Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

62. First Day Before Good Bye

Long time no see guys! Eh kaga sih baru seminggu yang lalu ya wkwk

Ayo jangan jadi sider, happy reading bro! ❤️

Bagian enam puluh dua.

Berhenti bukan berarti berakhir.

-The Cold Princess-

Tiga hari setelah Moza mengatakan akan pergi, Darren benar-benar seperti mati rasa. Cowok itu tidak keluar kamar, tidak makan, dan hanya mengunci pintunya saja.

Ia tidak percaya jika ia akan kehilangan Moza lagi. Kalau Moza harus pergi kenapa gadis itu menerima ajakan pacarannya? Ah, Darren rasa ingin menghilang.

Kepala cowok itu terangkat, bagian bawah matanya menghitam juga rambutnya benar-benar tidak teratur. Tangannya meraba nakas mengambil kacamata dan memasangnya. Jam di kamarnya sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, dan ia belum makan sejak kemarin.

Ia tidak mau berjumpa dengan Moza lagi. Apa itu membuat kenangan agar tidak bisa dilupakan? Moza mau ia tersiksa karena tidak bisa lepas darinya? Argh! Kenapa Darren sangat kesal ketika mengingat hal itu.

"Mau apa?" tanya Disa ketika melihat Darren yang berjalan menuju dapur.

"Mau mati."

"Heh, mulutnya!"

Darren menuangkan air ke dalam gelas, lalu ia  meneguk air itu dan menatap sang bunda yang sedang meminum susu hamilnya. Tangan cowok itu meraih tubuh bundanya dari belakang meletakan kepalanya di bahu Disa.

"Moza mau pergi ke Belanda tiga hari lagi," kata Darren.

"Ya terus kenapa kamu masih di sini? Ajak lah Moza nya jalan-jalan supaya dia punya kenang-kenangan selama di sini," kata Disa. Wanita itu tahu jika Moza akan pergi ke Belanda setelah Alina memberi tahunya. Katanya di rumahpun Moza hampir sama dengan Darren, sama-sama seperti orang yang putus asa. Tapi Alina selalu menghibur putrinya, bagaimanapun mental gadis itu belum membaik seutuhnya.

"Kenapa Moza harus terima ajakan pacaran dari Darren, Bun?"

Disa membalikkan tubuhnya menghadap putranya yang menunduk. Tangan wanita itu menepuk-nepuk pipi Darren agar kesadaran cowok itu segera pulih.

"Moza mentalnya belum sehat, diginiin sama kamu, dia bisa beneran jadi gila."

"Bun, gimana kalo Darren nanti gak bisa lupain Moza?"

"Kamu seriusan gak mau LDR? Kenapa?"

Cowok itu hanya menggelengkan kepalanya.

"Pikirin baik-baik, gak papa LDR kalo saling percaya pasti bakalan bisa." Disa mendorong tubuh putranya agar menjauh. "Sana ke rumah Moza, ajak jalan. Itung-itung salam perpisahan."

Nyatanya, Moza sama sekali tidak kacau seperti Darren sebelumnya. Gadis itu malahan baru saja pulang dari salon dengan Alina ketika Darren sampai di rumah gadisnya.

Alina kembali ke dalam rumah sambil menggendong Nayla sedangkan Moza berada di ruang tamu bersama Darren. Keduanya sama-sama canggung.

"Maaf," kata Moza. "Kamu kok kurusan? Kenapa kantung matanya hitam?"

Darren menggeleng. "Gak papa."

"Ada apa kamu ke sini?"

"Ayo buat kenangan selama tiga hari."

👑👑👑

Tepat di pusat perbelanjaan, Darren mendorong troli dengan Moza yang memilih belanjaan. Gadis itu tidak melihat harga, asal ambil saja.

"Banyak duit, Mbak?" tanya Darren saat ia melihat Moza mengambil sepuluh susu kotak ukuran besar,  dua belas cokelat batangan, satu pack yoghurt, dan juga satu kardus mie instan.

Gadis itu menolehkan kepalanya menatap Darren. "Di Belanda gak ada ultra milk, gak ada chimory."

Darren hanya menghela napasnya. Cowok itu ikut mengambil beberapa camilan dan dimasukan ke dalam troli yang penuh dengan jajanan gadisnya. Sebeda apapun Moza dengan perempuan lain, ia tetap memiliki jiwa gelap mata ketika belanja. Gelap mata dalam artian, tidak pandang harga, kadang yang tidak penting pun ikut terbeli, dan sekalian pamer.

Saat berada di kasir, Moza membayar semua belanjaannya bahkan camilan yang tadi Darren ambil. Kata gadisnya, "Mama aku banyak uang, aku gak perlu traktiran kamu."

Oke, iya kan saja.

Darren menenteng beberapa kantung plastik di kedua tangannya dan juga petugas di tempat itu yang ikut membawa belanjaan Moza yang jauh dari kata sedikit.

Saat di dalam mobil, Moza sedang mengotak-atik ponselnya. Dan tanpa disadari, gadis itu mengarahkan kameranya ke arah Darren yang sedang kesusahan membawa belanjaannya.

"Akang, semangat!" kata Moza membuat Darren menolehkan kepala.

Aish, gadisnya malah senang ketika ia tersiksa.

"Heh, ngapain kamu?" Darren langsung meletakan kantung plastik di kedua tangannya ke dalam bagasi mobil kemudian mendekati Moza yang malah menutup kacanya. Dari dalam mobil, gadis itu tengah tertawa.

Darren terdiam melihat tawa gadisnya. Ih, gimana ini? Darren gak jadi marah.

Cowok itu akhirnya menghela napas saja, ia kembali ke belakang mobil karena bagasinya belum ditutup. Setelah menutup bagasinya cowok itu kembali duduk di sebelah Moza.

"Akang supir, hayu abis ini nonton," kata Moza. Sialnya ponsel gadis itu masih mengarah ke arah Darren.

"Za, aku bisa aja ya macem-macem sama kamu," ucap Darren.

"Masa? Ih, jadi takut."

Ngelunjak ni cewek—gerutu Darren.

Darren tidak mengindahkan ucapan Moza. Ah, bodoh amat, ngapain ladenin Moza yang sedang dalam mood gak jelas.

"Mau nonton di mana?" tanya Darren saat gadisnya sudah tidak bermain ponsel lagi.

"Bioskop lagi, cari film horor lagi," jawab Moza.

Tangan Darren mengacak rambut gadisnya. "Kalo nonton makanya jangan tidur."

Moza menepis tangan Darren sambil mendumel. "Apa sih, ya gak tahu. Ini mata tanpa disuruh main merem aja."

Gadis itu tiba-tiba melepas seatbelt nya membuat Darren menoleh. "Eh, ngapain? Pake seatbelt nya jangan macem-macem kamu."

Moza langsung beralih ke belakang tanpa keluar. Iya, Moza pindah posisi. Gadis itu di bangku belakang membuka salah satu kantung plastik di bagasi dan mengambil satu makanan ringan yang tadi ia beli kemudian kembali duduk di sebelah Darren.

"Ribet banget, kalo mau pindah bilang biar aku berhentiin mobil dulu," omel Darren.

"Lama," balas Moza. Gadis itu membuka bungkus keripik dan memakannya sembari melihat jalanan yang ramai.

Moza menyodorkan satu keripik ke depan mulut Darren yang sibuk menyetir, otomatis cowok itu membuka mulutnya dan mengunyahnya. Bahkan dengan sengaja, Moza menoel-noel bibir Darren sambil tertawa dan membuat cowok itu merasa kesal.

"Kalo mau ketemu malaikat Izrail sekarang gak papa, Za, aku bantuin."

👑👑👑

Pertama kali nonton bareng, Moza tidak semanja ini. Sekarang gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu Darren dengan mulut yang tersumpal sedotan. Sesekali Darren menyuapi popcorn dan tidak sekali jari cowok itu digigit sampai si empu meringis.

Keduanya tidak menonton film horor, mereka malah menonton film bergenre thriller. "Aku lebih suka film begini, yang kriminal psikopat."

Darren menyentil dahi gadisnya. "Pantesan kalo sakitin diri sendiri keenakan, lah kamunya aja keenakan nonton yang beginian."

"Aku udah sembuh tau. Kata psikiater aku, selagi orang-orang di sekitar aku mendukung dan semangatin aku, aku gak akan kenapa-kenapa," ujar gadis itu.

Darren tersenyum kemudian mengacak puncak kepala gadisnya. "Iya-iya kamu sehat."

Keduanya larut dalam cerita yang ditonton sampai kemudian selesai dan berakhir berjalan di parkiran. Tangan mereka saling menggenggam, Moza masih menyedot minuman yang dibawanya. Gadis itu di dalam bioskop tidak meminum minumannya, ia hanya menggigit sedotannya saja. Lihat saja sekarang, sedotan minuman itu sudah gepeng.

Darren menarik minuman itu, melihat sedotan yang sudah gepeng oleh gadisnya. Persetan dengan hal itu, Darren menyedot minuman masih dengan sedotan yang sama. Moza yang melihatnya hanya diam, melihat Darren yang sepertinya menyukai minuman miliknya.

Cowok itu kembali menyerahkan gelas minuman itu pada gadisnya. "Enak kan yang rasa strawberry?"

Darren menoleh melihat gadis yang bertanya padanya. Cowok itu mengangguk kemudian kembali menatap ke depan sambil memencet kunci mobilnya.

"Enak lah, ada bekas ludah kamu."

👑👑👑

Entah mengapa hubungan antara Moza dan Darren malah jadi kebanyakan skinship. Moza yang suka bersandar di bahu cowok itu ataupun sebaliknya, keduanya sama-sama seperti tidak ingin melepas genggaman tangan mereka.

Setelah menonton, malamnya kedua remaja itu berjalan beriringan menuju pasar malam. Untuk ketiga kalinya mereka berdua berada di tempat itu, saat pertama kali datang bersama, mereka belum memiliki rasa. Datang ke dua kalinya, mereka sudah memiliki rasa namun saling menyembunyikannya. Dan kali ini untuk ketiga kalinya, keduanya sudah memiliki rasa yang sama dan tidak canggung untuk diperlihatkan.

"Takut ketinggian, gak?" tanya Darren melihat gadis itu yang sedang bersandar di bahunya.

Moza mendongak menatap Darren. "Kalo aku takut ketinggian, kenapa aku suka duduk di jendela kamar?"

Wah, iya juga. Kenapa Darren tidak terpikirkan hal itu? Kalau misalkan Moza takut ketinggian, pasti gadis itu enggan duduk di jendela kamarnya.

"Naik bianglala, yuk!"

Senyum manis Moza kembali terlihat. "Boleh!"

Semenjak sembuh, Moza jadi banyak senyum. Entah itu pengaruh pikirannya yang sudah terasa ringan, atau perhatian mamanya yang selalu gadis itu inginkan yang sekarang sudah tercapai. Sebelumnya Moza boro-boro banyak senyum seperti ini, mendapat senyum tipis saja rasanya susah sekali.

Keduanya duduk berhadapan di dalam keranjang bianglala. Darren sejak tadi melihat bagaimana gadisnya tersenyum setiap menatap ke bawah, melihat warna-warni jalanan kota dan juga rumah maupun gedung-gedung.

Darren beralih untuk duduk di sebelah gadisnya membuat tempat keduanya tiba-tiba tidak memiliki beban yang seimbang.

"Eh, balik sana!" titah Moza.

Darren menggelengkan kepalanya, cowok itu malah melakukan hal yang sama seperti Moza, menatap sebagian kota Bandung dari ketinggian.

Gadis itu juga sudah tidak peduli, biarkan, apa mau Darren saja. Saat Moza menatap ke arah sampingnya, tangan Darren tiba-tiba menyentuh dahinya. Kedua bola mata gadis itu beralih menatap cowok di sebelahnya yang kini sudah menyibak poninya.

Cowok itu mengelus bekas jahitan di dahinya kemudian bertanya, "Kenapa sampai dijahit?"

"Biar gak mirip sama Mama," jawab Moza.

Pandangan cowok itu kini menatap manik cokelat terang di hadapannya. "Kenapa sampai mencoba bunuh diri?"

"Aku rasa saat itu hidup aku udah mirip sampah." Moza memejamkan matanya kemudian mendongakkan kepala. "Setiap aku lihat semua luka yang bikin aku berbeda sama Mama, aku bangga," ucap Moza kemudian membuat lengkungan senyum yang manis.

Darren tersenyum, tatapan dibalik kacamata tebalnya tersirat jika ia benar-benar takut merasa kehilangan gadis itu. "Sekarang berhenti lakuin itu ya, jangan pernah mencintai seseorang melebihi kamu mencintai diri sendiri, jangan pernah mempercayai seseorang melebihi kamu mempercayai diri sendiri. Terkadang egois itu perlu."

"Love yourself, and it will make you happy." Darren mengelus kepala gadisnya. "Forever," lanjutnya.

👑👑👑

"Sana masuk," kata Darren.

Moza menggelengkan kepalanya. "Kamu keluar dulu, nanti aku baru masuk."

"Ih, gak boleh gitu, kamu masuk sana. Keluar dari pekarangan rumah kamu gak jauh kok, gak perlu diliat."

Gadis itu tetap menggelengkan kepalanya. "Kamu keluar dulu aja sana."

"Kamu masuk." Darren membalikkan tubuh gadisnya.

Moza menepisnya kemudian mendorong bahu cowok itu menuntun ke arah motor. Iya, tadi siang Darren menggunakan mobil milik papa Moza karena mobilnya sendiri dipakai sang ayah. "Kamu keluar."

"Masuk."

"Keluar."

"Masuk!"

"Ke—"

"Oke ya, aku keluar duluan." Darren akhirnya mengalah. Berdebat dengan perempuan memang paling susah.

Cowok itu memasang helmnya kemudian menaiki motor. Sebelum menstater, tangan Darren menyempatkan untuk menepuk-nepuk kepala gadisnya. "Aku pulang, besok kita ketemu lagi."

Kepala gadis itu mengangguk, keduanya berdiri di ambang pagar rumah. Darren melajukan motornya meninggalkan suara klakson pertanda ia benar-benar pergi. Moza menghela napasnya, senyumnya masih mengembang melihat motor yang dikendarai Darren perlahan menghilang dari pandangannya.

Ia berbalik menutup pagar kemudian kembali berjalan menuju rumahnya. Saat hendak membuka pintu, suara motor tiba-tiba terdengar dari depan pagar. Kedua sudut bibirnya kembali terangkat, apa Darren meninggalkan sesuatu?

Moza kembali berlari kecil menuju pagar, membukanya dengan semangat dengan senyum yang masih mengembang.

"Ada yang keting—"

Senyum Moza memudar, melihat bahwa di hadapannya bukan seseorang yang berada di pikirannya.

"Reza?"

Iya, Reza datang menemuinya.

"Za, boleh bicara sebentar?"

Bersambung...

Maaf banget kemaren gak apdet karena aku kurang enak badan:'((( maafin ya, maafin🥺

Gak kerasa cerita ini udah terlalu panjang ya buset sampe tembus 60++ bagian karena saking asik dan gak tahu gimana mau selesaiin nya. Karena sekarang aku udah tau mau diakhiri dengan apa, bagian ini adalah 3 bagian sebelum END. Yoi bro, Jumat depan udah selesai cerita kita sama Darren dan Moza.

Sampe lupa anjir😂 Bagaimana perasaan kalian setelah membaca bagian ini? (Wajib jawab)

See u tomorrow Brois quw😗😗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro