Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. Nasib Kavian

Part 24 Nasib Kavian

‘Juga katakan aku punya hadiah di brankasku. 170922.’

Kata-kata sang paman menghantam ingatan dengan keras. Berharap kepalanya terbentur sesuatu dan membuatnya kehilangan ingatan.

“Aku tahu dia memberitahu angka-angkanya, sayang. Jadi jangan membuang waktu.”

“Apa yang kauinginkan dari dalam brankas pamanku?”

“Apa pun itu, aku pasti akan menyukainya.”

“Kau tak bisa melakukannya?”

“Aku bisa.” Erzan mendorong tubuh Nada berjongkok di lantai, mendekatkan kepala wanita itu brankas tersebut. “Seperti yang kauharapkan, aku tak ingin mengulur waktu.”

Tangan Nada bergetar, merasakan cengkeraman Erzan di tengkuknya yang semakin menguat. 

“S-sakit, Erzan,” rintih Nada. Kepalanya yang pusing terasa semakin pusing dengan goncangan tersebut. Tubuhnya masih menggigil meski tak separah ketika Erzan menyeretnya keluar dari bawah shower.

“Mungkin kau bisa sedikit lebih cepat.”

Nada menelan ludahnya. Apa pun yang ada di dalam sini, Nada percaya ada hubungannya dengan sang papa. Rasanya ia dipaksa mengorek-ngorek keburukan keluarganya sendiri. Seolah keburukan tersebut terkubur di dalam dirinya sendiri. Ya, hubungan keluarga tak bisa begitu saja diputuskan, kan? Mereka layaknya kesatuan tubuh, yang jika salah satunya tumbang, tentu saja akan mempengaruhi semuanya.

“Kau ingin cara yang keras?” Kali ini Erzan menjambak rambut Nada hingga kepala wanita itu terdongak ke atas.

“Aku tak ingat.” Nada setengah terisak. Sentakan Erzan menambah rasa pusingnya. Tubuhnya jatuh bersandar pada tubuh pria itu dan kegelapan menyelimuti pandangannya.

*** 

Erzan tak lagi menuntutnya saat Nada terbangun dari pingsannya. Keduanya  bermalam di kamar Nada, dengan sedikit melebih-lebihkan demam yang memang menyerang wanita itu, pria itu tak lagi mengganggu Nada untuk istirahat.

Nada bangun pagi dengan perasaan yang lebih baik. Suhu tubuhnya normal dan pusing itu tak lagi datang. Sepertinya memang karena kurang istirahat, jadwal makan yang sering terlewat dan banyaknya pikiran yang membebaninya membuat tubuhnya terasa tak nyaman.

Wanita itu turun dari tempat tidur dan mengendap-endap masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan diri dengan cepat dan berpakaian. Turun ke bawah selagi Erzan masih berbaring terlelap.

‘Aku tak memintamu, Abi. Sudah cukup kau dan adikmu membuat masalah dengan mempertaruhkan masa depan Nada.’

‘Aku melakukannya untuk kebaikannya.’

‘Kebaikan mana yang kau maksud? Membuatnya menikahi kriminal itu.’

‘Kau tahu bagaimana dia berakhir di sana.’

Tak ada balasan suara dari Ayudia. Hening cukup lama sebelum suara langkah mendekati pintu dan pintu terbuka tepat saat Nada berdiri di depannya. “Nada?”

Nada tak yakin harus menampilkan ekspresi semacam apa dengan kecemasan yang terlihat jelas di wajah sang mama. Entah karena dirinya sempat mendengarkan perdebatan kedua orang tuanya atau memang karena mencemaskan dirinya sendiri. “Mama sudah merasa lebih baik?”

Ayudia mengangguk, menutup pintu di belakangnya dan merangkul sang putri ke area ruang makan. “Mama akan menyiapkan sarapan untukmu.”

“Mama baru saja sembuh.”

“Sudah sembuh.” Ayudia mendudukkan Nada di salah satu kursi. “Sudah satu bulan lebih sejak kau meninggalkan rumah ini.”

Hampir dua bulan, tapi Nada tak mengoreksi. Duduk menatap sang mama yang mulai bergabung dengan para pelayan yang sibuk di meja dapur. “Kavian belum pulang?”

“Sepertinya belum. Papamu juga baru saja pulang. Tapi akan segera bergabung dengan kita.” Ayudia mengambil piring besar, memindahkan potongan roti panggang ke sana. Kemudian beralih menyediakan secangkir kopi untuk sang suami. “Apa dia minum kopi juga?” tawarnya kemudian.

“Erzan?”

“Mama tidak menyukainya, tetapi niat baiknya membiarkanmu bermalam di sini sedikit menghibur perasaan mama. Bagaimana pun dia suamimu.”

Nada mengangguk. “Ya, kopi.” 

Ayudia mengambil cangkir kedua dan mulai sibuk menyeduh kopi. Sementara Nada kembali tercenung dalam lamunannya. Saat meja makan sudah siap, Abimana muncul dan tak lama kemudian Erzan. Keheningan menyelimuti meja makan, tak ada pembicaraan apa pun selain Erzan yang mengatakan bahwa mereka akan pergi begitu selesai makan.

“Akhir minggu?” ulang Ayudia masih diselimuti ketidak percayaan saat meminta Nada bermalam satu hari lagi. “Setiap akhir minggu?”

“Akhir minggu setiap dua minggu sekali,” koreksi Erzan. “Kami butuh akhir minggu yang lain untuk berduaan.”

Ayudia mengernyit.

“Pernikahan kami tak berjalan baik. Cara dimulainya dan bagaimana semua itu dimulai. Ada banyak hal terjadi. Akan lebih baik jika kami memperbaiki hubungan ini, kan?” Erzan menatap Ayudia yang tampak tak setuju tetapi tak mengatakan apa pun, lalu beralih pada Abimana yang kedua tangannya mengepal kuat pada garpu dan pisau di tangan.

Nada ikut mengamati reaksi sang papa. Ketegangan di antara keduanya terasa memekat, terutama dengan tempat duduk Nada yang berada di antara kedua pria itu. Seorang Abimana Arkatama, yang memegang kuasa di seluruh keluarga, sang papa entah kenapa tak berkutik.

“Tak ada keuntungan apa pun yang akan kau dapatkan, Erzan.” Nada memberanikan diri saat keduanya sudah berada di dalam mobil. Melewati gerbang tinggi kediaman Arkatama dengan cepat.

“Well, aku mempertimbangkan untuk menyukaimu.”

“Tubuhku,” koreksi Nada dengan sinis.

Erzan terkekeh, menarik lengan Nada dan mendudukkannya di pangkuan. Pilihan yang bijak ketika dengan cepat wanita itu memutuskan untuk tidak memberontak. Membiarkan hidungnya mengendus cekungan di leher yang lembut dan hangat tersebut. Rasa lapar menggeliat di perutnya, barang tentu tak ada hubungannya dengan makanan. Mereka baru saja memenuhi lambung beberapa saat yang lalu. “Sepertinya aku mulai menyukaimu. Ah, tubuhmu.”

Tubuh Nada menegang, kedua lengannya otomatis melingkari leher Erzan saat pria itu membalik tubuhnya dan membuka kedua kaki untuk pria itu. Dresnya tersingkap hingga di ujung paha, membuat tubuhnya bergerak tak nyaman, terutama dengan keberadaan sopir yang duduk di balik kemudi. “Jangan di sini, Erzan. Kumohon,” lirihnya, menggadaikan harga diri -yang tak lagi dimilikinya- ketika mengeluarkan suara memohonnya.

Erzan mengembuskan napas panasnya di cekungan leher Nada. Menggigitnya dengan lembut sementara tangannya menahan tengkuk wanita itu, mempertahankan posisi yang diinginkannya. Dan tangannya yang lai mulai menurunkan resleting di samping tubuh Nada. Menyelinap masuk tanpa melepaskan seluruh pakaian sang istrinya. Satu sentakan pelan, melepaskan pengait bra yang membuat kesiap lolos dari mulut Nada.

“Jadi kau memutuskan untuk memberitahu papamu?”

Nada bisa merasakan seluruh tulang di punggungnya membeku. Langsung tahu ke mana pembicaraan tersebut mengalir. Bagaimana mungkin pria itu tahu apa yang diselipkannya di tangan sang papa saat mereka berpamitan di teras rumah.

“Mencoba menipu di bawah hidungku, huh?” Satu gigitan di ujung daun telinga, menyentakkan ketegangan Nada. Ia terkekeh, lalu menarik kepalanya bersandar di jok dan menatap seluruh permukaan wajah Nada yang entah memerah atau memucat, keduanya alasan yang bagus untuk membuatnya merasa puas.

Nada kembali mendapatkan napasnya dengan jarak yang tiba-tiba dilebarkan oleh Erzan, meski tak bisa menyingkirkan tangan pria itu di pinggangnya, yang bermain-main di kulit pinggulnya dengan ujung jemari. Ia berusaha mengabaikan tangan tersebut dan menatap wajah Erzan.

“Menurutmu aku akan membelamu dibandingkan keluargaku?” Suara Nada terdengar lebih berani dari yang dirasakannya. Erzan memang terlihat begitu santai, tetapi sikap santainya tersebut yang malah membuat Nada berpikir bahwa usahanya yang mati-matian tidak memberitahu tentang brankas sang paman, bukanlah hal serius yang akan menghalangi pria itu menghancurkan keluarganya.

“Darah memang lebih kental dari air. Itu juga yang berlaku untuk hubunganku dan Elzan, kan?”

Ponsel di saku Erzan berdering, menggunakan tangannya yang tidak sibuk di pinggang Nada untuk mengangkat panggilan dari Zoe. Membawa kabar bahagia sebagai sambutan untuk memulai harinya yang cerah. Dan ia sengaja mengaktifkan pengeras suaranya.

‘Dia sudah ditangkap.’

“Kavian?” Erzan menyeringai, tanpa melepaskan pandangan dari mata Nada yang membelakak terperangah.

‘Yeah, berusaha melarikan diri lewat pelabuhan dan setelah pemberontakan yang konyol, akhirnya dia dibekuk. Sedikit terluka seperti pamannya, tapi tak masalah, kan? Dia masih hidup kok.’

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro