10. Night Surprises
Peringatan! Terdapat sedikit adegan dewasa di chapter ini. Bagi yang masih berada di bawah umur, jangan dicontoh yaa, cukup jadikan bacaan saja untuk pengetahuan di masa depan dan yang sudah di atas umur mohon untuk menanggapinya dengan bijak.
Happy reading!
• • • • •
Chapter 10
Rose tidak bisa tidur. Matanya tertutup, tapi tidak dalam waktu yang lama.
Ia mengerang kesal dan menendang selimut yang membaluti tubuhnya itu lalu duduk bersandar. Kepalanya menoleh ke arah jam dinding pada sudut kamarnya dan langsung berdecak.
Jam 2 pagi.
Sial. Sudah jam segini, dan dia masih tidak bisa tidur.
Padahal, pagi nanti dia memiliki jadwal meeting dengan salah satu client dan vendor yang akan menjadi pendukung projek besar miliknya. Kan, tidak lucu kalau ia meeting dalam keadaan lusuh. Atau lebih parah lagi, menguap.
Kepala Rose cepat-cepat menggeleng. Benci dengan bayangannya sendiri di kepala.
Sudah dua bulan jam tidur Rose jadi berantakan seperti ini. Kacau balau karena perbuatan sepupunya—Nicklaus—yang bukan hanya menghancurkan jam tidurnya, tapi juga menghancurkan segala rencana yang sudah susah payah ia susun.
Ugh, memikirkannya saja membuat Rose jadi semakin membenci Nicklaus setiap harinya.
Bagaimana tidak, laki-laki tengil itu terus saja mengekori Rose dua bulan ini tanpa henti setelah pengumumannya yang menyatakan bahwa ia akan membantu Rose dengan rencana pembangunannya.
Ingin sekali Rose tertawa terbahak-bahak. Membantu katanya?
Bahkan, Nicklaus tak ragu-ragu untuk mengekorinya saat hendak bertemu dengan William dua minggu lalu.
Omong-omong soal William, sepertinya Rose tahu apa yang harus ia lakukan pagi ini.
Akhirnya demi dapat mengalihkan pikirannya dan mengatasi stress akibat tidak bisa tidur ini, Rose memilih bangkit dari ranjang lalu meraih earpodnya dan menghubungi seseorang melalui ponselnya. Ia melangkah menuju walk in closet khusus untuk pakaian-pakaian casualnya dan meletakkan ponselnya di atas sofa yang berada di tengah-tengah ruangan, tepat di bawah chandelier mewah dengan bentuk crystal yang dibentuk spesial hanya untuknya.
Selagi Rose memilah pakaian untuk ia kenakan, panggilan di balik ponselnya terjawab. Jemari Rose sedikit menekan earpod di telinganya sebelum kembali memilah baju.
"Hallo, Darling," sapa seseorang di seberang sana dengan suara serak ala bangun tidur miliknya.
Sudut kanan bibir Rose terangkat, terlebih saat ia menemukan coat yang dicarinya dan mulai mengenakannya.
"Apa kau sudah tidur?" tanya Rose.
"Sudah bangun." Suara di seberang sana meralat.
Tentu saja, itu William.
Rose tertawa pelan. Akhirnya ia bisa tertawa, terimakasih kepada kekasihnya yang paling tampan.
"Apa aku mengganggu tidurmu?"
"Never." Cepat-cepat Will membalas. "Apa kau rindu denganku?"
"Hm," balas Rose sekenanya. Ia menuju cermin dan mulai menata rambutnya yang acak-acakan. "Apa kau mau menemaniku?"
"Terakhir kali kuperiksa, kau tidak ingin keluar jam dua pagi dan memarahiku minum-minum. Jadi, menemani ke mana maksudnya?"
"Tidak-tidak. Tidak jadi," sanggah Rose segera. "Aku hanya akan langsung berangkat menuju rumahmu."
"Kau yakin? Tidak ingin kujemput atau di rumahmu saja?"
Padahal dia tahu kalau Will tidak akan melihat, tapi entah kenapa Rose tetap menggeleng.
"Aku bisa sendiri," kata Rose. "Tugasmu hanya memasak selagi aku di jalan. Okay?"
Will tertawa pelan. "Baiklah, ayah rumah tangga siap melayani Tuan Puteri."
Rose ikut tertawa. Setelah merapihkan tatanan rambutnya, ia beralih untuk meraih kembali ponselnya lalu mengambil asal sandal Gucci miliknya dan keluar dari walk in closet.
"See you there," ucap Rose.
"See you."
"Apa kau pikir aku perlu belajar memasak?" tanya Rose, begitu selesai menyicipi masakan William.
Sebenarnya, sulit sekali untuk menyebutnya sebagai menyicipi karena alih-alih hanya mencoba, Rose malah menghabisi seisi piringnya hingga bersih.
Setelah tiba di rumah Will kurang lebih dua puluh menit yang lalu, Rose langsung disuguhkan dengan masakan yang Will buat di tengah rasa kantuk yang menjalar di lingkar matanya.
Awalnya, Rose menolak untuk makan dan berkata bahwa ia hanya bercanda menyuruh Will memasak. Ia jadi bingung karena sampai sekarang kekasihnya itu masih tidak dapat membedakan mana yang lelucon dan mana yang bukan.
Tapi, lantaran perutnya yang sudah mengaung-ngaung minta diisi dan harumnya masakan yang Will buat terus menggoda indera penciumannya, Rose pun memutuskan untuk mencoba masakan yang Will buat dan berakhir menghabiskannya.
"Apa kau kelaparan?" Will malah balik bertanya.
Rose berdecak. "Sudah kubilang, aku tidak ingin makan."
"Tapi, kau menghabiskannya."
"Aku tetap tidak ingin makan," sergah Rose tak ingin kalah.
"Baiklah-baiklah." Will menyerah. Ia meraih piring dari atas meja dan meletakkannya ke atas wastafel sebelum kembali kepada Rose yang sedang duduk sembari memegangi perutnya yang terasa begah di tempat duduk.
Will menghampiri Rose dan meraih tangannya. "Apa kau sedang mengandung?" ledeknya.
Pupil mata Rose langsung membesar. "Kenapa kau bertanya?!"
"Easy young mom, easy." Will angkat tangan dan Rose langsung membuang pandangannya serta berdecih.
Bisa-bisanya Will meledeknya dengan mengatakan bahwa dirinya tengah mengandung. Apa perutnya berubah sebesar itu setelah makan? Kalau iya, maka ini gawat. Rose langsung memikirkan sederetan langkah olah raga dan yoga serta pilates yang perlu ia lakukan guna mengembalikan bentuk tubuhnya seperti semula kalau tidak ingin diledek jadi ibu hamil lagi.
"Next round?" tawar Will tiba-tiba, berhasil menarik perhatian Rose sepenuhnya.
Rose menoleh. "Wine?"
Will hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Rose. Ia membimbing kekasihnya itu untuk menuju kamarnya dan mengarahkannya untuk duduk di sofa yang tersusun tepat di hadapan ranjang miliknya sementara ia meraih dua gelas dan sebotol wine yang terletak di side desk miliknya.
Sebenarnya Rose membenci konsep penthouse milik kekasihnya ini. Terlalu modern di bagian ruang utama, namun saat ia memasuki daerah kamar maka yang didapatkan olehnya adalah kamar bergaya American Classic. Ia merasa seperti berada di tempat yang berbeda pada saat bersamaan.
"Kau sudah menyiapkannya?" cibir Rose.
Kedua bahu Will terangkat. "Langsung kusiapkan saat kau selesai menelepon."
"Cih."
Susah payah Rose menahan semburat senyum di wajahnya, berbeda jauh dengan Will yang tak segan untuk memaparkan senyuman di wajahnya selagi ia sibuk menuangi wine ke gelas miliknya dan juga milik Rose lalu duduk di samping kekasihnya.
Rose meraih gelas dari tangan Will bahkan sebelum lelaki itu sempat menyodorkan ke arahnya dan meneguknya sedikit guna menyecap rasa sebelum kembali meneguknya hingga habis.
"Apa kau selalu tidak sabaran seperti ini?" goda Will, sembari memutar-mutar gelas wine miliknya.
Rose meletakkan kembali gelasnya ke atas meja dan mengambil alih gelas wine milik Will. "Aku hanya ingin cepat-cepat saja," balasnya.
Kedua tangan Will yang kosong kini ia gunakan untuk mendekap Rose ke dalam pelukannya. "Cepat-cepat untuk apa?"
"Cepat-cepat mengabulkan keinginanmu," jawab Rose.
Alis kiri Will terangkat. Ia merebut kembali gelas miliknya dan meneguk habis winenya sebelum ia letakkan kembali ke atas meja.
"Apa keinginanku?"
Dan di detik berikutnya, bukannya jawaban yang Will dengar tapi malah bibir manis Rose lah yang ia rasakan.
Rose ingin memastikan perasaannya sekali lagi. Juga memastikan debaran pada jantungnya sekali lagi.
Tanpa ada rasa ragu barang sedetikpun, Will langsung membalas kecupan Rose yang semula hanya bersentuhan saja dan berubah jadi lumatan besar. Kaki Rose yang semula berada di atas karpet kini terangkat dan duduk di pangkuan Will di atas sofa. Tangan kirinya ia sampirkan ke pundak Will sementara tangan kanannya menelusupi rambut Will.
Will berhenti sebentar dan memegangi kedua pundak Rose untuk menjauh.
"Apa kau yakin ini keinginanku?" tanya Will, menatap Rose tepat di mata.
"Keinginanku."
Kali ini giliran Will yang melahap bibir Rose dan mengangkat wanita itu dari pangkuannya berubah membopongnya dan menghempaskan tubuhnya yang jauh lebih mungil itu ke atas ranjang.
"As your wish," bisik Will, mulai melucuti seluruh pakaian Rose dari atas sampai bawah.
Sementara tangan Rose tak hanya diam, ia juga bergerak melepaskan kancing celana panjang Will hingga melucuti celana terdalamnya. Ia pun turut membantu Will melepas pakaiannya.
Tangan Will menuntun tangan Rose menuju bagian bawah tubuhnya selagi bibir mereka bersatu dan terus menukar saliva satu sama lain. Lumatan kecil hingga lumatan besar Will layangkan terhadap Rose yang mengikuti tempo permainan lidahnya.
Saat tangan Rose sibuk bermain di bawah sana, tangan kanan Will turut meremas dada milik Rose secara perlahan, memijat seluruh bagiannya hingga memelintir puting kemerahan milik Rose, membuat tubuhnya sedikit menggelinjang kegelian.
Will melepas ciumannya terhadap Rose dan menatap kobaran di mata perempuan itu. Apa segelas wine saja bisa membuat perempuan terbakar seperti ini?
Tanpa diperintah, tubuh Rose berputar jadi berada di pangkuan Will dan bergerak ke bawah. Wajahnya berada tepat di bagian bawah tubuh Will dan tanpa ragu mulutnya bergerak untuk memasukkan seluruh bagian intim milik Will ke dalam sana. Tangannya pun turut bergerak searah dengan mulutnya yang bermain di sana.
Will menahan napasnya yang memburu dan mengatur seluruh rambut milik Rose agar tak mengganggu pergerakkannya. Sesekali bahkan ia membantu menggerakkan kepala Rose sesuai irama.
Enggan terlalu lama, Will menarik tubuh Rose untuk kembali berada di bawahnya. Ia kembali melahap bibir Rose selagi salah satu jemarinya bergerak di bagian bawah tubuh Rose dan mulai menelusup masuk ke sana.
Erangan kecil tak terelakkan dari mulut Rose, membuat Will mempercepat pergerakkannya dan membuat tangannya semakin basah di bawah sana.
Will melepaskan tangannya dan menyesapnya tanpa ragu sebelum kembali mengulum bibir Rose. Tangan Rose sama sekali tak bisa diam, ia menggerakkan bagian intim milik Will di bawah sana dan menuntunnya untuk cepat-cepat memenuhi tubuhnya. Waktu yang berlalu terasa begitu berharga untuk disia-siakan.
Satu hentakan, dan mereka sudah bersatu sepenuhnya.
Pinggul Will mulai bergerak maju dan mundur secara teratur, diikuti erangan dari mulut Rose yang terhempas begitu Will menghentakkan tubuhnya. Kepalanya mendongak ke atas selagi kedua tangannya memeluk leher Will, enggan kehilangan.
Beberapa menit berlalu, Rose bahkan merubah posisinya lagi menjadi di atas tubuh Will. Kini ia yang menjadi pengendali di sini. Ia bergerak tak karuan dengan bantuan tangan Will yang membopong bokongnya agar dapat mudah bergerak.
"I'm coming..." desis Will, setelah beberapa lama tertahankan.
"Please," pinta Rose, kepalanya mendongak ke atas ruangan selagi tubuhnya menggelinjang geli.
Enggan waktunya terlewatkan, Will kembali memutar tubuh Rose dan bergerak cepat di atas. Rose mendesah hebat selagi tempo Will yang bertambah cepat. Sampai... Will berhenti dan mengeluarkan segala isinya ke dalam rahim Rose.
Napas Rose berderu tak karuan dan rasa geli menjalar di sekujur tubuhnya, terlebih saat Will melepaskan tautan di antara keduanya dan merebahkan tubuhnya di samping Rose.
"It felt so good," bisik Will, mengecup dahi Rose dan menariknya ke dalam dekapannya.
Rose tak lagi dapat menahan seulas senyum di bibirnya. "Thankyou."
"Hm," gumam Will. "Apa kau ingin kutemani membasuh tubuhmu?"
Kepala Rose cepat-cepat menggeleng. Ia mempererat pelukannya pada tubuh besar Will.
"Biarkan seperti ini selama beberapa saat."
Will tertawa. "Baiklah."
Baru saja Will mengelus belakang kepala Rose dan membelai rambutnya, ponsel milik Rose bergetar di bawah sana, bertebaran bersamaan dengan helaian pakaian milik Rose.
Sepertinya ketenangan tidak dapat mereka miliki barang sedetikpun.
"Apa kau tidak akan mengangkatnya?" tanya Will saat Rose tak kunjung beranjak.
"Siapa yang dengan kurang ajarnya menelepon pagi-pagi buta seperti ini?"
"Hm—kau?"
Kelopak mata Rose yang semula tertutup langsung terbuka lebar.
"Apa kau akan terus membahasnya?" Ia melotot.
"Aku hanya menjawab pertanyaanmu," ujar Will, memejamkan kedua matanya, berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan mematikan milik Rose.
Ponselnya berdering sekali lagi.
Rose mengerang kesal dan bangkit dari tidurnya. Ia meraih ponselnya dan emosinya seketika kian meletup-letup saat melihat nama kontak yang menghubunginya.
"Apa yang kau inginkan dariku pagi-pagi buta seperti ini, Nicklaus?!" hardik Rose langsung begitu mengangkat panggilan.
Mendengar nama Nicklaus, Will langsung ikut bangkit dan mendekat ke arah Rose. Takut-takut kalau kekasihnya melakukan tindakan gegabah saat emosi dengan Nicklaus, seperti membanting ponselnya barangkali. Atau parahnya, menghampiri Nicklaus dan menusuk lehernya.
"Di sana kau rupanya."
Mata Rose mengerjap selama beberapa kali. Lalu, ia menjauhkan ponselnya dan baru tersadar kalau ponsel yang berada di genggamannya adalah milik Will.
Rose baru ingat, mana mungkin ia menyimpan kontak Nicklaus dengan sebutan namanya alih-alih 'Orang Gila'.
Will yang juga baru menyadari akan hal itu hanya dapat menghela napasnya.
"Aku sudah mencoba menghubungimu tapi tidak kau jawab. Dan, di sinilah kau. Menjawab panggilanku melalui ponsel Willian."
"Hentikan basa-basimu," sergah Rose. "Apa maumu?"
"Aku sudah mendapatkan tiket first class untuk kita berdua. Kita berangkat pagi ini pukul sembilan ke Santa Monica."
Tiba-tiba saja Rose menyesal tidak menghabisi Nicklaus selagi ada kesempatan.
[ n o t e s ! ! ! ]
Hi, after a long time break. I'm back, beeeaaacchheesss!
Hahahaha, gabole kasar jadi pantai aja ya.
So, bagaimana? Apakah sudah mengobati rasa rindu kalian terhadap si tengil Nicklaus?
Ngehehehehe sepertinya tidak, karena di sini Nicklaus cuman muncul sebentar.
Tapi, gimana? Suka kaaaaannnn??
Ada adegan itunyaaaa...
Hayo ngakuuuuuu!
Wkwkwkwkwkkwkwkwk.
Awas aja kalo tiba-tiba ada pertanyaan "KAKAK KOK NGERTI DETAILNYA" :)
Tapi serius, ini part udah jadi dari bulan puasa. I mean, adegan itunya. Tapi gue tunda post karena enggan kalian terkena bad influence dan malah jadi batal puasanya;((((
Cukup basa-basinya, kali ini gue cuman mau bilang kalo konflik akan segera dataaannnggg. So, be prepare.
100 comments for next chapter.
Love, Melanie.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro