Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XI

Dalmas, Theead bagian timur, Eranor, Tahun 776

"Berhenti!"

Beberapa kali Alice berteriak, sebanyak itulah Isaac tak mendengarkan. Napasnya terengah karena setengah mati mengimbangi langkah Isaac yang lebih besar dan sangat cepat. Pemuda yang sejak tadi menariknya terus berlari bak kesetanan. Keranjang pemberian wanita tua sudah entah berada di mana. Mereka kembali memasuki hutan, beberapa kali melewati pepohonan dan beberapa kali juga Alice hampir menabrak pohon karena tidak bisa mengimbangi Isaac yang begitu gesit menghindarinya.

Sejak mereka kabur dari kericuhan di stadion tadi, keduanya belum berhenti berlari. Alice begitu yakin bahwa tak ada lagi pria yang mengincar Para Terpilih mengejar keduanya, tetapi dirinya tidak sempat menengok ke belakang. Kesal karena tak digubris, Alice memilih untuk menahan tangannya dengan berpegangan pada salah satu pohon. Isaac terjerembab ke belakang karena momentum tubuhnya begitu kencang dan jatuh membentur tanah. Pemuda itu mengerang sedikit dan tubuhnya melingkar menahan rasa sakit.

"Apa kau gila?" serbu Alice, "kau sudah membuatku lari sejauh itu dan tak berniat untuk berhenti sedikit pun?" Gadis itu berkacak pinggang sembari berusaha mengatur napasnya. Meluapkan emosi memang membutuhkan tenaga tersendiri. "Kita bahkan telah sampai di tempat penuh pohon seperti ini tanpa satupun orang terlihat—kau mau membuat kita kembali terdampar di hutan lagi?"

Isaac berbalik menghadapnya. Dalam sekejap, Alice bisa mengenali rasa takut yang masih bersarang dari wajahnya. Kedua matanya mendelik dan berpindah ke kanan dan kiri. Peluhnya bercucuran sementara napasnya tersengal lebih parah dari Alice sampai-sampai gadis itu mengira bisa-bisa ia tidak punya waktu untuk bernapas. "Orang-orang sebanyak itu, Tandaku tersingkap di depan mereka semua, apa kau—" ia berhenti begitu mendapati tangannya masih menggenggam belati milik pemuda yang tadi menantangnya.

Bilahnya berkilau memantulkan cahaya mentari yang masuk dari ruas-ruas pohon, kemudian menampilkan bayangannya sendiri. Di sana ia melihat seorang pemuda yang ketakutan dan gemetar, giris akan sesuatu yang mengejarnya. Ia melihat matanya sendiri yang dipenuhi rasa khawatir dan cemas. Bagaimana jika seandainya ia ditusuk di tempat. Kemudian suara ayahnya kembali menerjang kepala, "apa yang kau lakukan!? Siapa yang mengajarimu menjadi pengecut? Dengarkan aku—"

"Wanita tua itu," suara Alice mengusir seruan ayahnya yang hanya memberikan nyeri di kepalanya, "dia menceritakan hal yang lain lagi kepadamu, bukan?"

Isaac menurunkan belati yang bukan miliknya itu. Napasnya sudah membaik, kini kepalanya sudah bisa berpikir jernih. Ya. Wanita tua itu memang memberi tahunya beberapa hal lain selagi Alice belum sadar. Beberapa hal umum tentang dunia ini, dan beberapa hal lain yang Isaac bahkan tak tahu apakah dia harus memberi tahu orang lain atau tidak.

"Tandaku," akhirnya ia mendongak menatap Alice, "kata wanita itu adalah Tanda yang tidak lazim dimiliki oleh seorang Para Terpilih."

Mendengarnya, Alice menghela napas sembari menyandarkan diri pada batang pohon terdekat. Gadis itu kembali tak ingin menatap matanya, sehingga yang ia lakukan hanyalah menatap segitiga hitam yang ada di pergelangan Isaac.

"Para Terpilih yang lain memiliki Tanda seperti milikmu. Namun Tandaku," ia merunduk menatap tangannya sendiri, "adalah Tanda yang dimiliki Para Terpilih tertentu. Orang yang memiliki Tanda ini terakhir kalinya ada pada generasi yang cukup jauh berbeda dari kita, ratusan tahun yang lalu."

"Hah?" Alice sama sekali tidak mengerti apa yang Isaac katakan. "Aku tak mengerti—generasi apa yang kaubicarakan? Dan ratusan tahun? Apa maksud semua—"

"Tempat apa ini?" Isaac tidak membalas pertanyaan Alice. Pemuda itu melihat sekelilingnya. Bangunan-bangunan yang kosong dan setengah hancur tanpa penghuni. Rerumputan dan sulur akar merambati hingga bagian dalam tiap bangunan. Terlihat seperti pondok, seperti tempat tinggal wanita tua yang menolong mereka beberapa hari lalu. Hanya saja yang ini banyak dan berjajar di sisi kanan dan kiri mereka. Dan tidak berpenghuni.

Alice mengikuti Isaac yang berjalan ke arah di mana pondok-pondok itu terdapat semakin banyak, seketika gadis itu lupa dengan pertanyaanya. Pondok-pondok itu rusak seolah memang dirusak dengan sengaja. Kayunya patah dan hancur, bahkan Alice bisa melihat sisa-sisa pembakaran. Kacanya pecah berbeling, atap-atapnya roboh.

Tempat ini memiliki suasana yang sama dengan hutan tempatnya pertama kali tiba. Namun, tempat ini tak memiliki aura mencekam yang begitu terasa. Tempat ini lebih hangat dan cerah, cahaya matahari lebih mudah untuk ditemukan. Angin yang berembus tidak menimbulkan sengatan halus yang membuat bulunya meremang. Untuk pertama kalinya, Eranor—atau apa itu namanya—memberikan tempat yang sedikit nyaman untuknya, meski hanya berupa udara dan suasana.

Pondok-pondok kosong yang sudah hancur ini tetap memancarkan aura yang janggal. Ia tidak bisa memikirkan hal macam apa yang telah terjadi di tempat ini, sehingga pondok-pondok itu hancur sedemikian rupa? Setidaknya, untuk kali ini Alice bisa menikmati kepalanya yang ringan, tanpa suara-suara yang sering membelenggunya.

Begitu banyak hal yang menjadi beban pikiran Baltasar. Tentang pertempuran antar prajurit tadi, tentang temannya—Earvand, tentang Tanda yang tadi ia temukan pada seorang Para Terpilih, dan tentu saja tentang pasangan belatinya yang dibawa kabur oleh pemuda tadi. Untuk semua itu, Baltasar memilih menghela napas panjang.

Kini, ia dan Ralphia menunggangi seekor kuda cokelat tua yang ia temukan setelah berhasil menjauh dari keributan para prajurit. Earvand tak pernah bercerita padanya tentang rencana ini, terakhir kali mereka berkirim surat belum lama. Dan rencana macam ini pastinya sudah direncanakan dari jauh hari. Ia tidak bisa membayangkan hal-hal apa saja yang sudah terjadi. Apa Raja mereka sudah mati? Atau justru Kepala Tertinggi Klan Helione yang mati? Apapun itu, kalau keributan antar prajurit di tengah-tengah Festival seperti tadi terjadi, salah satu dari mereka pasti mati.

Hari ini, setelah Baltasar menyelesaikan pertandingannya di stadion dan setelah Earvand selesai dengan acara makan siangnya, seharusnya mereka bertemu. Seperti biasanya, mereka akan berburu bersama dan saling bertukar antar apa yang terjadi pada klan mereka masing-masing. Namun, setelah semua yang terjadi, tentu saja Theead bukanlah tempat yang aman baginya, sekalipun klannya adalah sekutu kerajaan. Kericuhan macam itu tak mungkin hanya bertahan sebentar.

Baltasar tahu di mana tempat terdekat dari sini untuknya beristirahat. Dan lagi, untuk keluar dari pulau ini dan pulang ke rumahnya tidak semudah itu. Pelabuhan pasti akan memeriksa tiap orang yang akan menyeberang. Beruntung kalau orang-orang di sana bepihak pada kerajaan atau klannya. Hanya ada satu tempat aman di mana ia tidak perlu menyembunyikan identitasnya, dan ia tahu di mana persis letak tempat tersebut. Namun, jika ia memasuki tempat itu, klannya akan menyebut dirinya sebagai penghianat.

Roti isi itu tidak begitu lezat dan memuaskan seperti yang biasa Isaac makan di rumahnya. Tetapi itu cukup mengganjal perutnya. Setangkap roti itu diisi oleh daging ikan dan beberapa sayuran segar beserta saus yang terasa seperti saus barbekyu meskipun sedikit lebih manis. Sebelumnya, ia tidak begitu memedulikan pengeluaran uang yang sudah ia lakukan, tetapi kali ini dia sangat memerhatikannya—terlebih ketika persediaan mereka mulai menipis.

Dirinya tidak tahu berapa hari lagi waktu yang mereka butuhkan untuk mencapai Dalmaas, dan dia bahkan tak berani bertanya kepada orang-orang yang ia temui tentang di mana keberadaan Dalmaas. Setelah apa yang ia lihat terjadi pada pemuda itu, dirinya tidak berani berbuat macam-macam. Hanya bertahan di salah satu pondok tak berpenghuni yang masih layak pakai ini yang berani ia lakukan.

Alice mulai bergerak, ia terbangun dari tidurnya yang sepertinya cukup lelap. Gadis itu mengerjapkan mata, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk dari cerik jendela, kemudian mendapati Isaac yang sedang menikmati makanannya. "Berapa lama aku tertidur?"

"Cukup lama," usung Isaac, "bahkan sampai aku kembali dari pasar kau belum juga terbangun."

"Pasar?"

Isaac mengangguk. "Makanlah," ujarnya sembari mengarahkan kepala kepada bungkusan kertas dan beberapa kantung air. "Kita belum makan sejak kemarin."

Itu benar, dan Alice langsung merasa kelaparan sejak bangun dari tidurnya. Awalnya ia ragu, tetapi setelahnya ia mengambil salah satu kantung air lebih dulu dan menghabiskannya dalam hitungan detik. Ia meraih bungkusan ketasnya dan menemukan beberapa roti. Baru detik ini rasanya ia kelaparan hebat. Sebelumnya ia tak begitu peduli, masih bisa hidup saja mungkin sudah beruntung.

Alice menggigitnya dan perutnya makin meronta hebat. Mulutnya terasa mati rasa setelah lama belum mengunyah. Roti isi itu memiliki rasa yang unik. Rasa ikannya seperti tuna, dan sausnya seperti saus kecap manis. Sayurannya cukup segar tetapi tidak begitu banyak. Sambil mengunyah, ia menatap pemuda di hadapannya sembari memikirkan apa dia pintar memilih makanan atau tidak.

"Siapa namamu?" tanya Alice akhirnya.

Lumayan lama tak menjawab, tetapi saat menjawab pemuda itu tak mengalihkan pandangan dari rotinya. "Isaac."

Setelahnya sunyi. Tak ada lagi dari mereka yang bicara selagi menikmati makanan masing-masing. Begitu banyak pertanyaan yang ada di benak Alice, tetapi ia sendiri juga tidak yakin apakah pemuda ini bisa menjawabnya. Memang ada beberapa hal yang dirinya tidak ketahui tentang hal-hal yang sempat dirinya dan wanita tua itu bicarakan, tetapi semua itu mungkin juga tak bisa menjawab pertanyaanya.

"Tandamu," Alice memulai, "kemarin kau bilang orang yang memilikinya terakhir kali ada pada ratusan tahun lalu."

Isaac menghela napas, mengurungkan niat untuk mengambil rotinya yang ketiga. Matanya menerawang ke arah pintu pondok yang terbuka sejak tadi, memperlihatkan pohon dan pohon dan pohon yang lama-lama terlihat sewarna dengan irisnya. "Malam itu, wanita itu mengatakan Tanda ini adalah milik para Penyintas." Ia berhenti sebentar, terlihat tidak percaya dengan apa yang ia sendiri katakan.

"Aku tak tahu pasti apa itu Penyintas, dan dia tidak menjelaskan lebih lanjut lagi. Namun, jika para petinggi klan—jangan bertanya padaku apa itu—melihat Tanda ini, mereka bukan hanya akan membunuh, tetapi—" ia tak melanjutkannya, kemudian menyandarkan diri kepada dinding kayu pondok. "Jadi ia bilang padaku untuk selalu berhati-hati."

Alice mengedik. "Bukankah itu suatu hal yang pasti, berhati-hati?"

Isaac terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi mengurungkannya.

"Dan tentang yang lainnya? Mengapa mereka bicara dengan bahasa kita, klan-klan yang kau bicarakan, lalu mengapa kita diburu seperti ini—bahkan yang terpenting, mengapa kita di ada sini?"

Mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi, Isaac mengernyit. "Hanya mendengar pertanyaanmu saja membuatku bingung."

Sembari menikmati potongan roti terakhirnya, Alice mengangkat kedua bahu. "Setidaknya kau lebih tahu dari aku."

"Dia tidak menceritakan begitu banyak hal. Mereka menyebut kita Para Terpilih—yang terpilih untuk datang ke tempat ini. Yang pasti adalah, bahwa tiap beberapa tahun sekali, Para Terpilih datang dari dunia kita ke tempat ini. Hal ini sudah berlangsung sejak lama, sehingga mereka menyebutnya generasi. Karena kedatangan Para Terpilih inilah orang-orang di sini menggunakan bahasa kita, karena orang-orang kita sudah terlalu sering datang. Namun, sekitar seratus tahun terakhir, wanita itu bilang bahwa sihir menjadi hal terlarang dan hina di sini. Sehingga kedatangan Para Terpilih justru menjadi ajang pemburuan."

Setelah yakin Isaac tak punya sesuatu untuk dikatakan lagi—setidaknya yang ingin ia katakan—Alice menghela napas panjang, berusaha mencerna semua hal yang baru saja ia dengar. Semua terdengar mustahil, tetapi apa arti mustahil untuk sekarang ini. Dalam beberapa hari saja ia sudah melihat dan mengalami hal-hal yang tak bisa diterima akalnya, dan kini ia harus menyangkal apa yang barusan ia dengar?

Bahkan sejak sebelum tiba di tempat ini ia sudah dihantui oleh suara-suara bising itu di dalam kepalanya sendiri, dan kini ia mau mengatakan sesuatu yang tidak lebih mengusik dari itu mustahil? Meski begitu, hari ini mungkin ia bisa sedikit lega dan bernapas dengan tenang. Tidak ada orang yang berlalu lalang di sekitar tempat ini, berarti tak ada pemburu yang mengincarnya lagi dalam waktu dekat. Begitu juga dengan suara-suara yang sebelumnya sempat menghajarnya kini juga tak muncul. Mungkin alam memberikannya waktu untuk istirahat sebentar.

Meysea tahu tidak akan mudah baginya untuk menyeberang dari Theead ke kampung halamannya. Dirinya pasti kini menjadi salah satu buronan Klan Decraz yang paling dicari-cari. Namun, dirinya juga harus cepat-cepat memberikan informasi ini ke klannya sebelum prajurit Decraz sampai di rumahnya. Zoran Ballorien telah mati. Ayahnya telah mati.

Tak tahu lagi akan rekasi macam apa yang akan keluarganya tunjukan jika ia menyampaikan berita duka ini, sekaligus berita untuk bersiap akan terjadinya penyerangan. Atau bahkan yang lebih buruk lagi—perang. Meysea sudah membaca banyak buku, gadis itu peristiwa macam apa saja yang dapat menimbulkan peperangan. Iadon dan klannya adalah sekutu, sehingga dirinya yakin bahwa mereka akan membantu klannya. Helione dan Iadon juga memiliki prajurit yang kuat dan terkenal dengan strategi perang mereka yang handal.

Namun, Decraz bersekutu dengan Talhar. Kedua klan itu, mereka memiliki cara bertarung yang sangat brutal. Membayangkan perang hanya membuatnya mual dan kalut. Apa yang akan terjadi dengan rakyatnya jika perang benar-benar terjadi? Mereka mungkin tak kalah jumlah, tetapi Decraz akan langsung membunuh lawannya di tempat tanpa aba-aba. Terlebih lagi, ada dua klan lain yang berada di dekat wilayah Decraz. Meski Dawren dan Norellyn sampai saat ini belum menjadi sekutu, bagaimana kalau mereka berpihak kepada Decraz?

Fajar telah lama menyingsing, Meysea melanjutkan perjalanannya. Ia telah memutuskan ke mana dirinya akan pergi. Mungkin itu tempat teraman untuknya saat ini. Ia memacu kuda melintasi pepohonan, hanya segelintir pemukiman yang ia lewati sepanjang perjalanannya. Tak seperti Sunburst, Dalmaas memiliki pemukiman yang tersebar secara luas. Pondok-pondoknya berdiri di antara pohon-pohon redwood yang besar.

Tak banyak orang yang ia temui saat perjalanan, dan memang itu yang ia inginkan. Lagi pula, penduduk Dalmaas biasanya tidak berasal dari klan manapun, sehingga jarang sekali melihat seseorang dari klan tertentu tinggal di tempat ini.

Meysea sampai di depan tempat yang ia tuju. Bangunan itu lumayan besar, mungkin seukuran dengan benteng-benteng para klan. Hanya saja bangunan ini tidak terlihat mengintimidasi. Semuanya dibangun dari kayu-kayu cokelat tua dan bebatuan. Ada beberapa sisi yang dibentuk dari semen, tetapi ia tidak menemukan permata atau batu berharga lainnya yang dijadikan sebagai bahan bangunan. Tidak ada atribut-atribut kebangaan klan, atau panji-panji berwarna yang berkibar tiap kali angin bertiup. Bangunan ini terlihat seperti pondok dengan ukuran beberapa kali lebih besar. Bangunan ini terlihat seperti rumah.

Pepohonan redwood mengelilingi tempat tersebut, seolah menjadi pagar. Sungai buatan yang kecil mengalir di sekeliling bangunan, menimbulkan suara gemericik air yang menenangkan. Dioant, kalau tidak salah namanya. Kakaknya pernah menyebutkannya beberapa kali sebelum akhirnya pergi dari rumah dan bertengkar hebat dengan ayahnya. Peristiwa itu mungkin hanya selang beberapa tahun saja, tetapi rasanya baru terjadi kemarin. Jika ia bisa memutar waktu, maka ia akan memilih untuk kembali ketika ayahnya masih ada.

Meysea melecut pelan kudanya untuk melangkahi jembatan pendek yang membentangi sungai kecil tersebut yang mana mengingatkannya saat melewati jembatan istana pada tempo hari. Teringat akan hal tersebut, matanya kembali memanas, ketakutan itu kembali menguasainya, air matanya sudah ingin merebak sebelum seorang pria dari dalam bangunan berseru padanya.

"Nona!" Pria itu mengenakan kemeja putih gading yang dimasukan ke dalam celana cokelat tua. Rambutnya berwarna hitam seperti miliknya, kulitnya berwarna pucat. Kalau bukan dari Norellyn, pria ini pasti asli berasal dari Dalmaas. "Nona kau tidak bisa—oh" Ia berhenti bicara sekaligus berhenti melangkah ketika melihat ukiran singa pada breastplate dari zirah yang Meysea pakai.

"Aku harus bertemu kakakku."

"Nona, tapi kau tidak bisa masuk begitu saja." Pria itu menghadang jalan masuknya.

Meysea menarik kudanya ke sisi yang lain, membuanya meringkik dan mengundang beberapa orang dari dalam maupun dari belakang bangunan keluar.

"Aku harus bertemu kakakku!"

"Nona—"

"Ayahku telah meninggal!"

Pria itu kini menjadi terbata. "Apa? Ayah—"

"Zoran Ballorien. Daemon Rivaden kemarin memenggalnya saat mengundang kami ke istana untuk acara makan siangnya yang ternyata hanyalah siasat busuknya untuk mengundang pasukanku ke tempatnya."

Beberapa orang terdengar kaget dan mulai saling berbisik atas apa yang baru saja Meysea katakan. Mereka semua mengenakan pakaian yang mirip seperti yang dipakai oleh pria ini. "Raja Daemon? Ballorien? Kau—"

"Victor? Apa kau tidak bisa tidak ribut?" Seorang wanita berambut hitam gelap dengan kulit sawo matangnya menghampiri pria bernama Victor itu. Jalannya lincah dengan gesturnya yang gesit seakan tubuhnya seringan angin. Iris matanya yang gelap tengah mengacu kepada Victor. "Orang-orang menjadi berkerumun gara-gara kau—"

"Mona! Zoran—Zoran Ballorien sudah mati. Gadis ini—"

"Apa?" Sebuah suara yang begitu tegas menyahut dari belakang keduanya. Sontak mereka menoleh, mendapati seorang pria yang memiliki struktur wajah yang begitu mirip dengan Meysea. Rambut hitam pekat, kulit kuning langsat yang berkilau ditimpa sinar matahari, garis muka yang tajam dan tegas serta kedua manik berwarna hitam. "Apa yang barusan kau katakan?"

Ronan Ballorien masih membatu di tempatnya, menunggu kedua rekannya mengatakan sesuatu. Namun, yang ia lihat selanjutnya justru lebih mengejutkan untuknya. Seorang gadis yang turun dari kuda yang ia tunggangi, mengenakan zirah yang sangat ia kenal untuk setiap detil ukiran maupun warnanya. "Meysea?" Ia menghambur ke depan melewati Victor dan Ramona. "Meysea, kaukah itu?"

Air mata Meysea mulai merebak, penglihatannya berangsur buram. "Kakak," lirihnya, "kakak—aku, aku ada di sana, aku ada di sampingnya saat itu, tapi—"

Tangan Ronan menyeka air mata dari wajah adiknya. "Hei, Meysea. Tidak apa-apa. Tenangkan dulu dirimu." Ia dapat merasakan adiknya gemetar. Dengan zirah yang mampu melindunginya, beserta anak panah serta busur yang di tangannya itu. Meysea adalah adik satu-satunya yang begitu kuat dan cerdik. Tatapan matanya yang selalu penuh harapan dan berani adalah hal yang begitu membanggakan. Melihatnya rapuh karena kematian ayahnya membuat hati Ronan seolah berlubang. Ia menggenggam kedua lengan adiknya yang berlapis zirah. "Meysea, dengarkan aku—"

"Aku berada tepat di sampingnya. Bahkan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat Daemon melakukan hal hina semacam itu. Apa yang telah kubiarkan—" ia tidak dapat melanjutkan kalimatnya untuk menahan tangis. Gadis itu bahkan tak sudi menyebut Raja atau bahkan marganya setelah apa yang Raja itu perbuat.

Ronan terdiam sebentar, berusaha memahami semuanya pelan-pelan. "Meysea, itu bukan salahmu. Kita semua tahu—"

Suara ringkikan kuda lain datang dari tempat masuk yang dilalui Meysea, menarik semua perhatian yang ada di sana termasuk Ronan dan Meysea yang berada paling dekat tempat masuk. Earvand Rivaden turun dari kudanya. Ia datang sendirian, tanpa prajurit atau pengawal pribadinya. Pemuda itu hanya membawa sebilah pedang maupun zirah yang sedang ia pakai. Tak ada perbekalan lain yang ia bawa. Rambut maupun wajahnya kusut dan berantakan. Noda telah melekat di wajah, zirah, maupun kudanya.

Impulsif, Meysea mengambil satu anak panah dan memasangnya pada busur. Gadis itu dengan cekat melambungkan dadanya, membidik pemuda yang baru saja turun dari kudanya itu. "Kau mengikutiku!? Katakan apa kau mengikutiku!?" bentak Meysea. Orang-orang yang ada di sekitar sana terkesiap dan mundur perlahan. "Kemarin aku tak melihat ada yang mengikuti. Beri tahu aku sejak kapan kau mengikutiku?" air mata masih menggenang di pelupuk mata gadis itu, tetapi suaranya tak terdengar goyah sedikit pun.

Ronan menyela, "Meysea—"

Earvand mengangkat satu tangannya, memberi tanda pada Ronan bahwa ia tak perlu melakukan hal itu, yang jutsru membuat Meysea semakin menarik anak panahnya. Semua orang di sini pasti tahu siapa dirinya tanpa perlu ia mengenalkan diri. Lukisan dirinya pasti sudah tersebar ke seluruh penjuru Eranor. Calon penerus raja. Itu yang selalu mereka katakan. Kini orang-orang menatap dirinya dengan mendelik dan gemetar. Sang Putra Mahkota menjejakkan kakinya pada Dioant.

"Maafkan aku," ucapnya kemudian sambil merunduk.

"Maaf? Apa yang ingin kumaafkan dari dirimu!?" Emosi Meysea mulai memuncak.

"Karena telah mengikutimu kemari tanpa sepengetahuanmu. Aku tahu itu perbuatan memalukan, tetapi aku tak tahu arah perjalanan akan tempat ini." Sang Putra Mahkota tetap diam pada tempatnya. Dia tak terlihat ingin menarik pedangnya, sekencang apapun Meysea menarik anak panahya. Bahkan tak ada aura perlawanan yang terpancar dari dirinya.

"Hanya itu?"

Ronan kembali menenangkan adiknya. "Meysea, sebaiknya—"

"Ayahnya telah membunuh ayah kita di depan mataku sendiri!"

"Meysea, ingatlah apa yang pernah ayah katakan." Ronan berbisik di dekat telinganya. "Jangan menghukum seseorang atas apa yang orang tuanya lakukan."

Seketika itu juga, Earvand berlutut satu kaki di hadapan mereka semua. Kepalanya merunduk ke dalam hampir mencium lututnya sendiri. Beberapa orang terkesiap, terpana melihatnya—itu bukan sikap yang seharusnya dilakukan oleh seorang Putra Mahkota. Namun di sinilah dirinya berada. Earvand berlutut kepada calon rakyat-rakyatnya. "Tidak apa-apa, jika memang itu yang ingin kau lakukan."

Tangan Meysea gemetar. Meski sebelumnya mereka membicarakan saat dia yang mengikutinya diam-diam, tetapi yang satu ini ia lakukan karena perbuatan ayahnya. Anak dari pembunuh ayahnya kini berlutut di hadapannya. Meysea bisa saja melayangkan panahnya menembus kepala pemuda ini. Namun, Ronan benar. Ayahnya benar. Seorang anak tak berhak menanggung dosa yang telah dilakukan orang tuanya.

"Saat itu kau berusaha memberitahuku." Setelah cukup lama, Meysea kembali bicara. "Kau berusaha menyuruhku keluar sebelum acara makan siang itu dimulai. Kau dan ayahmu bahkan memakai zirah saat mengundang kami ke acara makan siang. Awalnya kukira itu hanya cara ayahmu untuk pamer, tapi ternyata, ternyata—"

"Insiden itu sudah direncanakan dari jauh-jauh hari oleh ayahku dan para perwira istana. Undangan acara makan siang, maupun ajakan perdamaian, itu semua hanya umpan. Banyak yang tak setuju atas rencana itu, tetapi kami kalah jumlah. Akhirnya insiden itu terjadi kemarin siang, hingga menimbulkan kekacauan pada seluruh penjuru Tanah Suci. Pertarungan antar prajurit, penjarahan, pembunuhan, pembakaran, semuanya terjadi dalam satu hari. Bahkan Festival pun hancur dan menjadi malapetaka. Aku pergi mencari tempat aman, bahkan di dalam istana terjadi beberapa perseteruan."

Ramona mendengkus sembari menyilangkan kedua tangan di atas dada. "Apa yang sedang ayahmu ingin ciptakan? Perang?"

Earvand mendongak, menatap wanita dari klan yang menjadi sekutunya itu. "Sayangnya, ayahku memang menyukai perang, My Lady."

o0o

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro