Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

50. Tenggelam

Bagian Lima puluh.

Sebanyak apapun kamu meminta maaf, kesalahanmu akan kembali terulang.

–The Cold Princess-

"Tante, Darren di kamar?" tanya Alia, napasnya masih tersengal-sengal.

Disa yang melihat Alia dengan keadaan seperti itu hanya mengangguk. Kemudian ia melihat Alia yang berlari menuju lantai atas tempat kamar anaknya.

Saat Alia hendak memutar kenop pintu, rupanya Darren sudah membukanya.

"Alia?"

"Darren, a-anu, nyokapnya–"

Kalimat Alia terpotong karena Darren sudah menarik lengannya. "Temenin gue ke rumah Adel."

"Adel temen SMP?" tanya Alia.

Darren mengangguk lalu menyuruh Alia duduk di kursi penumpang. Cowok itu langsung melajukan mobilnya di jalanan yang ramai.

"Lo inget gak pas kita baru aja pulang tanding pas SMP?" tanya Darren sambil menyetir mobilnya.

"Tanding yang mana?"

"Yang gue tanding futsal, lo tanding voli. Yang kejuaraan olahraga provinsi," kata Darren.

Alia mengangguk. "Oh, iya inget. Kenapa emang?" Gadis itu melepas hoodie berlogo NCT kemudian meletakkannya di jok belakang dan meninggalkan kaos putih pendeknya. Ia merasa gerah karena tadi ia berlari dari halaman rumah Darren juga menaiki tangga, dan belum sempat ia bernapas sudah terseret-seret oleh Darren.

Darren memberhentikan mobilnya di sebuah rumah besar. Cowok itu membuka seat belt nya kemudian menatap Alia.

"Kita gak pernah tahu apa yang terjadi di sekolah selama kita berada di Jakarta," jawab Darren.

"Adel bilang, saat kita di Jakarta, sekolah gempar kabar tentang Moza. Dan kabar itu hilang tiba-tiba saat kita pulang dan bawa banyak piala," lanjutnya.

Alia terdiam, ia mendengarkan semua ucapan Darren. Gadis itu mulai mencernanya baik-baik.

"Pas gue pulang dari Jakarta, orang tua Reza udah meninggal," kata Alia.

Darren langsung membuka pintu mobil kemudian masuk ke rumah Adel, temannya saat SMP. Entah kenapa, Darren tiba-tiba mengingat Adel untuk menjelaskan semuanya ketika ia berada di Jakarta dua tahun yang lalu.

Cowok itu memencet bel, dan tak lama Adel pun keluar.

"Eh, Darren?" Adel berjalan menuju pintu gerbang dan membukanya. "Ayo masuk."

"Eh, ada Alia juga," katanya kemudian merentangkan tangannya meminta pelukan dari Alia.

Alia memeluk Adel erat, ia rindu teman semasa SMP nya.

"Ada apa Ren ke sini? Tumben," kata Adel.

Adel menyuruh Alia dan Darren duduk di ruang tamu, hanya saja Darren menolak. Akhirnya ketiganya hanya duduk di kursi teras.

"Del, gue ke sini mau tanya soal keadaan sekolah pas kita lomba olahraga di Jakarta," kata Darren.

Adel mengangguk, "Ah, iya. Mau tanya apa emang?"

"Selama kita di Jakarta, katanya di sekolah ramai berita tentang Moza. Gue mau tanya dong berita tentang apa?"

Adel mengangguk, gadis itu dengan mudah mengingat kejadian dua tahun lalu. "Oh, yang itu. Profesi nyokapnya Moza ketauan sama Reza, terus disebarin sama dia."

Darren mengernyitkan dahinya, "Emang profesi nyokapnya Moza apa?"

"Pelacur."

Adel dan Alia menjawab bersamaan. Darren menatap Alia yang berada di sebelahnya.

"Lo tau?"

"Gue baru inget, tadinya gue ke rumah lo mau bilang tentang itu," kata Alia.

Darren terkejut. Jadi, profesi ibu dari Moza adalah seorang pelacur?

"Waktu lo di Jakarta, video nya nyebar loh. Gue kira itu Moza, taunya nyokapnya," kata Adel.

"Ren," panggil Alia. "Gue udah lihat nyokapnya Moza, dia cantik, mirip banget sama Moza, namanya Alina. Dia kerja di tempat karoke ujung jalan perumahan gue."

Darren diam, ia mencerna baik-baik apa yang ia dengar. Walaupun sudah tersaring inti dari jawaban yang ia pertanyakan selama ini, rupanya kenyataan pahit datang pada dirinya. Ia tidak terima dengan keadaan sekarang.

Melihat Darren yang shock, Alia mencoba bertanya lagi kepada Adel. "Lo masih inget video yang nyebar, itu?"

Adel mengangguk pelan. "Masih."

"Video yang ciuman sama Reza itu, kan? Yang di meja bar?" tanya Alia dengan nada pelan

Adel pun mengangguk lagi. "Iya, itu video ciuman di bar. Gue kira itu Moza, kan ciumannya sama Reza, eh taunya nyokapnya."

Lagi, mendengar fakta yang sebenarnya membuat dada Darren terasa sesak, napasnya sudah tidak keruan. Jadi selama ini ia sudah salah paham dengan gadisnya. Mendengar semua kenyataan yang terjadi selama ini semakin membuatnya menjadi seseorang yang paling salah di muka bumi.

Alia menepuk pundak Darren,  kemudian mengelusnya perlahan. "Video yang selalu lo inget-inget itu, video yang bikin lo gak percaya sama Moza itu, sebenarnya bukan dia."

Darren benar-benar merasa bersalah, seolah semuanya ia yang menjadi sebab rasa sakit semua orang. Ia bodoh, benar-benar bodoh.

"Lo salah paham."

Darren semakin sakit, sesak di dadanya semakin menjadi, ia salah, ia bodoh telah meninggalkan gadisnya hanya karena sebuah kesalahpahaman.

Ting!

Ponsel Darren berbunyi, memperlihatkan  pop up pesan dari Adnan. Cowok itu mengirimkan sebuah foto.

Raden Adnan : Bego, ultahnya Sheila September, kenapa rayainnya bulan desember jingan.

Darren dan Alia saling bertatapan.

Drtt...

Tak lama, ponsel Alia yang berdering. Panggilan dari Putri, teman sekelasnya.

"Halo, Put, gimana?" tanya Alia.

"Di sini anak kelas kita gak ada yang ikut." Putri memang sengaja datang ke pesta Sheila karena ia memang sudah punya kenalan dekat dengan salah satu seniornya. Putri pikir tidak enak jika ia tidak datang.

"Oh ya udah syukur deh kalau gitu," jawab Alia.

"Tapi Al, gue tadi lihat Moza. Dia ke pesta tapi pakaiannya gak sesuai banget. Cuma pake dress selutut sama cardingan doang. Mana nih ya, mata dia kek orang kaga tidur seminggu, hitam banget, matanya bengkak juga. Tapi dia masih keliatan cantik dong, emang The real Princess banget Moza."

Alia yang mendengar ucapan Putri menganga. Darren menatap Alia penasaran.

"Kenapa?"

"Moza ada di pestanya Sheila," kata Alia.

Cowok itu berdiri kemudian meninggalkan Alia dan Adel. Ia langsung pergi menuju rumah Sheila. Darren yakin, Sheila punya niat jahat pada gadisnya.

👑👑👑

"Moza? Sendirian?" Tangan Sheila langsung merangkul bahu Moza.

Gadis itu mengangguk, ia melihat Sheila yang tersenyum bahagia. "Selamat ulang tahun, Kak."

Sheila tersenyum. "Makasih calon adik tiri." Gadis itu menyeret Moza ke dalam pesta, mengenalkan siapa Moza, memamerkan kecantikan Moza, juga membanggakan setiap prestasi Moza kepada semua tamu undangan pesta ulang tahunnya.

Sebisa mungkin Moza untuk menarik sudut bibirnya, namun sungguh sulit baginya yang jarang tersenyum. Sheila sangat baik padanya.

Setelah mengenalkan Moza kepada semua tamunya, Sheila menaiki panggung apung di atas kolam renangnya. Gadis itu berdiri di atas sana dengan meja berisi kue ulang tahun berangka 17.

Sheila mengambil mic lalu mulai berbicara. "Selamat malam guys, di sini gue mau bilang makasih banget sama Tuhan karena di umur 17 gue masih berkesempatan hidup, makasih buat semua tamu yang datang karena tanpa kalian pesta ini gak tau bakal jadi apa."

Mata Sheila kemudian melirik ke arah Moza yang tengah menatap Sheila. "Moza? Sini!" Sheila mengucapkan dua kata itu masih dengan mic yang menyala.

Seluruh pandangan tamu langsung tertuju pada Moza di sudut pesta. Gadis itu bingung, sebelum intruksi Sheila terdengar kembali.

"Sini, Za!"

Moza akhirnya berjalan menaiki panggung apung di atas air kolam yang tenang itu. Setelah sampai di atas panggung, gadis itu menatap ke depan, menatap semua para undangan pesta.

"Ini Moza, dia anak dari Om Jordi, calon adik tiri gue. Yang sekolah di SMA Merah Putih pasti tau dong siapa dia, dan yang belum kenal gue kasih tau. Moza ini idola sekolah, karena selain cantik dia juga punya prestasi yang patut diacungi jempol semua." Sheila menatap para tamu undangan yang mulai hanyut dalam suasana.

"Tapi sayang dia punya prestasi menjijikan." Sheila memberi jeda pada ucapannya, cewek itu kemudian menghadap Moza, berdiri tepat di depan wajah Moza yang awalnya menatap Sheila penuh binar, bahkan untuk pertama kalinya Moza menampakan senyumnya di depan Sheila namun itu semua mendadak hilang.

Kling! Kling! Kling!

Notifikasi tiba-tiba muncul di ponsel para tamu undangan. Semuanya menjerit ketika melihat pesan yang mereka terima. Sebuah video yang sama, video yang pernah Darren terima dari nomor yang tidak dikenal. Sekarang video itu menyebar, terkirim pada grup angkatan siswa yang bahkan terdapat guru di sana.

"Prestasi yang patut diacungi jempol karena hebat BISA MENCURI HATI PACAR CALON KAKAKNYA!"" ucap Sheila, semua tamu undangan mendadak diam. Menatap Sheila dan juga ponsel mereka secara bergantian.

"LO PIKIR GUE GAK TAU SAMA APA YANG LO LAKUIN DI BELAKANG GUE?! SAAT LO BERDUAAN SAMA REZA DI BELAKANG GUE! BAHKAN YANG PALING MENGEJUTKAN KALO RUPANYA LO PERNAH TIDUR SAMA DIA!" Untuk pertama kalinya, Moza dibuat bingung oleh Sheila. Semua orang tiba-tiba menatapnya hina, Moza masih belum sadar akan semuanya.

"GUE SALAH APA SAMA LO SAMPAI-SAMPAI LO REBUT REZA JUGA SETELAH LO REBUT PERHATIAN NYOKAP GUE? APA LO MASIH KURANG PERHATIAN SAMPE-SAMPE LO REBUT JUGA PERHATIAN REZA DARI GUE? CALON ADIK TIRI MACAM APA LO, HAH?!" teriak Sheila di hadapan wajah Moza, gadis itu bahkan mendorong-dorong bahu Moza juga. Para teman-teman Sheila pun langsung menaiki panggung apung tersebut, berusaha meredakan emosi Sheila yang meletup hebat.

"RUPA-RUPANYA LO SAMA NYOKAP LO ITU SAMA!" Satu langkah Sheila ingin mendekati Moza namun teman-temannya menahanya. "SAMA-SAMA PELACUR!" Sheila memberontak di kungkungan para sahabatnya, cewek itu menarik kue ulang tahun di meja dengan api lilin angka yang masih menyala. Gadis itu berjalan mendekati Moza dengan cepat.

"Shei, cukup Shei!" Teman-temannya berteriak sambil mengejar Sheila yang berlari mendekati Moza sambil membawa kue ulang tahun dengan lilin yang masih menyala itu.

Sedangkan di balik itu semua, Moza masih bingung dengan keadaan semuanya. Sheila yang mengamuk di depannya sambil meneriakinya juga menyalahkannya. Rupanya, Sheila juga sama salah pahamnya dengan Papanya. Matanya mulai memburam secara tiba-tiba karena rasa takut yang kemudian menyebar hampir di setiap perasaan beraninya. Menatap Sheila yang menatapnya penuh kebencian hingga ke relung hatinya. Perlahan Moza memundurkan langkahnya, mencari aman dari tikaman Sheila.

Hingga gadis itu berhenti tepat di ujung tepi kolam bersamaan dengan Sheila yang berdiri di hadapannya sambil membawa kue ulang tahun itu. Mata indah gadis itu menusuk hati Moza.

"Gak usah nangis," ucap Sheila penuh penekanan. Gadis itu memperlihatkan kue ulang tahunnya di hadapan wajah Moza. Moza membelak kala yang ia lihat di atas kue tersebut bukan nama Sheila melainkan dirinya.

'Selamat ulang tahun Moza A.C'

Bahkan ia lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya, pantas saja lilin ulang tahun itu bertuliskan angka 17 bukan 18 yang artinya adalah usianya hari ini. Ketika Moza ingin mendongak, kue tersebut sudah menempel di wajahnya. Rasa panas akibat lilin yang masih menyala itu langsung menjalar dan membakar kulit wajahnya.

"Selamat ulang tahun, bitch!" Dengan satu hentakan, Sheila mendorong tubuh Moza ke dalam kolam renang dengan kedalaman tiga meter itu.

Dari dalam air, Moza merasakan sakit. Tidak hanya fisiknya, melainkan hatinya juga. Dari dalam air Moza bisa melihat Sheila yang terus memakinya. Moza sudah merasakan bahwa air kolam itu sudah memasuki semua lubang tubuhnya, kepalanya tiba-tiba sakit, ia tidak bisa bernapas, dan hilang kesadaran.

Namun sebelum kesadarannya benar-benar hilang, ia masih bisa melihat seseorang yang menceburkan diri, menarik tangannya, dan membawanya ke tepi kolam.

Moza tergeletak tak berdaya, sang penyelamat itu menepuk-nepuk pipi Moza berkali-kali dan menekan-nekan dada gadis itu, berusaha agar Moza kembali membuka mata. Orang-orang di sana hanya diam menyaksikan aksi pahlawan penyelamat Moza itu. Tak berselang lama semua penonton menjerit kala sang pahlawan itu memberi napas buatan kepada Moza hingga tiga kali.

"Za, gue mohon!" pekik sang penyelamat Moza karena merasa semua yang ia lakukan sia-sia. Ia kembali menepuk-nepuk pipi Moza, hingga tepukan yang entah ke berapa membuatnya terhenti karena sang pemilik pipi itu terbatuk.

"Darren..."

Darren menghela napas lega. Cowok itu langsung membopong tubuh Moza. Menjauh dari kerumunan pesta, ia tidak peduli walaupun ia menjadi bahan tontonan seperti tadi. Yang ia pikirkan sekarang hanya gadisnya saja.

Ia membuka pintu mobilnya mendudukkan Moza di sana lalu disusul dirinya yang duduk di bangku supir. Ia memasangkan seatbelt untuk Moza, merapikan rambutnya yang basah, dan juga pakaiannya yang sudah tidak enak dilihat.

Darren ingat jika Alia tadi meninggalkan hoodie berlogo idol Korea nya di mobil. Ia mengambilnya dan memasangkannya ke Moza. Darren dapat merasakan tubuh gadis itu sangat lemas, tatapan matanya kosong, wajahnya pucat, dan juga pipinya yang membiru karena lilin panas tadi.

Sungguh, melihat Moza dalam keadaan seperti ini hati Darren semakin sakit. Setelah memasangkan hoodie nya, Darren memeluk tubuh gadisnya. Ia memeluk erat seperti tidak ada hari esok untuknya.

Ia merindukan Moza, sekaligus tidak tega dengan keadaan gadisnya sekarang. Darren benar-benar menyesal kenapa tidak berada bersama Moza. Harusnya ia bisa mencegah pergerakan Sheila jika ia datang lebih cepat.

Darren mencium pelipis Moza setelahnya ia menatap wajah gadisnya yang sudah banjir air mata. Dan tanpa dirasa, Darren ikut menangis. Ia mencium pipi Moza yang menghitam karena luka bakar itu.

"Maaf..."

Bersambung...

Gimana bagian ini? (Wajib jawab)

Yang mau happy-happy tahan ye wkwk

Ada yang perlu ditanyain? (Tanya aja di sini)

Oke next part kalo udah 200k ya, bentar kok. Ajakin temen-temen kalian makanya, tapi jangan asal baca juga apresiasi dengan vote atau komen yang banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro