1. Nosebleed
Chapter 1
"Nicklaus James Walton, penerus Walton Internasional Company dikabarkan siap menimang anak pertamanya dengan aktris cantik Jennifer Griffin. Di tengah-tengah pemilihannya sebagai penerus perusahaan retail tersebut, Nicklaus diperkirakan siap meminang Jennifer sebagai istrinya."
"Saham Walton Internasional Company dikabarkan merosot drastis hingga 0,41% semenjak kabar kehamilan Jennifer diumumkan."
"Nicklaus yang maju sebagai penerus Walton Internasional Company di tengah-tengah panasnya pengumuman kehamilan Jennifer Griffin, bagaimana komentar Rose Adrianna Walton—sepupu yang juga turut memperebutkan posisi tersebut?"
Oh, talk fast. Romance.
Won't last, I'm okay with that.
Lagu Talk Fast milik 5 Seconds of Summer menggema di seluruh penjuru ruangan kala ponsel berukuran 6.5 inch itu berdering dari atas nakas.
Jemari panjangnya berusaha meraih ponsel yang juga bergetar itu dan hendak melemparnya keluar ruangan kalau bisa. Tapi, ia tak kunjung menemukannya. Selain lantaran matanya yang masih terpejam, posisinya yang berada di tengah-tengah ranjang juga kurang menguntungkan.
Dengan setengah hati dan kelopak mata yang terasa ditempel lem, perempuan dengan rambut sebahu yang super lusuh itu bangkit dari posisi tidurnya dan duduk membungkuk di atas ranjang berukuran king dengan selimut nude andalannya itu.
Seakan tak membiarkannya untuk tenang barang sedetik saja, ponselnya kembali berdering.
Kesal, ia pun segera bergeser ke tepi ranjang dan meraih ponselnya.
Alih-alih menjawab panggilan masuk tersebut, ia malah terbelalak kala melihat angka yang menunjukkan waktu di layar teratas ponsel.
Jam 8 lewat 19 pagi.
"Aku benar-benar harus menjauhi alkohol," umpatnya.
Tanpa basa-basi lebih lanjut, ia langsung berdiri dan melempar ponselnya secara asal seraya berlari ke dalam toilet.
Tak menunggu waktu lama sampai perempuan bernama lengkap Rose Adrianna Walton itu untuk keluar dari kamar mandi dan kembali berlari menuju dressing room khusus untuk pakaian kerjanya yang tak kalah megah dari kamarnya itu.
Tangannya dengan lincah memilah baju formal yang sehari-hari ia pakai di antara seribu pakaian lainnya.
Jam 9 nanti seharusnya dia sudah ada di kantor untuk meeting dengan klien perihal pembukaan market baru di Asia Tenggara, namun seseorang membuatnya naik darah malam tadi dan membuat Rose tak tahan untuk tidak menyecap bordeaux di ruang penyimpanan dan tanpa sadar menghabiskan sebotol seorang diri.
Dengan turunnya saham perusahaan, dia tidak mungkin kan datang terlambat ke pertemuan yang menentukan masa depan perusahaannya?
Membayangkannya saja membuat Rose kesal.
"Damn it Nicklaus, you son of a bitch."
"Jam dua siang nanti Anda memiliki jadwal pertemuan dengan Mr. Walton—"
Alis Rose lantas terangkat mendengar ucapan sekretarisnya selagi kaki jenjangnya yang berbalut sepatu tinggi berhak 5cm itu melangkah keluar dari ruang meeting di lantai 16 gedung Walton International Company.
"Walton yang mana?" tanya Rose, tanpa repot-repot menoleh kepada Clara yang berjalan selangkah di belakangnya.
Benar juga. Perusahaan ini kan dipenuhi dengan Waltons. Nama belakang Rose bahkan Walton.
"CEO Damian dan... Nicklaus," jawab Clara.
Rose menghela napasnya kasar. "Batalkan saja."
Pupil mata Clara langsung bergetar. "Tapi, Tuan Damian sendiri yang mengatur pertemuan ini dan meminta agar Anda setidaknya mau datang dan meminum secangkir teh bersama—"
"Aku bilang batalkan," pungkas Rose. "Aku ingin makan siang di ruanganku, sendiri. Masih banyak pekerjaan yang perlu aku kerjakan."
Clara menyerah. "Baiklah."
Setelah mendengar Clara yang akhirnya menuruti permintaannya, Rose berdiri di depan elevator seraya menunggu. Clara menekan tombol naik agar Rose dapat pergi ke ruangan kerjanya di lantai 24, namun betapa terkejutnya ia kala mendapati sosok berambut emas dengan tinggi semapai itu berdiri di dalamnya.
"Tuan Nicklaus, saya—"
Laki-laki itu, Nicklaus, cepat-cepat mengangkat tangannya ke udara untuk menghentikan ucapan Clara.
"Aku tahu, Clara. Kau sudah berusaha," ujarnya. "Kau boleh pergi."
Dengan wajah memerah, Clara berbalik dan melenggang pergi secepat mungkin.
Rose, yang sejak tadi berdiri di samping Clara menyilangkan kedua tangannya di depan dada menatap Nicklaus.
"Bisakah kau minggir dari jalanku?" tanya Rose, tanpa minat.
Nicklaus menghela napas dan memaksakan segaris senyum di bibirnya. "Mohon maaf dengan segala hormat tapi ini bukan lift pribadimu, Cousin."
Enggan membalas ucapan Nicklaus, Rose hanya memutar bola matanya malas dan kembali mundur selangkah agar pintu otomatis lift kembali tertutup dan segera mengenyahkan Nicklaus dari hadapannya.
Tapi, tentu saja Nicklaus tak membiarkan hal itu terjadi dengan mudah.
Alih-alih membiarkan lift tertutup, tangan kekar Nicklaus malah menarik Rose untuk masuk ke dalam lift yang sama dengannya dan membuat Rose kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke depan dengan dada berbalut jas milik Nicklaus sebagai landasannya.
Rose melotot dan hendak mundur, saat tangan Nicklaus menahan pinggulnya yang menyebabkan pintu otomatis lift kini tertutup. Membawanya ke antah berantah bersama seorang Nicklaus.
"Apa yang kau pikir kau lakukan, you idiot?!" pekik Rose, masih dengan mata membesar.
Nicklaus melepaskan pegangannya dari tubuh Rose dan mengangkat tangannya ke udara.
"Stupid," dumal Rose, menahan kesal.
Perempuan itu lantas menyingkirkan seluruh debu yang berpindah dari pakaian Nicklaus dan membenarkan tatanan blaus biru tua yang ia kenakan.
"Aku tahu kau tidak akan datang, jadi aku sendiri yang menjemputmu," ujar Nicklaus, menekan tombol angka 31 pada elevator.
Rose berdecih. "Kau pikir aku mau barang sedetik saja menghabiskan waktuku yang berharga hanya untuk minum teh dan membicarakan bagaimana padatnya New York di pagi hari denganmu dan Kakek? Atau bahkan berbicara bagaimana kau menghamili wanita itu?"
Kini giliran Nicklaus yang membenarkan tatanan jasnya.
"Pertama, aku tidak menghamili wanita sialan itu," kata Nicklaus.
Rose hanya memutar bola matanya.
"Kedua, aku juga tidak mau membicarakan hal tidak penting semacam itu," kata Nicklaus enteng. "Aku hanya ingin bicara pada Kakek untuk memberikan jabatannya kepadamu daripada repot-repot memberikannya kepadaku karena aku sama sekali tidak tertarik."
Gunung berapi yang dikira sudah padam setelah mabuk semalam di hati Rose kembali meledak-ledak sekarang. Wajahnya memerah lantaran menahan amarah dan kedua tangannya lantas mengepal.
"Berhenti. Bicara. Seperti. Itu." Rose menekankan setiap ucapannya.
Nicklaus meliriknya sebentar, dan seolah-olah tak peduli, ia bahkan meraih ponsel dari sakunya dan membuka akun Instagram dari sana.
"Bicara apa?" tanya Nicklaus cuek. "Aku benar-benar tidak peduli dengan perusahaan. Aku bahkan berpikir untuk pergi dari Amerika secepatnya."
Bruk!!
Di detik berikutnya, pintu elevator terbuka tepat di lantai 31.
Dan hal terakhir yang Nicklaus ketahui adalah, perempuan yang dua bulan lebih muda darinya itu sudah melenggang pergi dari lift sementara tubuhnya tersungkur ke ujung ruangan dengan hidungnya yang mengalir darah.
Nicklaus tercegang di tempatnya. Apa yang baru saja terjadi?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro