui kakekku dan mencari tahu surat macam apa yang akan diberikannya kepada ayahku keesokan harinya. Di sore harinya, aku akan menunggu ayahku di depan gerbang boxwood untuk mendengar cerita bahagia yang dibawanya.

Aku paling suka ketika ayahku berkata, "Istri lelaki itu menangis, tapi sambil tersenyum. Mereka akan punya bayi." Atau "Orang tua gadis malang itu berterima kasih karena mereka bisa dengar kata-kata terakhir dari anak semata wayangnya." Aku akan kesal setengah mati jika ayahku berkata, "Mereka nggak percaya kalau ayah mereka menitipkan wasiat sama Ayah. Mereka pikir, Ayah bakal minta bagian juga." Atau "Mereka kira Ayah ini penipu."

Saat itu, ibuku tidak mengizinkanku memasuki ruang surat atau mencari tahu terlalu banyak. "Akan tiba saatnya, Nak. Tapi nanti, bukan sekarang." Begitu ibuku selalu berkata.

Saat itu, aku begitu yakin, aku akan mendewasa seperti ayahku. Menjadi pegawai kantoran kecil biasa atau pekerja kerah biru dengan pendapatan bulanan seadanya, tetapi menjalani hidup penuh martabat sebagai Penyampai Pesan yang budi baiknya tak bisa dibeli pakai apa pun. Namun, segala hal dalam hidupmu pasti berubah. Dan perubahan itu akan selalu berlawanan dengan harapan dan kehendakmu. Ketika umurku tujuh tahun, kami mendapatkan bayi Naka, dan sebagai bayarannya, aku kehilangan ibuku. Aku pun mulai membenci kotak surat itu.

***

Aku terbangun di sofa ruang keluarga, dengan selimutku membungkus tubuhku. Naka baru saja keluar dari kamar ayahku. Tampaknya, semalam dia tertidur di sana. Matanya sembap dan bahunya merosot. Dia pasti sudah gagal meyakinkan ayahku. Naka memengucapkan selamat pagi kepadaku sambil tersenyum sedih.

Kakekku berada di dapur dan mengucapkan selamat pagi dengan riang ketika aku menghampirinya.

"Ini tugas Yoda, Kek," kataku, menahan kuap.

"Ini jadi tugas Kakek sekarang."

"Tugas Kakek kan ngurusin surat-surat." Aku mengucapkannya dengan serius. Sungguh! Aku tidak memaksudkan kalimat itu sebagai sindiran, tapi aku menyesal sudah mengatakannya. Seakan-akan kakekku tidak pernah melakukan hal yang lainnya. Sejak ayahku harus berbaring di tempat tidur sepanjang hari, kakekkulah yang mengurusnya ketika aku dan Naka berada di sekolah.

"Gimana kalau sekarang kamu gantiin Kakek sebentar, ngambilin surat-surat?" pinta kakekku. Kepalaku seperti baru saja dihantam pakai penggorengan. Permintaan itu terdengar sangat normal. Mirip seperti, "Tolong ambilin botol saus tomatnya untuk Kakek."

Aku menelan ludah. Kulirik adikku yang sedang menuang air di gelas. Tubuhnya membeku ketika dia melirikku dengan raut tegang. Dia pasti mengira aku akan bertengkar dnegan kakekku lagi. Di saat-saat seperti ini, tugas Naka-lah untuk menawarkan diri menggantikanku. Namun, kali ini dia diam saja. Alih-alih, dia meminum airnya tanpa melepaskan pandangan dariku.

Aku mengerjap berkali-kali untuk mencerna situasi ganjil ini. Di hari-hari biasa, aku akan menolak permintaan itu dengan tegas. Namun, kami sedang menjalani hari-hari yang tidak biasa. Ayahku terbaring di tempat tidurnya dengan sekujur tubuh membiru dan kakekku sedang memasak sarapan untuk kami semua. Tangan adikku melepuh, dan aku satu-satunya yang menganggur dan paling baik-baik saja di sini. Jadi, kalau ada yang harus mengambil surat-surat, tentu saja orang itu adalah aku.

"Oke," kataku akhirnya. Kata itu terasa seperti duri di lidahku.

Ketika berjalan menuju pintu depan, aku merasa seperti baru saja dilontarkan ke dimensi tanpa gravitasi. Aku harus bertumpu pada benda apa pun yang kutemui—dinding, pintu, bufet, apa pun—agar tubuhku tidak melayang di luar kendali. Aku menunggu Naka memanggilku untuk menawarkan bantuan, tapi penantianku sia-sia. Ketika menoleh ke arah dapur, kulihat kepala adikku menyembul dari balik pintunya, memandangiku dengan waswas. Aku berharap dia mencegahku, tetapi itu tidak terjadi.

Aku berjalan keluar pintu dan udara pagi terasa begitu berat. Dengan susah payah, kuseret langkahku yang seakan dilem ke tanah. Kotak surat itu tersembunyi di pagar tanaman boxwood. Cat merahnya mulai mengelupas di beberapa bagian, digantikan karat. Kusibak daun-daun tanaman boxwood agar dapat membuka pintu kotak surat. Perasaan menggelitik yang aneh menyerbuku lagi. Aku pasti baru saja menjadi sinting. Kuyakinkan diriku, ini hanya bantuan kecil, seperti mengambilkan botol kecap dari rak dapur untuk kakekku.

Ketika pintu kotak surat terbuka, kutemukan setidaknya ratusan amplop warna warni menyesaki kotak sempit itu. Mereka tidak tampak istimewa seperti yang selalu kubayangkan tentang bentuk surat-surat gaib. Tidak ada nama pengirim atau nama penerima yang dituju tertera di sana. Rasa ingin tahu menjalar di tengkukku seperti kobaran api. Apa yang akan terjadi kalau surat itu kubaca?

"Hanya keturunan keluarga Harsa yang bisa membaca surat-surat itu," kata ibuku dulu. Suaranya selembut dan sehangat selimut.

"Gimana kalau suratnya dibaca orang lain?"

Ibuku tersenyum. Kalau kuingat-ingat lagi, senyuman ibuku bisa mengobati luka-luka. Andai saja ibuku masih ada, ayahku pasti akan cepat sembuh.

"Surat-surat itu hanya kertas biasa yang nggak ada isinya," jelas ibuku.

"Ibu bisa baca surat-surat itu juga, nggak? Ibu kan udah jadi keluarga Harsa."

Ibuku menggeleng selagi mengeratkan pelukan di tubuhku. "Ibu bukan keturunan keluarga Harsa, Sayang. Hanya saudara-saudaranya Ayah yang bisa membaca surat-surat itu. Sayangnya, Ayah nggak punya saudara." Saat mengucapkan itu, keturunan keluarga Harsa keempat yang tersisa sedang tumbuh di dalam perut ibuku.

Secara impulsif kuraih selembar amplop abu-abu, yang tampak paling tidak menarik di antara tumpukan amplop.

Jangan, Yoda!

Kulepaskan segel di mulut amplop, mendiamkannya sebentar, merasakan kobaran api menghanguskan tengkukku.

Udah sinting ya, lo? Yoda? Malaikat mungil di kepalaku mulai berteriak.

Lembaran surat menyembul begitu amplop terbuka.

YODA!

Kau pernah dengar pepatah yang bilang, rasa penasaran (akan) membunuh seekor kucing? Aku akan mengeong sekarang.

Kukeluarkan surat itu lalu mengurai lipatannya.

Oke. Aku sudah benar-benar sinting, kurasa.

Kali ini sinting betulan. 

Lanjutan cerita ini bisa dibaca di aplikasi Rakata 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro