Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

X

Ada yang bertanya tentang keberadaanku; nyata atau tidaknya diriku.

Namun, aku hanya akan muncul di saat yang aku inginkan.

Aku selalu bersembunyi, di antara malam dan pagi, bulan dan matahari, hampa dan mimpi, di antara hidup dan mati.

***

Ruang makan, seperti Meysea duga—tidak kalah besarnya dengan ruang takhta. Hanya saja, ruang takhta lebih lapang dan tidak menyimpan meja-meja panjang yang disusun rapi seperti barisan. Tak seperti ruang takhta yang memiliki jendela-jendela raksasa yang estetik, ruang makan justru terlihat lebih pengap, gelap, dan ... tidak meningkatkan selera makan. Memang, ruang ini berkali-kali lebih besar dari semua ruangan yang ada di rumahnya. Meski begitu, dibandingkan dengan semua kemegahan dan kemewahan istana yang berlimpah ruah, ruang makan ini terlihat begitu sendu. Kalau boleh Meysea katakan, ini bukan ruangan yang tepat untuk menyambut tamu makan. Namun selera Raja memang aneh.

Beberapa obor digantungkan pada dinding-dinding bebatuan berwarna gelap, kandil-kandil besar digantungkan di atas setiap meja makan, dengan lilin yang semuanya menyala tanpa ada satupun yang terlewat. Peralatan makan—piring, garpu, pisau, bahkan kain berwarna putih gading dilipat dengan rapi berbentuk segitiga. Gelas yang terletak di serong kiri Meysea berisi cairan bening—yang sampai sekarang masih belum ia teguk. Raja belum menyentuh makanan maupun minumannya sedikit pun.

Berbagai lauk-pauk yang membuat orang meneteskan liur tersebar di seluruh penjuru meja, beberapa di antaranya masih dikelilingi asap yang mengepul, bahkan Meysea masih bisa merasakan uap panas yang melayang ke arahnya, membuatnya tak nyaman dan seakan menyuruhnya untuk segera bangkit, keluar dari ruangan ini untuk mencari udara segar.

Meysea mau saja seketika berdiri di tengah penjamuan makan berlangsung, tetapi ayahnya yang ketat soal tata krama pasti akan memarahinya habis-habisan—apalagi ia lakukan di depan wajah Sang Raja. Dan kini, ia terjebak duduk di samping ayahnya, dan di seberang Putra Mahkota yang sejak tadi hanya diam layaknya patung.

Pemuda itu yang sejak tadi menjadi salah satu alasan Meysea merasa tak nyaman berada di ruangan ini. Ia tetap bergeming, tidak bergerak sekalipun, hanya kedua bola matanya yang seperti bunga es merekah sejak tadi berpindah-pindah dari Meysea dan pintu ruangan. Mungkin ia juga tidak betah berada di ruangan ini. Selebihnya, ia tidak melakukan apa-apa, tidak juga mengamati makanan-makanan yang menggugah selera—mungkin dirinya telah terbiasa. Mahkota maupun zirahnya yang berwarna sama memantulkan cahaya obor yang menari-nari, tak luput dari matanya yang juga memaparkan tarian obor.

"Aku ingin mendengar tentang Sunburst langsung dari dirimu, My Lord, sang Kepala Tertinggi Klan." Demikian Meysea memilih untuk mendengarkan percakapan ayahnya dengan Sang Raja, dan Sang Ratu yang beberapa kali menyelingi pembicaraan mereka. "Kudengar tempatmu itu memiliki gua tanpa ujung yang berada di tengah-tengah gurun!" Daemon meninggikan suaranya di akhir kalimat, kemudian menutupnya dengan tawa yang begitu keras, menggema ke seluruh ruangan.

Semua pasukannya yang ikut makan di sana ikut tertawa, meski Meysea yakin sebagian besar di antara mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya Raja mereka anggap lucu. Mau tak mau, Zoran ikut terkekeh. "Itu hanya legenda lama, Your Majesty. Aku dan pasukanku telah menjelajahi gurun Sunburst dari ujung yang satu," Zoran memainkan tangannya, "hingga ujung yang satunya. Dan kami masih tidak menemukan gua tersebut."

Sang Raja menggumam mendengarnya. "Kadang legenda memang suka melebih-lebihkan. Aku tak paham dengan para leluhur kita yang mengarang cerita demikian." Daemon mengangkat gelasnya, kemudian menganggukannya ke arah Zoran. "Apa yang mereka pikirkan? Apa dulu mereka berpikir legenda macam itu akan berguna untuk keturunannya nanti?"

Zoran mengangkat gelasnya, melayani ajakan Sang Raja. Setelah melihat Daemon meneguk minumannya, Zoran mengikuti. Cairan itu terasa lebih kental dari yang terlihat, dan menggelintirkan sedikit rasa masam seperti dicampur dengan ekstrak buah-buahan dari hutan Montmery Hills. Biar begitu, pria itu tetap meneguknya. "Aku rasa mereka tidak memikirkannya, Your Majesty."

Mendengarnya, Daemon mengangkat satu alis. Gelas dengan air yang seolah tidak berkurang sedikit pun ia taruh kembali di tempatnya. "Apa maksudmu, My Lord?"

"Maksudku, Your Majesty," Zoran terdengar sedikit kikuk, tetapi tidak mengurangi wibawanya, "Para leluhur kala itu tidak memikirkan soal kegunaan macam apa yang akan kita dapatkan. Mereka biasanya berpindah-pindah, nomaden tetapi tetap pada suatu wilayah yang kini terbagi-bagi menjadi rumah untuk para klan. Dan mereka hanya mengarang cerita tentang apa yang ada di sekeliling mereka, yang kemudian diwariskan dari mulut ke mulut. Jadi, kurasa tidak ada makna ganda dibaliknya."

Mendengarnya, Daemon tersenyum miring—senyum yang sering kali ia munculkan pada wajah yang selalu terlihat congkak terhadap apapun. Jemari tangan kanannya mengetuk meja makan berkali-kali, sembari bertopang dagu pada tangan kiri. Matanya berpindah dari wajah Zoran, kemudian pada hidangan yang sama sekali belum disentuh, dan berakhir pada gelas di dekatnya.

Sejak kalimat yang Zoran lontarkan, belum ada lagi di ruangan tersebut yang berbicara. Sejenak, Meysea merasakan ketegangan yang mengudara di ruangan pengap ini. Tangannya perlahan menyapu busur yang disandarkan pada kursinya. Dinginnya besi yang menusuk perlahan mengantarkan sensasi menenangkan pada dirinya, kemudian jemarinya menyusuri mata anak-anak panahnya yang jika ia menekannya lebih keras lagi, maka ia akan berdarah.

Namun, sekali pun gadis tersebut telah mencari ketenangannya sendiri, aura tegang itu masih tak lenyap. Ia seolah bisa mendengar deru napas salah satu prajurit yang duduk paling jauh dari tempatnya saking sunyinya ruangan ini karena tak ada yang bicara. Segalanya seperti berjalan dengan lambat. Di hadapannya, Sang Putra Mahkota menatapnya lekat-lekat. Meysea bisa melihat kedua alisnya bertaut dengan dahi yang mengerut. Kedua maniknya tidak seperti milik ayahnya yang menampikkan keangkuhan dan keserakahan, melainkan menampilkan sinar kegelisahan.

"Earvand," suara Daemon membuat pemuda itu tersentak. Meysea dapat melihat matanya seketika beralih pada hidangan di atas meja. Untuk sepersekian detik, Meysea yakin ia dapat melihat manik Sang Putra Mahkota bergetar. "Kau ingin menambahkan kalimat dari Lord Ballorien barusan?"

Semua mata—kecuali para prajurit—kini menatap Putra Mahkota. Sang Ratu perlahan menoleh ke arahnya, mengamati putra tirinya itu dalam-dalam, dengan tatapan yang pelan tetapi terlihat menekan. Bersamaan dengan itu, tangan Meysea semakin mencengkeram busurnya erat-erat. Ia dapat melihat Lord Mahoni yang kini memperhatikan tangannya yang tersembunyi di bawah meja makan, tetapi Meysea tetap tidak peduli. Gadis itu tidak bisa tenang begitu saja di tengah-tengah dua klan yang bersitegang sejak lama dan kemudian sekarang ingin berdamai. Meysea tahu, bahwa perdamaian selalu membutuhkan konsekuensi.

Namun, apakah ayahnya benar-benar memiliki konsekuensi dengan raja mereka?

Secepat kilat Earvand menegakkan tubuhnya, menjawab dengan cepat. "Tidak, Your Majesty." Spontan, Meysea kembali mengamati pemuda itu. Ia bahkan tidak menatap ke wajah ayahnya. Hanya menoleh, kemudian mengamati piring di hadapan Sang Raja. Meysea yakin benar ia sempat melihat kegetiran dari suara lantang Sang Putra Mahkota. Ratu mengulurkan tangannya perlahan, mengusap bahu Putra Mahkota dengan lembut, tetapi kelembutan itu tidak tercantum di maniknya. Meysea hanya bisa melihat sebuah rasa kaku di wajah wanita itu.

Daemon terkekeh. Tawanya yang rendah memberikan sensasi yang meremangkan kulit. Gadis itu bertanya-tanya dalam hati apakah ayahnya merasakan hal yang sama? Apakah ayahnya juga ingin segera keluar dari ruangan pengap ini? Semuanya terasa begitu mengkhawatirkan dan yang bisa Meysea lakukan hanyalah duduk diam sembari menyentuh busurnya. Meysea sudah hampir menggenggam tangan ayahnya yang tidak begitu jauh dari dirinya, tetapi suara Daemon memberinya interupsi.

"Kukira juga begitu, My Lord." Satu persatu kata-kata Daemon membuat Meysea semakin mengencangkan genggamannya. "Pada awalnya, kukira para leluhur kita sering kali bicara omong kosong tentang legenda yang diwariskan secara turun-temurun. Lagi pula, apa gunanya bagi kita segala omong kosong dan mitos belaka itu?"

Meysea mengamati ayahnya yang masih bergeming menatap Daemon. Secepat mungkin ia berusaha meraih tangan ayahnya, tak peduli bahwa orang-orang akan melihat gerakannya. Namun, tangan Zoran lebih dulu bergerak—pria itu mengerutkan dahi sembari menyentuh lehernya. Kemudian batuk pelan satu kali.

Meysea membatu di tempatnya. Kata-kata Daemon masih memasuki telinganya, tetapi kini fokusnya telah tersebar. Rasa panik mulai menguasai dirinya. Ayahnya tidak batuk sekali atau dua kali, melainkan berkali-kali dan makin parah. Pria itu memegangi dadanya, dan batuk yang ia lontarkan sudah tak terkendali. Tangan satunya berusaha meraih gelas yang hampir kosong dengan bersusah payah. Meysea buru-buru membantunya mengambilkan gelas sementara suara Daemon masih berkumandang. Dan gadis itu berhenti begitu mendengar suara-suara batuk lain dari sisinya.

Ia mengamati beberapa prajurit klannya yang mengalami batuk kronis seperti ayahnya dengan wajah ngeri. Sesaat ketika Meysea hampir menyentuh gelas ayahnya, ia menyadari bahwa tidak ada orang dari klan Decraz di mejanya yang menyentuh gelas—kecuali sang Raja. Begitu Meysea melirik gelas sang Raja, bertepatan dengan kalimat panjangnya yang sudah berhenti. Ia menyadari air di dalam gelas itu tidak berkurang. Detik berikutnya, batuk Zoran mengeluarkan darah, begitu kontras dengan piring di hadapannya. Meysea membeku, tangannya terlalu lemas untuk meraih apapun,

"Jadi," Daemon memulai lagi, "bagaimana rasa minuman selamat datangku, My Lord?"

Kedua manik Meysea seketika melirik sang Raja yang menyeringai, dengan bengis mengamati Zoran yang terbatuk-batuk tak berdaya di atas mejanya sendiri. Ia dapat melihat raut kepuasan yang tersirat di wajahnya, dan membuat Meysea tahu—minuman itu sudah diracun.

"Ayah!" Pekikan Meysea tenggelam dengan suara para prajurit yang mendadak ramai. Derit kursi yang didorong paksa, maupun peralatan makan yang tercerai berai, tak luput bunyi desing pedang-pedang yang ditarik dari sarungnya. Prajurit dari kedua klan itu saling menyerang satu sama lain dengan sigap dan ribut. Seseorang menarik Meysea untuk menjauh, tetapi gadis itu menolak sembari mengambil busur dan mendekati ayahnya. "Ayah!" jeritnya lagi.

Zoran yang tak berdaya seperti orang sekarat merebahkan diri di atas meja perlahan menoleh ke arahnya. Meysea masih bisa melihat manik sang Ayah yang melirik ke arahnya dengan pedih seolah meminta bantuan. Ia sangat ingin menghampiri ayahnya, tetapi seseorang terus menariknya untuk mundur dan berlindung. "Pergi, My Lady!" suara itu entah milik siapa menusuk telinganya, "kau adalah sasaran berikutnya!"

Meysea terus meronta, bersumpah akan memanah siapapun yang menahannya, dan pada saat itu ia melihat Daemon mengusung pedangnya. Desing itu bagaikan mengiris telinganya, tetapi Meysea masih terlalu lemas untuk melakukan apapun bahkan untuk meloloskan diri. Hingga akhirnya, secepat kilat Daemon memenggal Zoran yang sekarat karena racun dengan manik yang masih menghadap putrinya.

Semua terjadi begitu cepat. Meysea bahkan tak menyadari jeritannya yang tertahan. Sebuah perasaan ganjil seketika menyerbu dirinya, seolah ada sesuatu yang telah diambil darinya, dan memberikannya sebuah kekosongan yang menganga. Suatu energi berkembang di dalam tubuhnya, semacam kesedihan, atau kegetiran. Yang akhirnya perlahan berubah menjadi murka. Meysea mengangkat kepalanya menghadap Daemon. Hatinya dipenuhi oleh dendam yang menggebu. Tangannya menggenggam busur dengan gemetar yang hebat, tetapi gemetar itu muncul karena amarah.

Secepat kilat ia menaruh anak panah di gagang busur dan mengusungkannya tepat ke arah kepala Raja. Dalam hati, seraya bersumpah untuk membunuh Daemon, ia menarik anak panahnya ke belakang. Melihatnya, sang Ratu memekik, dan seseorang menarik Meysea ke belakang, membuatnya terjatuh menabrak kursi. Seorang prajurit lain menghadang Raja yang menyadari Meysea ingin memburunya.

"My Lady!" Satu tangan menarik Meysea untuk berbalik. Ia tak mengenal prajurit itu, bukan salah satu pengawal penting yang selalu menemani ayahnya ke mana-mana. Namun untuk bisa terhindar dari racun Daemon, mungkin ia salah satu prajurit yang cerdik yang dimiliki kerajaannya. "Kau harus pergi. Kembali ke rumah. Katakan pada mereka perang belum usai. Beri tahu orang-orangmu Decraz dan Helione tidak pernah berdamai."

Pria itu mungkin hanya beda beberapa tahun dari ayahnya. Meysea dapat melihat garis kerutan di wajahnya. Ia dapat merasakan tangan pria itu bergetar di bahunya. Matanya membelalak sejak tadi seolah ingin menghadapi bencana alam. Gadis itu tahu akan ketakutan macam ini—Kepala Tertinggi Klan mereka telah dibunuh di depan mata kepalanya sendiri. "Ayahku," lirih Meysea. "Ayahku—mereka telah—"

"Aku tahu, My Lady," pria itu merendahkan intonasinya berusaha menenangkan di saat dirinya juga ketakutan. "Tapi perang ini terus berlanjut. Kalau tak ada dari kita yang memperingati orang-orang, maka—" matanya menyapu keadaan sekeliling dan berhenti tepat pada pintu ruangan. "Sekarang, cepatlah kau keluar dari sini, ambil salah satu kuda, dan pergi sejauh mungkin. Hanya kau yang bisa kami harapkan."

"Bagaimana dengan lainnya!?" Napas Meysea mulai terengah hanya untuk memikirkan kabur dari istana.

"My Lady, tolong cepat!" Pria itu menariknya untuk segera bangun dan mendorongnya. "Beri tahu mereka bahwa Decraz telah menipu klan kita!" Selesai menyerukan kalimat itu, ia tergagap meregang nyawa. Meysea melihat bilah pedang yang menembus lehernya pada bagian yang tidak terlindungi zirah.

Meysea memegap, kedua tungkainya terlalu lemas untuk berlari. Rasanya ia ingin menjatuhkan diri, rasanya ia ingin secepat itu menyerah karena begitu takut. Aroma amis darah yang menguar di udara membuatnya semakin mual, suara denting pedang dan raungan para prajurit yang semakin bertarung menguatkan pening di kepalanya. Ia merasakan kedua tanganya dingin dan mati rasa.

Prajurit Decraz yang baru saja membunuh salah satu prajuritnya tadi kini menatap dirinya. Rasa takut secara ajaib memberi Meysea kekuatan. Gadis itu berlari menjauh begitu kencang, melangkahi mayat-mayat prajurit dari kedua klan, melewati genangan-genangan darah yang terus mengalir memenuhi ruangan. Ia menghindari tiap-tiap tebasan pedang yang berkelibatan di dekatnya. Sembari dengan seruan prajurit Decraz di belakangnya, "Anak gadisnya! Tangkap anak gadisnya!"

Seruan itu makin membuat lari Meysea semakin kencang. Ia memotong jalan dengan menaiki kursi dan meja makan, menendangi makanan-makanan sialan yang belum sempat tersentuh itu. Para prajurit terlalu sibuk memerangi satu sama lain, sehingga tak ada yang peduli akan dirinya kecuali mereka benar-benar tersadar. Ia bersyukur tak ada satupun yang bersenjatakan panah di ruangan ini, membuatnya semakin mudah untuk kabur. Selanjutnya ia berhasil keluar dari ruangan itu seorang diri.

Beruntung gadis itu masih menghapal jalan sejak ia masuk ke istana. Hanya beberapa blok dari ruang takhta. Dan Raja sialan itu banyak memasang koleksi lukisan-lukisan raksasa yang dipajang di setiap dinding, sehingga Meysea dapat dengan mudah mengambil jalan yang seharusnya.

"Berhenti!" Seorang prajurit Decraz berseru dari belakang. Dengan cepat Meysea memanahnya. Prajurit itu terjengkang dan selanjutnya tak bergerak. Ia mempercepat langkah. Melewati berbagai koleksi-koleksi Daemon lainnya yang tak berguna hingga ia sampai pada lorong utama istana. Hanya terdapat enam penjaga di sana, sisanya pasti berada di ruang makan, atau memang masih tinggal di tempat singgah para penjaga dan menunggu instruksi Raja. Satu persatu, dengan pesat Meysea memanah mereka tanpa menyisakan waktu bagi mereka untuk menyadari kehadirannya.

Meysea secepat mungkin mengambil satu kuda dari pekarangan. Dengan cepat ia memutus tali dan menaikinya. Ia melecut kuda itu secepat mungkin, berdoa dalam hati berkali-kali agar ia bisa melewati para penjaga dengan tombak-tombak raksasa yang ia lihat tadi. Ia memacu kudanya, terus dan terus hingga merasa dirinya seperti kilat. "Tutup jembatannya!" Ia mendengar seruan tersebut dari belakang. Semakin cepat ia melaju.

Jembatan itu mulai bergerak ke atas. Meysea merasakan tubuhnya gemetar, tetapi kalau ia mundur maka ia akan mati. Ia melecut kuda lagi tanpa memedulikan keadaan sekitar atau para prajurit yang mencoba menghentikannya. Ia melihat tombak-tombak dilayangkan ke arahnya, tetapi kuda yang ia naiki berpacu lebih cepat sembari Meysea menuntunnya menghindari langkah yang lurus. Satu lecutan lagi ia layangkan, sebelum akhirnya tiba di jembatan. Ia berdoa dan berdoa kepada Meeran, memohon keteguhan hati. Berkomat-kamit sampai akhirnya tiba di ujung jembatan yang hampir setengah menutup.

Meysea kira ia tak akan hidup saat sampai di bawah nanti. Kesadaran dirinya seolah raib meninggalkannya saat kudanya tengah melompat dari ujung jembatan. Ia merasakan rasa takutnya yang ikut melayang di sekitarnya, kengerian akan terjatuh kini menggantikan kengerian mati ditusuk tombak. Meski begitu, rasa ngeri itu hanya bertahan sebentar. Ia hampir terlempar dari kudanya begitu mendarat, menghadapi tubrukan dari momentum gerakannya. Anak-anak panahnya meninggalkan denting yang lumayan kencang begitu menghantam tabungnya. Meysea terhuyung dan ingin muntah, tetapi ia teringat akan prajurit Decraz yang mengejarnya.

Tanpa pikir panjang, ia melarikan diri ke tempat pepohonan lebat tumbuh, berharap jejaknya tak akan mudah terlihat—atau lebih baik lagi tak akan terlihat untuk selamanya dari klan Decraz. Ia terus melecut kudanya, meski sudah memasuki pohon-pohon yang tumbuh bersisian. Dengan sugap menghalau batang-batang raksasa yang mengganggunya. Ia masih dipenuhi adrenalin, dadanya masih dipenuhi oleh energi yang membuat tangannya gemetar hebat.

Meski tahu bahwa dirinya sudah tidak diikuti, ketakutan itu masih ada. Rasa paranoid itu masih bersarang. Ia masih melecut kudanya sampai kuda itu meringkik begitu hampir menabrak salah satu pohon. Setelahnya, ia terdiam begitu lama di atas kudanya saat sudah berhasil menyeimbangkan diri. Meysea menarik napas, merasakan ketegangan yang mengaliri pembuluh darahnya berangsur-angsur sirna.

Kemudian, memori tentang kematian ayahnya kembali menghantuinya. Bagaimana ia terbatuk, bagaimana Daemon mengangkat pedang dan memenggalnya. Tangan yang memegang tali kekang kudanya gemetar, teringat akan seberapa besar bahaya yang mengancamnya saat kabur tadi. Air mata mulai menggunung di pelupuk mata, tak lama menetes diselingi tangisnya. Tangannya meremas tali kekang sembari melampiaskan semua kekesalannya, semua kesedihannya, beserta semua amarahnya.

o0o

Baltasar ingin berteriak.

Ia ingin memaki seorang Para Terpilih yang baru saja lolos dari tangannya ketika ia mempunyai kesempatan untuk mengakhiri nyawanya, meski hanya beberapa detik. Ia ingin meneriaki pemuda itu atas belatinya yang dibawa lari. Semua energi di dalam dirinya telah mendukung untuk melakukan itu, tetapi kenyataan bahwa ia telah melihat Tanda yang ada pada tangan pemuda tadi—itulah yang membuat lidahnya kelu.

Tanda itu bukan Tanda yang biasa dimiliki seorang Para Terpilih.

Rasa tak nyaman menjalar dari kaki hingga tengkuk lehernya, memberikan sensasi menyengat yang kini tubuhnya rasakan dengan jelas. Suara-suara rintihan dan jeritan orang-orang menggema di lubang telinganya. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Semuanya terjadi dengan bersamaan dan terlalu cepat, membuatnya merasa bodoh dan kecil. Dan hal semacam itu yang membuatnya terbawa pada suasana di mana ia menyaksikan kedua orang tuanya yang bersimbah darah di atas ranjang.

"Ralphia!" Hanya kata itu yang mampu ia lontarkan. Sontak Baltasar menoleh ke arah tribun yang dipenuhi orang-orang panik dan berlarian. Adik kecilnya hampir terinjak orang-orang yang bergerak bagai kesetanan. Ia mengangkat adiknya dari dinding tribun dan menoleh sekali lagi tepat ke arah pintu stadion.

Matanya tentu mengenali seragam tempur para prajurit. Namun, para prajurit itu berasal dari dua klan yang berbeda, dan Baltasar benar-benar mengenalinya. Prajurit dari klan Helione dengan armor berukir singa pada breastplate-nya, sebagian lainnya adalah para prajurit Decraz dengan arnor berukir banteng dan ornamen lainnya yang sering ia lihat. Ia tahu ini adalah hari di mana Decraz mengundang Helione makan bersama sebagai ajakan perdamaian.

Namun apa ini? Kedua prajurit saling tusuk satu sama lain, darah bermuncratan di mana-mana seiring dengan raungan para prajurit. Kuda-kuda ikut ricuh tak karuan, memperkeruh suasana stadion. Beberapa orang terinjak-injak dan Baltasar menyaksikannya dengan ngeri. Mereka bertarung tak kenal ampun. Tidak, ini bukan ajakan perdamaian. Apalagi acara makan siang bersama. Ini pembantaian di kandang lawan.

"Kakak," lirih Ralphia dengan suaranya yang parau. Gadis kecil itu menarik lengannya, sembari mengajaknya berlindung ke belakang. Baltasar dapat merasakan ketakutan dari tangan kecilnya yang gemetar, dan adiknya bahkan tidak bisa lagi menangis. "Ayo cepat, mari menjauh." Suaranya yang biasa terdengar penuh semangat kini bergetar.

Pemuda itu semakin kencang mendekapnya. "Tidak apa-apa, Ralph," dustanya, "kalau kita tidak ikut campur dan tidak berada sangat dekat dengan mereka kita tetap aman." Tentu saja Baltasar tahu itu bohong. Para prajurit saling bertarung dengan brutal, tanpa memedulikan siapapun yang ada di samping mereka. Meski satu-satunya yang mereka incar adalah lambang klan satu sama lain.

Baltasar mundur sembari mengencangkan genggamannya pada belati. Ia menelan ludah, menelan kebingungannya yang makin membesar. Kalimat yang ia katakan pada Ralphia tadi sebenarnya tidak salah. Baltasar bukan berasal dari Decraz dan Helione—dan kalau tidak mendekat kepada mereka dirinya tidak akan menjadi sasaran, dan hampir semua orang mengenali wajahnya. Maksudnya—siapa yang tidak mengenalnya setelah berhasil mengalahkan Si Batu Besar di stadion ini?

Namun, Talhar adalah sekutu Decraz. Kalau para prajurit Helione menemukannya dan mengenali Baltasar, bisa-bisa—

"Kakak! Lihat!" Ralphia membuyarkan pikirannya. Gadis kecil itu menunjuk kepada beberapa orang yang kabur dengan memanjat dinding tinggi stadion dan berlanjut dengan kabur mengitari atap-atap stadion. Bukan rute pelarian yang baik, karena dinding stadion sangatlah tinggi. Baltasar hanya bisa berharap bahwa di sekitarnya terdapat atap-atap yang bisa mereka pijak.

Di sisi lain, benaknya mengatakan itu sesuatu yang bagus. "Ayo," ia menarik Ralphia untuk segera menaiki tribun penonton. "Sebaiknya kau bersiap untuk menumpang di punggungku, Dik."

o0o

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro