Kacung Sang Kapten
"Argaaa! Omaigattt! Cakep banget sih jodoh orang!"
Aku menekankan kedua tangan ke kuping kuat-kuat. Namun, cewek-cewek itu benar-benar seperti baru saja menelan baterai. Energi mereka berlipat-lipat, dan kurasa, mereka sanggup berteriak sampai besok pagi tanpa mengalami dehidrasi. Setelah berupaya sekuat tenaga menekan telinga untuk meredam suara bising di sekitarku, aku menyerah. Bisa-bisa aku merusak telingaku sendiri.
"Tuhaaan! Arga keringatannya aja kok cakep gitu?" teriak seseorang
"Sisain satu yang kayak dia ya Allah! Tuhaaan, biarin Arga jadi jodoh hamba!!!" teriak yang lainnya.
Sudah terlambat untuk pindah bangku. Saat musim pertandingan, tribun gedung olahraga SMA Nusa Dharma selalu penuh. Sebagian penontonnya adalah cewek-cewek yang tidak mengerti basket tetapi tergila-gila pada Arga atau cowok mana pun yang mereka anggap keren dan sebagainya. Aku dan cowok-cowok malang lainnya adalah kelompok minoritas yang hanya bisa menutup kuping atau memelotot sambil berharap mata kami copot betulan agar cewek-cewek itu berlari keluar tribun. Kehebohan mereka benar-benar tidak tertahankan. Tapi aku tahu, Arga (dan mungkin pemain lainnya juga. Entahlah. Aku bukan cenayang) amat menyukai teriakan-teriakan itu. Arga memiliki semacam rasa dahaga yang berlebihan akan euforia yang menjadikannya objek. Singkatnya, dia senang digilai.
Tahun ini, sekolah kami menjadi tuan rumah kejuaraan basket antarsekolah se-Jakarta Timur. Tribun gedung olahraga dipadati penonton dan seribu kali lebih berisik. Bangku-bangku tidak saja diisi cewek-cewek Nusa Dharma yang terkenal berisik se-Jakarta Timur melainkan juga pendukung SMA lain yang ternyata, tidak kalah berisik. Tim basket Nusa Dharma adalah salah satu tim terkuat dan sangat populer di kalangan SMA se-Jakarta Timur. Meski tidak pernah menjadi finalis di kejuaraan tingkat SMA se-DKI Jakarta, tetapi sebagian besar anggota tim basket kami pernah bermain di kejuaraan nasional tingkat junior. Karena itulah, setiap kali tim kami bertanding, orang-orang yang menonton selalu merasa perlu untuk berteriak keras-keras.
Arga menerima sebuah overhead pass dengan mantap. Dia berlari secepat mungkin, menerobos pemain tim lawan yang mencoba menghalanginya. Jika bola sudah di tangannya, hampir mustahil bola itu bisa direbut. Dan jika Arga melemparkannya ke ring, kecil kemungkinan bola itu meleset.
Arga berlari mendekati ring tetapi gagal menembus pertahanan tim lawan yang begitu rapat. Tim basket SMA Mandala Bakti memang selalu menjadi saingan berat tim basket kami. Kapten tim Mandala Bakti, Darel, adalah musuh bebuyutan Arga sejak lama. Pertandingan ini bukan sekadar adu keahlian antara dua sekolah yang memperebutkan gelar juara, melainkan juga duel harga diri antara dua kapten.
Arga tidak punya banyak waktu. Dia harus menembakkan bola sekarang atau kami tertinggal satu poin. Tidak ada cara lain, Arga melompat di garis penalti, lalu menembakkan bola dengan anggun ke ring. Dua poin! Seketika gedung olahraga membahana oleh sorak-sorai. Pekikan cewek-cewek di sekelilingku membuatku hampir gegar otak (kurasa). Tetapi kemudian, aku sendiri ikut meninju-ninju udara, tidak sanggup menutup-nutupi rasa senang karena tim kami memenangkan pertandingan. Peluit panjang berbunyi. Pertandingan berakhir dengan skor 63 – 61 untuk kemenangan tim basket SMA Nusa Dharma.
Sebenarnya, aku berharap agar poin penutup dihasilkan oleh pemain lain, siapa pun selain Arga. Tapi setelah kupikirkan lagi, memangnya siapa lagi yang bisa menutup pertandingan ini dengan begitu luar biasa jika bukan dia? Dan meski tidak siap, aku tidak bisa mengelak dari hari-hari penuh cerita sombong Arga akan hasil pertandingan final hari ini. Juga, tentu saja, bahwa dialah MVP-nya, sang kapten tim basket SMA Nusa Dharma. Mulai sekarang, aku akan menyiapkan diri untuk menyanjungnya habis-habisan sambil menahan muak. Janji!
Arga dan seluruh pemain tim berselebrasi di lapangan. Arga memulainya dengan berlari mengelilingi lapangan sambil merentangkan tangan dan mengayun-ayunkannya. Merayu para penonton untuk memberinya sorakan yang bisingnya berkali-kali lipat. Pemain lain mengikut di belakangnya, bermandi keringat tetapi tampak luar biasa puas. Sebelum kebisingan luar biasa itu berakhir, seluruh pemain mengarak Arga keliling lapangan bak raja. Arga melambai-lambaikan tangan penuh gaya sambil mengangkat piala kemenangannya tinggi-tinggi. Sementara itu, tim basket Mandala Bhakti masih berkerumun di pinggir lapangan, mengutuk ketidakberuntungannya sambil menatap tidak puas ke arah Arga. Bagaimanapun, mereka hampir menang.
Ketika aku menemui Arga dan yang lainnya di tengah lapangan, gedung olahraga sudah nyaris kosong. Hanya ada Arga dan timnya serta panitia pertandingan.
"Lihat tembakan penutup gue tadi, nggak, Jenius?"
Buru-buru aku mengangguk. "Keren, Bro."
Arga mengangguk, seolah berkata, "tentu saja."
Ketika dia menggerakkan telunjuk ke arah kardus air mineral, seketika itu pula Jo berlari menghampiri kardus itu dan membawakan sebotol air mineral untuk Arga. Jo adalah adik kelas kami yang bagiku, tampak seperti ekor Arga (andai saja Arga adalah hewan langka berekor). Jo bertubuh tegap dan sedikit lebih tinggi dariku, meski dia baru kelas satu. Kalau soal nyali, kami sebelas-dua belas. Jo anak manis penurut, karena itulah Arga menyukainya. Kalau saja Jo tidak ada di sini, akulah yang akan berlari-lari membawakan air minum dan handuk tambahan untuk semua orang.
"Jo, dari satu sampai sepuluh, nilai tembakan akhir gue tadi dapet berapa?"
Tidak butuh lama bagi Jo untuk menjawab, "Dua belas, Kak."
Itu jawaban yang bagus. Jenis yang akan disukai Arga. Jo mengucapkannya dengan mantap, nyaris tanpa berpikir, seolah sudah melatihnya selama seminggu.
"Sir Jenius?"
Aku tergeragap sebelum akhirnya menyadari bahwa Arga sedang menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku.
"Infinite," kataku. Kuharap itu terdengar ikhlas dan sungguh-sungguh.
Arga mendongak, dan untuk sekilas, kukira dia sedang tersinggung. "Itu maksudnya tak hingga?"
Aku mengangguk. "Tembakan penentu kemenangan itu ... nggak ternilai."
Arga tersenyum puas. Meski tadinya aku berharap bisa mengatakan hal-hal yang menyakitkan hatinya, melihatnya mengangguk membuatku lega. Kami menghabiskan waktu selama beberapa saat lagi di gedung olahraga. Mendengarkan Arga menyombong, dan sesekali menimpalinya dengan sanjungan yang dibuat-buat. Aku sendiri hampir tidak mengatakan apa-apa, selain, "betul banget" atau "bener banget." Sesuatu yang membuatku tidak perlu terlalu berbohong.
"Besok ada pe-er apa?" tanya Arga ketika kami akhirnya meninggalkan gedung olahraga. Dia berjalan di sampingku, merangkul pundakku. Tas olahraganya tersampir di pundakku yang satu lagi. Seharusnya itu tugas Jo, tetapi karena Arga sedang berbahagia, dia dengan sukacita "meminjamkan" Jo kepada semua orang. Anak malang itu sekarang sedang memanggul tas olahraga milik hampir semua orang, kecuali milik Agri. Agri adalah satu-satunya anggota tim basket yang rendah hati dan tahu caranya memperlakukan orang lain dengan manusiawi. Diam-diam, aku selalu berharap, kelak Agri akan menggantikan Arga sebagai kapten tim. Namun, itu agak mustahil. Arga tidak menjadi kapten basket semata karena kualitas permainannya.
Di Nusa Dharma, anak-anak "orang berpengaruh" di kota ini secara otomatis memiliki privilese. Jika kau anak pegawai tinggi kantor X dan kau anggota OSIS, kau punya peluang besar jadi ketua OSIS. Tergantung anak pegawai tinggi mana yang kau hadapi di pencalonan pengurus OSIS. Kalau pangkat ayahmu tidak lebih tinggi dari pangkat ayahnya, berhentilah bermimpi yang muluk-muluk!
"Kimia, Matematika, Fisika," jawabku.
Arga bersiul. "Keahlian lo banget, Bro."
Aku ingin membantah. Memiliki nilai bagus di pelajaran itu bukan berarti aku ahli. Aku hanya sedikit lebih keras kepada diriku sendiri untuk memahaminya dengan lebih baik. Tetapi itu percuma saja. Arga tidak suka dibantah. Akhirnya, aku hanya mengangguk.
Bagi anak SMA yang ayahnya bukan pegawai tinggi, hanya ada satu saran yang bisa kuterima: bertemanlah dengan anak-anak pegawai tinggi. Jika tidak bisa, paling tidak, buat mereka menyukaimu.
"Punya gue jangan lupa!" Arga mengucapkan itu sambil tertawa ringan. "Ingat, jangan terlalu sempurna."
"Oke."
Arga mengeratkan cengkeramannya di bahuku, dan untuk kali kira-kira kesejuta kalinya dalam karierku sebagai kacungnya, menepuk-nepuk pundakku.
SMA adalah konstelasi dengan hierarki pelik yang dihuni kelas penguasa seperti Arga, dan kelas pecundang sepertiku. Kami berebut tempat untuk terlihat dengan tujuan yang terlalu senjang, di mana Arga ingin terlihat cakap dan berkuasa, sementara aku cuma ingin terlihat oleh Arga dan gengnya agar tidak sampai terinjak. Satu-satunya aturan main yang kuketahui tentang menghadapi situasi semacam ini adalah cukup mengangguk di hadapan Arga dan katakan "oke."
"Omong-omong, besok gue ada misi penting baru buat lo, Jenius," ucap Arga setelah beberapa saat kami terdiam.
Aku tidak memperhatikan bahwa saat mengatakan itu, dia sedang mengamati seorang gadis yang juga sedang kuamati. Aku baru mengetahui itu keesokan harinya.
Gadis itu bernama Hara. Aku mengenalnya sejak kecil. Meski begitu, kami tidak berteman. Hara menatap ke arahku tepat ketika Arga sedang menepuk-nepuk kepalaku layaknya anak baik-baik yang sedang mengasuh anak anjingnya. Aku menatap Arga, berharap dia berhenti menganggapku anak anjingnya, tetapi dia sedang tersenyum sambil menatap ke kejauhan. Aku tidak tahu kepada apa atau siapa dia tersenyum. Aku baru mengetahui itu keesokan harinya. Oh ya, tadi aku sudah mengatakan itu.
"Misi penting baru apa?" tanyaku.
Hara sedang menunggu antrean kendaraan dengan sabar. Dia menghentikan motornya di tepi jalur lalu lintas gedung olahraga yang dipadati kendaraan. Aku bertanya-tanya, apa tadi dia benar-benar melihatku? Kalau benar, memalukan sekali.
"Lihat aja besok," sahut Arga, masih dengan senyum ganjilnya yang mengarah di kejauhan.
Entah kenapa, aku dihampiri firasat buruk. Arga tidak pernah memiliki hal penting kecuali yang berhubungan dengan basket dan menghajar orang. Jadi, misi penting baru ini membuatku agak khawatir. Aku sungguh berharap, itu bukan misi yang aneh-aneh.
Arga meraih tasnya dari pundakku dan melambaikan tangan sebelum menuju area parkir mobil.
"Pe-er!" katanya, mengingatkan. Aku mengangguk.
Aku mendapati Hara menoleh ke arahku ketika aku berjalan menuju area parkir motor. Kali ini aku benar-benar yakin dia melihatku. Seketika aku merasa bergerak dengan cara yang salah. Setiap ayunan langkahku terasa canggung, seolah-olah aku belum pernah berjalan sebelumnya. Aku memikirkan gagasan untuk berhenti dan tersenyum kepada Hara, tetapi kubatalkan. Kau tidak tersenyum kepada seseorang yang bukan temanmu, meski kau bersekolah di tempat yang sama dengannya sejak kecil. Kelak, bertahun-tahun setelahnya, aku menyesali kebodohanku sore itu.
***
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro