Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hara


"Kakak berantem lagi sama Ayah?" tanya Naka yang kemudian menyusul masuk ke mobil lalu duduk di sampingku.

"Nggak berantem, cuma ngobrol."

"Kalau cuma ngobrol, suara Kakak nggak bakal kedengaran sampai ruang surat."

Setelah menyalakan mesin, kuputuskan untuk bertanya kepada Naka. Aku tidak pernah mengobrolkan hal-hal serius dengan adikku (karena dia masih bayi), tapi tampaknya tidak ada lagi yang bisa kuajak berbicara soal surat di rumah kami selain Naka.

Kumiringkan tubuh agar bisa berhadap-hadapan dengannya. "Dek, ini cuma kalau nih, ya. Nggak harus kejadian beneran." Naka mengangguk, menungguku menyelesaikan pertanyaanku. Tiba-tiba saja kesungguhan polos di matanya itu mengusikku. Aku tidak ingin melihatnya duduk di ruang baca dan menyortir surat-surat hingga keriput tumbuh di wajahnya dan uban memenuhi kepalanya.

"Kalau nanti Kakak harus kerja di kota lain, Kakak nggak akan bisa ngurusin surat-surat. Terus, kalau Ayah udah tua kayak Kakek, kamu mau bantuin Ayah ngelakuin tugas Ayah yang sekarang?"

Naka mengangguk tanpa keraguan. Sekali lagi, kepolosan dalam matanya itu mengusikku. Adikku tidak pandai berpura-pura (seperti halnya semua bayi di dunia ini, kukira).

"Nggak apa-apa kalau Kakak nggak bisa bantuin Ayah, masih ada Naka. Tenang aja." Naka menepuk dadanya. "Naka suka kok sama surat-surat. Biar Naka aja yang nyelesaiin permintaan dalam surat-surat itu. Kakak sekolah aja, jadi dokter aja. Mulai hari ini, Kakak nggak perlu marah-marah lagi sama Kakek sama Ayah. Ada Naka."

"Emangnya Naka nggak punya cita-cita?"

"Punya, dong. Naka mau jadi arsitek, terus Naka mau benerin rumah kita kalau nanti udah mau roboh."

"Emangnya Naka mau tinggal selamanya di rumah kita?"

Naka mengangguk.

"Selamanya?"

"Selamanya. Rumah kita kan cantik. Paling cantik se-kotamadya. Naka suka tinggal di rumah kita. Di rumah kita ada kenangan tentang Ibu. Naka mau menjaga kenangan tentang Ibu."

Kenangan tentang Ibu.

Kalimat itu menghantamku bagaikan palu godam. Entah kenangan apa yang dimiliki adikku dengan ibu kami. Yang kudengar dari semua orang, ibu kami mengalami koma setelah menyusui Naka untuk kali pertama. Sejak saat itu, Naka tidak pernah menyusu lagi. Bagian yang tidak akan pernah kulupakan tentang cerita menyedihkan itu adalah, saat itu semua orang berada di rumah sakit, kecuali ayahku. Sedang bagian yang ingin kulupakan dari keseluruhan cerita adalah, sebelum benar-benar meninggalkan kami, surat ibuku mampir ke kotak surat. Aku tidak pernah tahu isi surat itu.

Ketika aku mengira pembicaraan kami sudah selesai, tiba-tiba Naka berkata, "Menurut Naka, pekerjaan menyortir surat-surat itu pekerjaan yang baik, kok. Harus ada orang yang ngelakuin itu untuk para Pengirim. Orang-orang kan nggak selalu bisa nyelesaiin masalah mereka sendiri. Orang-orang harus membantu dan dibantu. Kakek kan sering bilang gitu."

Aku mencoba berfokus pada jalanan di hadapanku agar aku tampak sibuk sehingga tidak perlu mengatakan apa-apa lagi.

"Waktu itu ... ehm ...." Naka terdengar sedang mencari kata-kata yang ingin diucapkannya. "Kalau waktu itu ... ehm, Ibu ..., Ibu misalnya, waktu itu kirim surat ke kotak surat lain, terus orang yang punya kotak surat nggak mau nyampein permintaan Ibu ke kita, Ayah sama Kakek pasti bakal sedih banget. Pasti sedihnya bakalan selama-lamanya."

"Naka ...." Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi rasanya tidak ada kata-kata yang pas untuk diucapkan. Kukira, pembicaraan tentang ibu kami tidak akan pernah terjadi lagi di antara Naka dan aku.

Terakhir kali membicarakan ibu kami, Naka masih begitu bayi sampai-sampai dia belum bisa mengucapkan huruf R dengan benar. Dia bertanya kepadaku, kenapa ibu kami tidak pernah kembali dan apakah kami tidak akan pernah memiliki ibu lagi selama-lamanya. Ketika aku menganggukkan kepala, Naka hanya menatapku, dengan mata kanak-kanaknya yang jernih dan penuh harap sehingga aku hampir menangis. Sejak hari itu, Naka tidak pernah bertanya tentang ibu kami lagi. Seolah dia paham begitu saja bahwa kematian adalah kehilangan abadi.

Aku tidak menjawab pertanyaan Naka. Adikku tidak mengerti apa yang sedang diucapkannya. Dia tidak tahu apa yang terjadi ketika ibuku meninggal. Waktu itu dia cuma bayi yang terpaksa harus kehausan selama beberapa jam sampai akhirnya saudara-saudara ibuku mendapatkan susu pengganti untuknya. Naka tidak merasakan kesedihan yang sama denganku. Kesedihan yang tidak bisa ditambal dengan kegembiraan jenis apa pun. Naka tidak akan bisa menjaga kenangan tentang ibuku karena dia bahkan tidak pernah mengenal ibu kami. Bisa dibilang, kehadiran Naka adalah pengganti hilangnya ibu kami. Ketika Naka datang, ibuku pergi. Seolah tugas ibuku dalam hidupnya hanyalah melahirkan Naka. Begitu Naka lahir, tugasnya selesai sehingga dia bisa pergi.

"Gimana kalau suatu hari nanti, teman Kakak yang paling berharga tiba-tiba ngirim surat ke kotak surat kita?" tanya Naka tiba-tiba. Pertanyaan barunya itu membuatku lega karena aku tidak perlu lagi menjawab pertanyaan sebelumnya. "Apa yang bakal Kakak lakuin?"

Aku menghentikan mobil karena kami sudah tiba di depan sekolah Naka. Kuperhatikan teman-teman Naka yang berlarian memasuki halaman sekolah. Aku ingin adikku menjalani kehidupan senormal mereka.

Kucengkeram kepala adikku dengan kedua tangan seperti sedang memegang bola basket, kupijat-pijat dahinya dengan jempolku hingga dia terkikik-kikik. "Itu nggak bakalan terjadi. Anak kecil cukup pikirin pe-er, oke? Dan jangan berantem sama anak nakal mana pun di sekolah. Janji?"

Naka mengangguk, tetapi dia tidak berhenti mencecarku.

"Kan cuma kalau, Kak. Gimana kalau misalnya, teman yang paling Kakak sayang, ngirim surat ke kotak surat kita?"

"Nggak bakalan," tegasku. "Teman yang berharga, teman kesayangan, Kakak nggak punya itu semua. Jadi, jangan mikir yang aneh-aneh lagi."

Pertanyaan terakhir Naka tertinggal di benakku sepanjang pagi, sampai Arga mengumumkan misi penting baru untukku.

***

Arga menyergapku di koridor saat aku bergegas menuju kelas. Dia menyikut rusukku dan rasa ngilunya membuatku mengernyit sekaligus memaksaku untuk menoleh. Dia tersenyum menyebalkan lalu menggigit roti isinya dengan gaya sok keren yang dianggapnya memesona.

"Pe-er gimana, Jenius?"

Roti membuat kedua pipi Arga menggembung. Bahkan sapi tidak memakan rumput dengan cara itu, pikirku.

"Aman," sahutku, memaksakan diri untuk tersenyum seperti orang bodoh. Itu bagian dari efek Arga. Di depannya, aku hanya bisa mengatakan hal-hal yang ingin dia dengar.

Arga mengangguk lalu menepuk-nepuk kepalaku dengan agak keras. Orang yang mudah tersinggung akan menganggapnya penghinaan karena rasanya seperti sedang ditampar-tampar. Tetapi aku sudah terbiasa. Arga menggerak-gerakkan telunjuk, sebuah isyarat agar aku segera menyerahkan buku pe-ernya. Kuturunkan ranselku dan mencari-cari buku milik Arga. Buku itu hanya berada di tangannya saat akan mengumpulkan tugas-tugas. Begitu buku dikembalikan, dia akan menyerahkannya kembali kepadaku. Aku selalu menghibur diri dengan memikirkan betapa hal itu terasa seolah Arga menyerahkan nasibnya kepadaku. Senang membayangkan nasib Arga berada di tanganku.

"Lo emang kesayangan Kapten," katanya, kembali menepuk-nepuk kepalaku. Kali ini menggunakan buku-buku pe-ernya yang baru saja kuserahkan. Tepat di saat itulah, Hara melintas.

Aku sempat menangkap tatapan Hara selama beberapa detik. Kupikir, aku baru saja melihat senyum itu lagi atau setidaknya, sesuatu yang hampir jadi senyuman. Namun, sesaat setelahnya, wajahnya mengeras dan langkahnya semakin gegas. Mungkin dia sedang mencoba menghindari Arga dan kelompoknya. Di Nusa Dharma, hanya cewek-cewek penggemar Arga yang tahan berlama-lama berada di sekeliling Arga dan gengnya.

"Hara mau ke mana?" tanya Arga. Nada suaranya berubah lembut dan sengaja dimanis-maniskan. Mendengarnya membuatku mual.

"Kelas," jawab gadis itu, dengan nada dan ekspresi datar. Dia jelas tidak berminat memanjang-manjangkan obrolan dengan Arga.

"Hara kalau cuek gitu, manis deh."

Hara berlalu begitu saja. Arga dan gengnya tertawa-tawa lalu saling ber-high five. Mereka selalu senang melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu.

"Cewek biasanya kalau ditegur, terus cuek gitu maksudnya apa, sih?" tanya Arga. Kukira dia menanyakan itu kepada teman-temannya, tetapi ternyata matanya mengarah kepadaku.

"Sir Jenius, menurut lo kenapa?"

"Tergantung situasinya," sahutku, tidak yakin. "Untuk yang barusan, artinya dia lagi buru-buru. Mungkin mau nyiapin pe-er, atau lagi dikasih tugas sama guru."

Arga menyeringai. "Lo ternyata nggak tahu apa-apa soal cewek, ya. Kayaknya semua orang kalau jenius tuh cupu ya, soal cewek."

Teman-teman Arga tertawa keras-keras, meniru Arga.

"Cewek, kalau cuek pas ditegur, itu tandanya minta dikejar," jelas Arga. "Nah, misi baru buat lo, bantu gue supaya Hara mau gue ajak jalan."

Sesuatu seperti tawon gaib menyengatku tepat di tengkuk. Kenapa harus Hara? Dia bahkan tidak pernah menonton pertandingan basket. Apa justru karena itu? Apa Arga menyukai Hara karena Hara tidak suka berteriak-teriak ganas di tribun gedung olahraga seperti cewek-cewek lainnya? Arga pasti tidak pernah becermin. Dilihat dari sisi mana pun, dari sudut kemiringan berapa derajat pun, dia tidak ada pantas-pantasnya untuk Hara. Kata-kata Naka kembali terlintas di benakku. Teman yang berharga. Hara bahkan bukan temanku, tetapi Hara terlalu berharga untuk dikencani seseorang seperti Arga.

"Tapi, gimana caranya?" tanyaku.

"Caranya apa?" Arga menatapku dengan kesal. Sinar jahat memenuhi matanya.

"Biar Hara mau diajak jalan sama lo."

Aku dikuasai perasaan gugup yang belum pernah kurasakan. Ini misi yang keterlaluan.

"Itu tugas lo, Jenius. Makanya misi ini gue serahin ke lo." Arga meneguk teh botolnya. Jakunnya bergerak naik turun. Aku sungguh berharap, ada tawon sungguhan yang hinggap di sana lalu menyengatnya.

"Kenapa harus Hara?"

Kupikir, aku menanyakannya untuk kali kedua kepada diriku sendiri. Namun, ketika Arga mencengkeram pundakku kuat-kuat, aku sadar, pertanyaan itu baru saja kulontarkan keras-keras.

"Kenapa? Lo nggak suka gue deketin Hara?"

Arga mendekatkan wajahnya ke wajahku sehingga aku bisa mencium aroma abon dan keju dari napasnya. Sumpah, aku benci abon.

"Bukan, bukan gitu. Gue cuma ... maksud gue ...."

"Bagus kalau gitu. Lo bisa mulai tugas lo sekarang juga."

Aku tidak ingat bagaimana tepatnya aku bisa tiba di kelas sambil mendengarkan Arga membual soal mengajak Hara berkencan, membayangkan hal-hal tidak senonoh tentangnya, sambil menyombong soal betapa Hara pasti merasa beruntung karena diajak kencan olehnya. Kuharap seseorang bisa menghentikan Arga, tetapi tentu saja itu tidak terjadi. Teman-temannya menyukai lelucon jorok Arga dan topik soal menggoda cewek-cewek, dan untuk menunjukkan loyalitas, mereka harus melebih-lebihkan ucapan agar Arga senang. Sialnya, selama tiga semester belakangan, aku juga sudah menjadi bagian dari segala omong kosong itu. Kuharap, sebuah meteor menabrak bumi saat ini juga dan menghantam kepala Arga.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro