VII
Ini adalah teka-teki sejak dahulu kala sering dilontarkan oleh anak-anak, dijadikan bahan canda dan dianggap remeh.
Namun, layaknya puisi tanpa sebab, semua kata yang ada di dunia ini pasti memiliki arti.
Sekarang, aku tanya kepadamu, api, bumi, dan para iblis, mana yang akan mati lebih dulu?
***
Theead bagian tengah
Meysea Ballorien tengah berkuda bersama sang ayah dan para pengawal dari bentengnya pada pekarangan luas bak permadani hijau yang membentangi bumi. Udara di Theead sangatlah sejuk dan nyaman, wewangian dari berbagai aroma rempah berebutan menyusupi penciumannya. Gadis itu tidak bisa mengenalinya satu persatu, tetapi ketika berada di tanah kelahirannya, tidak pernah ia hirup aroma seharum itu.
Berbeda dengan Sunburst yang kebanyakan hanya berupa gurun dan sabana, Theead sangatlah hijau dan asri. Kedua sisi pulau dikelilingi oleh hutan lebat yang lumayan luas. Dari pekarangan ini, Meysea bisa melihat pepohonan yang berjajar nun jauh di sana. Itu adalah bagian dari Montmery Hills, hutan yang sejak kecil hanya ia dengar dari mulut ke mulut. Memandang dari sudutnya saat ini, yang bisa ia lihat hanyalah pohon-pohon hijau yang bergumul layaknya ikatan sayuran.
Meysea memalingkan pandangan, kembali pada jalanan yang kudanya tempuh. Busur dan tabung berisi anak panah tersampir pada pundak. Berbagai perbekalan dan tempat air minum digantungan pada sisi kudanya, yang setiap kuda itu melangkah, barang-barang itu ikut berjengit. Salah satu pengawal yang berada di depan Meysea dan ayahnya membawa panji yang berkibar dengan lambang kepala singa, berlatar belakang emas dan cokelat. Angin sejuk di tempat ini memang sering berembus, berkebalikan dengan Sunburst.
Ini adalah kunjungan pertama kali Meysea—sekaligus Klan Helione ke tanah Theead. Selama ratusan tahun berselisih atas klaim takhta Eranor, Raja akhirnya mengundang klan mereka untuk berdamai dengan menghidangkan makan siang yang Meysea tebak akan berlimpah ruah. Berdasarkan sejarah kuno Eranor yang pernah Meysea pelajari, juga dari cerita anggota keluarganya, Helione dan Decraz selalu berselilih atas mahkota. Sejak tragedi yang melanda Eranor beberapa waktu sebelum itu. Keturunan kedua klan yang mewariskan kuasa dari para kepala tertinggi selalu berebut atas takhta Eranor, hingga pada suatu hari klan berlambang benteng itu memenangkannya.
Sejak saat itu, sampai sebelum Raja mengundang keluarga Meysea untuk bersantai dan makan siang di istana, Decraz dan Helione masih sering berselisih dalam perang dingin. Bahkan ayah Meysea kadang masih sempat untuk memperbincangkan pemindahan mahkota ke kepalanya dengan aliansi klan yang lain.
Ketika mendapatkan gulungan perkamen dari gagak yang dikirimkan oleh Decraz, Meysea kira mereka akan mendapatkan gertakan lagi—atau bahkan ancaman perang, tetapi ia salah. Ayahnya pada saat pertama kali membaca juga tak percaya, meski begitu, itulah yang tertulis pada perkamen tersebut.
Andai saja portal sihir seperti yang disebutkan buku sejarah masih ada. Meysea membatin. Perjalanan mereka pasti tak akan memakan waktu yang cukup panjang. Mereka tak harus melewati ombak Nymadoa yang sedikit ganas. Setidaknya, pemandangan di sini membuat beberapa kelelahan Meysea terbayar.
"Kau tahu, Anakku?" Sang ayah akhirnya berujar, "tiap kali aku melihat dedaunan berjatuhan selama perjalanan kita, aku selalu memikirkan ibu dan adikmu di rumah kita." Keduanya memiliki wajah yang hampir mirip, dengan kulit kuning langsat yang bercahaya dan manik hitam yang tajam. Meski begitu, rambut sang ayah telah memutih pada beberapa bagian.
Namun, Theead adalah tempat yang lebat dengan daun. Selama perjalanannya, Meysea mungkin sudah melihat ribuan daun yang menjumpai bumi. Ditatapnya sang ayah yang duduk tegap dengan armor kebanggaannya. Pakaian perang milik Klan Helione memang patut untuk dibanggakan, Meysea mengakui hal tersebut—apalagi milik ayahnya. Armor itu dilapisi oleh emas yang yang berkilauan, dibentuk sedemikian rupa dengan ruas-ruas yang elok dan elegan. Ayahnya pernah bercerita, zirah itu begitu ringan sehingga ia bagai menari ketika berpedang.
"Aku penasaran apa yang akan dilakukan si kecil Nesea ketika kau tidak di sampingnya." Sebuah senyum terbentuk pada wajahnya yang sudah penuh kerut itu. Rambutnya yang hitam legam kian memutih, garis muka dan rahang yang keras tak lagi setegas dulu seperti yang Meysea ingat kala ia kecil.
"Mungkin Nesea akan mengajak ibu bermain algare," sahut Meysea sembari terkekeh kecil. "Atau ia akan mencari anak-anak singa yang masih begitu kecil dengan alasan bermain petak umpat dengan beberapa pengawal benteng."
Sang kepala tertinggi Klan Helione masih tersenyum, tetapi dalam beberapa detik senyum itu raib layaknya kabut yang diusir rintik hujan. "Sayangnya, ibumu tidak terlalu menyukai algare."
Meysea tidak membalas apa-apa. Kalimat itu menjelaskan beberapa hal. Algare adalah permainan yang mengajarkan tentang rumitnya aliansi antar klan kepada anak-anak supaya mereka tidak terlalu naif tentang hal-hal tersebut di kemudian hari.
Selama sisa perjalanan, tak ada yang berbicara di antara Meysea maupun ayahnya. Gadis itu tidak lagi tahu apa yang harus ia katakan. Perjalanan mereka hanya bertemankan suara langkah kuda atau para pengawal yang saling berbisik satu sama lain. Selang beberapa waktu, dari celah-celah pepohonan tinggi yang menunggu mereka di depan sana, Meysea dapat melihat pucuk bangunan yang akan mereka tuju. Runcing dan berwarna emas, tidak ingin kalah dari zirah yang dikenakan oleh ayahnya. Di ujung atap runcing tersebut, Meysea dapat melihat selembar panji yang berkibar. Tanpa bisa melihat dengan jelas apa yang tercetak di sana, gadis itu membayangkan sebuah siluet banteng hitam dengan latar belakang hijau tua dan emas.
Alun-alun, Theead bagian utara
Baltasar akhirnya tiba di tanah Theead. Ini bukan kali pertama ia berkunjung ke tanah yang tak kalah subur dibanding tempat kelahirannya, lantaran Turnamen Alun-Alun telah diadakan beberapa kali dan Baltasar tidak mau ketinggalan setiap tahunnya. Tentu saja ia tidak sendiri, kali ini Ralphia memaksa untuk ikut—gadis kecil itu bahkan mengancam kakaknya sendiri untuk tidak akan turun dari pohon tertinggi di halaman benteng mereka sampai kakaknya pulang. Dan Ralphia adalah gadis kecil yang sangat keras kepala.
Dan mereka tidak datang hanya berdua saja. Atas keputusan paman mereka, beberapa pengawal ikut menemani keduanya. Baltasar sebenarnya tidak setuju, karena selain merasa bisa menjaga dirinya sendiri, para pengawal itu justru akan lebih fokus kepada festival yang diadakan—bisa-bisa Baltasar sendiri yang kewalahan karena mereka justru akan banyak mabuk dibanding mengawasi Baltasar dan adiknya. Namun, pemuda itu sudah enggan jika harus berdiskusi dengan pamannya.
Udara Theead dan Duskbeam tidak jauh berbeda. Meski tidak bisa mencium aroma zaitun, Baltasar masih bisa merasakan kesegaran lain dari udara di tempat ini. Apalagi setelah beberapa jam terjebak oleh aroma asin laut. Ralphia yang duduk di depan Baltasar celingukan tak karuan sejak tadi, membuat pemuda itu sesekali mengencangkan genggamannya pada tali kekang kudanya.
"Kita akan berada di tempat ini selama berapa hari, Kak?" Nada kalimatnya terlampau riang. Angin menerpa gadis itu dan melambaikan beberapa helai anak rambutnya.
"Jangan senang dulu, Ralph." Baltasar memeriksa sisi kanan dan kiri tempat mereka berjalan. Orang-orang sudah mulai ramai menyambut festival, ada yang berlalu-lalang menyiapkan kios-kios mereka—banyak pendatang dari luar pulau yang akan tertarik untuk membeli pernak-pernik, ada pula yang menyiapkan dagangan mereka. Ini adalah hari pertama Turnamen Alun-Alun dimulai, dan festival akan dimulai hanya dalam beberapa hari lagi. "Kau ingat, bukan, aku membawamu ke sini hanya untuk melihat turnamen?"
Ralphia mencibir, serta-merta membungkam mulutnya dan membiarkan kakaknya menunggang kuda dengan tenang. Baltasar tersenyum.
Namun, tak lama kemudian Ralphia kembali berulah. "Kakak! Lihat itu!" Tangannya teracung pada salah satu kios yang menjajakan batu-batuan berkilau, masing-masing ditempatkan dalam kotak yang sesuai dengan ukuran masing-masing, "Itu indah sekali!"
Mau tak mau Baltasar juga ikut memerhatikan. Duskbeam bukanlah penghasil barang tambang, sehingga jarang untuknya melihat batu-batuan permata seperti itu. Meski begitu, ia pernah melihat beberapa di antaranya pada ruangan suci. Beberapa batu, atau lebih tepat dibilang bongkah dari berbagai warna dipajang pada ruangan yang sama dengan makam orang tuanya. Namun, batu-batuan ini telah diubah menjadi perhiasan, dan kebanyakan perhiasan yang beredar di Duskbeam memang paling banyak berasal dari Theead.
"Ralph, kita butuh banyak uang membeli barang seperti itu."
Ralphia mengerang dan bersandar pada kakaknya. "Kau selalu berlagak seolah hidupmu itu sulit. Mana mungkin yang seperti itu saja kau tidak bisa belikan."
Mendengarnya, Baltasar terkekeh. "Tahu apa kau tentang hidup sulit, My Lady?"
Perjalanan menggunakan wagon yang ditarik oleh kuda memang tidak bisa dibilang cepat. Alice ingat ketika ia menaiki wagon ini, hari sudah mulai petang, ia sempat tertidur saat malam hari, dan sekarang sepertinya matahari sudah berada di atas kepala. Ia benar-benar sudah lelah duduk, dan dari rentang waktu tadi dirinya baru ke kamar kecil sebanyak dua kali. Bekal yang disediakan oleh wanita tua yang tidak ia ketahui namanya karena lupa bertanya juga sudah habis. Keranjang makanan mereka tinggalkan sebelum menaiki wagon ini. Setidaknya, wanita itu sudah berbaik hati meninggalkan beberapa koin—walaupun Alice tidak mengerti betul tentang bagaimana sistem jual bei di tempat ini.
Omong-omong tentang sistem jual beli, sebenarnya semua sistem yang ada di tempat ini tidak ia mengerti. Sebagaimana yang Isaac sempat bilang kemarin—bahwa, "nama tempat ini adalah Eranor, dan kau berdiri di salah satu pulau bernama Theaad. Kita akan menuju Dalmaas, mungkin itu semacam kota."—hanya itu yang bisa ia dapatkan. Jelas sekali bahwa tempat ini tidak ada di dunianya, tetapi mengapa semua orang di sini menggunakan bahasa yang sama dengannya?
Gadis itu memerhatikan sekeliling wagon. Mungkin benda ini bisa memuat hingga lima belas orang, tetapi yang ada di sini hanya sepuluh. Meski begitu, wagon ini sudah cukup sesak dan penuh—selain karena banyaknya barang-barang milik penumpang, satu-satunya lubang udara adalah yang ada di samping Alice. Mungkin itu sebabnya wagon ini tidak mengambil lebih banyak penumpang. Alice sendiri merasa beruntung dirinya duduk di sisi paling ujung, walaupun jika hujan dia yang akan basah lebih dulu.
Tak lama kemudian, wagon itu akhirnya berhenti. Alice kira mereka akan berhenti di kamar kecil umum lagi, tetapi ternyata mereka memang telah mencapai tujuan. Sang kusir menyerukan kata-kata seperti segera turun dan membayar perjalanan mereka, sesekali menyumpahi kalau-kalau ada yang berani kabur tanpa membayar.
Alice dan Isaac berdiri di samping wagon selagi penumpang lainnya berbaris untuk membayar kepada kusir. "Menurutmu ini cukup?" Isaac mengecek kembali koin-koin yang ada di tangannya. Benda itu berwarna cokelat perunggu, dengan ukiran sulur maupun angka nilai koin tersebut.
"Dia bilang dua puluh lima untuk satu orang, dan yang ada di tanganmu itu tiga koin bertuliskan angka sepuluh dan empat koin bertuliskan lima. Jadi, kurasa itu cukup."
Isaac mengamati Alice seolah-olah gadis itu baru saja menganggap dirinya orang bodoh yang tidak bisa berhitung.
"Hei, kau!" Sang kusir berseru kepada keduanya dengan suara lantang, membuat keduanya sedikit terlonjak. Ternyata barisan penumpang yang ingin membayar ongkos mereka sudah habis. "Jangan coba-coba untuk kabur tanpa membayar." Pria itu mendekati keduanya dengan langkah mantap. Pakaiannya berwarna cokelat muda dan sudah lusuh, sementara celananya yang berwarna hitam sudah compang-camping. Jenggot di wajahnya dicukur dengan tidak rapi dan menunjukkan bekas-bekas luka sayatan, begitu pula rambutnya yang cepak sebelah. Matanya menatap koin-koin di tangan Isaac dengan berkilat.
Isaac menyerahkan koin-koin tersebut sambil bertanya, "Sir, apa kau tahu jalan tercepat yang bisa ditempuh untuk mencapai Dalmaas?"
Pria yang sedang menghitung koin-koin itu seketika menatap keduanya lekat-lekat. Matanya bergerak dari atas ke bawah untuk meniti Isaac, lalu berpindah kepada Alice. Gadis itu merasakan wajahnya memanas, sementara tangannya mengepal dibalik lengan tunik yang panjang. Pandangan seperti itu hanya membuatnya muak. Alhasil, ia hanya mengerling ke arah lain dan memutar tubuhnya sedikit.
"Dari mana kalian berasal?"
Alice dan Isaac hanya bisa mematung di tempat. Ketegangan mengaliri keduanya, Mereka tidak bisa membiarkan identitasnya terkuak begitu saja. Namun, semakin keduanya terdiam, pria tersebut semakin terlihat ingin tahu. Ia menaikkan alis, membuka mulutnya lagi sebelum seorang pria lain berseru kepadanya.
"Norman!"
Kusir tersebut menoleh dan seketika melupakan Alice maupun Isaac begitu saja. Seorang pria lain bercakap dengannya sambil terbahak-bahak dan membawanya pergi dari sana.
Diam-diam, Alice dan Isaac sama-sama menghela napas. Meski tidak mendapatkan jawaban, setidaknya mereka tidak harus menjawab pertanyaan lain dengan risiko yang cukup besar.
Alice mengamati keadaan sekitar yang cukup ramai. Selain banyak sekali wagon yang berakhir di tempat ini, tak jauh darinya orang-orang terlihat begitu sibuk. Ia melihat tenda-tenda kecil berwarna-warni dibangun, beragam dekorasi-dekorasi lain yang penuh warna dibuat dan menjalar dari pohon ke pohon lainnya. Pohon-pohon di sini tidak sebesar dengan yang ada di hutan. Meski begitu, tempat ini benar-benar cukup rindang, dan ke mana pun Alice memandang, yang ia temukan hanyalah wajah-wajah ramah dari orang-orang yang ada.
Sesaat, ia bisa melupakan bahwa nyawanya bisa saja melayang di tempat saat ini juga.
Sesaat, ia lupa akan bisikan-bisikan yang kerap kali menerornya.
Keceriaan di tempat ini seolah menular. Anak-anak kecil berlarian dan tertawa, berkejar-kejaran dengan teman mereka. Orang-orang dewasa terlihat sibuk menghias maupun mengurusi tenda mereka masing-masing yang kini dilengkapi dengan meja yang menopang barang-barang unik, tetapi wajah mereka tetap menunjukkan rasa senang. Alunan musik yang merdu terlantun entah dari mana asalnya, yang Alice tahu hanyalah musik tersebut mendukung suasana.
Kaki Alice bergeming. Kehangatan ini rupanya hanya berlangsung sesaat bagi dirinya. Memori akan mimpinya kembali datang—ingatan tentang rasa takut, gelap dan kelam yang menemaninya, bersarang dalam kepalanya sendiri. Kulitnya seketika meremang, ia bergidik pelan ketika mengingat sensasi saat bayangan hitam berwujud gagak itu menerjangnya—membelainya, dan memberikan kehangatan, rasa nyaman mengalahkan apa yang sedang Alice lihat di hadapannya saat ini.
Mengapa tidak membiarkan rasa takut itu menyuapimu kekuatan?
Suara itu berdengung bagai nyanyian sendu.
"Ayo," Isaac yang melenggang berhasil membuyarkan benak Alice. "Tidak ada jalan lain yang terlihat selain menerobos keramaian ini."
Setelah melalui beberapa kios yang menyediakan cinderamata maupun makanan-makanan ringan, langkah mereka terhenti oleh pawai drumben yang seolah tak mempunyai ujung. Mereka membawakan lagu yang Alice sempat dengar tadi, mengalun dengan merdu begitu saja. Para pemain instrumennya mengenakan pakaian berwarna-warni dan menggenggam alat musik yang berlainan. Tabuhan gendang-gendang dan suara terompet memenuhi udara alun-alun. Konfeti berwarna-warni ditaburkan oleh penari yang berlenggak-lenggok membawa keranjang kecil yang mana ikut serta barisan drumben. Beberapa anak kecil tertawa-tawa dan bahkan bergabung barisan drumben tersebut. Menari-nari dan menyanyikan syair dari lagu yang dibawakan.
Semua anggota drumben tersebut mengenakan riasan tebal ataupun topeng mata, Alice tidak bisa mengetahui bagaimana rupa orang-orang itu dibalik topeng riasan. Mulut mereka digambar dengan garis yang lebih panjang lagi, ditambah pemulas bibir yang tebal. Pawai drumben itu begitu panjang hampir tak ada ujung karena sejauh matanya memandang Alice hanya bisa melihat barisan warna-warni yang mengular dan menari-nari, sehingga orang-orang yang mempunyai kepentingan di seberang sana harus menerobos pawai tersebut.
Nampaknya anggota pawai drumben tidak merasa keberatan untuk diterobos. Mereka tetap tertawa, ceria, menari seolah itu adalah hal-hal terpenting bagi mereka. Selain anak-anak kecil yang ikut bergabung, orang-orang dewasa dengan bakul yang berisi dagangan mereka, atau dengan tangan yang penuh dengan kain warna-warni untuk menghias ikut menari dan tertawa-tawa sebelum akhirnya menyeberang.
Alice ikut melangkah ke dalam rombongan drumben. Mulanya ia akan menyeberang dengan cepat, menghindari tubrukan dengan orang-orang yang membawa drum atau bendera warna-warni, tetapi tiba-tiba saja seorang anak kecil menarik lengannya untuk ikut menyusuri barisan pawai drumben. Alice tidak melihat wajah anak kecil tersebut, selain dirias berwarna putih dengan lukisan bibir yang tertawa lebar, benda-benda pawai menghalanginya. Alice menunduk beberapa kali dan beringsut untuk tidak mengenai tongkat bendera yang diputar sesuai irama. Secepat mungkin ia menarik diri untuk tidak menjadi sasaran stik drum, atau menabrak tuba.
Tangan anak kecil tersebut masih menarik Alice. Gadis itu dapat mendengar suara tawanya yang selaras dengan keceriaan, tenggelam dalam suara drumben. Namun, wajahnya masih tak bisa ia lihat. Ia mulai mengelak. Selain tak tahu di mana ujung rombongan ini, Alice tidak bisa menerima risiko kalau-kalau nanti tanda di tangannya tersibak. Tanpa disangka, genggaman anak kecil itu lebih kuat dibanding dugaannya. Alice bahkan berusaha memberatkan tubuh.
Tidak berhasil. Tawa anak itu masih menggema di benaknya. Alice semakin menarik lengannya sendiri, tetapi genggaman itu semakin erat. Kuku-kuku mungil mulai menusuknya, meski begitu tawa anak kecil tersebut tidak sirna. Alice masih bisa melihat setengah wajahnya yang menengok ke arahnya, setengahnya lagi tertutup oleh lambaian kain bendera bercorak pelangi. Gadis itu berusaha untuk beringsut dan secepat mungkin keluar dari barisan pawai ini. Percuma. Seakan tak berujung, kini Alice tidak bisa melihat celah yang bisa ia capai untuk kabur.
Anak kecil tersebut masih tertawa dan terus menarik Alice dengan kekuatan yang tak sepadan untuk tubuh sekecil itu. Alice melalui para anggota pawai dengan begitu cepat. Wajah-wajah mereka yang penuh riasan ataupun topeng bergantian menjejali penglihatannya. Suara tabuhan gendang dan tuba juga malah membuatnya pusing—suara-suara itu seolah menusuk telinganya. Wajah-wajah itu masih berseliweran di mata Alice. Semuanya sama—tidak ada yang bisa ia bedakan. Mata yang tersembunyi di balik topeng, senyum panjang yang dilukis oleh warna merah, serta tawa yang berderai tak kunjung berhenti.
Alice masih mengamati wajah-wajah yang sama—tersenyum, tertawa, dengan mata yang tidak pernah ia temukan. Lama-lama kepalanya terasa pening, tanah di bawahnya terasa bergetar. Anehnya, getaran itu justru berasal karena langkah kakinya yang menhunjam jalanan.
"Tunggu!" Alice memekik, mendengarkan sendiri suaranya tenggelam dalam keramaian. "Berhenti!"
Tangan mungil itu tetap menariknya. Dan di sela-sela langkahnya yang mengikuti anak kecil tersebut, wajah-wajah yang berseliweran di hadapan Alice seketika berubah. Begitu cepat dan begitu banyak, terlalu sering berganti. Riasan wajah berwarna putih, dengan topeng-topeng mata berwarna hitam dan senyum lebar berwarna merah—semuanya berbaur dan menjadi satu kesatuan. Perlahan terlihat samar di mata Alice selagi kepalanya semakin terasa berat, lama-kelamaan wujud itu semakin jelas terlihat—kepala seekor burung gagak.
Wajah-wajah bertopeng tersebut berganti menjadi kepala gagak. Begitu banyak—semuanya, semua kepala yang Alice lihat adalah kepala gagak yang mengelilingnya—mengepungnya. Alice merasakan detak jantungnya semakin cepat, sementara kakinya semakin lemas, tetapi ia terus berlalu karena tangan kecil itu masih menariknya. Suara pawai drumben masih terdengar di telinga Alice tetapi menjadi lambat, dan semuanya terlihat berputar—kepala-kepala gagak itu terlihat ingin menerkamnya dengan gerakan lambat. Ia merasakan suatu dorongan dari dalam dirinya meronta keluar, meminta dibebaskan, tetapi selain itu yang bisa Alice rasakan hanyalah mual—dan pening yang berlebihan.
Mengapa takut?
Mengapa menghindar?
Suara itu berdengung di kepalanya dengan lambat dan menyiksa bagai pisau yang mengukir kaca.
Mengapa tidak membiarkan rasa takut itu menyuapimu kekuatan?
Sebuah tarikan dari belakang menyadarkan Alice, sekaligus mengeluarkannya dari barisan pawai. Gadis itu tersentak, begitu mendongak, sepasang mata hijau menatapnya lekat-lekat. Itu adalah mata yang sejak kemarin ia hindari. Kedua manik itu seperti sepasang zambrud yang berdenyar di tengah siang bolong, menghantarkan sebuah sentakan kuat ke dalam dirinya. Alice dapat merasakannya—energi tak kasat yang mata yang mengalir begitu saja, membekapnya hanya dengan satu tatapan tajam, tetapi tak bisa membuatnya berpaling sebanyak apapun yang dirinya inginkan. Begitu indah, begitu memukau, begitu menyesakkan, begitu menggetirkan, begitu menakutkan—
"Ada apa denganmu!?" Meskipun Isaac telah meninggikan suaranya, tetap saja suara itu hanya terdengar bagai cicitan tikus dibandingkan dengan suara pawai drumben. Kedua tangannya masih memegangi Alice, gadis itu masih terlihat syok meskipun telah mengerjap beberapa kali. Beberapa detik yang lalu, Alice berjalan di dalam rombongan pawai dan melawan arah. Dia tidak berjalan, tetapi sedikit tergesa seakan di ujung sana ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Namun bukan itu, bukan Alice yang dengan gila melawan arus barisan pawai sambil setengah berlari, melainkan sesuatu yang yang tercipta dari langkahnya.
Setiap kali Alice melangkah di dalam barisan itu, Isaac dapat melihat bayang-bayang seperti asap hitam pekat yang membubung dari bawah kakinya—dari dalam tanah yang baru saja gadis itu injak. Setiap langkah, tanpa terkecuali. Bayang-bayang hitam itu seolah mengejarnya, mengikutinya layak gadis itu adalah tuannya—atau malah mangsanya. Bayang-bayang itu bergerak seolah mereka benar-benar hidup.
"Anak kecil!" Alice akhirnya bersuara. "Anak kecil itu yang terus menarikku sehingga aku tidak—"
"Anak kecil apa?"
Mendengarnya, Alice kembali mendongak dan menatap sepasang mata itu. Hijau dan terang, memikat dan mengerikan. Meski begitu banyak energi yang yang bisa Alice rasakan dari manik Isaac, ia tidak bisa menyebutkannya secara jelas. Tatapan itu memuntir energi miliknya sendiri, menarik-narik dan membantingnya kepada dinding tak kasat mata, kemudian menariknya kembali, dan setelahnya dibuang, terulang terus-menerus. Hingga Alice melihat sarat kejujuran dari ucapannya barusan, ia melemparkan pandang ke arah lain.
Gadis itu secepat mungkin beringsut dan menarik kedua lengannya begitu sadar Isaac masih menggenggamnya. Ia mundur dan berbalik, menatap barisan pawai drumben yang mengular tanpa henti. Semuanya masih sama, penuh keceriaan dan tawa. Di depannya, Alice merasa seperti melihat pelangi berjalan yang diiringi melodi-melodi bahagia.
Ia masih menatap pawai tersebut dengan nanar, tak mengerti apa yang barusan terjadi padanya. Tangannya mengepal, menahan berbagai emosi yang mulai bermunculan. Beberapa saat yang lalu, kepala-kepala gagak itu begitu nyata di matanya. Kini, yang ia tatap hanyalah kumpulan wajah-wajah yang tak pernah ia lihat, tersembunyi oleh riasan dan topeng-topeng hitam.
o0o
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro