IV
Dalam kepiluan dan siksa dari kegelapan, aku bisa melihat kilat itu di matanya.
Secercah kecil, terlihat lemah, tetapi aku bisa melihat apa yang mampu ia lakukan.
Bukan sekarang, atau beberapa abad lagi, melainkan pada waktu yang sangat krusial.
Bahkan bumi di setiap bagian wilayah manapun akan tunduk pada kilat mata itu nantinya.
***
Hutan Montmery Hills, Theead, Eranor, Tahun 776
Kegelapan pekat, sunyi dan dingin.
Isaac tidak pernah mengira dirinya akan terjebak—terdampar—di tempat seperti ini. Di tengah hutan belantara, di tengah serbuan malam dan angin yang tidak bersahabat. Kedua lengannya merinding ketika bergesekkan dengan udara yang berembus. Kakinya beberapa kali menyentak akar-akar raksasa yang membentang di tanah hutan sehingga pemuda itu harus merunduk saat berjalan.
Semuanya terjadi begitu saja, dengan begitu cepat. Ia sudah duduk di dalam kelas dan sejak itu pendengaran Isaac berangsur-angsur menjadi lambat. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Penglihatannya ikut berputar-putar, kepalanya pening sampai ia tidak lagi dapat melihat apapun. Dan tiba-tiba saja, begitu membuka mata ia telah berada di tempat ini.
Kaki Isaac menginjak beberapa daun kering, menimbulkan suara lirih dan kersik. Ia bahkan tidak tahu ke mana arahnya berjalan. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Berdiam diri di tengah hutan kedengarannnya bodoh, tetapi kadang itu adalah sesuatu yang cerdas untuk dilakukan—seperti menunggu kedatangan orang lain, misalnya. Sialnya, ia tidak tahu mana yang sebaiknya harus ia lakukan di tempat asing ini. Setidaknya, ia masih memiliki sumber cahaya.
Begitu menengar suara kaki tersandung akar untuk kesekian kali di belakangnya, Isaac menoleh sedikit. "Apakah kau akan terus berjalan di belakangku seperti itu layaknya penguntit?"
Alice hanya mengamati rambut pirang pemuda itu yang kian menggelap dari belakang. Kemudian secepat mungkin membawa matanya kembali ke bawah untuk memeriksa jalan, berjaga-jaga untuk tidak tersandung lagi—dan mengurangi rasa malunya. "Tetaplah terus berjalan."
Isaac menghela napas pasrah. "Aku bahkan tidak tahu ke mana kakiku melangkah."
Keduanya melangkah dalam diam, ditemani bisikan angin yang berembus dari depan dan cahaya lampu dari ponsel Issac yang entah bertahan untuk berapa lama lagi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain yang layak untuk mereka tuju, tidak ada suara ataupun penerangan lain. Yang ada hanya suara jangkrik, angin, dan gelap. Alice hanya bisa mengekor satu-satunya manusia yang ia temui saat ini dengan penuh keraguan. Tidak ada hal yang lebih mungkin untuk ia lakukan sekarang, setidaknya ia harus mencari tempat yang terasa aman terlebih dahulu.
Gadis itu sudah hampir putus asa ketika telinganya mendengar suara gemerisik lain dari arah yang tidak jauh darinya. Ia berhenti, suara itu masih berlanjut. Bukan berasal dari pemuda di depannya, karena asal suara tersebut justru dari belakang. Isaac berhenti ketika tidak lagi mendengar langkah kaki di dekatnya. Alhasil, pemuda itu berbalik, menemukan Alice yang bergeming dan menoleh ke belakang.
Isaac mengerutkan dahi. "Apalagi sekarang?" gumamnya. Namun, ketika mulutnya ingin bertanya, sekelebat bayangan di depan sana berhasil mendapatkan perhatiannya. Sontak langkah kakinya berhenti.
Perlahan Alice mundur ke belakang, semakin mendekati Isaac tanpa sekalipun memeriksa jalinan akar raksasa yang ada.
"Berhenti sebentar," tutur Isaac. Alice menurut, ia menoleh ke arah pemuda itu dan menemukan ekspresi penuh waspada yang sama dengannya. Ia kembali berpaling, memeriksa keadaan yang kembali sunyi. Tidak ada gerakan, tidak ada gemerisik, bahkan ia tidak dapat merasakan semilir angin yang menggelitik. Hanya gelap.
Alice kembali mundur, kali ini sedikit lebih cepat. Kakinya bergerak-gerak memeriksa jalan, menggantikan matanya yang tidak bisa beralih dari keadaan sekitar. Berbagai macam hawa-hawa aneh kembali menyelimutinya. Mereguk energinya, dan memberikan ketegangan yang membuat jantungnya berdenyut dengan cepat. Kedua kakinya menjadi lemas dan mati rasa, tetapi ia tetap memberanikan nyalinya. Bisikan-bisikan di kepalanya berkelebat, membuat jantungnya semakin berpacu.
Tepat saat Alice menoleh ke belakang, sebuah erangan yang begitu besar dan mengerikan terdengar. Isaac dan Alice sama-sama terkejut, seekor makhluk dengan cepat sudah berada di antara keduanya, tersamarkan oleh kegelapan yang membabi buta. Alice mundur tidak karuan, berusaha menyeimbangkan badannya ketika berkali-kali tersandung. Makhluk itu mengerang lagi dengan lebih buas.
Kedua mata Alice terbelalak begitu dapat melihat sosok makhluk tersebut. Tidak terlalu jelas karena membelakangi lampu ponsel Isaac, tetapi makhluk itu jauh lebih tinggi darinya. Ia memiliki dua tangan yang terangkat ke atas saat mengerang. Bukan jari-jari biasa seperti milik manusia yang Alice harap untuk ia temukan, ia justru melihat sebuah kuku besar nan runcing di sana. Matanya—sepasang matanya seputih salju, tanpa pupil, begitu mencolok di tengah kepekatan malam.
Alice terlalu syok untuk mengeluarkan suara, tetapi begitu makhluk itu menerjang ke arahnya, serta-merta ia menjerit. Bertepatan dengan nahas yang menginginkan kakinya tersandung akar, gadis itu ambruk lebih dulu sebelum makhluk aneh tersebut menerkamnya. Alice mengumpat dalam hati, masih sempat menyumpahi betapa bodohnya dia bisa-bisanya terjatuh di saat seperti ini.
Punggungnya membentur tanah dan beberapa sulur akar yang tidak lembut, dengan cepat Alice berusaha merengkuh kakinya. Tangan makhluk itu tidak berhasil menggapai kaki Alice yang sudah bergerak lebih dulu. Tanpa memedulikan apapun, Alice melesat bangkit dari tempatnya. Gadis itu dapat merasakan tangan—cakar makhluk tersebut yang berupa satu kuku raksasa mengenai rambutnya—begitu tipis jaraknya dari kepala. Untungnya, cakar itu tidak dapat menarik rambut Alice.
Dengan napas tersengal serta kaki yang terasa lemas, Alice berderap dari tempatnya. Mungkin cakar tersebut tidak berhasil menggapai kepalanya, tetapi dengan sukses menghunjam kaki kanan Alice. Gadis itu menjerit, tubuhnya kembali ambruk, kali ini menghadap tanah.
Rasa perih yang membakar mulai menjalari kaki hingga seluruh tubuhnya. Teriakan gadis tersebut yang begitu keras lama-lama memudar, kembali mengeras ketika makhluk itu menariknya dengan cakar yang masih menancap di kaki Alice. Kedua tangan Alice berusaha mencengkeram rerumputan, ia berusaha mengabaikan rasa sakit yang menguasai tubuhnya, tetapi mustahil. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu menyiksa. Alice dapat merasakan darah merembes ke celana panjangnya.
Makhluk buas itu akhirnya mengeluarkan cakar dari kaki Alice, hendak mengincar bagian tubuhnya yang lain. Namun sebelum berhasil, makhluk itu mengerang hebat. Alice hanya bisa melihat samar-samar dalam kegelapan, seolah makhluk tersebut adalah sang kegelapan itu sendiri.
"Lari!" Isaac berseru dari belakang makhluk yang barusan melukai Alice. "Menjauh dari sana!" Alice tidak dapat melihat sosok pemuda itu, suaranya juga sayup-sayup, teredam oleh raungan makhluk buas itu. Meski begitu, si makhluk buas menjauh dari Alice. Gadis itu dapat melihat sosoknya yang tersembunyi kegelapan seperti manusia tinggi yang kurus dan berbulu lebat, dan hanya itu yang bisa ia tatap.
"Lari?" ujarnya lemas sembari merintih kesakitan begitu si monster sudah tidak terasa keberadaannya.
Berjalan saja sulit. Gadis itu merangkak dengan hati-hati ke balik batang pohon terdekat. Ia bersandar dan menjaga posisi betisnya agar tidak menyentuh tanah. Air matanya hampir merebak, bukan karena sakit, melainkan panik. Keadaan di sekitarnya menjadi sunyi. Sepi seperti ketika dirinya pertama kali terdampar di tempat ini. Hanya saja, sekarang ia ditemani oleh luka baru yang lumayan besar.
Seketika sebuah tangan membekap mulutnya. Alice belum sepenuhnya tenang, tetapi si pemilik tangan tersebut mendesis pelan, menyuruhnya untuk diam sesaat. Orang yang tadi, batin Alice. Ia melihat manik pemuda itu menerawang ke belakang pohon, bola matanya bergeser perlahan mengikuti gerakan sesuatu. Alice menduga bahwa yang sedang ia amati adalah monster tadi.
Isaac semakin merendahkan tubuhnya mendekati Alice, berusaha agar sosoknya terlindungi di balik pohon. Alice bahkan bisa mendengar napasnya yang tersengal. Memburu di tengah udara dingin, menghasilkan uap yang kasat mata. Dagunya hampir menyentuh kepala Alice. Satu gerakan lagi, Alice yakin ia akan dapat mendengar debaran jantungnya yang dipacu oleh adrenalin. Beberapa detik kemudian, setelah yakin bahwa makhluk tadi sudah pergi, Isaac berpaling kepada kepada gadis itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Isaac sembari melepas tangannya. Alice tidak mampu menjawab, hanya menatap maniknya dalam diam. Tentu saja ia tidak baik-baik saja. Tidak sampai dua detik setelah bertanya, mata Isaac turun kepada kaki Alice yang bertumpu dengan posisi janggal. Kemudian pemuda itu menyumpah.
"Sialan," ulangnya lagi dengan suara yang lebih rendah, kali ini lebih terdengar seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Air. Ia mencari air. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, tidak menemukan apapun selain ranting, dedaunan kering, rumput dan gelap. Pemuda itu mendesah lalu kembali menatap luka pada kaki Alice.
"Aku baik-baik saja," desis Alice, lebih pelan dari pada ucapan Isaac yang sebelumnya. Namun pemuda itu tidak mendengarnya, atau memang tidak menghiraukannya. Isaac terlihat berpikir, menggigit bibirnya dari dalam sementara Alice justru terlihat seperti tidak ada beban. Gadis itu sesekali mengernyit kesakitan, tetapi seolah itu hanyalah luka ringan baginya.
Tanpa basa-basi Isaac mengambil syal milik Alice dan melilitkannya pada kaki Alice yang terluka. Pemuda itu terlalu fokus membalut, sehingga tidak menyadari sorot panik yang hilang dari wajah Alice. Meski beberapa kali Alice sempat mendesis kesakitan dan meminta Isaac untuk mengendurkan ikatannya.
"Kau bisa berjalan?"
Alice terlihat ragu sebelum menjawab, kemudian ia berkata, "kurasa bisa." Setelahnya ia mencoba untuk bangkit. Luka itu seakan melebar saat ia tidak sengaja menggunakan kakinya untuk bertumpu. Isaac mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Setelah itu ia memapah Alice untuk membantunya berjalan. Ponselnya sudah tidak ia gunakan lagi, entah untuk tidak memancing makhluk seperti tadi atau ada alasan lain.
Isaac lumayan tinggi untuk Alice, sehingga gadis itu sedikit kesulitan untuk melingkarkan lengan pada leher Isaac. Namun, setidaknya itu adalah hal yang termudah untuk ia lakukan saat ini. Dengan meringis kesakitan, Alice berusaha menjejakkan kakinya. Berusaha menyamai langkah Isaac yang lebar-lebar, ketika pemuda itu juga berusaha mengatur langkahnya.
"Trims," ujar Alice kemudian setelah beberapa menit, yang terasa seperti beberapa jam. Mereka baru berjalan sekitar beberapa meter, dan Alice membenci dirinya sendiri untuk ini semua. Gadis itu mengerling kepada Isaac dari sudut pandangnya. Sesekali ia dapat melihat rambut pirangnya, di kali lain warna tersebut ikut melebur ke dalam kegelapan. Hanya matanya, sepasang manik hijau itu yang terus-menerus Alice hindari sejak tadi.
Gadis itu lama-lama sadar, ketika berbicara padanya ia tidak pernah benar-benar menatap matanya. Paling-paling beralih pada hidungnya, atau malah keningnya. Sesuatu di dalam mata tersebut masih membuatnya bergidik ngeri. Entah apa, Alice tidak mau asal menebak. Terlalu riskan baginya untuk membuat hipotesis tentang sesuatu yang tidak pasti. "Kau tahu ke mana arah yang harus ditempuh?"
"Aku tidak tahu." Isaac berdecak sebal. Kepalanya celingak-celinguk ke setiap arah, dan tidak ada yang ia dapat. Alice memilih untuk bungkam, ia dapat melihat kilat asing pada kedua mata di atas. Gadis itu memilih untuk berjalan tertatih-tatih sambil dibantu dalam diam. Lagi pula ia juga tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan.
Berjalan dengan kondisi seperti ini sangatlah melelahkan. Alice tahu dia mungkin saja akan menukar sepasang sepatunya supaya lukanya menutup. Berjalan di alam liar tanpa sepatu memang bukan hal baik, tetapi akan lebih mudah kalau ia tidak terpincang-pincang dan memperlambat semuanya.
Mereka berjalan dalam sunyi, ditemani deru napas dan angin yang berembus. Indra penglihatan Alice semakin lama terasa semakin redup, dan ia malah gencar mengamati sekeliling. Tidak ada gagak lain yang ia temukan, dan ia juga tidak berharap. Semakin lama ia berjalan, semakin banyak jarak yang ia tempuh, kata-kata milik suara misterius tadi semakin sering terulang di kepalanya.
Terbunuh dan membunuh.
Mengapa takut? Mengapa menghindar?
Seperti paradoks yang rumit.
Lama-lama, Alice justru melihatnya seperti teka-teki.
"Kau butuh istirahat?" Pertanyaan tersebut melecut semua memori Alice tentang suara-suara misterius dari benaknya.
Alice menggeleng. "Belum," dustanya.
Isaac menengoknya sekilas, merasa kurang yakin dengan jawabannya karena mendengar beberapa kali Alice mendesis pelan, tetapi gadis itu tidak berkata apapun lagi. Dan dia tidak memilih untuk bertanya lebih banyak. "Oke, kalau begitu."
Selang beberapa menit yang tidak terlalu lama, telinga keduanya mendengar suara lain. Dengan impulsif mereka berhenti bersamaan. Tingkat kewaspadaan mereka sudah lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya. Nyatanya, pengalaman memang guru terbaik.
Keduanya tidak melihat sekelebat bayangan, suara-suara lain yang barusan terdengar juga sering hilang dan muncul kembali. Kendatipun, Alice dan Isaac masih bergeming pada tempat mereka, tidak ada yang ingin memulai untuk melanjutkan perjalanan. Alice dapat merasakan cengkeraman Isaac pada pundaknya mengeras, dan pemuda itu masih belum melontarkan sepatah kata pun.
Mereka menunggu dalam diam. Mata dan telinga keduanya tetap terpasang dengan baik. Tak lama, Isaac bersuara. "Ayo," katanya pelan, sembari menuntun melanjutkan perjalanan dengan lebih pelan dan berusaha tidak mencolok.
Tidak begitu lama, Isaac melihat sebuah titik cahaya tidak jauh dari mereka. Ia memicingkan mata, dan menahan dirinya untuk tidak segera melesat karena menopang Alice. "Bukankah itu sebuah rumah?"
Alice mengikuti arah pandangan Isaac, dan menemukan apa yang pemuda itu katakan. Cahaya kuning kecoklatan tersebut berasal dari dalam rumah itu. Sebuah rumah yang tidak terlalu besar, berada di tengah hutan dan bertumpu pada sebuah pohon besar dan tinggi. Jika intuisi pemuda yang menopangnya ini adalah bertamu ke rumah itu, Alice mungkin tidak akan setuju. Namun karena suasanya seperti ini, terlebih lagi adalah dirinya yang memperumit situasi, maka gadis itu memilih tutup mulut.
Rumah kecil ini dibangun dari kayu, tanpa pagar dan halaman depannya ditumbuhi tumbuhan-tumbuhan pendek yang sebelumnya tidak pernah Alice lihat. Rumah ini begitu sederhana. Dari jendela, Alice bisa melihat tarian api pada perapian yang mengundang dirinya untuk segera masuk. Di sisi lain, ia melihat rak buku yang terisi penuh disinari oleh cahaya api dari lentera. Isaac mengetuk pintu. Tak lama kemudian, seseorang muncul dari dalam.
Seorang wanita tua, dengan rambutnya yang beruban dicepol satu dan memakai pakaian terusan hingga menutupi kaki. Matanya melebar sebelum ia mengucapkan apa-apa. Wanita itu terlalu terkejut melihat sepasang manusia berada di tengah hutan malam-malam dengan keadaan yang tidak begitu baik. Dan setelah memindai keduanya, mata kelabu wanita tersebut berhenti tepat pada pergelangan tangan mereka—pada gambar di kulit mereka.
Wanita itu terpaku pada gambar di pergelangan tangan Isaac. "Ah, maafkan aku, tapi aku benar-benar tidak bisa—" ia tercekat begitu melihat darah yang mengering di celana Alice, bersamaan dengan syal kumal yang mengelilinginya. "Astaga! Demi Amarotus! Apa yang terjadi pada kakimu, Nak?"
"Seekor makhluk buas telah melukainya," ujar Isaac, "dan kami tidak tahu apakah ia masih berada di dekat sini atau tidak."
Untuk sepersekian detik wanita tua itu terlihat waspada. Dengan manik yang terlihat menimang-nimang sesuatu, ia terlihat berpikir dalam-dalam. "Baiklah," katanya kemudian, "silakan masuk."
Alice merasakan Isaac beranjak untuk masuk, tetapi sesuatu dalam gadis itu seolah melawan. Ia merasakan sendiri keseimbangannya semakin menipis, berikut kesadarannya. Kakinya melemas, dan kepalanya semakin berat seperti saat ia belum berada di tempat ini, hanya saja yang ini lebih parah. Rasa sakit dari betisnya mulai menyebar, seperti membakar setengah tubuhnya. Ia dapat merasakan tangan Isaac yang menopangnya agar tidak jatuh. Ia dapat mendengar suara pemuda itu dan nenek tua yang sayup-sayup. Dan kali ini, tidak ada bisikan-bisikan yang berkelebat di kepalanya. Hanya satu yang kembali ia ingat betul-betul; tatapan tajam milik si gagak, yang perlahan hilang bersama kesadarannya.
o0o
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro