Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. The Pregnant

Chapter 4

"Apa saja yang kau lakukan sejak kemarin?!"

Mendengar suara Damian yang lagi-lagi meninggi membuat Nicklaus menghela napasnya panjang. Sekarang, ia jadi malas untuk kembali menjelaskan.

"Sudah kukatakan barusan, bukan?" balas Nicklaus.

Bola mata Damian membesar.

"Membenarkan masalah seperti ini saja kau tidak becus! Kalau Rose pasti masalah ini sudah selesai sejak pertama kali keluar!"

"Berhenti membandingkanku dengan perempuan itu, Kakek!" tukas Nicklaus, kehabisan kesabarannya.

"Apa yang kau ingin untuk aku lakukan? Menyingkirkan wanita itu? Dia seorang aktris, tidak semudah itu untuk menyingkirkannya! Perhatian publik akan tertuju kepadanya!"

"Rose bisa—"

"Rose yang menyuruhku untuk menyingkirkannya!"

Damian tercekat di tempatnya. Sementara Nicklaus memejamkan mata dan berdecak di tempat.

Apa ia sudah gila? Menyuruhnya? Kenapa ia berkata seperti itu seolah-olah ia adalah pesuruh Rose? Kemarin saat ke ruangan perempuan itu ia bertingkah seolah-olah dapat menaklukkannya, tapi apa-apaan sekarang? Kenapa di depan Damian semuanya jadi kacau balau? Terlebih lagi saat ia disandingkan oleh perempuan yang memang jauh lebih pintar darinya itu.

"Keluar dari ruanganku, sekarang!"

"Tanpa diminta pun aku juga akan keluar!" balas Nicklaus, langsung bangkit dan berbalik meninggalkan kantor pribadi Kakeknya.

Ia menutup pintu keras-keras hingga berdebum keras. Dan langsung mengeluarkan ponsel dari saku jasnya.

"Sekretaris Lee," panggil Nicklaus, kepada seseorang di seberang sana melalui ponselnya. Ia terus melangkah menuju lift pribadi Kakeknya yang mengarah langsung ke ruangannya.

"Iya, Tuan Walton. Ada yang bisa saya bantu?"

"Bisa kau carikan keberadaan Jennifer? Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengannya," kata Nicklaus, menekan tombol 21 dan lift pun bergerak turun.

"Em—apa Tuan belum membaca berita?"

Alis kanan Nicklaus terangkat. "Aku meminta kau mencari keberadaan Jennifer, apa hubungannya dengan aku yang belum membaca berita?"

"Jennifer Griffin ditemukan tewas pagi tadi oleh kenalannya yang mengaku mendapatkan telepon dari Jennifer dan hendak mengatakan bahwa dirinya ingin bunuh diri."

Pupil mata Nicklaus bergetar setelah beberapa teori di kepalanya terhubung satu persatu.

"Shit."

Garis di dahinya sedikit terbentuk selagi matanya menelaah dengan seksama bacaan di atas berkas yang kini tengah ia genggam. Kaki kanannya menyilang ke atas kaki kiri selagi tubuhnya bersandar pada sofa berwarna putih tulang yang berada di dalam ruangan pribadi miliknya.

Tangannya perlahan bergerak sedikit menggaruk ujung alisnya yang sebelah kiri kemudian mengangguk saat merasa paham akan sesuatu.

Dan di detik berikutnya, ia melempar tumpukkan berkas-berkas itu ke atas meja seraya menghela napas.

"Baiklah, akan kutelepon pihak rumah sakit untuk segera mengoperasi mata anakmu malam ini," ujarnya, kepada perempuan yang kini berdiri di hadapannya.

Christy memasang senyuman di wajahnya dan sedikit menunduk kepada Rose yang duduk di sofa.

"Terimakasih banyak," ungkap Christy.

Rose melambaikan tangannya di udara. "Bukan masalah besar, selama kau tetap tutup mulut," peringatnya. "Sekarang kau boleh pergi."

Sekali lagi Christy menundukkan kepalanya. "Saya permisi."

Kemudian wanita berusia 36 tahun itu pun melangkahkan kakinya untuk meninggalkan ruangan pribadi Rose. Namun, saat ia hendak menutup kembali pintu ruangan Rose, seseorang menahan pergerakkan tangannya dan berhasil membuat kedua mata Christy membulat besar.

"Jangan ditutup," pinta orang itu setengah berbisik, dan yang dapat Christy lakukan hanyalah meneguk salivanya keras-keras dan mengangguk.

Rose, yang tengah memasukkan berkasnya ke dalam laci meja mendongak dan melihat Christy tak kunjung menutup pintu pun nampak sedikit risih dan berdecak. "Apa yang kau lakukan di sana?" teriaknya.

Seseorang berjas rapih tersebut menyunggingkan seulas senyum. "Kau boleh pergi," ujarnya kepada Christy.

Selepas kepergian Christy, orang yang tak lain dan tak bukan adalah Nicklaus itu pun langsung melangkahkan kakinya ke dalam ruangan dan menutup pintu rapat-rapat serta menguncinya.

"Apa lagi sekarang?" sentak Rose. Melebarkan matanya pada Nicklaus.

"Sudah kuduga kau akan berkata seperti itu," kata Nicklaus layaknya seorang peramal, duduk di sofa tanpa diminta.

Melihat perilaku Nicklaus, Rose hanya bisa berdecak. Apa lagi yang diinginkan lelaki pengganggu ini sekarang?

"Apa yang kau inginkan?" tanya Rose, tanpa minat. Ia duduk di kursi meja kerjanya dan mulai menyalakan komputer.

"Barusan aku ke tempat Kakek," ujar Nicklaus, memulai pembicaraannya. Kedua tangannya ia pautkan satu sama lain dan duduk menyamping menghadap Rose. "Lalu ia bertanya apa saja yang aku lakukan sejak kemarin."

"Dan lebih tepatnya, apa urusannya hal itu denganku?"

Sudut kiri bibir Nicklaus terangkat. "Ia menyinggung soal perempuan yang mengaku hamil anakku. Jennifer? Kau pasti tahu kan?"

Rose mendongak sesaat. "Lalu?"

Nicklaus menghela napasnya panjang, pura-pura kecewa berat dengan tatapan sendunya yang dibuat-buat. Ia menopang dagu pada tangan kanannya yang ia sandarkan pada bahu sofa dan menatap Rose dengan seksama.

"Aku baru saja hendak menyingkirkannya seperti apa yang kau sarankan padaku, lalu, aku diberitahu oleh sekretarisku kalau perempuan itu baru saja diberitakan bunuh diri dan ditemukan oleh temannya yang mengaku kalau Jennifer memberitahunya bahwa ia akan bunuh diri beberapa jam setelahnya."

Rose hanya bergeming, sementara Nicklaus yang merasa ucapannya kurang meyakinkan pun meraih ponsel pada saku jasnya dan bangkit dari posisinya serta melangkah berdiri tepat di samping kursi kerja Rose.

"Jennifer Griffin—27 tahun, ditemukan tewas di apartemennya yang berada di kawasan Upper East Side, New York, oleh salah seorang kerabat yang mengaku mendapatkan panggilan peringatan yang mengatakan bahwa dirinya akan bunuh diri. Awalnya, saksi berinisial N.J. tersebut tidak mengindahkan peringatan Jennifer dan mengira bahwa kerabatnya itu hanya bercanda mengingat bagaimana dirinya menyebarkan berita kehamilan di publik dengan senangnya dan tiba-tiba saja ingin bunuh diri," jelas Nicklaus panjang lebar, membacakan artikel berita yang ia dapat dari salah satu website terkini dan menekankan beberapa perkataannya pada Rose.

Rose berdecak sebal dan berdiri dari posisi duduknya, hampir saja menubruk kepala Nicklaus kalau laki-laki itu tidak mundur selangkah.

"Apa kau sudah selesai?" cerca Rose, mulai habis kesabarannya.

Namun sepertinya semua orang sudah tahu bahwa Rose bukanlah tipikal orang yang dapat menahan amarahnya. Itu juga yang menjadi salah satu alasan sekretarisnya tidak pernah bertahan lebih dari enam bulan lamanya. Begitu kontrak berakhir, saat itu juga mereka akan memilih untuk berhenti bekerja ketimbang melanjutkan pekerjaan bersama Rose yang temperaturnya kerap kali mendidih dan meledak-ledak itu.

Nicklaus tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Di sini bagian menariknya," paparnya.

"Aku tidak ingin mendengarnya—"

"Well, sayang sekali karena kau harus mendengarnya," potong Nicklaus, maju selangkah dan memperpendek jarak di antara keduanya.

Mata Rose mengerjap selama beberapa kali, sedikit terkejut dengan perlakuan Nicklaus barusan.

Mata mereka bertemu, hanya berjarak sepersekian senti dan Nicklaus menyunggingkan seulas senyum di wajahnya.

"Dan mengejutkannya, setelah diperiksa ternyata Jennifer Griffin tidak tengah mengandung seperti yang heboh diberitakan sebelumnya bahwa ia mengaku hamil oleh salah satu pewaris perusahaan W. Company," baca Nicklaus.

"Pada pesan yang diterima oleh kerabatnya pun demikian, Jennifer mengatakan bahwa dirinya terpaksa berkata demikian untuk memeras harta keluarga W yang merupakan keluarga nomer 1 terkaya di Benua Amerika karena dipaksa oleh Managemennya yang juga memiliki motif tersembunyi yaitu menarik perhatian publik dan menyukseskan film terbarunya." Nicklaus mengakhiri ceritanya dengan mengunci kembali layar ponselnya.

Ia meletakkan ponselnya di atas meja dan maju lagi selangkah ke depan, dan Rose pun sontak mundur selangkah, namun terhalang kursi kerjanya.

"Apa yang kau lakukan?!?" sentak Rose, meneguk salivanya keras-keras.

"Sebentar," gumam Nicklaus, merogoh saku jasnya yang sebelah kiri dan mengeluarkan kotak berwarna biru safir dan meraih tangan Rose untuk meletakkan kotak tersebut ke atasnya.

Alis kanan Rose terangkat.

"Untukmu," kata Nicklaus.

"Untukku?" ulang Rose.

Nicklaus mengangguk. "Iya, untukmu. Sebagai rasa terimakasih karena telah membereskan masalahku."

Baru sempat Rose hendak membalas perkataan Nicklaus barusan, lelaki itu sudah berbalik dan melenggang pergi. Membuka kunci pintu ruangannya dan keluar.

Sepeninggalan Nicklaus, Rose lagi-lagi dibuat tercegang lantaran terkejut karena begitu ia membuka kotak tersebut, di dalamnya berisi sepasang anting berbentuk hati dengan batu safir di tengah-tengahnya.

Dan anehnya, jantung Rose dibuat berdebar karenanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro