Dilema-Dilema Si Cupu Soal Cewek
Gara-gara misi dari Arga, aku jadi tidak bisa berhenti memikirkan Hara. Ini tidak seperti yang akan dipikirkan Arga jika dia tahu. Bagiku, permintaannya itu berada di level yang sama dengan misi menyampaikan pesan para Pengirim. Aku bisa mulai melakukan tugasku sekarang juga, katanya? Memangnya apa yang bisa kulakukan untuk membuat Hara menyukai dia? Sekarang aku mengerti, kenapa para penyair bilang kalau jatuh cinta membuat orang-orang jadi sinting. Selama ini Arga sudah sinting, tapi gara-gara jatuh cinta, sekarang dia jadi sinting pangkat tujuh.
Aku begitu terkejut ketika melihat Hara di ruang guru, sampai-sampai aku mengerem langkahku dengan mendadak. Awalnya, kupikir, aku hanya berhalusinasi karena terlalu sering memikirkan misi Arga. Kami datang dari arah berlawanan dan sama-sama berjalan menuju pintu. Akan sangat ganjil jika aku diam saja. Tapi, apa yang harus kukatakan? Aku mendatangi ruang guru hampir setiap hari, tetapi aku hampir tidak pernah bertemu dengannya. Kalaupun kebetulan Hara berada di sini juga, biasanya hanya aku yang melihatnya dari kejauhan. Setiap kali mendatangi ruang guru, Hara akan berbicara dengan Pak Ben. Aku yakin, kali ini pun begitu.
Ketika Hara berjalan mendekat, aku sedikit dihampiri firasat dia akan menyapaku. Aku menepis pikiran konyol itu karena setiap kali berpapasan (di mana hal itu sangat jarang terjadi), kami hanya akan saling mengangguk kepada satu sama lain.
Hara tinggal di lingkungan yang sama denganku sejak aku bisa mengingat keberadaanku di dunia ini. Kami bersekolah di taman kanak-kanak yang sama dan aku selalu melihatnya di sekolah mana pun yang kumasuki setelahnya. Namun, kami hampir tidak pernah bertegur sapa. Aku tidak tahu banyak hal tentang Hara, kecuali bahwa kedua orang tuanya adalah pegawai negeri sipil; bahwa dia memiliki adik kembar yang berusia setahun lebih muda dari Naka, serta seorang kakak laki-laki yang meninggal dunia saat kami masih SMP; juga bahwa dia adalah gadis pendiam yang tidak begitu aktif di kegiatan ekstrakurikuer sekolah. Hara hanya mengikuti ekskul lukis dan merupakan siswi kesayangan Pak Ben, guru Seni Budaya.
Anak-anak lain senang bergosip tentang Hara karena kedekatannya dengan Pak Ben, tetapi aku selalu menganggap rumor Hara berpacaran dengan Pak Ben itu itu omong kosong. Aku yakin, Hara pasti sudah mendengar gosip itu. Di sekolah kami, semua kabar akan berembus sampai di telingamu begitu mereka terlontar keluar dari mulut seseorang. Namun, tampaknya Hara tidak terusik. Selain karena dia tidak punya kelompok geng cewek yang senang bergosip dan bertengkar dengan geng cewek lainnya, kurasa Hara lebih suka menghabiskan waktunya untuk melukis atau mengajari anak-anak putus sekolah yang nongkrong di dekat terminal.
Aku tidak begitu ingat, apa aku pernah benar-benar berbicara dengan Hara lebih dari lima menit. Di sebuah acara piknik sekolah sewaktu SD, Hara pernah memberiku tiga potongan besar kue bolu. Katanya, ibunya yang menyuruh. Aku mengambilnya tanpa mengucapkan terima kasih karena terlalu gugup dan malu. Kurasa, aku selalu kesulitan berbicara dengan anak perempuan karena kupikir, mereka pembuat onar. Sejak ibuku meninggal dan saudari-saudari ibuku semakin jarang mengunjungi kami, aku menghabiskan sepanjang waktu dengan para lelaki. Ayah, Kakek, dan belakangan, dengan Naka. Jadi, aku tidak pernah tahu caranya berbicara dengan anak perempuan. Kue bolu buatan ibu Hara lezat luar biasa, jauh berbeda dengan kue bolu buatan Ayah. Mungkin masakan para ayah dan ibu punya cita rasa yang tidak bisa dibandingkan. Kalau terpaksa harus diadu, masakan para ibulah yang akan jadi pemenangnya. Selalu.
Di acara piknik sekolah berikutnya, aku membalas utang budi kue boluku kepada Hara. Kuberikan brownies keju bikinan Ayah kepadanya. Hara gembira sekali dan melahapnya nyaris tanpa jeda. Kalau boleh jujur, aku menunggu kue bolu dari ibunya Hara lagi. Namun, sejak utang kue boluku lunas, aku tidak pernah lagi berbicara dengan Hara. Mungkin ibunya tidak pernah lagi menyuruhnya memberiku kue. Tetapi kurasa, hal itu juga disebabkan Hara menjadi semakin pemalu. Apalagi begitu kami masuk SMP. Hara selalu saja membuang muka setiap kali bertemu denganku. Kalau kami harus berpapasan, dia akan memilih rute lainnya demi menghindariku. Dia baru berani melihatku lagi sejak kami SMA. Menurutku, itu peristiwa yang aneh. Namun, aku tidak pernah bertanya karena kami memang bukan teman. Lagi pula, aku tidak tahu bagaimana caranya bertanya kepada seorang anak perempuan tentang alasannya membuang muka tanpa terdengar seperti sedang mengemis perhatian. Karena itulah, ketika dia menyapaku siang ini, bola mataku nyaris melompat keluar.
"Kamu masih ngerjain tugas-tugasnya Arga?" tanya Hara, langsung pada sasaran. Aku terkejut karena dia menggunakan "kamu". Suaranya terdengar santai, seakan-akan kami sering mengobrol.
Aku mengangguk dan tidak berkata apa-apa karena aku masih tidak menyangka Hara akan menanyaiku seperti itu. Dari caranya menggunakan kata masih, aku agak mengira dia tahu aku telah mengerjakan tugas-tugas Arga sejak lama. Aku ingin menanyakan lukisan di tangannya, tetapi urung. Aku tahu itu lukisannya. Meski tidak mengerti apa-apa soal lukisan, tetapi menurutku, itu lukisan yang bagus. Seorang gadis tampak berjalan di tengah hutan, bersama seekor anjing, kurasa. Pepohonan di sekelilingnya tinggi menjulang, menjatuhkan bunga-bunga yang tampak seperti hujan salju. Daun-daun kecokelatan berjatuhan, menenggelamkan pangkal pepohonan. Lukisan itu menggunakan warna-warna pastel: kuning muda, merah muda, hijau lembut, dan cokelat muda. Entah kenapa, ketika melihatnya, aku merasa sedih. Seharusnya warna-warna itu mengesankan kegembiraan. Aku ingin tahu bagaimana dia melukisnya.
"Arga nggak cocok jadi teman kamu," katanya lagi. Kata-kata itu terdengar seperti nasihat.
Aku hampir menampar wajahku sendiri. Sekadar ingin memastikan bahwa aku tidak sedang tidur siang dan bermimpi. Dari sekian banyak kemustahilan yang bisa terjadi dalam hidupku, mengobrol dengan Hara adalah salah satu hal yang masuk ke dalam daftar dan aku meletakkannya di urutan tiga teratas.
Aku ingin bertanya, apa ucapannya itu berarti dia tidak menyukai Arga? Tapi tampaknya, di dekat Hara, otakku tidak berfungsi sebaik biasanya. Kata-kataku terkunci dan yang bisa kulakukan hanyalah menggaruk pelipisku yang tidak kenapa-napa.
Hara melirik buku-buku di tanganku. "Kamu pasti udah ditungguin di kelas," dia mengingatkan.
Tiba-tiba aku ingat bahwa Bu Amel memintaku mengambil buku tugas Bahasa Inggris milik seisi kelas dan aku harus kembali secepat mungkin. Akan tetapi, ketika Hara tersenyum sesaat kemudian, aku sudah siap dimarahi oleh Bu Amel. Senyum Hara begitu jelas. Aku belum pernah melihatnya benar-benar tersenyum seperti itu. Ketika tersenyum, garis-garis dalam tercipta di sudut-sudut bibirnya. Aku terpaku dan tidak tahu bagaimana harus membalas senyuman yang seperti itu.
Ketika Hara melangkah ke luar ruangan, aku mengikutinya dari belakang. Dia tampak seperti akan mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi. Kami terdiam cukup lama di depan ruang guru, seolah adu ketahanan membisu. Aku menunggunya mengatakan sesuatu dan kelihatannya, Hara pun demikian. Udara siang yang gerah berembus pelan, dan aku merasa ingin berdiri di sana lebih lama lagi. Kupaksa otakku untuk memikirkan kata-kata apa saja. Pokoknya, sesuatu yang cukup bagus dan sopan untuk diucapkan kepada seseorang yang bukan temanku, tetapi sebentar lagi akan sering melihatku berada di sekitarnya karena temanku naksir padanya.
Aku akhirnya berdeham. Dan setelah menyelam ke dasar sungai kosakataku yang dangkal, aku menemukan ini, "Lukisan kamu bagus." Hanya itu yang bisa kukatakan kepada Hara sebelum kembali ke kelas sembari bertanya-tanya, apakah ucapanku tadi terdengar sungguh-sungguh atau malah ganjil.
Ketika aku dalam perjalanan menjemput Naka di rumah, pertanyaan-pertanyaan konyol terlintas di benakku. Kenapa Hara memilih hari ini untuk berbicara kepadaku? Apa yang ingin dikatakannya tadi tetapi tampak ragu-ragu? Sesaat kemudian, aku ingin menjitak kepalaku sendiri. Tolol sekali! Tentu saja semua itu hanya kebetulan. Kebetulan saja kami bertemu, kebetulan saja waktunya pas, kebetulan saja akan terasa aneh jika dia berlalu begitu saja padahal kami saling berpandangan selama sekitar setengah detik. Dan soal kata-katanya yang tidak sempat terucap, tentu saja itu hanya imajinasiku. Arga benar, aku memang cupu soal cewek.
***
Aku berencana hanya akan menjemput Naka tanpa berganti pakaian, makanya aku membunyikan klakson berkali-kali begitu tiba di depan rumah. Tidak seperti dugaanku semula, Naka tidak menungguku di teras. Dia malah melambaikan tangan dari balik jendela ruang makan sambil menangis. Kepanikan menerjangku sehingga aku melompat turun dari mobil, nyaris lupa mematikan mesin. Segera aku mengendus ketidakberesan begitu melihat motor ayahku yang ringsek, seolah-olah ada raksasa mengamuk yang baru saja menginjaknya.
Suara tangisan Naka terdengar semakin jelas begitu aku membuka pintu depan. Dia menyongsongku dalam isaknya yang berat.
"Ayah ...," ucapnya selagi meraih tanganku.
Kami berlari menuju kamar ayahku. Jantungku berdentam-dentam. Apa kali ini aku akan kehilangan ayahku juga? Demi Tuhan, aku belum siap.
Ayahku berbaring di tempat tidurnya dengan lengan kanan dan kaki kiri dipasangi belat. Melihatnya membuatku ingin menangis. Dia berusaha keras untuk tersenyum, tetapi yang tampak di wajahnya adalah seringai menahan nyeri. Wajahnya dipenuhi lebam dan luka yang baru selesai dijahit.
"Ini nggak seperti yang terlihat, kok," ucapnya pelan, seakan-akan semua ini kesalahannya.
"Siapa yang udah nabrak Ayah?" tanyaku, setengah histeris. Aku mendadak dikuasai rasa bersalah. Seandainya ayahku tidak mengendarai sepeda motornya, mungkin ceritanya akan berbeda.
"Ayah nggak apa-apa." Suara pelan ayahku tidak berhasil membuatku lebih tenang.
"Ayah nggak jawab pertanyaan aku." Aku duduk di sisinya dan meneliti setiap inci lukanya di wajah, lengan, dan kaki. Bibir ayahku sobek dan bengkak. Aku tidak bisa membayangkan situasi mengerikan yang baru saja dialaminya. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat dan melarang diriku untuk menangis.
Suara tangisan Naka terdengar semakin keras.
"Kalau kamu panik," bisik ayahku, "adikmu bakal lebih panik."
Aku pun memelankan suaraku. "Jawab, Yah. Siapa yang nabrak Ayah?" kuraih tangan ayahku yang tidak dipasangi belat dan meremasnya pelan. Tangan ayahku bergetar bersama tanganku. Kuharap ayahku tidak menyadarinya. Getaran itu merambat ke seluruh tubuhku.
Aku ingat meremas tangan ibuku di ruang ICU. Matanya tertutup. Mata itu tidak pernah terbuka lagi, bahkan setelah aku meremas tangannya kuat-kuat.
"Ini kecelakaan tunggal, Nak. Ayah yang teledor. Kejadiannya cepat banget."
"Ayah jangan bohong. Motor Ayah ringsek gitu, jelas-jelas Ayah ditabrak."
"Ayah yang lengah, nggak ngeliat ada kendaraan dari depan."
Meski tahu ayahku berbicara dengan kepayahan, tetap saja aku mencecarnya. "Di mana kejadiannya, Yah? Kenapa Ayah nggak langsung nelepon aku?"
"Yoda, Ayah nggak apa-apa. Beneran. Orang-orang langsung nolongin Ayah dan Ayah dibawa ke rumah sakit."
"Ayah nggak akan mati, kan?" tanya adikku tiba-tiba. Aku tidak menyadari kehadirannya yang telah duduk bersila di atas tempat tidur, tepat di sisiku, entah sejak kapan.
Perkataan Naka menyengatku bagai aliran listrik. Kulihat ayahku menggeleng pelan. "Ayah akan panjang umur. Ayah janji," katanya, dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Ia menarik napas pendek-pendek di antara jeda kalimatnya. "Ayah akan ngeliat Naka jadi orang tua juga, kayak Ayah sekarang."
Adikku menyeka air matanya, masih dengan sedu sedannya. Aku menoleh untuk melihat raut wajah kakekku. Kakekku juga baru saja menyeka air matanya. Dengan langkah tertatih, Kakek mendekati tempat tidur dan duduk di sisi Naka. Dibelainya kepala adikku. Naka meringkuk di dalam pelukannya, sembari menyusuri belat di kaki kiri ayahku dengan telunjuknya yang kecil.
Pikiranku melayang ke pagar boxwood rumah kami, hinggap tepat di puncak kotak surat merah yang menyembul di sela-sela tanaman. Sekarang, siapa yang akan menyampaikan pesan-pesan terakhir yang terkirim ke sana? Tidak mungkin aku. Tidak mungkin. Itu tidak akan terjadi. Kubuang pikiran itu jauh-jauh. Akan kupikirkan itu nanti. Tidak, itu bukan urusanku. Jadi, aku tidak perlu memikirkannya. Kakek akan menemukan jalan keluarnya, dan jalan keluar itu tidak akan melibatkan aku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro