III
Dulu, tanahku tidak sekecil ini.
Hanya saja, si empunya kekuatan menginginkan lebih.
Namun, alih-alih mendapatkan bagian yang lebih luas,
ia justru mengandangi kami semua dalam penjara sempit ini.
***
Perjalanan dari rumah Alice dengan sekolahnya tidak begitu jauh. Memang memakan waktu beberapa menit, dan keduanya akan sampai di sekolah tepat pada waktunya—ketika bel berdering. Jalanan pagi ini lumayan sepi. Alice dan Liam dapat menggunakan bagian tengah jalan, tidak melangkahi trotoar yang penuh dengan dedaunan kering.
"Aku senang sekarang sudah musim gugur." Alice mendongak, membiarkan angin musim gugur menepis wajahnya. Ia menghela napas panjang, kemudian membuangnya.
"Aku tak suka karena liburan sudah berakhir," usung Liam sembari memasukkan kedua tangan ke dalam kantung hoodie, "kini semuanya akan penuh dengan trigonometri."
Alice tertawa kecil. "Yang kau pusingkan hanyalah soal angka dan teman-temannya."
Liam menoleh kepada gadis tersebut. Seperti biasa, Alice selalu mengenakan kalungnya yang berwarna perak dengan liontin bintang. Liontin itu tidak terlalu kecil atau pun besar, hanya saja polos dan tidak ada hiasan apapun lagi. Liam sering melihat Alice memainkan liontin tersebut, tetapi sampai sekarang ia masih belum tahu dari mana gadis tersebut mendapatkannya. Kadang-kadang, gadis itu sering memainkan jemarinya pada liontin tersebut, sementara pandangannya seolah menerawang pada suatu hal yang tak bisa Liam jamah. Di antara keduanya, masih ada selubung tipis yang tak bisa Liam robek begitu saja, meski telah beberapa tahun mereka berteman.
"Siapa, sih, yang menyukai matematika?" ucap pemuda itu kemudian.
Gadis brunette itu mengedikkan kedua bahu. "Yang jelas bukan dirimu."
Liam membentuk sebuah seringai kecil dan meliriknya, "Yang jelas juga bukan dirimu."
"Setidaknya aku tidak sebenci itu kepada matematika seperti dirimu. Lagipula, Liam," Alice memutar bola mata, "kau ingin menjadi arsitek, tetapi kau sering sekali bolos saat pelajaran yang berhubungan dengan angka, sudut dan semacamnya. Maksudku—bagaimana sebuah gedung dibangun tanpa itu semua?"
Mata Liam membalas tatapan Alice sambil menyiratkan kebingungan. "Mungkin, kurasa aku hanya ingin mengurusi tampilan luarnya saja."
Alice mendengkus. "Kau pikir merancang bangunan semudah itu?"
"Kau sendiri," Liam mengubah topik, "bagaimana dengan dirimu?"
Seketika bayangan tentang serpihan-serpihan kertas berisi gambaran tangannya tadi menggentayangi benak Alice. Kini ia teringat lagi ketika ibunya sendiri merobek kertas-kertas tersebut, yang akhirnya ia buang ke tempat sampah. Namun, sebenarnya kejadian seperti itu telah terjadi berulang kali, sehingga Alice mulai terbiasa dan dapat menyesuaikan suasana hatinya dengan cepat.
"Kau tahu sendiri." Gadis itu melempar pandang ke arah lain. Tidak ingin menatap Liam.
Liam tidak bisa membalas, ia kembali membatu. Pemuda itu baru sadar bahwa dirinya telah menanyakan sesuatu yang salah. Dan sekarang ia menyesal, menyumpahi lidahnya sendiri dalam hati.
Bertahun-tahun berteman membuat dirinya paham bagaimana cara Alice memendam semuanya, bagaimana cara gadis itu tidak melampiaskan apa yang telah ia terima selama ini. Dan itu adalah salah satu hal dari lainnya yang membuat Liam terpukau. Alice masih bisa menyeberangi lautannya sendiri yang penuh hambatan tanpa tenggelam, dan sampai pada sebuah pulau tidak berpenghuni yang sepi dan sunyi dengan selamat tanpa bantuan siapapun, hanya berbekal sampan dan dayung.
Secara impulsif, tangan Alice bergerak meraih liontin kalungnya. Hal itu sering kali ia lakukan ketika butuh distraksi dari lingkungan sekitarnya. Ia memutar-mutar liontin tersebut di antara jempol dan telunjuk. Hal itu sering ia lakukan tanpa sadar, semacam upaya untuk melarikan diri sejenak dari sekitar. Ketika gadis itu lebih menekankan lagi ujung-ujung dari liontin tersebut, untuk kali pertama jarinya berdarah karena hal tersebut.
Gadis itu sedikit tercekat, bukan karena rasa sakit yang tidak seberapa, hanya saja tidak pernah liontin itu membuatnya terluka. Sejurus kemudian, pening mulai menyerbu kepalanya disertai jeritan yang perlahan muncul dalam kepala Alice. Itu adalah bisikan-bisikan yang sering muncul dalam kepalanya, hanya saja kali ini mereka menjerit dan meraung-raung. Dan terletak jauh di belakang kepalanya, tenggelam dalam kekosongan.
Sebisa mungkin gadis itu berusaha memegangi kepalanya, tetapi gerakannya menjadi lambat. Tangannya terasa berat, begitu pula dengan anggota tubuhnya yang lain. Meski begitu, dibanding dengan berbagai suara lain yang memudar, jeritan-jeritan dalam kepala Alice justru semakin nyata dan bersahut-sahutan. Matanya yang berat masih dapat melihat Liam yang mendekatinya dan menatapnya cemas, pemuda itu pasti menanyakannya apakah dirinya baik-baik saja, tetapi tidak ada suara Liam yang dapat Alice dengar.
"I'm not okay." Adalah apa yang ia harap dapat ia katakan di saat lidahnya terasa kelu seperti ini. Semua suara yang ada tenggelam oleh jeritan yang kian menggila dalam kepalanya.
Payah!
Suara itu tidak jelas, berupa lekingan tinggi yang mengapung-apung di udara dan tercipta beberapa kali. Namun, jelas sekali Alice dapat merasakan makna yang tercipta dari suara itu.
Bodoh!
Aib!
Hingga tidak sanggup lagi, Alice mencoba berteriak. Namun percuma. Sama ketika dirinya sedang berada dalam mimpi yang mendekapnya erat-erat agar tidak bisa bergerak ataupun berteriak. Rasanya sama dengan itu. Hanya saja, ini adalah kenyataan dan bukan mimpi. Telinganya pekak dengan lekingan yang saling bersahutan. Kepalanya sudah terasa berat, meski begitu tidak ada yang bisa ia lakukan selain berada dalam posisinya sekarang ini.
Tangan Alice masih berusaha menggapai kepalanya, mencoba untuk menenangkannya tetapi seolah terbelenggu, ia tidak bisa melakukannya. Sebisa mungkin, sekuat mungkin Alice mencoba menarik tangannya. Mulutnya juga berusaha menjerit, tetapi membuka mulut lebar saja rasanya mustahil. Yang bisa ia lakukan hanya memejamkan mata, membiarkan kegelapan merayap di sampingnya.
Seperti sebuah sentakan, kedua tangannya akhirnya mendarat tepat di kedua pelipisnya. Gadis itu sedikit terhuyung dengan momentum yang ada. Jeritannya yang tertahan tidak keluar dari tenggorokan. Semuanya terasa normal, anggota tubuhnya sudah tidak lagi berat, suaranya tidak lagi terkunci. Namun, ketika ia mencelikan mata, hanya gelap yang dapat ia pandang.
Hitam dan gulita. Gadis itu memekik tertahan begitu kedua matanya benar-benar terbuka. Ia terlonjak sedikit, memutar badannya ke kanan hanya untuk menemui kegelapan lain. Liam tidak ada di dekatnya. Spontan, ia menjatuhkan diri pada permukaan yang terasa seperti rerumputan. Alice menoleh ke kanan dan kiri, napasnya mulai tidak beraturan, tetapi tempat barunya itu begitu sunyi sehingga ia bisa mendengar setiap deru napas yang ia embuskan.
Liontinnya masih berada pada tempat semula. Alice mencoba menenangkan diri. Satu-satunya yang ia takutkan selain langkah kaki ibunya yang mendekati kamarnya adalah kegelapan. Atau, sesuatu dalam gelaplah yang ia takutkan. Kedua tangannya mengepal keras-keras, meremas beberapa helai rumput—belum dapat ia pastikan sepenuhnya karena cahaya yang tidak memadai. Dadanya kembang kempis, napasnya mulai melambat walaupun ia tetap menggerakkan bola matanya dengan pesat ke arah mana pun.
Berangsur-angsur, mata Alice mulai beradaptasi. Ia mencoba untuk tidak berkedip agar tidak melewatkan apapun yang ada. Pertama-tama, yang dapat Alice lihat adalah kelip bintang-bintang nun jauh di atas kepala. Ia semakin mendongak, taburan bintik-bintik putih di cakrawala terlihat seperti pasir. Di langit tempat tinggalnya, ia tidak pernah melihat kumpulan bintang sebanyak ini. Sejak dulu, bintang-bintang yang ia kenal hanya berupa titik-titik menyala yang disebar berjauhan. Namun langit di atas seolah diisi oleh terlalu banyak bintang.
Gadis itu merunduk. Kali ini berani untuk memejamkan mata dan lebih memfokuskan penglihatannya. Hatinya kadang-kadang bergetar karena kegelapan yang membabi buta, tetapi tak ada pilihan lain.
Rumput, Alice bisa melihat samar-samar rumput yang sedang ia duduki. Dengan ragu, kedua kepalan tangannya terbuka, lalu mengusap pelan permukaan rumput yang lain. Degup jantungnya masih terasa, Alice coba mengabaikannya. Matanya mulai mengenali batang-batang pohon yang berjejalan di dekatnya. Meski begitu, ia tidak dapat melihat dedaunan. Entah daya lihatnya yang masih kurang atau memang dedaunannya berada di atas sana.
Alice lalu berdiri. Meski terhuyung, ia dapat menemukan keseimbangannya. Kepalanya berputar-putar, mengamati gelap yang yang menyelimutinya. Perlahan-lahan, ia sadar dirinya sedang berada di tengah hutan. Panik mulai menyergapnya kembali. Napasnya mulai tidak teratur. Suara-suara lirih mulai bersahutan dalam kepalanya. Berdengung di dalam telinganya, sehingga menutupnya akan sia-sia.
Gelap tidak akan melahapmu, ucap salah satu suara yang begitu jelas. Sisanya hanya berupa geraman samar atau bahkan lengkingan tipis yang meracau, seperti biasanya. Sontak Alice memutar kepalanya. Tidak ada satupun sumber suara yang ia temukan, hanya gelap yang menemaninya. Sengatan mulai menjalari punggungnya, kedua lututnya mulai melemas tetapi gadis itu tidak membiarkan dirinya terduduk lagi.
Gelap, batin Alice.
Benar. Bisikan di dalam kepalanya membalas. Suara itu berat dan dalam, serak dan dipenuhi oleh energi yang ganjil—selalu membuat bulu di tengkuknya meremang. Itu tidak akan menyakitimu, itu bahkan tidak akan berani melukaimu sedikit pun.
Napas Alice masih memburu, ia terus mencari-cari sumber suara dengan liar. Keringat dingin mulai membanjiri dirinya tanpa ia pedulikan. Sejak bisikan-bisikan itu bermunculan, Alice tidak pernah tahu dari mana sumbernya. Pada suatu hari, bisikan-bisikan itu hinggap begitu saja di kepalanya dan tak pernah pergi hingga sekarang. Sampai kadang-kadang Alice percaya bahwa bisikan-bisikan tersebut adalah bagian dari dirinya sendiri. Kalimat-kalimat janggal itu berasal dari dirinya sendiri.
Mengapa takut? Bisikan itu bertanya dengan nada yang tidak menginginkan jawaban. Ia mundur perlahan, tangan Alice menggapai-gapai batang pohon di belakangnya. Begitu sudah dapat, dengan cepat gadis itu bersandar.
Mengapa menghindar? Ini adalah bagian dari dirimu. Apa kau jijik dengan dirimu sendiri? Alice semakin panik. Tidak ada cara untuk mengabaikan bisikan yang berdengung di kepalanya secara mengerikan. Tidak lama, suara itu tertawa di dalam kepalanya. Begitu rendah, begitu kejam, begitu menyiksa. Ia bisa saja membanting kepalanya ke pohon untuk mengenyahkan suara tersebut.
Tidak heran, bisikan itu berkelebat lagi, kali ini memudar, kemudian disambut oleh suara-suara lain yang semakin nyata. Jeritan, geraman, tawa dan tangis yang entah milik siapa berputar-putar dalam kepalanya. Gelapnya malam justru makin membuat dirinya tertekan. Ia masih mencari-cari sekiranya dari mana suara tersebut berasal. Kepalanya bergerak ke sana ke mari, hingga ia menemukan sesuatu.
Di atas sana, di kejauhan, dan pada malam dengan gelap yang membutakan, kedua manik Alice dapat melihat seekor gagak dengan mata merah sedang mengamatinya lekat-lekat. Detik itu juga, Alice membatu di tempatnya. Tanpa sadar ia menghentikan napasnya sendiri. Tubuhnya mulai merinding dan bergidik ngeri.
Membelakangi bulan, bertengger pada sebuah ranting yang tinggi. Harusnya, dalam jarak sejauh ini dan suasana yang begitu gelap Alice tahu ia tidak akan melihat makhluk itu. Namun sekarang, gagak yang sama seperti dengan yang ada di mimpinya, seperti dengan apa yang ia gambar, bahkan hanya dengan sekali lihat Alice tahu bahwa itu adalah gagak yang sama. Kecuali matanya—matanya merah membara seperti bara api, lama kelamaan semakin tua menyamai warna darah.
Kau tahu mengapa dirimu memilih untuk menghindar? Gagak di kejauhan itu diam, tetapi Alice sangat yakin makhluk itu juga mendengar bisikan dalam kepalanya. Kau tahu mengapa dirimu menjauh dari salah satu bagian dirimu sendiri? Nada pada kalimat tersebut meninggi, diiringi dengan suar-suara lain yang bergema dalam telinga Alice.
Kau mungkin tidak tahu dan terus bertanya-tanya pada dirimu sendiri. Tapi aku sudah tahu jawabannya. Seperti paradoks yang rumit. Terbunuh dan membunuh.
Tepat pada saat itu, Alice mendengar langkah lain dari belakangnya. Dengan cepat ia menoleh, seperti dirasuki. Seorang pemuda dengan dahi yang menyerngit menatapnya heran. Begitu gadis itu menoleh ke tempat di mana ia menemukan gagak tersebut, makhluk itu telah lenyap, melebur bersama kegelapan yang berdenyar.
Tanpa disangka, Alice menghela napas panjang-panjang. Masih tersengal, tetapi ia sedikit lega setelah menemukan setidaknya satu manusia lain—atau kelihatannya seperti itu.
Terbunuh dan membunuh. Itu adalah kata-kata yang tidak akan memudar dari ingatan Alice. Entah mengapa, kumpulan kata itu terasa begitu mengikat dan ... memaksa. Seolah kata-kata bisa mengandung magis, maka itu yang Alice rasakan saat ini. Terikat dengan sebuah kalimat aneh. Biasanya, bisikan dalam kepalanya tidak pernah sesering itu muncul. Kalupun muncul, yang biasanya ia dengar hanyalah caci-maki.
"Tersesat?"
Alice terbuyar dari lamunannya, teringat bahwa ada satu insan yang membuatnya teralihkan dari suara-suara mengerikan yang berdengung di kepalanya. Ia mengamati pemuda yang masih belum beranjak dari tempatnya tadi, memerhatikan dirinya. Setelahnya, Alice tertawa dengan miris. "Salah satu hal yang sama sekali tidak kuinginkang adalah tersesat di hutan pada malam hari." Ia mendengar suaranya sendiri bergetar.
"Yah," pemuda itu melangkah maju, "aku juga tersesat." Ia menyalakan lampu kilat dari ponselnya. Untuk sesaat, Alice teringat akan ponselnya. Namun, begitu mendapati tasnya tidak lagi tersandang di bahu, gadis itu menghela napas. Kemudian perhatiannya justru terletak pada pergelangan tangan pemuda tersebut. Dengan bantuan sinar lampu yang menyilaukan, Alice bisa melihat sebuah lingkaran hitam tanpa isi di atas pergelangan tangan tersebut. Letaknya cukup tersembunyi kalau saja pemuda itu tidak sedang menghantarkan cahaya lampu.
Sadar bahwa gadis tersebut terus-terusan memerhatikan pergelangan tangannya—yang lama-kelamaan membuat Isaac risih, ia berkelit. "Oh, ini," ujarnya. "Entahlah gambar ini tiba-tiba saja melekat pada kulitku sejak aku tiba di sini." Ia menunjuk ke arah Alice. "Punyamu juga, bukan?"
Sontak Alice mengamati tangannya. Dan benar, pada pergelangan tangan di bawah telapaknya terdapat semacam tato berwujud sama seperti milik Isaac, juga berada di tempat yang sama. "Bagaimana—"
"Aneh, bukan? Dalam sepersekian detik kau berpindah tempat dan tiba-tiba saja sudah punya tato. Kalau bisa memilih, aku tidak akan memilih bentuk ini."
"Kalau bisa memilih," sahut Alice, "aku tidak akan memilih untuk terdampar di tempat asing." Bisa-bisanya pemuda ini justru mempermasalahkan bentuk tato ketika dirinya terdampar di antah-berantah. Kian Isaac melangkah maju, Alice semakin dapat melihat rupanya. Dan dari semuanya, yang paling mencolok adalah sepasang maniknya. Dari jarak yang tidak begitu dekat, kedua mata itu telah mengambil perhatiannya.
Alice jarang melihat warna iris mata seperti itu semasa hidupnya. Hijau emerald yang begitu jernih dan terang, berdenyar di kegelapan malam seperti taburan bintang di atas sana. Namun, Alice seolah merasakan energi lain. Asing dan janggal, menguar dari mata tersebut. Sepasang manik itu begitu indah—ia akui, sekaligus mengingatkan dirinya akan mimpi yang paling buruk. Lembut, sekaligus tajam dan menusuk. Ada sesuatu yang aneh tetapi memikat dari mata itu.
Diam-diam, ia merasakan tubuhnya kembali merinding. Sengatan kembali merangkak di punggung hingga tengkuknya. Alhasil gadis itu melayangkan pandangan ke arah lain, mencoba mencari ketenangan.
Telinga Alice justru mendengar sebuah tawa pendek. "Ada apa?" Isaac masih terkekeh. "Tidak terlalu suka juga dengan tato barumu?"
"Apakah selera humormu selalu seburuk itu?"
Pemuda itu mengulum senyum tipis, satu sudutnya lebih tinggi dari sudut yang lain. Garis bawah matanya mulai naik. "Tidak," sembari memasukkan satu tangan ke saku celana. "Tapi kelihatannya itu adalah hal paling lucu yang ada saat ini."
Benar juga. Berada di tengah gelapnya hutan ditemani oleh angin dingin dan suara jangkrik, atau cahaya bintang dan makhluk-makhluk hutan yang tidak menampakkan keberadaannya, tidak ada yang lebih layak untuk ditertawakan. Meski begitu, Alice tidak ikut tertawa. Ia menegakkan badan, punggungnya sudah lelah—dan sedikit canggung—untuk bersandar pada batang pohon.
Gadis itu mengamati pemuda asing di hadapannya. Pakaian yang digunakannya bukanlah pakaian yang akan dipilih orang-orang untuk menyusuri hutan malam-malam dan bersanding dengan semilir angin yang dingin menusuk. Sama seperti pakaian yang ia kenakan. Lagi pula dirinya tidak pernah memutuskan untuk berkelana ke hutan malam-malam sendirian. Terlebih lagi, ia bahkan tidak tahu di mana persisnya letak hutan ini ada.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Alice membuka lilitan syalnya untuk menyelimuti dirinya sendiri.
Isaac justru menoleh ke arah lain. Matanya menerawang pada gelapnya hutan, meski hanya batang-batang pohon yang dapat ia temukan, ataupun jalinan akar-akar di tanah yang saling berkelindan yang dapat ia rasakan dengan menginjaknya. Semuanya begitu gelap. Cahaya bintang tidak akan banyak membantu. "Ternyata justru selera humormu yang terlalu rendah," tuturnya, "andai aku bisa menjawabnya."
Itu balasan sindirannya, Alice tahu itu. Namun, ia juga tidak mendesak pemuda ini untuk menjawabnya. Simpel, ia juga tidak tahu bagaimana harus menjawab jika pertanyaan tersebut justru berbalik kepadanya.
Alice mengangkat kepala setelah lumayan lama mengamati tanah yang gelap. Kedua tangannya semakin erat memeluk dirinya sendiri bersama dekapan syalnya. Sambil terus mengamati pemuda asing di depannya, yang—anehnya—seolah terasa familier. Alice tidak bisa membohongi benaknya sendiri, tetapi kedua mata itu, sepasang iris mata tersebut menyimpan sesuatu yang lain. Asing. Namun akrab. Sesuatu yang secara pelik, entah bagaimana telah mengeruk beberapa energi di dalam dirinya. Membangunkan benang-benang ingatan, dan di sisi lain mengetuk insting kewaspadaannya yang mulai berjalan.
o0o
Maapya kalo cheesy
Aku ini orangnya memang lihai membuat canggung suasana hheheheeh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro