54. Our Mom
Tembus 200k readers, aku bakal update seminggu 2 kali🥳 nanti buat hari apa untuk update keduanya, kita buat vote lagi okee
Bagian sebelumnya komennya dikit:( padahal ekspetasi aku bakal tembus 200+ komen lagi☹️ bagian ini harus tembus 200+ komen lagi ya, kalo bisa tembus sampe 300 wkwk
Happy reading ❤️
Bagian Lima puluh empat.
Bisakah kita tetap melanjutkan hubungan?
-The Cold Princess-
Setelah kejadian semalam di pesta Sheila, Darren memang sudah menduga jika keadaan sekolah tidak akan baik-baik saja. Asal kalian tahu, sejak Darren menginjakkan kakinya di halaman sekolah desas-desus pembicaraan nama Moza selalu menggelitiki telinganya.
Jika membicarakannya masih dalam batas normal, Darren akan diam. Tapi jika sudah kelewatan, Darren tak segan melakukan tindakan keras.
Baru saja ia berjalan melewati koridor menuju lorong perbatasan jurusan, suara dari kelas IPA yang terus menusuk telinga Darren membuat cowok itu ingin menampar mulut mereka.
"Gue juga kaget pas tahu kalau itu Moza. Lo bayangin dong, dia, siswa yang sering dibanggakan sekolah ternyata jual diri."
"Bangsatnya lagi, dia begituan sama pacar Kak Shei. Padahal kan Kak Shei calon kakak tirinya."
"Emang sih, ternyata yang diem itu murahan."
"Hahaha, iya, mending kayak kita blak-blakan tapi gak jual murah ke cowok."
Brak!
Tangan Darren gatal ingin memutar mulut pedas sekelompok perempuan yang sedang membicarakan Moza dengan lantang di dalam kelas. Lebih dikejutkan lagi, ketika ia mendengar ucapan-ucapan itu dari kelas sebelas IPA 2 yang notabene nya adalah kelas Moza.
Seluruh siswa di kelas itu menatap Darren yang sudah berdiri di ambang pintu. Siswa-siswi yang berjalan di koridor pun mendadak berhenti saat melihat Darren.
"Siapa yang bangsat? Siapa yang murahan? Siapa yang jual diri?" tanya Darren sambil menatap tajam ke sekelompok perempuan yang tadi membicarakan Moza.
"Lo!" Telunjuk Darren menunjuk sekelompok perempuan itu. "Kalo gak tau apa-apa mending diem aja, jangan sampe gue robek mulut lo."
"Cih!" Darren menoleh ketika mendengar seseorang berdecih. "Pacarnya lonte kok dibelain."
Masih pagi, matahari bahkan belum keluar sepenuhnya, tapi emosi Darren sudah berada di atas. Mendengar kalimat yang diucapkan oleh salah satu teman sekelas Moza yang dengan ringan sekali mengatai jika Moza sehina itu. Rasanya, Darren ingin membakar seluruh siswa di kelas Moza.
Sebelah bibir Darren tertarik menciptakan sebuah senyuman meremehkannya, ia memasuki kelas itu menatap seisi siswa di kelas.
"Otak kalian kenapa, hah?" Darren berkacak pinggang. "Lo semua satu semester bareng sama Moza, lo pernah liat dia pernah dekat sama cowok selain gue?"
Seisi kelas terdiam menatap Darren. Ada benarnya, Moza tidak pernah dekat dengan laki-laki selain Darren kecuali memang si laki-laki yang mendekati Moza.
"Oke, hal sederhana aja." Darren menjeda ucapannya, "Kalian pernah liat Moza dandan berlebihan, lipstik merah, bedak dempul, pakaian ketat. Pernah, gak? Jawab!"
Darren berhasil membuat semua siswa terdiam. Ia menunjuk gadis yang tadi mengatai Moza lonte, "Lo!" Kemudian cowok itu menunjuk sekelompok perempuan yang tadi membicarakan Moza, menunjuk salah satu gadis yang menggunakan bedak dempul, bibir merah, rambut yang diwarnai, juga baju ketatnya. "Lo ngatain Moza lonte, terus dia lo katain apa? Jablay?"
"Bahkan Moza lebih baik dari dia, MATA LO DI MANA?!"
"KENAPA KALIAN GAK PERNAH NGOTAK! Moza pinter, Moza cantik, dia punya prestasi, dia punya kelebihan yang jarang dimiliki semua perempuan. Tapi apa? Lo ngatain dia seenaknya. Kelebihan lo apa emangnya, hah? APA!"
Mata Darren menatap Patrecia yang sedang berkumpul dengan teman-temannya di pojok kelas. "Lo, Pat!" serunya.
Patrecia menegang, terkejut ketika Darren memanggilnya.
"Gue tau lo suka sama Adnan, kalo lo berani ngomongin Moza, gak akan gue bikinin lo jalan buat dapet restu keluarga Adnan."
"Lo semua, yang ngatain Moza lonte atau apalah, ngaca dulu, kadang lo jauh lebih murah dari itu!" seru Darren.
Brak!
Semuanya menoleh ketika melihat Alia dengan napas yang tersengal-sengal memasuki ruangan itu. "Ren, ayo ke kelas, manusia yang di sini gak punya otak."
Gadis itu menarik Darren keluar.
"KALO MASIH ADA YANG NGOMONGIN HAL BURUK TENTANG MOZA, GUE BIKIN LO SEMUA MENINGGAL!"
Alia hanya diam menatap Darren yang terus mengoceh, gadis itu terus menyeret Darren. Sebenarnya gadis itu juga kesal dengan siswa di sekolah yang tidak tahu apa-apa tapi menyebar berita tanpa tau latar belakangnya, hanya bisanya menyebar gosip saja.
Setiap keduanya melewati kelas, pasti para siswa selalu menatapnya. "Apa lo melotot? Mau gue colok mata lo?"
👑👑👑
Begini, sebelum Disa menikah dengan Dalvin, pria itu adalah mantan kekasih Alina. Dalvin mengakhiri hubungan dengan Alina karena ia tahu jika wanita itu sudah menikah dengan Jordi. Alina yang menolak keputusan Dalvin meronta membuat rumah tangganya sendiri berantakan.
Alina dijodohkan oleh keluarganya dengan Jordi, ia menolak, tapi kemudian ayahnya meninggal membuat wanita itu harus menebus rasa bersalahnya dengan menikah dengan Jordi. Tidak ada cinta yang ditorehkan Alina pada Jordi, tidurpun enggan seranjang dan memilih tidur di sofa.
Disa yang notabene-nya adalah sahabat Alina berusaha menghibur dan mencoba untuk membuat Alina perlahan mencintai Jordi. Alina pun menurut dan mencoba memulai hidup dengan Jordi dibantu dengan Disa yang saat itu belum menikah dan masih kuliah. Setelahnya ketika Alina masih berusaha menerima Jordi, Disa tiba-tiba menghilang hingga satu tahun lamanya.
Dan saat di mana Alina tengah mengandung anak pertama dengan Jordi, Alina dikejutkan oleh sahabatnya yang telah menghilang selama setahun. Wanita itu melihat Disa yang rupanya sudah berbadan dua bahkan kandungannya lebih besar darinya. Alina tidak tahu jika Disa rupanya sudah menikah dan mengandung lebih dulu.
Hingga satu tamparan keras menghantamnya lagi ketika tahu jika anak yang dikandung Disa adalah anak Dalvin. Rupanya setelah putus dengan Alina, beberapa bulan kemudian Dalvin memacari Disa dan tak lama keduanya menikah. Disa menemui Alina, mencoba membuat wanita itu mencintai Jordi agar tidak terkejut ketika tahu ia sudah menikah dengan Dalvin.
Tapi kenyataan menolak rencana Disa. Alina yang tahu Disa mengkhianatinya, ia mencoba untuk membunuh kandungannya sendiri, ia tidak mau anak dari Jordi, tapi ia mau anak dari Dalvin. Untungnya semua tindakan nekat Alina bisa dicegah oleh Jordi yang selalu siaga.
Saat Moza lahir, Alina tidak pernah memikirkan kelanjutan bayi itu sehingga ia menyerahkan begitu saja pada Jordi. Membiarkan pria itu pada tanggung jawabnya sebagai ayah. Setahun awal, Alina mau mengurus Moza tapi hanya memenuhi asi saja, kemudian setahun berikutnya wanita itu meminta cerai tapi Jordi menolaknya.
Alina tetap berusaha untuk pisah dengan Jordi, tapi saat ia teringat jika ia sudah tidak punya apa-apa lagi, Alina mencoba satu pekerjaan yang bisa membuatnya lupa segalanya. Ya, menjual diri.
Jordi berusaha menghentikan pekerjaan Alina, ia berusaha seorang diri menghadapi sang istri yang sudah tidak menginginkannya. Kenapa Jordi menahan Alina agar tidak pisah dengannya adalah, selain karena ia masih mencintai Alina, Jordi juga tahu Alina tidak mempunyai apapun setelah ayah wanita itu meninggal. Alina tidak punya rumah, rumah orang tuanya sudah terjual dan tidak meninggalkan barang berharga satupun.
Karena pikir ayah dari Alina, Jordi pasti akan bertanggung jawab atas segala keperluan Alina.
Jordi menjadi orang tua tunggal untuk Moza, Jordi selalu memberikan kebutuhan Moza secara sempurna, Jordi juga rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani putrinya berlatih di sanggar tari. Bahkan pria itu pernah mengalami kehilangan 2% sahamnya karena terlalu sibuk dengan putrinya, untungnya Moza mengerti akan keadaanya dan mencoba melakukan segalanya sendiri.
Alina jarang pulang. Setiap Alina pulang, Moza pasti sudah tertidur pulas, dan ketika bangun pagi mungkin hanya tersisa roti selai yang sudah digigit.
Jordi yang kehilangan sahamnya terus bekerja keras, hingga suatu hari Dalvin datang meminta maaf padanya dan membantu kerjaannya. Sukses sudah ketika perusahaan Jordi kembali stabil. Setelahnya kedua pria itu menjalin pertemanan yang cukup dekat.
Tapi tidak dengan Alina dan Disa. Kedua wanita itu belum berdamai bahkan sampai sekarang karena Alina terlalu marah pada Disa. Percakapan terakhir dari keduanya hanyalah,
"Kamu jangan harap bisa mendapatkan maaf dari aku sebelum kamu benar-benar pisah sama Dalvin."
Ya, hanya itu.
Cukup untuk kisah tentang itu. Sekarang Disa masih berdiri di hadapan Alina.
"Eh, Disa. Ada apa?" Alina melangkahkan kaki mendekati Disa. Dan saat sudah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat, wanita itu kembali berbicara, "Sudah siap berpisah dengan Dalvin?"
"Lin, bukan itu."
Sebelah alis Alina terangkat. "Terus? Ada hal apa kamu di sini?"
Disa menghela napasnya. "Lin, pulang, minta maaf sama Moza."
"Maaf? Buat apa? Harusnya dia yang minta maaf ke aku, dia gak anggap aku orang tuanya padahal aku sudah memberikan uang lebih buat dia," kata Alina.
"Gimana Moza mau anggap kamu orang tuanya kalau kamu sejak dulu gak pernah urus dia!" seru Disa.
Alina memijit pelipisnya kemudian kembali menatap Disa. "Kamu gak tahu apa-apa karena hidup kamu enak sama Dalvin, mending kamu pulang. Aku belum tidur semalam, aku mau istirahat sekarang."
Wanita itu membalikkan tubuhnya meninggalkan Disa. Baru beberapa langkah ia berjalan, Disa kembali memanggilnya.
"Alina!"
Seruan Disa membuat Alina kembali membalikkan tubuhnya. Alina menatap Disa malas.
"Apa la—"
"Moza di rumah sakit, mental dia rusak, dia jadi bahan olokan teman-temannya karena pekerjaan kamu, Alina!" Disa sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. "Wajah Moza yang mirip sama kamu buat dia disamain sama kamu. Moza punya banyak prestasi yang harus dipuji semua orang, tapi itu semua tertutup karena pekerjaan kamu!"
Napas Disa menderu. "IBU MACAM APA KAMU!"
"Berhenti, tinggalin pekerjaan itu, Lin. Coba ngertiin perasaan anak kamu. Moza itu anak kandung kamu, darah daging kamu." Amarah Disa menguap, hormon ibu hamilnya naik kembali. "Aku capek sama kamu, Jordi jelas-jelas sayang sama kamu, tapi kenapa kamu menolak keras dia? Di—"
"KAMU GAK TAU APA-APA DISA! Kamu berbicara begini karena hidup kamu enak, hidup kamu bahagia sama Dalvin. Aku sekarang gak akan seperti ini kalau aku nikah sama Dalvin."
Mata Disa memanas, cairan bening tiba-tiba saja lolos dan jatuh ke pipinya. "Kamu mau Dalvin, Lin?" tanya Disa dengan suara paraunya.
"AMBIL DALVIN, LIN, AMBIL!" teriak Disa. "Aku gak percaya kalau teman dekat aku rupanya gak punya hati untuk anaknya sendiri. Aku gak percaya teman dekat aku rupanya bisa santai setelah membuat anaknya menderita bertahun-tahun," lanjutnya.
"Aku benci sama kamu, Lin."
Bersambung...
Jelaskan perasaan kalian setelah membaca bagian ini (wajib jawab)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro