8. An Old Friend
Chapter 8
Nicklaus benar-benar tidak mengerti dengan dirinya saat ini. Apa yang dilakukannya sekarang, ia merasa seperti setengah sadar kala melakukannya.
Hanya saja, akal sehatnya seolah tak lagi memiliki kendali akan tubuhnya sendiri.
"Apa aku sudah gila?" dumal Nicklaus pada dirinya sendiri, meratapi refleksi dirinya yang saat ini berada di kursi kemudi dari kaca spion tengah.
Mobilnya terparkir mulus di depan salah satu hotel bintang lima.
Melalui kaca jendela mobil, ia mendongak melihat mobil yang terparkir tak jauh di depannya.
Nicklaus benar-benar ingin membanting stir dan mengeluarkan mobilnya dari tempat ini. Hanya saja, ekor matanya yang mendapati seseorang baru saja keluar dari mobil tak jauh di depannya membuat tubuh Nicklaus lagi-lagi menolak perintah otaknya.
Itu Rose. Keluar dari mobil mewahnya setelah dibukakan pintu oleh penjaga hotel dan memasukinya masih dengan pakaian yang sama seperti yang Nicklaus lihat di kantor tadi.
"Apa yang hendak dilakukannya di siang bolong seperti ini?" gumam Nicklaus.
Lalu, tiba-tiba saja sebuah kilasan memori terlintas di benaknya kala melihat patung dan air mancur yang berada di pintu masuk utama hotel menuju lobby.
Bellamy Hotel.
Bukankah ini tempat tinggal dokter Qian?
Hancur sudah pertahanan Nicklaus.
Yang semulanya ia bersusah payah untuk menahan gejolak dalam diri agar tidak masuk dan mengikuti Rose, tiba-tiba saja setelah mengingat bahwa di salah satu suite room hotel ini merupakan tempat tinggal dokter Qian membuat Nicklaus semakin hilang kendali.
Tanpa berpikir panjang lebih lama lagi, ia pun segera memarkirkan mobilnya di depan main lobby hotel dan melempar kuncinya kepada salah satu penjaga hotel yang bertugas memarkirkan mobil pengunjung.
Membenarkan sedikit tatanan jasnya, Nicklaus melangkah masuk dan segera berjalan dengan cepat menuju elevator.
Ia berhenti. Menatap angka demi angka yang tertera di atas satu-satunya elevator yang berada tak jauh dari resepsionis, menunjukkan tempat di mana lift berhenti di setiap lantainya.
Nicklaus menekan tombol naik, dan sesaat setelah elevator berhenti di lantai delapan, angka di atas menunjukkan bahwa lift segera turun untuk menjemputnya.
"Delapan," gumam Nicklaus pelan.
Seingatnya, saat ia ke sini beberawa waktu lalu dan menuju lantai delapan bersama dokter Qian, tempat itu adalah tempat makan mewah yang berada di hotel ini. Dan Nicklaus yakin seratus persen bahwa tempat itulah yang dituju oleh Rose sekarang.
"Apa kau ingin menghadiri sebuah pesta?" Dokter Qian memasang senyuman merekah di wajahnya tepat begitu Rose tiba.
Rose berdecih dan menahan tawa, lalu ia duduk di kursi yang berada di hadapan Qian.
Perempuan itu masih sama seperti dulu. Tak berubah sedikitpun. Hanya saja kerutan di dahi serta ekor matanya sudah mulai terlihat jelas. Akan tetapi, itu tak mengurangi kecantikkannya barang sedikitpun.
"Apa ada orang yang mengadakan pesta di siang bolong seperti ini?" balas Rose.
Mata dokter Qian memincing. "Ada apa sih dengan kata 'siang bolong'?" tanyanya. "Dari dulu kau selalu menggunakan kata itu."
Sembari meletakkan tasnya di kursi sebelah kanannya, Rose pura-pura berpikir.
"Ada apa, ya? Aku juga tidak tahu."
Dokter Qian tertawa. "Senang bertemu denganmu," ujarnya kemudian. "Bagaimana kabar Will?"
"Apa kau bertanya mengenai Will sekedar untuk basa-basi?" Rose balik bertanya. "Atau ada apa? Kau masih cinta dengannya?"
Ucapan Rose yang blak-blakan itu membuat kedua cuping Qian memerah. Entah kenapa, ia masih belum terbiasa dengan gaya bicaranya yang cenderung spontan dan mengagetkan itu.
Wanita itu menyampirkan rambut panjangnya yang diurai ke belakang.
"Tidak-tidak," kata Qian meluruskan. "Kau tenang saja."
Kali ini Rose yang tertawa. Ia meraih gelas berisi air mineral yang sejak pertama kali kedatangannya sudah terdapat di atas meja dan meneguknya sedikit untuk menghilangkan rasa kering di tenggorokkannya akibat perjalanan.
"Aku bercanda," guyon Rose.
"Kau sebut itu bercanda?"
Cepat-cepat Rose mengangguk. "Kenapa memangnya? Kau benar-benar masih memiliki rasa terhadap Will?"
"Tentu saja tidak!"
"Lalu kenapa telingamu memerah sampai ke leher seperti itu?"
Qian menghembuskan napasnya panjang. Tentu saja Rose tidak akan melepaskannya semudah itu kan?
"Kau tentu tahu kalau dulu Will adalah anak buahku, kan."
Rose mengangguk lagi.
"Ya.. hanya sebatas itu saja hubungan kami," jelas Qian.
Gelak tawa Rose akhirnya pecah.
"Aku bertanya soal perasaanmu, bukan hubunganmu dengannya," kata Rose masih dengan tawanya. "Kalau pun kau masih cinta dengannya, aku bisa apa? Aku tidak bisa melarang perasaan seseorang kan?"
Benar juga.
Salah tingkah, tangan Qian cepat-cepat meraih gelasnya dan meneguk air mineral di dalamnya sampai habis tak tersisa.
Rose tertawa pelan. Kemudian kepalanya mendongak dan menyusuri seluruh sudut restoran mewah ini dengan seksama.
"Apa ini jadi tempat favoritmu sekarang?" tanya Rose.
Qian mengikuti arah pandang Rose dan tersenyum kecil seraya meletakkan kembali gelasnya di atas meja.
"Kurang lebih seperti itu," jawab Qian. "Sudah dua tahun semenjak kepindahanku di sini, dan tempat ini tidak pernah membuatku bosan atau mengecewakanku sedikitpun."
Rose mengangguk paham. "Padahal, aku ingin minum secangkir kopi di café tempat kita biasa menghabiskan waktu dulu. Sudah lama sekali semenjak kali terakhir aku ke sana. Tapi, karena kau mengajak bertemu di sini, sepertinya tempat ini juga oke."
Qian manggut-manggut. Setuju juga kalau tempat ini memang oke.
"Omong-omong, ada apa kau mengajakku bertemu?" tanya Qian kemudian. Ia menggeser menu di atas meja jadi ke sisi Rose agar perempuan itu mudah melihatnya.
Rose menatap menunya selama beberapa saat. Kemudian tiba-tiba saja ia mendongak menatap Qian.
"Apa Nicklaus datang menemuimu?"
Bagai dihantam air ombak yang besar, tubuh Qian terasa seperti didorong ke belakang jauh-jauh.
"Kenapa kau bertanya?"
Rose menutup buku menunya dan beralih mengamit kedua tangannya di atas meja.
"Entahlah, mungkin karena kau mengetahui sesuatu tentang SM Projek 911?"
Qian meneguk salivanya keras-keras, bingung hendak bicara apa. Sial, ia benar-benar benci dengan posisinya saat ini.
Seharusnya ia sudah bisa menduga ini semua. Lagi pula, mana mungkin seorang Rose Walton yang sudah beberapa tahun terakhir kehilangan kontak dengannya tiba-tiba saja mengajak bertemu?
"Apa saja yang kau katakan padanya?" Rose bertanya sekali lagi.
Rupanya, perempuan itu masih sama. Masih mengintimidasi sekalipun kepada orang yang ia sebut teman. Dalam hati, Qian bahkan ragu kalau perempuan itu pernah memiliki teman yang benar-benar seorang teman sekali saja seumur hidupnya.
Bibir Qian terangkat hendak angkat bicara, tapi entah kenapa tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari sana.
Raut wajah Rose berubah serius dan keras.
"Apa kau mengatakan sesuatu yang tidak kau katakan padaku?"
Dicerca dengan pertanyaan semacam itu membuat tangan Qian bergetar hebat.
"Hai, dokter Qian!"
Kedua mata Qian langsung terbelalak seketika, begitu mendapati sosok pria dengan setelan jasnya yang berdiri beberapa meter di belakang Rose.
Rose pun langsung berbalik badan dan melotot.
Tentu saja, itu Nicklaus.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rose langsung.
Nicklaus mengacuhkannya. Ia melengos tanpa menatap Rose dan langsung duduk di sebelah dokter Qian tanpa diminta.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Nicklaus begitu duduk dan tersenyum sumringah.
"Baik." Mata Qian mengerjap selama beberapa kali. "Apa yang kau lakukan di sini, Nicklaus?"
"Aku sedang makan dengan teman sekolahku dulu yang kebetulan sedang menginap di sini. Dia orang Inggris," jawab Nicklaus, tak sedetikpun menoleh kepada Rose yang kini tengah mengeram dan mengepal tangannya keras-keras.
"Ah.. seperti itu."
Nicklaus mengangguk semangat. "Lalu aku melihatmu. Awalnya, aku ragu apa itu benar kau. Namun setelah aku melihat lebih dekat lagi, aku jadi semakin yakin kalau orang itu adalah kau."
Dokter Qian kemudian tertawa pelan. Sesekali matanya melirik ke arah Rose yang tengah memandang Nicklaus dengan tajam.
"Rose juga ada di sini."
Nicklaus pura-pura terkejut dan menoleh. "Ah, rupanya kau di situ, Cousin."
Nada menyebalkan itu lagi.
Tanpa membalas perkataan Nicklaus barusan, Rose tiba-tiba saja bangkit dari posisinya dan meraih tas tangannya.
Qian kelimpungan di tempatnya. "Kau mau ke mana?"
"Aku kehilangan nafsu makanku," ungkap Rose, segera berbalik dan melenggang pergi.
Wajahnya merah padam dan tangannya meremas handle tasnya keras-keras menahan amarah.
Di depan elevator, Rose mengatupkan rahangnya.
"Kau baru saja memilih batu nisanmu," gumamnya tepat sebelum pintu otomatis elevator terbuka.
[ n o t e s ! ! ! ]
Astaga, gue terharu banget nih.
Makasih banyak atas dukungan kalian di chapter sebelumnya.
Mungkin keliatannya sepele, tapi itu berarti banyak banget buat gue.
Seneng banget astaga.
I love you guys so much! Haha.
Eh, btw. Mau buat team gak?
Kalian ada di Team mana?
Si pemarah Rose, atau si usil Nicklaus?
Coba, komen nama teamnya deh. Yang unik dan keren nanti gue pilih jadi nama officialnya hahaha.
Jangan lupa vote & comment ya.
Love,
Melanie.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro