Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. His Morning Whiskey

Chapter 3

Ponsel yang terletak di atas nakas sofa itu kembali bergetar untuk yang ke sekian kalinya pagi ini, dan yang Nicklaus lakukan lagi-lagi mengabaikannya.

Seakan tak terganggu sama sekali dengan getaran pada ponselnya itu, Nicklaus menyelonjorkan kakinya di bed sofa dengan segelas whisky di tangan kanannya.

"Menyingkirkan wanita itu?"

Entah sudah untuk yang ke berapa ratus kalinya Nicklaus bergumam sedemikian rupa.

"Wah, bagaimana bisa ia berkata seperti itu seakan-akan menyingkirkan kotoran dari sepatu?" celoteh Nicklaus, merinding sendiri dan langsung menyesap minumannya.

Drrtt drrtt

Sekali lagi, ponsel Nicklaus bergetar dan entah ada angin apa kali ini berhasil menarik perhatiannya yang sebelumnya melayang ke awang-awang.

Dengan mata yang sedikit menyipit, Nicklaus menjulurkan tangannya yang tidak memegang gelas untuk meraih ponselnya.

Dan Nicklaus pun menghela napas panjang begitu melihat siapa yang menelponnya sejak tadi.

Tua Bangka

Walau ragu, ia tetap menggerakkan jemarinya ke tombol hijau dan menjawab panggilan.

"NICKLAUS JAMES WALTON!"

Cepat-cepat Nicklaus menjauhkan ponsel dari telinganya dengan mata terbelalak kala suara seseorang di seberang sana menggema seperti ledakkan petir Dewa Zeus yang tengah murka.

"Hai—Kakek," sapa Nicklaus seraya memaksakan senyumnya karena entah mengapa ia merasa si Tua Bangka alias Kakeknya itu dapat melihat bagaimana wajahnya bereaksi walau sekedar melalui panggilan telepon.

"Bukankah kemarin sudah jelas aku katakan untuk datang ke ruanganku?! Kau juga mengatakan ingin menyampaikan sesuatu yang penting kepadaku dan Rose! Tapi kenapa saat di tengah-tengah kekacauan ini kau malah tidak datang di pertemuan yang begitu penting dan malah pergi kemana-mana seakan-akan tidak melakukan kesalahan apapun?!"

Sumpah Demi Tuhan, Nicklaus perlu ke dokter untuk memeriksa telinganya setelah ini.

"Kakek, tenang—"

"Bagaimana aku bisa tenang!?" Damian—Kakek Nicklaus, memotong. "Apa kau tahu betapa sibuknya Rose mengurus segala kekacauan yang telah kau buat?! Di tengah kesibukkannya itu pun ia menyempatkan diri datang untuk menemuiku dan bertanya hal apa yang ingin kubahas. Bagaimana aku bisa berbicara hanya dengan Rose kalau kau sebagai pewaris perusahaan saja tidak datang!?"

Mata Nicklaus mengerjap beberapa kali.

"Rose datang? Apa maksud Kakek—"

"Iya! Cucuku yang satu itu memang selalu perhatian. Dan satu lagi, dia selalu jauh lebih pintar darimu!"

Kepala Nicklaus terasa pening seketika. Ia meneguk sedikit minumannya lalu ia letakkan gelas di atas nakas dan berdiri dari sofa.

Perempuan ular itu, benar-benar... berbisa.

"Lebih baik aku berikan saja perusahaan kepada Rose. Mengurus masalah dan jadwalmu sendiri saja tidak becus! Bagaimana mungkin aku bisa memberikan perusahaan kepadamu?!"

"Tidak!" Bibir Nicklaus membalas lebih cepat dari pemikirannya. Respon spontan yang kelewat cepat hingga ia merutuki dirinya sendiri lantaran tidak tahu akan melanjutkan apa setelah berkata demikian.

"Tidak? Kau bilang tidak?"

Kobaran api di dalam diri Nicklaus seakan menyala-nyala dibuatnya.

"Aku akan menebusnya," kata Nicklaus. "Tunggu selama beberapa hari—tidak, tunggu selama beberapa minggu. Akan kubuktikan."

Nicklaus dapat mendengar dengan jelas suara tawa dan decihan meremehkan dari Damian di seberang sana.

"Kau? Apa yang akan kau buktikan?"

"Tunggu saja," ujar Nicklaus, langsung memutuskan sambungan telepon dari Kakeknya.

Dan setelahnya, Nicklaus langsung meraih kembali gelasnya dan meneguk isinya hingga habis tak tersisa.

"Rose Adrianna Walton, kau baru saja memulai permainan dengan pria yang salah."

Brakk!!

Suara tumpukan buku yang terjatuh dari atas meja kerja berdebum keras.

Bukan tanpa alasan buku-buku itu jatuh dengan sendirinya, melainkan karena seorang wanita yang duduk di balik meja lah yang mendorong tumpukan buku itu dengan emosi yang meletup-letup.

Matanya menerawang ke arah kaca dan menatap lurus-lurus ke pemandangan kota yang terlihat dari lantai 24 tempat ruangan kerjanya berada.

"Apa kau tidak bisa bekerja dengan becus barang sekali saja!?"

Perempuan itu memekik dengan rahang mengeras. Tatapannya dipenuhi kilatan amarah selagi tangan kanannya menggenggam ponsel dengan erat.

"Maaf, Ms. Walton. Akan segera kucari tahu lebih lanjut lagi mengenai SM Projek 911."

"Sebaiknya begitu. Karena kalau tidak, akan kutarik kembali permohonan donor kornea untuk mata anakmu, Christy."

Dan setelahnya, perempuan yang di meja kerjanya terdapat papan nama akrilik bertuliskan "Rose Walton — Direktur" langsung memutuskan panggilan telepon dan melempar ponselnya ke dinding.

"AAAAAAAHHH!"

Dengan suara melengking Rose berteriak frustasi seraya menjambak dengan keras rambutnya.

"Akan kuhabisi kalian semua!" pekiknya, matanya terpejam dan lagi-lagi mengacak-acak rambut. Tak peduli dengan bagaimana tatanan rambutnya terlihat.

"Siapa yang hendak kau habisi, Cousin?"

Kedua mata Rose lantas terbuka lebar dan berbalik badan melihat sang empunya suara yang entah sudah sejak kapan berada di ruangan kerjanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Rose, to the point.

Laki-laki dengan setelan jas hitam dan kemeja putih tak berdasinya itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan melayangkan seulas senyum di bibirnya.

"Hanya bertemu dengan sepupuku, tidak boleh?"

Siapa lagi kalau bukan Nicklaus.

Rose berdecih. "Apa kau mabuk pagi-pagi buta? Untuk apa kau bertemu denganku? Kembali meminta saran bagaimana menyingkirkan Jennifer?"

"Sedikit. Tapi aku masih bisa memikirkan cara untuk menyingkirkan Jennifer sendiri. Terimakasih atas saranmu, sangat membantu," jawab Nicklaus enteng. Lalu, kaki jenjangnya itu melangkah dari depan pintu masuk menuju sofa di tengah ruangan dan meraih segelas whisky dengan tiga butir ice box di dalamnya dari atas coffee table. "Ini milikmu?"

Mata Rose yang sudah memerah kian melebar. Ia cepat-cepat melangkah keluar dari meja kerjanya dan merebut gelas tadi dari tangan Nicklaus, meneguknya hingga habis dan meletakkannya kembali di atas meja dengan keras.

"Apa kau tidak diajarkan untuk tidak menyentuh sesuatu yang bukan milikmu?" hardik Rose, menatap Nicklaus tidak suka.

Dan yang Nicklaus lakukan hanya tertawa.

Entah kenapa, hanya melihat Nicklaus saja sudah membuat emosi Rose makin terbakar. Tapi kali ini ia diharuskan melihat lelaki menjengkelkan ini pada saat terburuk dan di saat ia tengah tertawa dengan nada mengejek.

"Lebih baik kau keluar dari ruanganku sebelum kucabik-cabik wajahmu," tukasnya.

Kedua tangan Nicklaus terangkat ke udara. "Kau terlihat kacau, Cousin. Tapi, baiklah-baiklah," paparnya, ia melangkah membuka pintu untuk keluar, namun berhenti dan kembali berbalik tepat sebelum menutup pintu. "Tapi—"

"Apa lagi?!" Rose yang tiba-tiba sudah berdiri si belakangnya menyela.

"Aku dengar kau datang ke ruangan Kakek kemarin siang," ungkap Nicklaus. "Apa itu sebelum kau makan siang bersamaku dan Will, atau setelahnya? Aku hanya penasaran, makanya aku datang bertanya."

"Apa kau sepenting itu sampai aku harus melaporkan segala kegiatanku padamu?" sahut Rose.

Lagi-lagi Nicklaus tertawa.

"Baiklah kalau begitu. Aku permisi, Direktur Rose."

Brakk!!

Dan pintu langsung mendebum keras tepat di depan wajah Nicklaus.

"Dasar wanita pemarah," oceh Nicklaus, namun badannya tetap berbalik dan berjalan menjauhi ruangan Rose.

Setibanya di depan elevator dan menekan tombol turun untuk kembali ke ruangannya sendiri, Nicklaus meraih ponsel dari sakunya dan menuju kontak untuk menghubungi salah satu kenalannya.

Tak berselang lama, pintu lift terbuka dan panggilannya terangkat.

"Hallo, Dokter Qian, bagaimana kabarmu? Ini aku, Nicklaus Walton." Nicklaus menyapa seramah mungkin dengan tangannya yang bergerak menekan tombol angka 21.

"......"

Nicklaus tertawa garing, terlihat jelas dari bagaimana reaksinya yang jauh dari kata natural dan terkesan dibuat-buat. Tapi Nicklaus tidak peduli dan meneruskan.

"Aku hanya ingin bertanya. Tapi kalau kau tidak bisa atau tidak mau menjawabnya aku juga tidak apa-apa. Toh, ini bukan sesuatu yang terlalu penting."

Ting.

Pintu lift terbuka di lantai 21 dan Nicklaus segera melangkah keluar menuju ruangannya.

"....."

Nicklaus menghela napasnya sesaat. "Apa mungkin kau mengetahui sesuatu tentang SM Projek 911?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro