59. Best Attention
Ni omong² besok update lagi bukan berarti sepi komen ye, kalo misalkan komennya sepi ya mari kita ubah aja hari updatenya. Pindah aja kek ke hari senin, rabu. Jadi dimohon untuk tetap spam komen, karena bagaimanapun mengumpulkan niat menulis itu susah ye Bambang.
Kemaren gak tembus target, jht bgt kln sm ak🙂
Oke happy reading bro!
Bagian Lima puluh sembilan.
Perihal rasa sakitmu yang mencintaiku, aku tidak peduli.
–The Cold Princess-
Walaupun baru berbaikan, Alina dan Moza sekarang sudah menunjukkan kedekatan mereka. Alina selalu menyuapi anaknya ketika makan, menuntunnya ketika putrinya ingin keluar, atau bercerita banyak hal sebelum putrinya tertidur. Perlahan juga Nayla mulai akrab dengan sang mama walaupun dalam waktu yang tidak lama.
"Wah, ini yang merek Dior minta banget dibeli," kata Alina.
Moza melirik ponsel mamanya, wanita itu sedari tadi melihat-lihat pakaian terbaru dari brand-brand terkenal.
"Yang warna hitam bagus tuh, Ma," ucap Moza.
Alina menolehkan kepalanya saat kepala Moza sudah berada di sebelahnya. "Kamu mau?"
Kedua alis Moza terangkat. "Ah, nggak."
"Gak papa kalau mau, nanti Mama belikan," ujar wanita itu.
"Jangan Ma, gak usah, nanti Moza bisa beli sendiri."
Alina menghela napasnya. "Kalau mau minta sesuatu bilang aja ke Mama, jangan sungkan."
Gadis itu mengangguk mengiyakan. "Ma, ambilin dong yang keripik kentang." Tangan Moza terulur pada kantung plastik berisi makanan yang dibelikan papanya.
Alina mengambil kemudian membuka kemasan makanan itu dan memberikannya pada Moza. Tangan wanita itu sesekali mengelus rambut panjang putrinya. "Mama maunya kamu gak usah pakai poni, tapi kamu punya luka yang susah dihilangin."
Kepala gadis itu hanya mengangguk saja, semua orang pasti mengatakan demikian ketika sudah tahu separah apa luka di keningnya.
"Harusnya jangan muka yang dilukain," kata Alina sambil merapikan poni putrinya.
Moza tidak menatap sang mama, gadis itu hanya fokus televisi yang menyala dan sebungkus keripik kentang di tangannya.
Merasa ucapannya sedari tadi tidak dijawab putrinya, Alina pun kembali memainkan ponsel. Tapi tak berselang lama, ia kembali dibuat menatap anaknya karena gadis itu berbicara.
"Ma, aku mau baju Dior yang warna hitam tadi."
Dua jam setelahnya, Moza tengah makan dengan Alina yang menyuapinya. Pandangan gadis itu sedari tadi fokus pada layar televisi, sesekali melirik Nayla yang sedang bermain di sebelahnya.
"Udah Ma," kata Moza membuat Alina meletakan nampan berisi makanan itu. Wanita itu mengambil segelas air kemudian membantu putri sulungnya untuk minum.
Alina membersihkan mulut Moza yang basah karena air dengan tisu kemudian kembali duduk di sebelah brankar putrinya.
"Mau makan apa, gitu?" tanya Alina.
Moza menggelengkan kepalanya, lalu menoleh menatap sang mama. "Ma, boleh gak sih Moza buka hp? Bosen."
"Kata psikiater kamu belum boleh. Ayo mau minta apa? Selain hp," kata Alina.
"Pulang ke rumah," jawab Moza membuat Alina menghela napasnya. "Aku gak betah di sini."
"Ya udah Mama minta izin ke dokter dulu ya," kata Alina kemudian wanita itu bangkit berdiri dan meninggalkan Moza.
Wanita bertubuh semampai dengan Moza itu berjalan menemui dokter yang menangani putrinya. "Dokter permisi," ucapnya saat membuka pintu.
Dokter itu menatap Alina kemudian menyuruh wanita itu duduk. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Moza kapan boleh pulang?"
Dokter itu terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kembali berbicara. "Nanti malam juga sudah boleh pulang kok, keadaan Moza sudah membaik. Mungkin Moza masih harus tetap terapi sama psikiater ya."
👑👑👑
"Jangan capek, minta apapun ke Papa atau telpon Mama ya," kata Alina yang dibalas anggukan dari Moza.
Wanita itu mengecup kening putrinya. "Mama pulang dulu, besok kita ketemu lagi." Kemudian tangan wanita itu melambai pada Moza dengan senyuman manisnya.
Moza membalas lambaian tangan sang Mama dengan senyuman juga sampai pintu kamarnya kembali tertutup. Ini adalah hari pertama ia dibolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Mamanya terlalu overprotektif padanya, menyuruhnya terus-menerus di kasur dan tidak melakukan apapun.
Tangannya mengambil ponsel di atas nakas, gadis itu membukanya kembali setelah beberapa hari tidak aktif karena tidak ingin melihat info update terlebih dari sekolahnya. Psikiaternya pun melarangnya dan menjauhkan ponselnya karena tahu Moza akan merasa terbebani dengan hal itu. Tapi kali ini Moza ingin menentang ucapan psikiaternya.
Baru saja ingin membuka aplikasi chat nya, sebuah panggilan masuk begitu saja.
Darren
Moza menggeser ikon di ponselnya kemudian menempelkannya pada telinga. "Apa?"
Masih ketus, tapi dikit. Setidaknya dia ngomong duluan—pikir Darren di seberang sana.
"Udah sampai rumah?"
"Udah."
"Istirahat yang cukup ya. Oh iya, kapan mau sekolah?"
"Lusa."
"Aku ganggu ya?"
"Banget."
Wajar kan Moza jika ia berbicara irit dengan Darren. Jika kalian berpikir Moza tidak sopan, ingat hari-hari sebelumnya di mana Moza harus menahan sakit hati karena ditinggal tanpa alasan yang jelas.
Ya... Moza masih kesal dengan hal itu. Di pikiran Moza pun sama seperti kalian, Mampus kan lo, nyesel kan lo, udah ninggalin gue seenaknya. Iya, di pikiran Moza pun sama seperti itu.
"Ya udah aku tutup telpon nya ya, kamu istirahat, biar cepat sehat."
"Hmm..."
Tut...
Darren mengakhiri sambungan telepon. Moza kembali menatap ponselnya dan membuka aplikasi chat di sana.
Alia dan Darren mengirimi beberapa pesan padanya.
Lima ratus pesan lebih yang belum terbuka di grup angkatannya.
Grup kelas yang tiba-tiba mengeluarkannya.
Dan grup olimpiade yang menutup pesannya.
Pantas saja psikiater melarangnya membuka ponsel. Jika keadaan Moza belum membaik, Moza jamin ia akan mengakhiri hidupnya dengan segera. Melihat isi ponselnya semakin terlihat jika ia memang pantas diperlakukan layaknya sampah.
Alia added you.
Moza mengernyitkan dahinya melihat satu grup yang baru saja muncul di list chat nya.
Moza Sembuh 😗😗
Alia: AASIIKK MOZA SEMBUH🥳🥳
Luis: YEAY PRINCESS KITA SEMBUH🥳🎉
Raden Adnan: TETEHNYA NAYLA UDAH PULANG YEAY!❤️
Dito: Nan, inget pacar orang anjing!
Darren: ADNAN!
Moza|
Ini ap?
Alia: Grup dong Za, penyemangat nih biar gak down ya😘
Raden Adnan: Jangan buka grup angkatan ya sayang😘❤️❤️❤️
Luis: Kepala Adnan minta dipukul bangsat.
Dito: @Darren si Adnan enaknya dipukul apa diporotin duitnya?
Darren: Kita buat habis keturunan dia @Dito
Alia: Kalian kok ribut sih tai, katanya mau hibur Moza. Ini bukannya terhibur malah makin depresi goblok.
Dito: Tau tuh, Adnan mancing² aja.
Darren: Eh, Moza nya mana? @Moza gak papa keluar aja, kalo ada yang apa-apain kamu ada aku kok.
Alia: Nyenyenye.
Darren: @Alia ribut kita bangsat.
Alia: Beraninya sama cewe.
you left
Kata Moza, grup tadi sangat tidak jelas. Daripada naik darah, mending out saja. Ia kembali menonaktifkan ponselnya dan mulai berbaring. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Sudah beberapa hari ia meninggalkan tempat keluh kesahnya selama tujuh belas tahun hidupnya.
Tok...tok...tok...
Moza menolehkan kepalanya ketika pintu kamarnya terbuka. Ia mengernyit heran saat Darren berdiri di ambang pintu sambil menggendong Nayla yang sudah terlelap.
"Permisi Princess, Nayla nya mau tidur," kata cowok itu kemudian berjalan memasuki kamarnya dan meletakan bayi itu di baby box.
"Ngapain?"
Ucapan Moza masih terdengar ketus. Darren terlihat tidak mengindahkan ucapan gadis itu sama sekali. Ia bahkan masih terlihat santai walaupun nada bicara Moza sangat tidak enak di dengar.
"Sssttt, jangan berisik," kata Darren sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya setelah menidurkan Nayla di baby box.
Mulut Moza terkatup rapat. Gadis itu diam sambil memperhatikan Darren yang sedang memposisikan bantal Nayla agar bayi itu tetap terasa nyaman.
Cowok itu kemudian berjalan mendekati Moza dan duduk di tepi kasur. Tatapan Moza masih tajam dan tidak enak dilihat, tapi Darren tetap tersenyum.
"Jangan berisik," ucap Darren dengan nada berbisik.
"Ya—"
Telunjuk Darren menempel di bibir Moza saat gadis itu mulai berbicara.
"Jangan kencang-kencang," kata Darren masih dengan nada bicara yang sama.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Keduanya saling tatap dengan Moza yang masih berbaring—
Cetek!
—cowok itu mematikan lampu yang membuat Moza membelakkan matanya.
"Eh—"
"Sssttt!" Lagi, Darren memotong ucapan Moza.
Keadaan kamar gadis itu gelap, Darren ada di sebelanya, dan Moza tidak tahu akan ada kejadian apa setelahnya. Ia tidak bisa melihat sama sekali karena lampu tidurnya belum dinyalakan.
Tangan gadis itu mulai meraba dan sampailah di meja nakas. Naasnya, Darren tahu itu. Ia menarik tangan Moza yang berada di nakas kemudian meletakkannya di perut gadis itu.
Moza benar-benar panik akan keadaanya sekarang. Tapi tiba-tiba saja, dahinya terasa hangat yang kemudian rasa hangat itu menjalar ke semua bagian tubuhnya.
Darren mencium keningnya.
Cetek!
Cowok itu menyalakan lampu tidur, satu tangannya lagi mengelus kepala gadis itu.
"Tidur ya sekarang, istirahat yang cukup, aku kangen kamu kembali sehat. Good night."
Itu adalah kalimat terakhir sebelum akhirnya cowok itu keluar dari ruangan Moza. Gadis itu mengumpat dalam hatinya.
"Lo malah bikin gue gak bisa tidur, tolol."
👑👑👑
Moza sudah mulai berjalan dan beraktivitas seperti biasanya. Gadis itu sudah bisa menemani Nayla bermain, memasak makanan, mencuci pakaian, mengepel lantai, atau hal yang biasa ia kerjakan di rumah lainnya.
Semalam, memang benar itu Darren. Cowok itu mendatangi rumahnya, cowok itu juga membalas semua pesan grup saat sudah berada di rumahnya
Tok..tok..tok...
Kepala gadis itu menoleh, ia mendongak melihat jam yang menunjukkan pukul delapan pagi. Kedua sudut bibir gadis itu terangkat kemudian berjalan cepat ke arah pintu utama dan membukanya.
"Mama!"
"Ah, sayang..." Kedua tangan Alina yang membawa kantung plastik itu meraih tubuh putri sulungnya untuk ia dekap.
"Nayla mana?" tanyanya setelah ia melepaskan pelukannya.
"Ada," kata Moza kemudian menuntun sang mama memasuki rumah.
Jadi karena Alina sudah cerai dan pisah rumah dengan Jordi, wanita itu selalu datang setiap pukul delapan pagi dan pulang pukul setengah sepuluh malam. Moza pun tidak merasa keberatan dengan hal itu, ia juga ingin menggunakan hari-harinya bersama dengan mamanya. Ia juga ingin merasakan serunya berbincang dengan sang mama.
Alina membawa beberapa bahan masakan dan juga makanan kecil ataupun mainan baru untuk Nayla. Alina kemarin sudah berjanji akan membuat kue bersama Moza.
"Anak Mama!" seru Alina kemudian mengangkat tubuh Nayla dan melempar-lempar kecil yang membuat bayi itu tertawa. Alina juga menghujani wajah mungil putri bungsunya dengan kecupan.
"Kapan mau berangkat sekolah lagi?" tanya Alina menghampiri Moza yang berada di dapur sedang menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue.
"Besok," jawab Moza.
Kepala wanita itu mengangguk kemudian meletakan tubuh Nayla di meja makan khusus bayi.
"Papa kamu ke mana?" Pandangan Alina menyapu rumah itu, ia sedari tadi tidak melihat mantan suaminya.
Moza menatap mamanya sekilas kemudian menjawab, "Papa ke kantor, ada urusan katanya."
Moza memasangkan celemek pada tubuh mamanya. "Kadang nodanya gak bisa hilang," kata gadis itu.
Alina tersenyum kemudian memajukan wajahnya ke depan wajah putrinya, ia juga menunjuk pipi kanannya. Moza sadar akan kode dari mamanya, gadis itu mencium pipi kanan Alina setelahnya keduanya tertawa bersama.
Hampir satu jam sudah terlalui, Alina dan Moza berhasil membuat brownies panggang. Keduanya sedang menyantap hasil buatan mereka sambil menonton film dengan Nayla di pangkuan Moza.
Oh iya, Alina juga sudah berhenti bekerja di tempat karaoke itu. Wanita itu sudah menerima banyak uang setiap hari oleh seseorang yang menghamilinya dulu, ayah dari Nayla. Iya, bule itu tidak mau tanggung jawab dan sebagai gantinya ia mengirimi uang untuk Alina yang bahkan jika ditanya cukup atau tidak malah kelebihan.
Alina mempunyai banyak barang-barang branded karena membeli dengan uang pria itu. Alina juga sekarang memanjakan Moza dengan uang pria itu. Alina mengatakan kepada Moza, "Biarin lah Mama gak minta dia kirim uang tapi malah dikirim uang setiap hari. Daripada gak kepake, mending kita pake foya-foya."
Mamanya memang realistis. Sebenarnya juga Alina jarang ke tempat karaoke, ia akan pergi ke tempat itu jika bosan saja. Toh, uangnya sudah lebih dari cukup. Belum lagi uang yang selalu ia transfer ke rekening Moza. Iya, itu juga bukan hasil dari pekerjaannya, itu uang dari ayah kandung Nayla.
"Ma, mau beli tas Gucci," kata Moza sambil memakan brownies buatannya.
Kepala wanita di sebelah Moza itu menoleh. "Kirim aja gambarnya mau yang mana, nanti Mama beliin."
Moza juga awalnya tidak percaya. Jadi selama ini saldo rekeningnya terus bertambah karena uang kiriman dari ayah kandung Nayla. Ah, padahal ia sudah berpikir buruk pada sang mama.
"Moza juga harus beli baju baru," ucap gadis itu lagi.
Alina menghela napasnya. "Bilang aja kamu mau belanja."
Drt...
Alina menolehkan kepalanya melihat ponselnya yang berdering. Wanita itu menjawab panggilan dan tidak beralih dari tempatnya.
"Gak usah, nanti saya aja yang bayarin."
"Oke saya ke sana sekarang. Jangan buat ulah!"
Benda pipih yang dipegang Alina langsung terkapar di atas karpet tebal di bawah meja. "Mama harus keluar sebentar," katanya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Kedua perempuan itu menoleh menatap pintu utama. Jordi benar, dia hanya ada urusan penting yang cepat lalu kembali pulang.
"Kebetulan Papa kamu pulang." Alina bangkit berdiri, memasukkan barang-barangnya ke dalam tas tangan yang bahkan jika ditanya Moza ingin apa tidak jelas ingin. "Mama pulang duluan ya, besok janji deh bawa tas Gucci kepengenan kamu," kata Alina kemudian mencium pipi Moza dan Nayla bergantian.
"Dadah!"
Moza ikut melambaikan tangan pada sang mama sampai akhirnya punggung wanita itu menghilang dari pandangannya.
Jordi melihat mantan istrinya pergi kemudian duduk di sebelah putrinya. "Senang bisa akur sama Mama?"
Moza mengangguk. Iya, ia benar-benar merasa senang ketika dekat dengan sang mama. Wanita itu juga sangat humble padanya, dan tidak terlalu canggung seperti waktu itu. Alina adalah tipe perempuan yang mudah berbaur dengan siapapun. Belum lagi Alina juga sangat memanjakannya, wanita itu suka bertanya tentang pakaian atau aksesoris lainnya dari brand terkenal kemudian langsung membelikannya.
Tangan Jordi mencomot kue brownies yang dibuat Moza. Gadis di sebelahnya sedari tadi terus menatap sang papa.
"Pa, aku mau tanya," kata Moza.
Kepala Jordi menoleh. "Tanya apa? Tanya aja."
"Kenapa Papa waktu itu ninggalin aku?"
Bersambung....
Apa perasaan kalian setelah membaca bagian ini? (Wajib jawab)
komen belum kamu?
Jangan bohong!
Spam komennya dong qaqa
Nih kasih lope buat yang spam komen❤️❤️❤️❤️
Jangan lupa follow ig ya, tapi kalo gak mau follow ya gakpapa, sukarela aja h3h3
See u tomorrow.
Masih gue pantengin ya klean kudu pada komen
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro