60. with mom
Parah gak sih langsung update lagi😭 ngetiknya langsung super cepat, revisi gak semuanya, tapi aku harus tetap konsisten ✊
Ini akunya udah konsisten kaliannya harus rajin komen, perbaris gitu biar asiq.
Oke Happy reading bro!
Bagian enam puluh.
Setiap ada kesempatan, cobalah. Jangan pernah berpikir untuk kalah sejak awal.
–The Cold Princess-
Ini adalah hari ketiga di mana Moza sudah sehat total secara fisik tapi harus tetap menjalani terapi mentalnya dan hari pertama memasuki sekolah setelah lima hari terbaring di rumah sakit. Empat hari ke depan buku rapot hasil ujian dua minggu yang lalu akan dibagikan kemudian seluruh siswa akan berlibur untuk menutup semester pertama.
Darren sedari tadi menunggu di depan ruang guru, ia tidak diperbolehkan masuk karena Moza, Sheila, dan juga Reza, sedang disidang atas masalah malam itu.
Ceklek
Ketiga remaja itu keluar, Moza langsung menatap Darren yang sudah menunggunya.
"Gimana?"
Moza tersenyum, ia tidak menjawab pertanyaan cowok di hadapannya. Darren tahu senyum itu, ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Iya, Moza dikeluarkan dari sekolah.
Gadis itu mengapit tangan Darren berjalan meninggalkan area ruang guru menuju tempat parkir yang sepi.
"Jangan senyum, aku gak suka." Darren mengalihkan pandangan saat Moza berdiri menghadapnya.
"Masa gue harus cemberut terus, gue kan udah sehat," kata Moza. "Udah gak papa, Ren. Wajar kok sekolah lakuin hal itu ke gue, karena gue sudah mencemari nama baik sekolah," lanjutnya.
"Tapi itu bukan kamu, itu Mama kamu, kenapa kamu yang jadi imbasnya!"
Moza terkekeh, tangannya menepuk-nepuk bahu Darren. "Udah biasa kok, santai aja."
Akhirnya Darren menghela napas dan memberanikan menatap mata Moza. "Eh, sebentar." Tangan Darren terulur mengusap bagian bawah mata gadis itu. "Kamu nangis? Kenapa? Sembab gini."
Moza langsung menepis tangan Darren. "Ah, gak papa, bukan apa-apa Ren. Udah yuk antar gue ke loker, mau beresin semua barang-barang gue."
Darren menurut, ia berjalan beriringan dengan Moza menuju loker. Tapi tetap saja pikiran Darren masih tertuju pada mata gadis itu yang terlihat sembab, apa tadi di ruang guru Moza diintrogasi sampai menangis? Wah, kalau iya, kejam sekali.
"Mulai kapan kamu dikeluarin?" tanya Darren sambil menyandarkan punggungnya pada loker, pandangannya menatap Moza yang sedang mengambil beberapa barang.
"Sisa waktu gue di sini cuma empat hari. Setelah pembagian buku raport, ya sudah gue gak ada di sini lagi."
"Pindah ke sekolah mana?" Darren memiringkan tubuhnya.
"Gak tau, apa kata Papa aja nanti."
"Gak jauh, kan? Masih sekitaran Bandung?"
Moza diam beberapa saat sebelum akhirnya ia tersenyum kembali menatap Darren. Mata cowok itu terlihat berharap bahwa Moza tidak akan pergi jauh. Dan bukannya menjawab, gadis itu hanya terkekeh sambil mengusap kepala Darren.
"Takut banget gue pergi jauh," ucapnya.
Darren mendengus. "Ya iyalah Moza, aku tuh gak suka hubungan jarak jauh, LDR-LDR gitu gak menjamin tau gak? Banyak yang jalanin LDR taunya salah satu dari mereka selingkuh, dan kurang ajarnya bahkan ada yang sampe nikah atau hamil. Aku gak mau."
Senyum gadis itu menghilang, tapi kemudian terbit kembali. "Ah, lo mah terlalu banyak dengerin apa kata orang."
👑👑👑
"Kenapa Nayla manggil kamu Mba, manggil aku Mas? Gak Aa atau Teteh gitu? Nayla orang Jawa ya, bukan Sunda?" tanya Darren sambil melihat Moza yang sedang membuat makanan untuk Nayla.
Nayla sedang bermain dengan mainan masak-masaknya di atas karpet tebal di ruang tengah rumah Moza sambil ditemani Darren.
Moza berjalan menuju keduanya ketika makanan yang ia buat sudah selesai. "Nayla, mam dulu sini," ucap gadis itu membuat Nayla langsung mengangkat bokongnya dan berjalan perlahan menuju Moza dan memeluk kaki gadis itu.
"Mamam," ocehnya.
Kedua kaki Moza mulai berlutut untuk menyamakan tinggi dengan sang adik kemudian ia menyumpal mulut bayi itu dengan makanan bayi yang ia bawa.
"Nayla terlalu banyak main sama Leon. Tante Ara orang Jogja, kalo manggil kakaknya Leon pake embel-embel Mas terus setiap ketemu gue di depan Leon atau Nayla manggilnya Mbak jadi ya Nayla ikutan."
Ah, senang rasanya mendengar ucapan Moza yang panjang. Jarang-jarang Darren dapat mendengar kalimat sepanjang itu dari mulut Moza.
"Papa udah nyuruh Nayla buat manggil gue Kakak, taunya tetep manggil Mbak, jadi yaudah lah gak papa."
Sampai satu jam berlalu, kini Nayla sudah tertidur dan menyisakan Moza dan Darren yang masih tersadar.
"Gue mau nyuci piring sebentar, lo kalo capek boleh tidur di kasur gue," ucap Moza setelahnya gadis itu berjalan meninggalkan kamarnya dan turun ke dapur.
Moza mengumpulkan semua piring kotor ke dalam wastafel, mengambil spons di baskom berisikan sabun kemudian memulai mencuci semua piring, kedua tangannya sudah penuh dengan busa. Beberapa saat kemudian ia dikejutkan dengan selembar kertas kosong dan pulpen di hadapannya.
"Tulis soal dong, nanti aku jawab," kata Darren.
"Ren, gue lagi nyuci," ucap Moza.
"Ayo dong Za, tulis soal dulu lah." Nada bicara Daren terdengar memohon.
Moza tidak kuat mendengarnya, gadis itu menolehkan kepala menatap cowok di sebelahnya. Ia menghela napas kemudian tersenyum. "Bentar ya Darren, tangan gue banyak busa, selesai nyuci nanti gue kasih soal, oke?"
Cukup, rasanya Darren sudah mulai mengalami diabetes karena hampir seharian ia dihidangkan dengan senyuman manis Moza. Senyuman itu membuat Darren tidak bisa terus mendesak sehingga yang terjadi, Darren mengalah dan pergi meninggalkan Moza. Cowok itu menunggu gadisnya sambil duduk di meja pantry.
"Tumben banget minta soal," kata Moza, gadis itu sedang mengelap tangannya kemudian duduk di sebelah Darren.
"Kan yang tiga permintaan awal aku udah pake semua, aku mau ngajak kamu pacaran lagi, jadi aku minta soal. Semalam juga aku udah belajar keras biar jawabannya benar semua," jawab Darren.
Moza mengernyitkan dahinya. Oke lah, beberapa hari belakangan memang Moza menolak semua ajakan Darren, ia masih terlalu kecewa dan kesal atas semua yang cowok itu lakukan padanya. Tapi sekali lagi, Moza tidak bisa menahan amarah itu lama-lama. Buktinya Darren terus berbicara dengan kata aku-kamu dan Moza tidak mengindahkannya, biarkan saja.
Kertas di atas meja pantry itu Moza ambil kemudian melipatnya dan meletakan jauh dari tempat keduanya.
"Loh, mau dikemanain kertasnya?"
Tangan Moza menyanggah dagunya menatap cowok di hadapannya. "Kenapa harus pake soal? Kenapa gak tanya langsung?"
Dua kalimat itu sukses membuat tubuh Darren membeku. Ini masalahnya, Darren tidak pernah berpacaran, ia juga tidak tahu bagaimana mengajak lawan jenisnya memulai hubungan.
Bukannya menjawab, cowok itu malah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "A-anu, ah, Za jangan nyiksa aku gini!" seru Darren, cowok itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia terlalu malu.
Moza tertawa kecil, ia berpikir seperkian detik kemudian mengambil satu tangan Darren untuk ia genggam. Tangan yang beberapa hari ini selalu merangkul bahunya dan mengelus kepalanya itu ia genggam erat-erat. Mata cokelat terangnya mulai menatap mata Darren yang berwarna cokelat karena lensa kontaknya.
"Ayo coba!" seru Moza sambil menggoyangkan tangan Darren. "Moza..."
"Moza..." Darren mulai mengikuti ucapan gadis itu.
"Lo mau gak–"
"Kamu mau gak." Oke, Darren sepertinya sudah tergila-gila dengan kata aku-kamu.
"–jadi pacar gue?"
"Jadi pacar aku?—"
"Aku mau!" potong Moza.
Darren tercekat, cowok itu langsung mendongakkan kepalanya hingga keduanya saling tatap. Oksigen di sekitar Darren mendadak hilang, ia seperti lupa bagaimana caranya untuk bernapas.
Ia sangat terkejut bukan hanya karena jawaban Moza yang sangat jelas, tapi juga dengan ucapan Moza tadi, "Aku?"
Moza mengangguk kuat. "Katanya kamu suka kalo kita pake aku-kamu, lagian kita kan udah pacaran. Jadi, apa salahnya?"
Terlalu banyak kesalahannya kepada Moza, tapi hatinya menginginkan gadis itu. Ia merasa malu, tapi egonya benar-benar tidak ingin mengalah.
Senyum Darren merekah begitu saja, ia seperti baru saja memenangkan lotre. Tangannya pun dengan refleks membalas genggaman Moza, cowok itu menatap mata Moza, ia seperti akan bertanya.
"Kenapa?"
Masih dengan senyuman yang merekah lebar, Darren mulai bertanya. "Boleh aku peluk kamu?"
Moza tersentak, matanya melebar tiba-tiba. Darren yang melihat itu, ia merasa sudah mengucapkan kalimat yang salah. Tapi kemudian Moza berdiri dan merentangkan kedua tangannya.
"Why not?"
Kedua tangan Moza langsung melingkar di leher Darren, cowok itu terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ia membalas pelukan gadis itu. Ia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Moza, memeluk tubuh gadis itu dengan sangat erat.
👑👑👑
Hari ini adalah hari di mana rapot akan dibagikan, itu pertanda setelahnya Moza harus meninggalkan sekolah. Hubungan antara Moza dan Alina pun sudah terlihat sangat baik walaupun sesekali wanita itu masih tetap meminta maaf kepada Moza.
"Maafin Mama ya, Za," kata Alina saat ia akan turun dari mobil.
Moza menoleh melihat Alina yang masih memegang setirnya. Tangan Moza memegang tangan Alina kemudian mengelusnya. "Gak papa, Ma, lupain aja."
Iya, untuk pengambilan rapot Moza kali ini, Alina yang mengambilnya. Karena bukan hanya keinginan dari Alina saja, Moza juga ingin untuk pertama kalinya agar sang Mama yang mengambil buku hasil ia belajar selama satu semester ini.
"Gimana reaksi temen-temen kamu kalo liat Mama?"
Moza mengendikkan bahunya. "Kaget ya pasti, tapi yaudah Ma gak papa, udah yuk turun."
Akhirnya keduanya membuka seatbelt mereka, Moza turun terlebih dahulu kemudian disusul Alina. Keduanya berjalan beriringan. Siswa-siswa dan juga para wali siswa terkejut ketika melihat keduanya.
Desus masalah Moza langsung mereda karena saat sidang Moza dan Reza menolak semua bukti, mengatakan jika itu bukanlah dirinya. Sebenarnya Reza langsung dikeluarkan dari sekolah setelah sidang, saat itu pula buku rapotnya pun langsung diberikan. Berbeda dengan Moza yang saat itu diberi empat hari sampai hari pembagian buku raport.
Moza mengantarkan Alina ke kelasnya dan menyuruh wanita itu duduk. "Mama di sini ya, Moza ada kumpul."
Alina mengangguk. Moza akhirnya pergi meninggalkan ruangan kelasnya menuju aula sekolah, seluruh siswa di sana terkejut ketika melihat Moza datang sendirian.
"Ayo aku cariin tempat duduk kamu."
Kepala Moza langsung menoleh melihat Darren yang mencul dari belakang tubuhnya. Tangan Darren menggenggam tangan Moza kemudian berjalan beriringan menuju kursi barisan kelas Moza.
"Yang wakilin siapa?" tanya Darren kemudian duduk di sebelah gadis itu. Iya, ia menyimpang dari kelasnya.
"Mama," jawab Moza. "Kamu?"
"Ayah, kan Bunda lagi hamil besar, gak boleh capek-capek."
Gadis itu menganggukkan kepalanya, kemudian salah satu guru naik ke atas mimbar aula kemudian memulai pidatonya.
"Syukur kalau kalian semua dapet nilai yang bagus-bagus walaupun ada satu dua anak yang dimintain tugas susahnya minta ampun padahal siapa yang butuh nilai."
"Untuk umum pertama semester ini, dari jurusan IPS masih tetap bertahan. Selamat untuk Ralia Phosforia Arsenic sebelas IPS tiga, anak IPS yang namanya unsur kimia," kata guru itu.
Seluruh siswa di aula bertepuk tangan ketika Alia mulai maju kemudian berdiri di sebelah mimbar.
"Buat yang umum IPA ini, sepertinya ini pertemuan terakhir. Ya, kalian pasti sudah tahu setelah kejadian gempar di sekolah beberapa hari yang lalu. Walaupun saksi dan semuanya membantah tapi bagaimanapun juga nama sekolah jadi ikut tercoreng dan mengharuskan mengakhirinya," kata guru itu. "Ah, sebenarnya saya gak rela kalau dia pindah sekolah dan tidak ada lagi di SMARPU. Bagaimanapun banyak penghargaan darinya untuk sekolah ini." Pandangan guru itu menatap Moza yang berada di tengah-tengah siswa. "Terimakasih banyak atas semua kerja keras kamu dalam mengharumkan nama sekolah, dan selamat untuk Moza Ariesha Cassandra yang masih berada di urutan pertama."
Siswa kembali bertepuk tangan, Moza berdiri kemudian berjalan ke depan dan berdiri beriringan dengan Alia.
"Skandal apapun kalo otaknya diandelin sekolah, tetep nomer satu, Za," kata Alia berbisik.
Moza menganggukkan kepalanya, ia sedang berada di keramaian, jika senyum akan dapat masalah.
"Ayo Alia dulu deh yang bicara."
Alia menerima piala dan juga piagam kemudian naik ke atas mimbar. Ia mulai berbicara, "Pertama-tama terimakasih banyak untuk otak saya dan tubuh saya, terimakasih untuk bapak-ibu guru yang ngajar saya, terimakasih untuk orang tua yang selalu dukung saya, dan yang pasti Tuhan yang maha esa juga. Saya umum pertama lagi semester ini, saya banyak bersyukur karena tunjangan sekolah jadi gratis dan malah dapet duit setiap bulan."
"Kalian juga semangat belajar, enak loh gak bayar tunjangan sekolah, duitnya bisa buat jajan, nongkrong, traktir temen, dan shopping di mall. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih."
Para siswa dan juga guru yang berada di aula tertawa mendengar penuturan Alia. Ya, Alia memang memiliki sifat random, jadi sangat tidak aneh ketika dilihat. Setelahnya Alia berjalan turun dari mimbar.
"Ayo sekarang Moza, silakan."
Moza mengambil piala dan piagamnya, ia berjalan menaiki mimbar. Satu tangannya sibuk memegang piala dan piagam nya dan satu tangannya lagi mengatur mic di depannya.
"Halo, saya Moza Ariesha Cassandra. Tidak banyak yang akan saya katakan soal kemenangan saya di semester ini. Saya berterimakasih kepada guru yang mengajar saya, dan berterimakasih kepada diri saya sendiri atas kemenangan saya ini," kata Moza.
Gadis itu menghela napasnya. "Ini hari terakhir semester pertama dan juga hari terakhir saya di sekolah ini. Kalian tahu kalau saya punya masalah yang berhasil membuat gempar SMARPU bahkan ke luar sekolah. Saya memohon maaf sebesar-besarnya atas masalah yang terjadi, saya dan Reza sudah mendapat hukuman yang setimpal, saya akan pindah sekolah."
"Banyak hal yang saya alami selama di sini, saya minta maaf jika saya terlalu ketus terhadap kalian. Saya minta maaf jika selama ini perlakuan saya menyakiti hati kalian." Mata Moza menatap barisan kelasnya. "Untuk IPA 2, maaf saya dan Reza sudah membuat nama kelas kita jadi buruk. Saya senang kok satu kelas dengan kalian, walaupun kalian terlihat enggan berteman dengan saya. Sebenarnya saya ingin memberikan setiap jawaban ulangan saya ke kalian, tapi saya tidak tahu cara beradaptasinya. Maafkan saya."
Moza berjalan mundur kemudian membungkukkan dan kembali menegakkan tubuhnya. Senyum manisnya mengembang menatap seluruh siswa angkatannya. Kemudian tidak lama gemuru suara tepuk tangan terdengar.
Moza berjalan menuju kelasnya menjemput Alina, beberapa langkah lagi ia akan sampai ke kelasnya, Alina datang berlari kecil sambil merentangkan kedua tangannya dan saat di depan Moza wanita itu langsung memeluk tubuh putrinya.
"Ah, kamu juara satu, Mama bangga," kata Alina.
Wanita itu memundurkan tubuhnya kemudian menatap Moza yang tersenyum. Ia mengernyitkan dahinya ketika Moza membawa piala dan juga piagam. "Ini piala apa lagi?"
Alina membaca piagam dan piala itu, ia semakin tersenyum lebar. "Anak Mama pintar banget ya!" Lagi, wanita itu kembali memeluk tubuh Moza.
"Moza mau apa? Mama kasih semuanya," kata Alina.
Moza melangkahkan kakinya diikuti Alina di sampingnya. "Moza mau shopping di mall," jawabnya.
Alina membelakkan matanya. "Shopping?"
Moza mengangguk kepalanya.
Wanita itu mengapit lengan Moza kemudian berseru. "Ayo!"
Hampir satu jam lebih Alina dan Moza mengelilingi mall. Mereka menenteng beberapa paper bag dengan nama-nama brand yang terlihat jelas.
"Udah? Ada yang mau dibeli lagi?" tanya Alina.
Moza menatap belanjaan yang dibawanya kemudian mengangguk. "Udah deh, Ma."
"Mau lanjut ke salon?"
Pertanyaan Alina membuat Moza menolehkan kepalanya. Wanita itu mengangguk di depan wajah putrinya. "Iya ayo nyalon, kita pedicure atau spa?"
Moza masih terdiam, ia belum pernah mendatangi tempat itu dan sekarang sang mama mengajaknya.
"Gak mau y—"
Sebelum Alina menyelesaikan ucapannya, Moza sudah menarik lengan wanita itu lebih dulu. "Ayo!"
Moza sesekali menatap mamanya yang sedang dikeramas oleh salah satu pegawai salon itu.
Ting!
Tangannya meraih ponsel di atas meja rias itu, tiga pesan Darren terlihat.
Darren: Temenin yuk.
Darren: beli kacamata.
Darren: Nanti sekalian nonton, ada film horor terbaru.
Bibir Moza tersenyum, jarinya dengan cepat membalas pesan cowok itu.
Moza: Besok ya.
Moza: Skrg lg sm Mama.
Iya, sedikit-sedikit Moza mulai menggunakan huruf vokal di kalimat pesannya dan ia harus mulai terbiasa.
Darren: Oke, nanti kasih tau ya jam berapa.
Moza: Keysip.
"Ayo Za ke ruang bathub," kata Alina tiba-tiba.
Moza menatap Mamanya yang kini sudah terdapat sanggulan di kepala wanita itu. Ia dan Alina saat ini sudah menggunakan handuk yang sama seperti kimono.
"Bales chat dari siapa?" tanya Alina sambil sesekali matanya melirik ponsel Moza.
Gadis itu menyembunyikan ponselnya ke belakang tubuh kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga sang mama.
"Dari pacar,"bisiknya yang membuat Alina tertawa.
Bersambung...
Kok gak ada lanjutan kemaren Jordi ngomong apa? Ya maap wkwk, bukan di bagian ini. Selamat menunggu jawaban dari Jordi sampe Minggu depan
Bagaimana perasaan kalian setelah membaca bagian ini? (Wajib jawab)
Ramaikan lapak ini ya, sampe naik rank gitu, gimanasi caranya:'( tapi yauda lah, sukarela aja siapa yang mau baca.
Jangan lupa follow ig aku ya bro, tapi aku tidak memaksa, semau kalian aja.
Oke, see u in next Friday bro! Have a nice day❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro