IX
Alam membelaiku agar terbangun, untuk membuatku tahu akan sesuatu; bahwa kenyataan yang sebenarnya tidak ada di balik kelopak mata.
Tanyanya; sadarkah kalian jika bumi terus menjerit meminta pertolongan?
Sayangnya, semua terlalu tuli dan tak acuh, memperebutkan hal yang sama sekali tak penting.
***
Alun-alun, Theead bagian utara, Eranor, Tahun 776
Festival tadi yang begitu meriah dengan pawai drumben dan tenda-tenda kecil yang menjajakan dagangan ternyata hanyalah bagian depan dari festival itu sendiri. Semua jalan yang ada untuk menuju barat disulap menjadi festival warna-warni yang meriah. Tak ada jalan lain selain memasuki melewati festival ini dan berjalan kaki menuju barat—berdasarkan informasi yang mereka dapat, wagon akan jarang sekali menarik penumpang saat festival macam ini berlangsung.
Ini sudah hari ketiga. Alice menghela napas, tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan selain berjalan ke barat, dan juga tidak tahu hal macam apa lagi yang bisa terjadi. Kehidupannya di dunia aslinya juga perlahan menjadi ternomorduakan. Wajah maupun rambutnya pasti sudah lusuh dan berantakan, selama beberapa hari ini ia tidak menemukan cermin selain genangan-genangan air di jalanan. Itu juga tidak berguna baginya karena ia lebih memilih untuk tidak melihat tampilannya—berjalan tanpa mengetahui penampilanmu lumayan buruk lebih baik dari pada mengetahuinya dan berjalan dengan dipenuhi rasa konyol. Walaupun keduanya tetap sama saja.
Alice mengamati antrean panjang yang harus ia lalui lebih dulu sebelum memasuki festival yang sesungguhnya. Orang-orang yang berbaris di depannya memakai warna pakaian yang tidak mencolok. Seperti kemeja putih gading dan rompi cokelat, atau kaos cokelat muda dengan celana hitam, dan baju-baju terusan serta gaun-gaun berwarna serupa. Tidak sedikit juga yang memakai tudung gelap seperti yang ia pakai, udara di tempat ini mendukung pakaian macam apapun.
Di samping Alice, Isaac berdiri dengan enggan sembari menyilangkan kedua tangan. Wajahnya terus ditekuk sehingga Alice tidak tahu peristiwa mana saja yang kelihatannya telah menghancurkan mood—nya. Pemuda itu sejak tadi hanya sedikit bicara, mengingat Liam yang terus melontarkan kata hampir setiap menitnya, Isaac terlihat begitu berbeda. Beruntung, Alice juga tidak terlalu banyak bicara sehingga ia tidak keberatan. Isaac beberapa inci lebih tinggi dari Liam, sehingga Alice harus lebih mendongakkan kepala ketika berbicara—walau hanya sebentar—dan ironisnya lagi, sampai saat ini Alice masih juga belum mengetahui nama pemuda itu.
Ia tidak pernah terang-terangan memberi tahunya, dan melihat sikapnya yang seperti itu, Alice juga sungkan untuk bertanya. Entahlah, gadis itu pikir ditambah dengan suasana yang seperti ini menanyakan nama kedengarannya seperti sesuatu yang kurang tepat. Meski begitu, Alice masih tidak bisa berlama-lama menatap manik yang kini sedang mengamati rumput. Mungkin lebih mudah seperti itu—Alice tidak harus mengetahui namanya sehingga ia merasa lebih leluasa untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengannya. Merasakan energi aneh dari matanya menjadikannya juga untuk merasa janggal berada di dekatnya.
Semakin mereka maju, Alice semakin bisa mengamati gerbang depan festival. Tidak seheboh layaknya apa yang ia bayangkan, tetapi gerbang itu berupa gapura yang dihias berbagai warna dan ornamen. Gadis itu bisa melihat beberapa hal yang berada di baliknya karena pembatas antara festival bagian dalam dan luar hanya setinggi leher. Tenda-tenda besar seperti tenda sirkus, atau benda-benda tinggi lainnya memenuhi tempat di balik pembatas tersebut, beserta dengan suara ramai yang ada.
Ketika sudah semakin dekat dengan pintu masuk, Alice melihat seorang pria yang bertugas sebagai penjaga memeriksa satu persatu orang-orang yang akan memasuki festival. Ia kira itu hanyalah pemeriksaan biasa—seperti apakah dia menyimpan senjata di dalam keranjang makanannya atau tidak. Namun, ketika melihat hal selanjutnya yang dilakukan oleh sang penjaga, Alice mematung di tempat saat itu juga.
Penjaga itu memeriksa tangan kanan setiap orang yang akan masuk.
Tungkai Alice mulai melemas, detak jantungnya berpacu semakin cepat. Kalau ada genangan air yang bisa ia temukan, pasti ia akan menatap wajahnya yang memucat.
Orang yang telah diperiksa itu akhirnya memasuki festival. Dia lolos. Namun, nasib baik tidak menghampiri orang di belakangnya. Pemuda itu terlihat seperti rakyat biasa, memakai kemeja putih dengan celana cokelat muda. Ia berdebat sedikit dengan sang penjaga, tidak terdengar karena jaraknya lumayan jauh. Alice hanya bisa melihat kedua orang itu sama-sama bersikeras, dan si pemuda mengelak begitu sang penjaga ingin memeriksa tangannya.
Perdebatan kecil itu mengundang perhatian beberapa orang. Sang penjaga mengotot begitu pemuda itu mengelak dan memaksa masuk. Tiba-tiba saja, seseorang lainnya memegangi pemuda itu dari belakang, membuatnya tidak bisa beranjak. Lantas, sang penjaga menarik lengan kemeja pemuda tersebut saat itu juga. Dan di sana, meski dengan jarak yang tidak dekat, Alice dapat melihat sedikit bahwa di tangan itu terdapat gambar yang sama seperti miliknya. Segitiga hitam.
"Para Terpilih!" Demikian sang penjaga berteriak. Ekspresi di wajahnya berubah menjadi kengerian sekaligus rasa jijik. Secepat mungkin ia menjauhkan diri.
Si pemuda meronta dan berusaha melepaskan diri dari kekangan si pria yang sejak tadi memeganginya. "Tidak!" serunya sembari meronta, "ini tidak seperti yang kalian kira!" Kali ini suaranya cukup keras sehingga Alice dapat mendengarnya. Bisik-bisik warga yang ada di sekitar sana mulai bertambah. Beberapa orang mengamati pemuda itu dengan sangsi, sementara lainnya buru-buru menjauh. Bahkan orang-orang yang mengantre juga ikut mundur.
Si pemuda malang masih meronta. Lengan orang yang memeganginya lumayan kekar dan menahannya kuat-kuat membuatnya tak bisa berkutik, bahkan kakinya mulai berjinjit di atas tanah. Semakin meronta, si pemuda justru mendapatkan sebuah lengan menjerat lehernya. Suaranya menghilang dan hanya terdengar sayup-sayup. Tangan beserta kakinya yang hampir terangkat semua meronta tak karuan.
Alice memandanginya tanpa berkedip sama sekali. Gadis itu bahkan tak sadar bahwa dirinya tidak bernapas. Yang ia rasakan hanyalah rasa panik yang perlahan timbul dalam dirinya, bangkit seakan mengisi tubuhnya. Ia dapat merasakan tungkai yang melemah atau rasa yang menyengat pada punggungnya. Namun, teriakan pemuda tersebut yang kini hampir raib berpusing pada kepalanya seolah semua berjalan dengan lambat.
"Tidak! Tunggu!"
"Tolong!"
Rasanya sama seperti saat ia petama kali tiba di tempat ini. Kepalanya berputar-putar, berbagai suara bermain di kepala, dan Alice tidak tahu apa yang sedang terjadi. Perlahan, suara yang belakangan ini telah mengusiknya kembali.
Mengapa takut?
Dalam penglihatannya yang samar, Alice bisa melihat sang penjaga antrean festival mendekati si pemuda. Di matanya, sang penjaga bergerak begitu lambat. Kedua tangannya bergerak bagai lambaian kain yang diterpa angin. Dekat, dan semakin dekat. Satu tangan penjaga itu mengayun ke depan dengan lambat sehingga Alice bisa melihat apa yang sedang ia genggam.
Pisau bermata ganda.
Mengapa menghindar?
Teriakan si pemuda makin menyiksa telinga Alice. Begitu nyaring dan putus asa. "Tidak!"
"Tunggu!"
Mengapa tidak membiarkan rasa takut itu menyuapimu kekuatan?
Lambat laun, Alice mulai merasakan sebuah energi yang bangkit dalam tubuhnya menjadi lebih kuat. Energi itu mengaliri setiap pembuluh darahnya, mengejutkan saraf-sarafnya dan memberi peringatan kepada setiap otot tubuhnya. Ia merasakannya, sensasi ketika energi itu mencapai jantungnya dan menimbulkan emosi yang tidak dapat ia terjemahkan. Rasa senang—bukan, lebih tepatnya semacam rasa puas. Sesuatu dalam dirinya telah bangkit. Dan saat itu juga, yang ia ketahui hanyalah kenikmatan tersebut memberinya kekuatan.
"Aku mohon!"
Biarkan mereka menuntunmu.
Tangan sang penjaga berayun dengan cepat, dan tepat menuju pada jantung si pemuda. Begitu pisau bermata itu menancap pada dada si pemuda malang, Alice merasakan sebuah sengatan memberontak untuk keluar dari dalam tubuhnya. Ia terkesiap, berupaya menarik napas, menggantikan si pemuda yang meregang nyawa. Setelahnya, Alice terengah seakan ia baru saja berlari.
Gadis itu membatin, berusaha memahami segala sesuatunya. Apa yang terjadi barusan?
Napasnya masih tersengal. Ia bahkan tak sadar sudah meremas lengan tunik Isaac yang tampaknya tidak disadari oleh pemuda tersebut. Di depan sana, Alice melihat seorang pemuda yang tengah tak bernyawa berlumuran darah. Si penjaga masih menusuk berkali-kali tubuh si pemuda tanpa ampun seperti orang gila, layaknya pemuda tersebut adalah monster yang pernah mencoba memangsa Alice di hutan.
Namun, bukan itu. Bukan hanya apa yang baru saja terjadi pada pemuda tersebut yang mengguncangnya, melainkan sesuatu yang timbul dari peristiwa tersebut. Alice tak lagi gemetar, kakinya tidak melemas bahkan sekalipun ia terengah, energinya sama sekali tidak terkuras. Energinya justru bertambah, seakan kepergian pemuda tadi telah menambah kekuatannya. Matanya masih menatap nanar si pemuda, tetapi ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Dan kini, ia merasakannya—ia merasakan kepuasan itu.
Pemandangan tubuh berlumuran darah itu memberinya emosi yang janggal, tetapi tubuhnya tidak menolak. Meski Alice berusaha menahan, kedua matanya tetap melekat pada tubuh tak bernyawa itu, membelalak, seakan meminta lebih.
Isaac menelan ludahnya. Ia pernah berdarah, tetapi tidak sebanyak itu, dan tidak pada area tersebut. Si penjaga menghunjamkan pisau berkali-kali seperti kerasukan. Isaac hanya bisa melihat tubuh pemuda itu kaku dan penuh lubang berlumur darah. Tidak. Serta-merta kilat tak kasat mata telah menyambarnya dan memberinya kesadaran. Kalau dirinya tidak menjauh dari sini, cepat atau lambat hidupnya juga akan berakhir tragis persis seperti itu.
Dan Isaac tidak pernah mau berakhir dengan lubang menganga penuh darah di tubuhnya.
"Come on," desisnya pada Alice yang masih bergeming. Isaac menundukkan kepala, dan berniat untuk memasang tudung kepalanya.
Ia menarik tangan Alice tanpa basa-basi dan mengajaknya berbalik untuk keluar dari antrean. Namun, begitu ingin pergi, langkah mereka terhenti karena seseorang menghalangi keduanya. Isaac dan Alice sama-sama terkejut—bukan karena kehadirannya yang mengejutkan, melainkan wajah pria itu yang sama persis dengan pria yang memegangi si pemuda saat penjaga antrean festival sedang menusuknya.
Pria itu memiliki tinggi di atas rata-rata dan berbadan besar, berkulit gelap dengan kepalanya yang plontos. Matanya begitu tajam dan gelap, memerhatikan Alice dan Isaac begitu lekat. Garis mukanya keras dan kuat, rahangnya mengeras bahkan sebelum Alice maupun Isaac mengatakan apapun. Ia memakai pakaian yang mirip seperti keduanya—tunik hitam panjang yang tingkat warnanya tidak berbeda jauh dengan kulitnya.
Alice menoleh ke belakang, menemukan pria yang tadi memegangi si pemuda masih berada di sana dan mengurusi mayat yang berlumuran darah tersebut. Lalu di depannya, apakah pria ini adalah kembarannya?
"Keluar dari barisan, maka waktu mengantre kalian terbuang sia-sia." Suaranya serak dan penuh penekanan. Meski begitu, ia tetap diam di tempatnya.
"Kami memang berniat untuk tidak jadi mengunjungi festival," balas Isaac. "Sir," tambahnya ragu-ragu. Bagaimana kalau orang-orang di sini berbicara dengan cara yang berbeda? Bagaimana kalau kedoknya ketahuan?
Pria itu mengangkat satu alis mata. Ia berganti memandang Isaac, kemudian Alice, lalu Isaac lagi. Matanya mencari-cari sesuatu di dalam kedua mata mereka. Alice dapat merasakan tatapannya yang membakar, mengorek apa saja yang bisa ia ambil. Bola mata cokelat gelap itu bergerak-gerak liar tanpa menemukan rasa puas atau jawaban.
"Dari mana kalian berasal?"
Alice tahu Isaac kini meliriknya, tetapi Alice tidak membiarkan matanya untuk merasakan tatapan membakar lainnya lagi. Genggamannya pada lengan Alice juga mengeras dan darinya, gadis itu dapat ketegangan yang mengalir, berujung membuat ketegangannya makin meningkat. Memori Alice tentang bagaimana si pemuda kehilangan nyawa kembali terputar. Tangan penjaga antrean yang berkali-kali menghunjamkan pisau, teriakan merana dan kesakitan dari si pemuda. Alice seolah hampir bisa merasakan semuanya, tetapi bukan rasa sakitnya, melainkan sensasi yang ditimbulkan peristiwa tersebut pada tubuhnya.
Apa yang akan terjadi pada dirinya jika ia kembali menyaksikan peristiwa macam itu?
"Dari hutan, Sir," Alice menjawab sembari berdoa bahwa jawabannya masuk akal. Meski hanya sedikit rumah kecil yang ia jumpai pada perjalanan, setidaknya rumah-rumah itu berpenghuni. "Dan sekarang kami memutuskan untuk pergi. Permisi." Jika ia bisa mengeluarkan diri dari situasi ini, ia bersumpah pada dirinya sendiri untuk mencari berbagai informasi lain tentang dunia ini.
Alice dan Isaac sudah akan pergi sebelum pria itu mencengkeram lengan kanan Isaac. Mau tak mau, keduanya berhenti. Pria tersebut membungkukkan badan, menyamai posisi matanya dengan mata Isaac. Pemuda itu diam-diam mengatur napas dan air mukanya agar tidak terlihat mencurigakan. Begitu wajah pria tersebut sudah di hadapannya, ia menelan ludah.
Mata si pria kali ini terlihat lebih gelap. Sembari pria tersebut menyeringai, Isaac bisa menghirup napasnya yang beraroma alkohol. Ia semakin mendekatkan wajahnya sehingga Isaac bisa mendengar dengan jelas saat ia berkata, "Tapi di sini tidak ada yang memanggil Pemburu Para Terpilih dengan sebutan 'sir', Nak."
Isaac mematung, ia bahkan tak sadar seberapa keras ia telah mencengkeram tangan Alice. Dan atas segala kemungkinan yang bisa terjadi, ia tahu bahwa ini bukan waktunya untuk pura-pura bodoh. Tanpa aba-aba, ia melayangkan siku tangan kirinya ke kepala pria besar itu. Entah kekuatan yang datang dari mana, atau karena tahu bahwa hidupnya sudah diujung tanduk, gerakannya mampu membuat pria tersebut mengerang.
Saat cengkeraman pria tersebut melonggar pada lengan Isaac, pemuda itu menarik dirinya secepat mungkin. Ia tidak begitu tahu di bagian apa sikunya tepat mengenai kepala si pria besar. Pelipisnya? Telinganya? Atau matanya? Isaac tidak begitu yakin. Satu hal yang ia yakini saat ini hanyalah bahwa hal tersebut tidak akan lama-lama menahan pria itu.
Belum lima detik Isaac dan Alice melarikan diri, keduanya telah mendengar seruan si pria dari belakang. Suara itu berat dan dipenuhi rasa kekesalan. Ia memaki dan menyuruh siapapun untuk menangkap keduanya.
"Para Terpilih! Tangkap mereka!"
Alice mendengar raungannya yang semakin menjadi-jadi. Orang-orang di sekeliling mereka hanya mengamati dengan wajah bingung, sebagian dari mereka justru menghindar dengan rekasi jijik seakan ia adalah wabah terkutuk. Tak banyak, mereka ikut-ikutan memaki begitu mendengar seruan si pria besar yang membuat mereka tahu siapa dirinya. Tidak begitu menyusahkan, ia hanya harus terus berlari dan mencari persembunyian. Namun satu hal yang kini bisa ia ketahui, bahwa tak ada yang mau menyentuh mereka selain si pemburu.
Si pria besar semakin mendekat, Alice tahu dari suaranya. Untungnya, keadaan semakin ramai sehingga membuat keberadaan keduanya sedikit terlindungi. Lautan orang itu dengan cepat bertambah semakin banyak dan sekarang ia harus berdesak-desakkan. Sorakan orang-orang di sana membuat keadaan semakin ramai, mereka semua bergerak ke arah yang sama—sebuah terowongan gelap. Semakin bergerak, semakin dapat Alice rasakan genggaman Isaac padanya melonggar. Gadis tersebut juga merasakan udara yang semakin tipis karena terjebak di antara orang-orang.
Rasa sesak menerjangnya, dan Alice mulai terengah-engah. Jantungnya yang berdetak semakin kencang terasa semakin sakit, seakan meminta untuk dimuntahkan. Rasa-rasa tidak nyaman dan kegelisahan mulai menghinggapinya, hingga tanpa sadar suara-suara itu kembali di dalam kepala Alice. Begitu pelan, begitu dalam, dan terasa begitu jauh.
Mengapa menghindar?
Dan bersamanya, ia hanya bisa ikut membawa dirinya mengikuti arus.
Entah untuk berapa lama Alice terjebak di dalam lautan orang dan bergerak dengan setengah sadar, ia kini terjerembab pada sebuah permukaan batuan cokelat muda yang rata dan bertaburan pasir. Kepalanya hampir saja menyentuh tanah kalau saja ia tidak memaksakan diri untuk bangkit dan terbatuk-batuk. Gadis itu memegangi dadanya dan mengatur napas. Tunik hitamnya sudah kusut dan kotor dengan pasir. Ia sudah tidak lagi bersama dengan Isaac, bahkan sosok pemuda itu baru terbesit di kepalanya setelah napasnya kembali tenang.
Orang-orang yang berdesakkan tadi sudah pergi ke sisi kanan atau kirinya, dan begitu Alice menoleh, ia menemukan sebuah lorong yang menyambung dengan kursi-kursi bertingkat yang melingkar pada setiap sisi. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menemukan apa yang terbentang di hadapannya. Sebuah stadion lingkaran yang tidak begitu besar, tetapi cukup besar untuk menampung orang-orang yang berteriak dengan ricuh.
Tempat ini mengingatkannya kepada stadion-stadion besar khas romawi yang sering ia lihat pada layar kaca. Hanya saja, tempat ini tidak terlihat begitu mengintimidasi. Stadion ini tidak dipagari dengan beton-beton kuat yang tinggi, hanya tribun yang melingkar pada dua sisi saja. Orang-orang bersorak ramai, menyerukan dua sosok yang berada di tengah-tengah lapangan stadion. Alice melangkah lebih dekat, dan bergabung dengan orang-orang yang menonton dengan berdiri di luar garis lapangan yang sudah dibuat.
Kedua orang di tengah lapangan belum bertarung—seperti yang gadis itu perkirakan. Keduanya hanya saling berhadapan satu sama lain, dengan belati pada masing-masing tangan mereka. Pertarungan tersebut bahkan belum dimulai, sorak-sorai para penonton semakin ricuh. Alice kemudian melihat seorang anak kecil yang berada di tribun paling bawah ikut meramaikan suasana dengan mencoba memanjat penghalang tribun dengan lapangan.
Namun, sesaat kemudian ia membelalakkan mata. Sosok yang sedang memungginya di tengah lapangan itu adalah pemuda yang tadi, yang bahkan namanya saja ia tidak tahu.
Apa yang dilakukannya di sana? Dasar bodoh, Alice membatin. Jika pria besar tadi berada di dalam stadion ini, maka riwayat keduanya akan tamat.
"Kau menanyakan pendapatku?" Seorang pria gemuk meninggikan suara. Jenggot di dagunya panjang, kusut dan mulai memutih. Ia tertawa terbahak-bahak dengan pria di sampingnya. Keduanya tidak menduduki tribun yang sudah penuh dan sesak, tetapi mereka berdiri di sisi paling dekat dengan bangku tribun terluar. Tangannya memegang gelas anggur yang tinggal sedikit dan mengacung-acungkannya. "Tentu saja Baltasar yang kupilih! Bocah itu bahkan pernah mengalahkan si Batu Besar! Lagi pula orang baru itu kelihatannya tidak bisa apa-apa!"
Temannya juga ikut tergelak. Alice mencoba membuka telinganya lebar-lebar, berharap ada informasi yang bisa ia dapat. Melihat reaksi pria tersebut, pemuda asing berambut hitam itu pasti sudah dikenal orang-orang—setidaknya cukup populer untuk memiliki kemampuan dalam hal ini.
"Baltasar memang bocah hebat. Si Batu Besar dan komplotannya bahkan ragu untuk kembali memasuki Theead."
Baltasar.
Saat itu juga, Alice menyadari bahwa nama itulah yang sejak tadi menjadi sumber sorak-sorai para penonton. Mereka semua berdesakkan, berkumpul di tribun dan membuat keramaian—hanya karena nama tersebut. Alice kembali mengangkat wajah, memperhatikan pemuda yang kini mulai bicara kepada Isaac dan memutar-mutar belatinya. Pemuda itu mengenakan kemeja putih yang lusuh dan kusut. Rambut hitamnya sudah berantakan tak karuan, tetapi matanya masih menyiratkan ketegasan, cara berjalan juga mengatakan bahwa ini adalah keahliannya. Bahkan dalam jarak yang tidak begitu dekat, Alice bisa melihat keteguhan dalam dirinya.
Ini benar-benar sebuah kesalahan, batin Alice. Apakah si pirang itu sudah gila?
Isaac merutuki dirinya sendiri dalam hati. Mengapa ia bisa begitu bodoh? Dan, bagian yang lebih penting lagi adalah, bagaimana ia akan melakukan ini semua?
Di tangannya kini ada sebuah belati bermata ganda. Benda itu sedikit lebih besar dari pisau biasa, tetapi juga tidak begitu memakan tempat untuk menyimpannya. Bilah belati tersebut begitu mengkilap, memantulkan sinar matahari yang terik. Meski banyak goresan-goresan yang membuatnya terlihat usang, tetapi Isaac tahu bahwa sedikit saja bilah itu menggores kulit, ia pasti berdarah. Bayangannya pada bilah belati menjadi bias karena goresan-goresan yang ada, meski begitu ia tetap dapat melihat kerutan di dahinya.
"Kenapa?" Sebuah suara menyahut di antara sorak-sorai para penonton. Kata itu berasal dari hadapannya, sesosok pemuda yang tak ia kenal, yang sudah membuatnya terjebak di tempat sialan ini, dan meminjamkan belatinya. "Tak pernah melihat sebuah belati?"
Beberapa orang pada tribun paling bawah yang juga mendengar ucapan pemuda itu ikut terpingkal. Bibir Isaac berkedut mendengar tawa mereka yang menyebalkan. Ia mengeraskan genggamannya pada gagang belati dan merasakan tekstur yang kasar.
"Pertama, kau mengatakan tidak punya senjata tajam. Kedua, kau melihat benda itu dengan tatapan yang memuakkan." Kegelian pemuda itu sudah hampir hilang. "Aku bingung, bagaimana orang sepertimu bisa bertahan di tempat ini?" Kalimat itu menyiratkan keheranan yang asli, tetapi cara pemuda itu mengatakannya—apalagi diakhiri dengan sebuah nada mencemooh, Isaac hanya bisa menahan emosinya dan tidak bertindak bodoh lagi.
Beberapa waktu lalu, dirinya terpisah dengan Alice dan berdesakkan dengan orang-orang yang bersorak-sorai. Berharap dirinya bisa terbebas dengan mengikuti arus, ia justru berakhir di tengah lapangan dan menjadi tontonan yang bodoh. Saat itu, ia hanya mencari tempat yang paling terbuka dan bisa dilewati tanpa berdesakkan lagi. Siapa yang menyangka dirinya sebentar lagi akan terlibat oleh pertarungan jarak dekat menggunakan belati?
"Dari mana kau berasal? Apakah mereka tidak pernah mengajarimu cara bertarung? Kalau memang iya, pantas saja aku tak pernah mendengar cerita tentang bangsa lemah seperti itu." Kalimatnya lagi-lagi diikuti dengan nada mencemooh, tetapi Isaac bisa merasakan rasa penasaran pemuda itu semakin terlihat. Terdengar lagi derai tawa dari orang-orang yang mendengar ucapan Baltasar. Pertanyaan pemuda itu pastinya tidak main-main.
Mata Isaac mengamati Baltasar dengan saksama yang seolah berniat untuk memutari dirinya, tetapi berpikir dua kali. Pemuda itu memakai kalung dengan liontin kepala beruang, menggantung di lehernya dan mendarat di atas kemeja yang bahkan tidak dikancing dengan benar.
Baltasar berhenti berjalan dari kiri ke kanan dan seterusnya sembari menilai Isaac berdasarkan pengamatannya. "Apa kau berasal dari Vran? Tetapi orang-orang Vran pasti tidak akan bersikap sepertimu begini." Baltasar melempar pandang ke barisan penonton di belakang Isaac yang tidak duduk di tribun. Matanya tertuju pada satu titik. Sementara yang Isaac lakukan hanyalah diam-diam menyimak caranya memutar belati dengan lihai.
Dengan cepat, mata Baltasar berpindah untuk mengamati tunik yang Isaac gunakan. "Itu temanmu?" Ia bertanya sembari mengangkat dagu ke arah belakang.
Isaac menoleh, mengikuti arah pandangan Baltasar. Dengan cepat, ia mengenali sosok Alice di ujung sana dengan tunik yang terdapat beberapa bercak noda. Mata gadis itu membelalak seolah ingin berseru, 'idiot macam apa kau ini?'
Jika ia menjadi gadis itu, Isaac juga akan melakukan hal yang sama. Sembari mendesah pelan, ia kembali pada Baltasar. "Dengar," katanya, "aku tidak pernah menginginkan ini. Kalau kau mau menukarku dengan orang lain yang bersedia, silakan saja—aku tidak peduli. Lagi pula masih ada hal lain yang harus aku—"
"Jadi kau mengalah begitu saja?" Sebuah seringai muncul di wajah Baltasar.
Dan kalimat itu juga yang membuat Isaac merasakan seolah jantungnya berhenti berdetak. Berbagai emosi dan ketegangan seolah bersatu-padu dan berkumpul pada dirinya, membentuk gumpalan yang ingin meledak. Hanya satu hal yang kini menjajah benaknya, yaitu sosok sang ayah. Isaac mengamati Baltasar lekat-lekat. Ia dapat melihat kilat yang muncul pada sepasang mata cokelat gelap tersebut. Seringainya berubah menjadi rasa puas yang dapat Isaac terjemahkan.
Mungkin Baltasar tahu bahwa strateginya untuk menarik Isaac telah berhasil. Mungkin pemuda ini tahu bagaimana cara untuk memancing lawannya. Dan harus dirinya akui bahwa itu cukup cerdas.
Isaac tidak pernah suka cepat-cepat memuaskan lawannya, tetapi kalimat tadi seolah memberikan penawaran yang menarik. Alhasil, ia ikut tersenyum miring. Kalimat berikutnya dikatakan dengan hati-hati. "Besar mulut maupun kepala. Harusnya aku sudah tahu dengan sekali lihat."
Seringai pada wajah Baltasar menghilang, diganti dengan ekspresi masam. Ia menelengkan kepala. "Jelas sekali kau tidak mengenalku."
"Aneh," jawab Isaac, kali ini dengan suara yang lebih tinggi. "Orang congkak sepertimu harusnya akan mudah kuingat."
Baltasar mendengkus. "Kau tidak akan menyesali ini."
Pemimpin acara turnamen mulai memberi aba-aba. Baltasar dengan cepat meluruskan badan dan membungkuk, kemudian memasang kuda-kuda. Diikuti Isaac yang berusaha secepat mungkin meniru gerakannya, tetapi sebisa mungkin tidak terlihat telah meniru. Suara tabuhan genderang mulai terdengar, ramai dan semakin ramai, disusul dengan sorak-sorai penonton yang membahana.
"Sekarang!" Si pemimpin acara berseru, bertepatan dengan konfeti yang meledak dari kedua sisi tribun. Para penonton semakin liar, menyerukan berbagai macam jargon—tentu saja ditujukan pada Baltasar.
Baltasar menerjang dengan gerakan yang terlihat ringan dan begitu cepat, membuat Isaac tidak sempat beranjak dan hanya menangkis serangannya. Begitu belati mereka beradu, denting yang nyaring mengaliri telinga keduanya. Isaac dapat melihat pemuda itu tersenyum mengejek begitu mendapati dirinya tidak melawan. Isaac mendorong sedikit sebelum melepasnya dan berniat untuk menusuk—yang sialnya dihalau dengan cepat oleh Baltasar. Pemuda itu kemudian memutar belati dan mengincar kepala Isaac yang lebih dulu membungkuk.
Untuk lima detik pertama tidak begitu buruk. Itu kalau ia bisa menghindari serangan Baltasar yang bertubi-tubi, pikir Isaac seperti itu. Nyatanya, ia sama sekali tak terlatih dalam hal ini. Baltasar bergerak dengan gerakan yang lihai dan sulit ditebak. Baru saja Isaac terkecoh ketika Baltasar berlagak ingin menusuk perutnya dan malah meninju dagunya.
Isaac mundur dan mengerang perlahan. Para penonton tertawa, mengirimkan getaran yang mengganggu ke dalam hatinya. Samar-samar, suara ayahnya yang sejak dulu menerornya perlahan muncul. Kalah hanya untuk seorang pengecut. Suara itu berputar-putar, kadang dekat dengan kepalanya dan kadang terasa jauh, berkedut seperti nyeri di dagunya.
Tanyakan pada dirimu sendiri, apa kau pantas untuk mengalah?
Ia bisa saja berusaha lebih keras—sedikit lebih keras. Namun hal semacam itu membutuhkan gerakan yang lebih banyak dan luas. Sementara yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah gerakan yang penuh keterbatasan. Ia merunduk, menyaksikan tunik hitam yang membuatnya terlihat seperti orang salah kostum. Kemudian matanya berpindah pada belati di tangannya.
Jika ia bergerak lebih banyak, bagaimana jika Tanda yang ada pada tangannya tersingkap di depan mata semua orang? Nasibnya tidak akan lebih baik dari pemuda di antrean festival tadi. Bagaimana jika sepatu converse-nya tersingkap dan orang-orang yang melihatnya berteriak, "Lihat! Kita tidak punya gaya sepatu seperti itu!"
Isaac berdecak frustrasi, merasakan peluhnya yang makin banyak membahasahi kening. Baltasar di hadapannya hanya cengar-cengir angkuh, menunggunya untuk menyerang. Akhirnya, Isaac beringsut maju dan menyasar dada Baltasar, tetapi pemuda itu cepat-cepat menangkisnya. Memang bukan hari keberuntungan Isaac, ujung bilah belati Baltasar malah terkait pada lengan kanan tunik Isaac. Ia terlambat menyadari, dan selagi buru-buru menarik diri, gerakannya justru membuat Tanda itu tersingkap dengan sendirinya.
Keduanya sama-sama mematung. Isaac yang mendapati Tandanya tersingkap, sedangkan Baltasar yang mendapati tengah bertarung dengan seorang Para Terpilih. Isaac sudah membayangkan belati yang menancap berulang kali pada tubuhnya ketika ia mendengar keributan yang tiba-tiba datang dari belakang. Sontak ia menoleh.
Dari pintu stadion, dapat ia lihat orang-orang berlarian masuk sembari berteriak panik. Sebagian mengenakan pakaian rakyat biasa, sebagian lagi mengenakan pakaian tempur. Sebagian tidak mengenakan alas kaki, sebagian duduk di atas kuda. Dan bayangan tentang belati yang berulang kali menancap dadanya kembali terekam pada benaknya, tetapi itu tidak terjadi pada dirinya, itu terjadi pada pengunjung festival yang berteriak dan memohon ampun. Berbagai benda-benda runcing yang bisa ia lihat—pedang, tombak, semuanya menghunjam tubuh-tubuh orang yang berlarian. Darah memuncrat di mana-mana, menebarkan aroma yang memuakkan.
Secepat mungkin Isaac memanfaatkan ketertegunan Baltasar untuk melarikan diri dengan belati yang masih ia genggam. Pemuda itu dengan cepat menghampiri Alice dan menyusulnya untuk bersembunyi. Mungkin ini adalah salah satu kesempatan mereka yang terbaik untuk melarikan diri—kalau mereka bisa menghindari situasi ini dengan selamat.
o0o
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro