VIII
Kengerian yang terpatri di wajahnya itu menjeleskan semua hal;
Bisikan itu masih terus mengganggu benaknya, tak henti-henti berkelebat di kepalanya.
Menghasut, meracau.
Namun ia yakin tentang satu hal, suara itu tidak berasal dari dalam dirinya sendiri.
***
Tanah Suci, Theead bagian tengah
Tanah Suci.
Begitulah yang orang-orang katakan sejak dulu tentang Theead. Meysea pernah membaca beberapa buku yang menceritakan tentang peperangan para dewa dan iblis di atas tanah Theead jauh sebelum makhluk-makhluk lain muncul. Mereka berselisih dengan alasan klise—perang antara sisi gelap dan terang, mengatasnamakan keburukan dan kebaikan untuk perang abadi mereka. Para dewa berperang untuk menyatukan, sementara iblis berperang untuk memecah belah. Keduanya tak pernah sama, sebab itulah keadaan tak akan berubah.
Suatu hari, para dewa kalah. Keganasan iblis berhasil meruntuhkan pertahanan mereka, hingga Eranor saat itu berada di bawah kendali para iblis dan para dewa terpaksa turun dan—yang paling Meysea tidak mengerti—menghilang. Sejak saat itu, para iblis menguasai Eranor, sampai akhirnya makhluk-makhluk lain bermunculan dan mengusik takhta mereka. Dahulu kala, iblis juga bertarung dengan manusia dan hasilnya ... tidak menyenangkan—bagi kedua belah pihak.
Pada intinya, Meysea tidak mengerti mengapa tanah tempat kekalahan para dewa justru disebut Tanah Suci. Kisah-kisah yang ia baca dari buku, entah sudah dimanipluasi atau tidak, tetap tidak memberikannya jawaban sama sekali. Ayahnya juga tidak pernah bercerita lebih lanjut. Pernah suatu ketika Meysea menanyakannya, ayahnya justru menyuruhnya untuk melupakan hal tersebut. Orang-orang lain juga tidak ada yang ambil pusing. Entah ada sesuatu yang disembunyikan, atau orang-orang memang menerima semua legenda yang ada tanpa bertanya-tanya lebih jauh.
Rombongan Meysea akhirnya berhenti tepat di depan gerbang istana yang masih tertutup rapat. Dinding pembatas istana dengan dunia luar itu begitu tinggi dan besar, dibuat dari batuan cokelat kekuningan dengan bongkahan besar sehingga Meysea tidak dapat melihat mana garis-garis ujung batunya. Dinding itu penuh ukiran-ukiran indah, beberapa di antaranya berupa banteng, dan beberapa prajurit istana yang berperang menunggangi banteng—meski Meysea tak pernah tahu ada seseorang yang berani menunggangi banteng untuk berperang.
Di ujung dinding di atas sana, tertanam tombak-tombak besar yang tercipta dari emas berkilauan dengan ujung-ujung runcing yang membuat siapapun yang ingin memanjatnya pasti berpikir dua kali—ingin menyusup ke istana atau justru mengambil salah satu tombak tersebut. Lagi pula, Meysea yakin di balik dinding tersebut banyak penjaga yang selalu siap tak kenal waktu.
Tentu mereka tidak datang tanpa sambutan heboh khas Decraz yang terlihat berlebihan. Para prajurit berbaris di kedua sisi, diam dan bergeming. Masing-masing dari mereka memegang tombak panjang yang ditegakkan di sisi kanan mereka. Semua prajurit tersebut mengenakan helm besi berwarna perak yang senada dengan zirahnya. Berdasarkan perhitungan singkat Meysea, jumlah prajurit itu mencapai seratus orang pada masing-masing sisi, sementara rombongan Meysea tidak lebih dari seratus lima puluhan.
Panji-panji kebesaran milik Klan Decraz disampirkan pada dinding yang tadi sempat Meysea kagumi, menutupi sebagian ukirannya. Panji-panji itu seperti yang gadis itu duga—siluet hitam seekor banteng yang sedang berlari berlatar belakang garis-garis berwarna hijau tua dan emas yang disulam sendiri dari benang emas. Ada satu panji besar yang menggambarkan pohon beringin raksasa—itu lambang dewa mereka, Dewa Barokeen, Sang Pelimpah.
Suara-suara tabuhan gendang dan terompet mulai terdengar lebih besar selagi Meysea bersama rombongannya mendekati gerbang besar yang masih tertutup. Di depan sana, Meysea melihat sesosok berjubah hitam panjang yang menyapu rerumputan. Dia bukan raja, tentu saja. Orang itu hanya berdiri sendirian di sana dan Raja tidak akan memakai pakaian seperti itu apalagi ketika menyambut rombongan Helione. Seminimal mungkin, Raja pasti akan menggunakan mahkota kebanggaannya.
Pengawal yang sejak tadi berada di depan Meysea dan ayahnya sontak berhenti, membuat pasukan di belakangnya juga ikut berhenti. Orang berjubah hitam di depan sana membungkukkan badan begitu pasukan Helione sudah berada di dekatnya. "Hormatku kutujukan padamu, My Lord." Ia membungkuk dalam-dalam, setelahnya meluruskan badan.
Meysea mengamati pria berkulit pucat itu. Tidak sepucat orang-orang Coldstone, tetapi di Theead berbagai macam ras sudah bercampur aduk. Ia memiliki wajah yang lonjong dengan rambut hitam yang mulai memutih. Kerutan sudah mulai nampak di wajahnya, tetapi tidak sebanyak ayah Meysea. Mungkin pria ini sudah berusia hampir paruh baya. Kumisnya menghiasi senyuman ramah yang sedikit miring, sementara maniknya berdenyar dengan cara yang tidak Meysea suka. "Adalah suatu kehormatan bagi kami semua untuk menerimamu dan klanmu sebagai tamu kami."
"Terima kasih, Lord Mahoni," balas Zoran Ballorien penuh wibawa. Meysea sedikit melirik ayahnya karena tidak mengira ia akan mengetahui nama pria tersebut. "Kami juga tersanjung atas undangan kerajaan untuk makan siang hari ini. Sepertinya kami datang tepat waktu, bukan?" Matahari memang sudah bersinar terik di atas, membuat orang-orang bercucuran keringat, serta perut-perut kelaparan yang mulai memberontak.
Mahoni maju dan masih tersenyum, kedua tangannya menggantung di balik punggung. "Sebenarnya, My Lord, pasukanmu datang beberapa saat sebelum waktu yang tepat. Tapi, itu bukanlah masalah besar. Raja justru tak suka jika tamunya datang terlambat. Kini," Ia berbalik dan berjalan ke pinggir, menghindari gerbang raksasa yang masih tertutup rapat, "mari kutunjukan jalan menuju ruang perjamuan istana."
Gerbang itu turun perlahan ke bawah bagai bongkah besi yang begitu tebal. Meysea dapat melihat rantai-rantai besar di sisinya bergerak menurunkan gerbang itu dengan hati-hati, sehingga darinya terbentuk jalan yang menyambung kepada jembatan batu besar di depan sana. Ia mengamatinya dengan agak tercengang, ini adalah pengalaman pertamanya melihat istana. Di seberang jembatan kokoh yang terbentang di hadapannya, terdapat bangunan megah yang berhasil mengambil alih perhatiannya hingga tanpa sadar ia meregangkan cengkeraman pada tali kekang kuda.
Istana itu terdiri dari banyak menara-menara kecil di sisinya, masing-masing dihiasi oleh jendela-jendela raksasa dan ditutup dengan atap-atap kerucut terbuat dari emas. Pada atap yang paling besar—yang juga terbuat dari emas dan Meysea tidak mau menebak berapa harganya—melayang panji Klan Decraz—hijau tua dan emas dengan siluet banteng. Dinding bangunan kokoh itu berkilauan, terang dan gemerlap, perpaduan antara emas dan marmer yang senada. Tak hanya itu, Decraz juga menambah sentuhan-sentuhan warna klannya pada celah-celah desain bangunan, juga maskot yang selalu mereka bangga-banggakan itu. Patung emas banteng selalu tersebar di berbagai tempat, yang paling besar terletak pada air mancur raksasa di halaman depan istana.
Meysea maju perlahan ketika rombongannya juga maju. Ia belum mengucapkan satu patah kata pun. Zoran juga agaknya terpukau dengan penampilan istana, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. Bagaimana pun juga, ia tak mau secepat itu membuat Raja puas. Meski semua orang tahu, tak ada benteng klan lain yang menandingi kemegahan istana. Ditambah lagi, klan yang menduduki istana adalah Decraz yang terkenal dengan rajanya yang suka kemewahan dan kemegahan. Tak perlu ditanya lagi seberapa banyak ia akan menghabiskan uang untuk mengurus istana.
Emas dan emas. Bahkan di sela-sela dinding jembatan, Meysea bisa melihat kepala-kepala banteng yang dipahat dari emas. Di sisi kanan dan kirinya terbentang danau buatan yang begitu luas dan besar. Airnya begitu tenang dan berwarna biru gelap, mengelilingi istana seolah itu dibuat untuk mencegah orang-orang luar masuk begitu saja. Dengan dinding besar yang mengelilingi istana, Meysea yakin tak banyak orang yang akan nekat untuk menyusup—apalagi mengingat penjagaan yang begitu ketat. Pengawal istana di mana-mana, diam dengan mata yang selalu mengawasi gerak-gerik orang yang berlalu-lalang, seperti yang sedang rombongan Meysea lewati.
Walaupun terlihat seperti mayat hidup, kalau-kalau salah satu dari rombongan Helione berbuat sesuatu yang mencurigakan, salah satu dari mereka tidak akan segan untuk menggunakan tombaknya.
Mahoni menuntun mereka melewati lorong-lorong istana yang besar dan tak terhitung. Bangunan itu seolah mengular tanpa batas. Meysea bahkan lebih khawatir tersesat di dalam istana dibanding tersesat di Oldwood. Ornamen-ornamen ramai mengisi ruang dalam istana, berbagai hiasan dan patung-patung putih justru membuat ruangan terlihat semakin kecil. Tidak jauh berbeda dengan tampilan luar, bagian dalam istana juga bernuansa emas. Langit bangunan diisi dengan lukisan-lukisan mitologi para dewa yang ada di Eranor. Lengkap dengan patung-patung putih yang sejak tadi berjajar di sepanjang lorong.
Patung Barokeen terletak paling awal dan paling besar. Berupa wanita berambut panjang menjuntai melebihi tinggi tubuhnya sendiri, dengan gaun mewah yang tak kalah panjang dan membawa keranjang berisi makanan berlimpah. Di deretan patung-patung lainnya, Meysea melihat patung dewa klannya, Meeran—dewa keteguhan hati. Berwujud pria dengan rambut ikal pendek yang membusungkan busurnya beserta anak panah.
Pada sisi kanan lorong utama istana terdiri dari banyak pintu-pintu besar yang tertutup rapat. "Itu adalah ruang-ruang besar tempat bebeberapa pertemuan digelar, atau, jika Raja ingin, maka ia akan menggunakan salah satu ruangan tersebut sesuai dengan keinginannya." Mahoni menjelaskan sembari berjalan, kemudian sedikit menoleh ke arah Zoran. "Lagi pula, menjadi Raja berarti kau bisa mendapatkan apa yang kau ingin, bukan?" Ia menyeringai, menunjukkan deretan gigi yang putih dan rata. Zoran hanya terkekeh pelan, tidak begitu tertarik ke mana arah pembicaraan Mahoni.
Meysea menoleh ke kiri dan menekuni taman dalam istana dengan terpukau. Taman itu begitu luas, dilengkapi dengan air mancur besar walau tidak sebesar air mancur utama. Gemercik air menentramkan suasana hatinya, bersamaan dengan kicauan burung yang bebas datang dan pergi dari luar istana. Tidak ada penjagaan ketat bagi hewan-hewan kecil tersebut untuk berkelana. Di tengah taman, terdapat rumah kaca yang di dalamnya penuh dengan tumbuhan-tumbuhan besar. Di dalam rumah kaca tersebut, dari celah-celah dedaunan, Meysea dapat melihat kursi-kursi kecil beserta meja yang disusun.
"Ruang takhta berada tepat di ujung lorong ini." Mahoni masih berkata sambil menggantungkan tangannya di punggung. Bukan sikap yang sopan, kata ayahnya beberapa kali kepada Meysea ketika mengajarinya tentang tata krama.
Meysea mendongak dan menemukan pintu kayu raksasa berwarna cokelat yang terlihat cukup berat untuk ia dorong sendirian. Berbagai macam ukiran-ukiran khas Decraz mengisi beberapa sudut pintu. Para pengawal sudah berjada di dekat pintu. Seperti biasa, diam tanpa ekspresi di balik helm mereka. Mahoni mengangguk kepada para pengawal, dan dengan segera mereka membukakan pintu ruang takhta.
Semua pemandangan istana yang Meysea lihat barusan tidak lebih megah dari apa yang saat ini ia tatap. Gadis itu bahkan tak sadar mengeluarkan napas tercekat dari tenggorokannya. Ruangan ini begitu lapang. Ornamen-ornamen emas tak kalah banyak mengisi ruangan. Namun, meski banyak ornamen yang menghiasi ruangan, ruang takhta ini tidak kelihatan pengap sedikit pun. Malah, ruangan ini seolah meminta hiasan lebih banyak.
Tapestri dari benang emas berkilauan dibentuk sedemikian rupa lekuk demi lekuk untuk dibuat menjadi bentuk bunga. Patung-patung juga masih dominan di ruangan ini, dan jendela-jendela yang memperlihatkan pekarangan istana juga ikut menambah keestetikan ruangan ini. Jendela yang paling besar terletak di hadapan Meysea—di belakang kursi-kursi takhta yang begitu agung.
The Golden Throne.
Selama ini, Meysea hanya pernah mendengar cerita tentang kursi takhta emas tersebut dari mulut ke mulut, atau dalam buku-buku sejarah yang sering ia baca. Detik ini, dirinya benar-benar menatap benda itu dengan mata kepalanya sendiri. Kursi itu benar-benar seperti apa yang selalu ia bayangkan. Besar dan tinggi, dibuat dari emas berkilauan dengan kualitas paling bagus. Pada penyangga tangannya, terdapat ukiran-ukiran berupa sulur-sulur yang melengkung dengan anggun, meliuk-liuk hingga pada keempat kaki kursi yang kokoh. Pada ujung sandarannya, terdapat tiang-tiang kecil dan tinggi yang dipahat dengan indah, membuat siapapun yang duduk di kursi itu terlihat seperti memakai mahkota, sekalipun mereka tidak memakainya.
Namun, Daemon Rivaden adalah Raja yang menyukai keindahan sekaligus kemewahan. Pria paruh baya itu duduk di atas kursi takhta emas dengan santai dan mahkota emas yang menggantung di kepalanya. Baginya, memiliki singgasana emas yang legendaris itu tak cukup tanpa memakai mahkotanya yang tinggi dan menunjukkan wibawa. Ia menyangga kepala dengan punggung tangan, menyambut kedatangan rombongan Helione bagai pertunjukan drama jalanan yang bisa ditonton oleh siapa saja yang lewat. Meysea tahu kedua tangan ayahnya diam-diam terkepal, tetapi Zoran Ballorien adalah pria yang tahu tata krama.
Mahoni membungkukkan badan dalam-dalam, diikuti oleh Zoran yang enggan untuk membungkuk rendah, juga diikuti oleh Meysea dan semua orang yang ada di ruangan tersebut. "Salam, Your Majesty. Tamu kehormatan Anda hari ini telah tiba." Mahoni mengatakannya dengan berlutut, sementara Zoran sudah meluruskan badannya.
"Salam, Your Majesty," sahut Zoran, "sebuah kehormatan bagi kami semua untuk datang memenuhi undanganmu ke istana." Ia merunduk sedikit dengan tangan menggenggam gagang pedangnya.
Sebuah senyum miring terlukis pada wajah Daemon. Ia menarik punggungnya dari sandaran kursi takhta seolah baru menyadari kedatangan Zoran dan rombongannya. Meski membelakangi jendela raksasa, karena cahaya yang ada Meysea bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Ia memiliki kepala oval dengan dahi dan rahang yang kotak. Kulitnya sewarna perunggu, maniknya terlihat berwarna hitam pekat seperti rambut dan jenggot yang sudah dicukur rapi. Badannya sedikit gempal, tetapi ia memiliki kaki yang panjang.
Di kanan dan kirinya, masing-masing terdapat dua kursi yang lebih kecil. Sama-sama terbuat dari emas, tetapi tidak semegah milik Raja. Meysea tidak pernah mendengar tentang kedua kursi itu—mungkin itu adalah inisiatif sang raja untuk menciptakan kedua kursi tersebut.
Pada kursi di samping kanan, terdapat seorang wanita dengan perawakan yang hampir sama dengan Daemon. Itu adalah Ratu yang baru, belum lama menikah dengan dengan Raja Daemon. Kulit perunggunya mengilap, sementara rambut hitamnya dibentuk rapi menjadi tinggi khas wanita bangsawan. Sementara di kursi yang satu lagi, duduk seorang pemuda yang tidak begitu mirip dengan Raja maupun Ratu. Itu adalah Putra Mahkota—anak lelaki pertama dari Raja dengan Ratu yang lama. Pemuda itu entah bagaimana mewarisi sebagian besar perawakan ibunya—kulit yang lumayan pucat untuk orang-orang Dawncourt serta mata biru cemerlang yang begitu terang yang mana sedang menatap Meysea.
Setelah beberapa detik adu pandang dengan Meysea, pemuda itu mengalihkan pandangannya. Meysea masih mengamati penampilan Putra Mahkota itu. Yang ia wariskan dari sang ayah hanyalah rambut hitam beserta bentuk hidungnya. Mahkota yang terpasang di kepalanya hanyalah mahkota kecil, tidak lebih besar dari yang digunakan oleh ayah dan ibu tirinya. Jubah hijau tua yang dihiasi oleh benang-benang emas digantungkan di kerah bajunya, persis seperti Daemon.
"Adalah sebuah kehormatan juga bagiku untuk menyambutmu, My Lord." Daemon membalas masih dengan suara yang terdengar tanpa penghormatan. "Klan kita sudah lama berselisih sejak dahulu kala hingga anak-anak kita menghapalkan tiap-tiap peperangan yang pernah terjadi. Bukankah hal semacam itu sudah sepantasnya untuk kita perbaiki?"
Zoran mengangguk. "Benar. Perselisihan ini harus diakhiri, ini bukan jenis perselisihan tanpa ujung seperti yang orang-orang katakan, Your Majesty. Demi persaudaran di antara cucu-cucu kita nanti, keadaan ini harus kita perbaiki. Sejarah akan mencatat hal lain."
"Benar sekali, My Lord." Senyuman pada wajah Daemon semakin melebar. "Sejarah akan mencatat hal lain. Pandangan orang-orang di kemudian hari tentang klan kita akan berubah. Sekarang, sepertinya sudah menunjukkan waktu untuk makan siang." Daemon berdiri, meluruskan jubahnya. Pakaian kebanggannya tersimpan di balik zirah yang dibuat seluruhnya dari emas yang kuat. "Ayo, pembicaraan ini akan kita lanjutkan di ruang makan. Aku sudah tidak sabar."
Hutan Montmery Hills, Theead, Eranor Tahun ke 513
Sulur-sulur pepohonan raksasa menjalar, bergelantungan pada tiap dahan dan rantingnya yang tak kalah besar. Rerumputan halus menutupi permukaan tanah hutan yang begitu luas menghampar. Langit malam bersimbah bintang-bintang yang bertaburan, menudungi pohon-pohon hutan yang seolah menjadi pasak bagi langit itu sendiri. Cahaya rembulan purnama yang terang menyongsong semua ceruk hutan yang ada, mengisi tiap-tiap rongga dedaunan sempit, juga menemani dua insan yang sedang bersenda gerau di tengah hutan belantara itu.
Sepasang putri dan pangeran yang telah dinobatkan sebagai kesatria penyetara kedua sisi—pereda perang yang tak kunjung usai sejak Eranor terbentuk—oleh kerajaannya masing-masing.
Berkelana di luar wilayah kerajaan tanpa seorang pengawal bagi mereka adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Raja-raja sedang menghadiri sebuah rapat besar bagi semua pihak penting dari Eranor, yang selain melibatkan raja, perwira istana, penyihir agung dan banyak lagi juga ikut hadir di sana. Lagi pula, sang putri maupun pangeran sudah pernah menyelamatkan Eranor dari cakar-cakar kegelapan biadab pada suatu masa ketika perang besar, berkeliaran di dalamnya pada malam hari sepertinya tidak akan membuat keduanya terbunuh oleh sebuah anak panah dari pembunuh bayaran atau senjata-senjata lain yang bertebaran di Eranor.
Albelda, sang kesatria perempuan, putri dari Kerajaan Talhar mencermati tiap-tiap lekungan daun dari berbagai tumbuhan yang bisa matanya raih dalam penglihatan malamnya. Surai panjang hitamnya yang lembut tergerai indah menyapu kedua bahu di atas gaun putihnya yang sederhana. Iris matanya yang berwarna seperti safir seolah gemerlapan di tengah malam yang membabi buta. Jemarinya yang indah perlahan membelai helaian daun yang ia sentuh. Kulit tangannya berkilau ditimpa sinar purnama, kuku-kukunya seperti dipoles tiap kali ia bangun dari tidurnya. Embusan napasnya begitu tenang, seirama dengan suasana malam dan gemerisik hutan yang merdu di telinga.
Sementara sang pemuda, Xaverio, dengan tubuh tegap yang begitu gagah dan kulit gelap yang melumuri seluruh badannya beradu dengan rambut merahnya. Mata hijau miliknya seolah mengaum dalam rengkuhan purnama. Hidungnya yang bangir dan sepasang alis tebal mempertegas garis mukanya yang begitu proporsional. Kesatria dari Kerajaan Dawren itu memilih untuk membuat bola-bola api kecil dari jemarinya, membuatnya persis seperti kunang-kunang yang bertebaran. "Al, berbaliklah," ujarnya pelan. Suaranya yang berat itu melembut di antara belasan bola api yang berterbangan.
Sang putri menoleh sedikit sebelum membalikkan badannya. Wanita itu begitu terkesiap melihat apa yang telah Xaverio ciptakan dari kedua tangan kosongnya. Albelda melesat mendekat kepada pemuda itu, meninggalkan kawan-kawan tumbuhannya kesepian begitu saja. Dengan mata yang berbinar-binar, sang putri meniti satu persatu kunang-kunang yang tercipta dari bola api milik Xaverio. Kepalanya menengadah mengikuti gerakan bola api yang semakin mendekati langit malam, mulutnya menganga karena terpikat, tetapi tak ada sedikit pun suara yang dihasilkan dari laringnya.
Pemuda di dekatnya tersenyum geli, dengan sebuah gerakan kecil pada kedua tangannya, ia kembali membuat kunang-kunang dari bola api kecil, dan kali ini menciptakan lima bola api yang berukuran tujuh kali lebih besar dari yang sudah-sudah. Albelda kembali terpukau dengan bola api buatannya itu, sembari menampikkan senyuman lebar pada parasnya yang jelita.
Cahaya dari bola-bola api yang ia ciptakan memapari sebagian sisi wanita yang kini ada di hadapannya. Dalam jarak yang tidak terlalu jauh, kini sang putri terlihat begitu cantik di kedua mata Xaverio. Surai hitam halusnya mengalahkan gelapnya malam, kulit cerah tanpa cela, hingga bibir merah mudanya yang selalu tersenyum panjang kerap kali wanita tersebut sedang bahagia.
Direngkuhnya dagu sang putri, lalu mencermati tiap-tiap unsur yang ada pada parasnya, juga mata safirnya. Wajah yang kini ada di hadapannya terlihat sebaya dengan miliknya. Berapa usianya sekarang? Sembilan belas? Dua puluh? Xaverio lalu teringat dengan sebuah ramalan kuno yang menuturkan bahwa keempat kesatria penyelamat Eranor akan lahir di tahun yang sama. Namun itu bukanlah hal yang penting lagi, sekarang, mereka berempat telah mewujudkannya dan sudah menghentikan perang besar yang tak kunjung usai, sesuai dengan ramalannya.
Albelda tersipu, kedua pipinya merona. Sang pangeran dapat merasakan kulit wajah wanita itu menghangat dalam jemarinya, kedua kesatria itu lalu tersenyum pada satu sama lain dalam diam. Ditemani dengan cahaya dari bola-bola api, Xaverio sedikit membungkuk dan menelengkan kepalanya sampai meletakkan bibirnya sendiri pada milik sang putri dengan perlahan. Albelda tersentak, tetapi terlalu terkejut untuk mengelak. Ia merasakan sensasi manis yang lambat laun muncul, dan akhirnya menyeruak hingga memikat keduanya pelan-pelan tetapi dalam buaian yang semakin nyata.
Diam-diam, Albelda menggurui dirinya sendiri agar tak pernah lagi melepaskan Xaverio. Namun, andai keinginan semudah itu untuk diwujudkan.
Bunyi debum begitu besar yang datang secara mengejutkan berhasil menjauhkan keduanya. Kepala Xaverio kini telah berpaling menuju sumber suara yang berasal dari arah utara—wilayah Kerajaan Talhar, kerajaan sang putri, tetapi kedua bola matanya tidak menemukan apapun, tidak ada secercah cahaya atau yang lain, tidak mendapati sebuah sumber debuman raksasa tersebut. Tanpa berkata apapun, Albelda bergegas menghampiri kudanya, menarik dirinya sendiri dari dekapan sang pangeran.
"Albelda, tunggu!"
Kesatria wanita itu tidak menghiraukan Xaverio. Satu hal yang akan wanita itu ingat sampai napas terakhirnya berembus, bahwa debuman keras yang menghantam tanah Eranor bukanlah sesuatu yang baik. Debuman keras pada tanah Eranor adalah sebuah pertanda bencana, sebuah pertanda musibah, sesuatu yang berbahaya dan selamanya akan membekas pada ingatan Albelda selamanya.
Ini adalah kali kedua wanita tersebut mendengar debum tersebut. Tanpa menghiraukan seruan pangerannya untuk yang kedua kali, sang putri lekas mendera kudanya tanpa memperdulikan apapun yang ia lewati.
o0o
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro