Yang banyak komen semoga dapet THR banyak, aamiin.
Bagian empat puluh sembilan.
Kenyataannya, bukan hanya aku yang tidak dapat menerima.
–The Cold Princess-
Hanya duduk sambil melukai diri sendiri yang bisa Moza lakukan sekarang. Ia duduk di lantai dapur, bersandar di bawah meja, dengan tangannya yang terus membuat luka. Kali ini, Moza membuat lukanya tanpa berpikir lagi.
Yang biasanya akan membuat luka di tempat yang mudah tertutup, sekarang tidak. Gadis itu sedari tadi menggoreskan pisau tanpa berpikir panjang lagi. Rambutnya sudah menutupi wajahnya, dan pakaiannya masih pakaian seragam yang ia kenakan kemarin.
Moza rasa hidupnya memang berakhir hari ini. Kalian tahu bukan alasan utama Moza masih bertahan hidup adalah adanya Papa dan adiknya. Tapi sekarang lihat, Papanya sudah tidak ada begitupula dengan adiknya. Jadi, apalagi yang harus dijadikan alasan untuknya melanjutkan hidup?
Ia sendiri bingung kenapa dirinya harus lahir jika perjalanan hidupnya akan berisi rasa sakit yang terus menerus.
Moza menyibak rambutnya, ia menatap sekeliling rumahnya yang gelap. Moza bahkan sudah tidak bisa melihat apapun di dalam rumahnya, semuanya gelap. Celah jendela yang masih terbuka membuat Moza menolehkan kepalanya, cahaya dari celah jendela itu menerangi bingkai foto besar di rumahnya.
Ia bisa melihat bingkai foto itu. Tiga orang, ia, papanya, dan juga Nayla sedang tersenyum bahagia. Foto itu diambil ketika Nayla berulangtahun di usia pertamanya, sebelum akhirnya beberapa bulan kemudian mama dan papanya bercerai.
Mata Moza yang sudah sembab dengan lingkaran mata yang sudah menghitam membuat gadis itu semakin terlihat menyedihkan. Ia berharap keluarganya utuh kembali, rumahnya terisi oleh teriakan, tangisan, atau suara tawa Nayla lagi. Sehari tidak mendengar suara Nayla membuat Moza semakin merasa sakit.
Sejak lahir, Moza lah yang mengurus Nayla. Bahkan Moza merasa bahwa Nayla adalah anaknya sendiri. Ia tidak bisa pisah dengan bayi itu walaupun hanya sehari. Sakit sekali ketika Nayla yang ia urusi dengan kasih sayang tiba-tiba meninggalkannya.
Tapi sepertinya rasa sakit yang dideritanya, yang selama ini ia rasakan seumur hidupnya akan berakhir dengan dirinya yang mengakhiri hidup.
Tangan Moza langsung mengarahkan pisau ke nadinya. Bahkan jika kalian melihat tangan Moza saat ini, sudah tidak jelas lagi. Semua lengannya tidak ada celah sedikitpun kulitnya, semuanya tertutup darah.
Saat Moza hampir menggoreskan pisau, matanya tidak sengaja menatap tempat sampah. Di sana terdapat undangan ulang tahun Sheila yang berwarna putih. Iya, Moza sengaja membuangnya karena ia pikir ia tidak akan datang ke acara.
Pisau yang ia pegang ia letakan kembali, Moza mendekati tempat sampah dan mengambil kertas undangan itu. Ia bangkit mencoba berdiri kemudian berjalan ke arah jendela yang terbuka untuk membaca undangan ulang tahun tersebut. Ia ingin melihat kapan dan di mana tempatnya.
"Malam ini?"
Moza menatap ke luar jendela. Hari ini Sheila ulang tahun. Tapi tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di benaknya, apa mungkin Sheila juga salah paham seperti papanya? Bagaimana jika itu terjadi? Sebaiknya ia harus menjelaskan semua kepada Sheila agar gadis itu tidak salah paham dengannya. Karena pada dasarnya, Sheila juga ikut andil dalam hidup dan permasalahannya.
👑👑👑
"Males gue dateng ke acara orang kaya," ucap Alia.
"Ya udah deh, gue juga gak dateng," kata Luis.
"Nah sip, gausah ada yang dateng aja." Adnan menyarankan.
Alia mengangguk, "Oke siap, gue pulang duluan ya."
Ketiga cowok itu mengangguk kemudian melambaikan tangannya. Alia berjalan ke arah halte, dan menaiki bis. Hari ini ia naik bis karena berangkat diantar Gara dan pulangnya cowok itu tidak bisa menjemputnya. Sialan.
Saat sampai rumah, rupanya mamanya sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan yang sudah berada di sisi tubuhnya, alias berkacak pinggang. Alia pun mengikuti gaya mamanya.
"Dasar, pulang telat, gak inget nganter catering, hah?" omel mamanya.
Alia terbahak, "Hahaha, santuy dong Ma."
Alia meletakan tasnya kemudian mengambil kunci motor. Mengangkat beberapa kardus yang berisikan makanan. "Nganter ke mana nih, Ma?"
"Itu, tempat karoke yang di ujung jalan."
Alia menganggukkan kepalanya. "Oke-oke, jangan lupa uang jajannya ya!"
"Iya, tenang aja. Udah sana cepet, keburu malem."
Alia menjalankan motornya, kemudian melaju menuju tempat tujuannya. Saat sudah sampai di tempat itu, Alia mengangkat kardusnya dan masuk ke tempat itu.
"Permisi Mas, pesanan atas nama Alina," kata Alia.
"Tunggu sebentar ya, Dek."
Alia mengangguk, membaca nama yang tertera di kertas titipan mamanya tadi. "Alia, Alina, kembaran gue apa gimana, nih?"
Ia menyapu pandangan tempat itu. Banyak wanita berpakaian mini berkeliaran. Pikiran Alia mulai ngaco.
"Punten, Teh, itu mereka di sini ngapain aja ya?" tanya Alia pada pegawai tempat itu.
"Ya nyanyi," jawab pegawai itu sambil terkekeh.
"Lain itu atuh, selain nyanyi mereka ngapain lagi? Emang harus ya nyanyi pake pakaian mini?" tanya Alia lagi.
"Ya nggak juga sih, mereka juga nemenin para tamu buat minum, atau bahkan nemeninnya sampe ke tempat tidur." Alia peka terhadap ucapan pegawai itupun membelakkan matanya.
"Banyak lonte juga ya di tempat ini," bisiknya, namun rupanya masih terdengar oleh sang pegawai.
"Banyak lah Dek, ini kan tempat karoke, banyak perjaka atau pengusaha yang kalo misalkan lagi setres dateng ke sini buat seneng-seneng sambil minum, atau bahkan kelabasan sampe ke kasur."
"Saya kira cuma di club aja ya para lonte berkeliaran," kata Alia.
Pegawai itu tertawa. "Kasar banget manggilnya lonte."
"Lah kan emang iya!"
"Makanan atas nama Alina." Sebuah kalimat tiba-tiba terdengar membuat kedua orang di sana tiba-tiba menoleh.
Alia membeku, ia diam sekaligus terkejut menatap seseorang yang datang menghampirinya.
"Ayo neng, antar makanannya ke atas!" ucap wanita bernama Alina itu.
"Moza?" sapa Alia.
Wanita di hadapan Alia mengernyitkan dahinya. "Neng, ayo antar makanannya."
Seketika Alia mengerjapkan matanya, ia langsung mengambil kardus tadi. "Maaf Teh."
"Saya terlihat semuda itu, ya?"
"Lah? Emang iya kan?" kata Alia.
"Saya sudah berusia 38 tahun loh," ucapnya.
Anjir seumuran Bunda Disa.
"Mm... muka Tante mirip temen saya soalnya. Dikira tuh kakak temen saya," ucap Alia.
Alina membuka pintu, kemudian aroma alkohol langsung menyengat indera penciumannya. "Siapa temen kamu? Moza? Dia itu anak saya."
Bruk!
Kardus yang dibawa Alia mendadak jatuh. Demi apa, ia bertemu dengan ibu dari Moza, seseorang yang Darren cari-cari selama ini, akhirnya dipertemukan.
"Eh, kardusnya itu!"
Alia menatap ke bawah, dan segera mengambil kardusnya. Kemudian berjalan mengikuti Alina kembali.
"Tante serius ibunya Moza?" tanya Alia.
"Ya serius, masa saya bohong." Alina berjalan ke sebuah ruangan tertutup, sedangkan Alia mengikuti langkah wanita itu.
"Tante di sini ngapain?"
Alina membuka pintu ruangan itu. Dan yang pertama Alia rasakan adalah, hawa panas yang membuat bulu kuduknya berdiri. Mata gadis itu menatap sekeliling, melihat banyak sekali wanita yang sedang melayani tamunya.
Padahal masih sore tapi udah rame–batin Alia.
"Astaghfirullah banyak lonte," gumamnya.
Kakinya mendadak gemetar, berjalan melewati para laki-laki hidung belang yang sedang asik bersama pasangan mereka.
Ini serius, nyokapnya Moza kerja di sini? Sejak kapan?–batinnya.
"Sini, Neng, taro aja di sini," ucap Alina sambil menunjuk sebuah meja.
Alia meletakan kardus berisi makanan itu kemudian menatap Alina yang sedang berbicara dengan petugas bar di hadapannya.
Serius ini nyokapnya Moza? Demi apa kerjaannya begini?
"Udah, letakan aja di situ, ayo saya antar kamu keluar," kata wanita itu.
Alia mengangguk saja, kemudian berjalan meninggalkan ruangan itu. Alina mengantarnya sampai ke pintu keluar ruangan saja.
"Ini uangnya, terimakasih ya!"
Alia mengangguk. "Ah iya, sama-sama."
Wanita itu hendak memasuki ruangan itu lagi namun Alia tiba-tiba saja mencekal lengannya.
"Eh, sebentar Tante," tahan Alia.
Alina membalikkan tubuhnya menatap Alia lagi. "Kenapa?"
Aduh, Alia tidak enak jika ingin bertanya sedang apa wanita itu di sini. Tapi, Alia juga penasaran.
"Tante di sini ngapain?"
Alina menatap Alia. Wanita itu merasa jika Alia sejak tadi bertanya dengan pertanyaan itu.
"Saya kerja di sini."
Alia terdiam ketika wanita di hadapannya mulai berbicara.
"Kamu tadi lihat kan di dalam? Ya saya salah satu pekerja di sana," ucapnya. "Menghibur."
Alia menelan ludahnya. Ibu dari Moza adalah seorang wanita penghibur? Kenapa bisa?
"Kenapa? Moza gak pernah cerita ya sama teman-temannya?"
Bola mata Alia melebar. Yakali bilang ke temen-temennya ibu dia itu kerjanya jadi wanita penghibur, yang ada mampus kena bully di sekolah.
Alia menggeleng cepat, dia tersenyum kemudian membungkukkan tubuhnya lagi. "Ya udah ya Tante, saya pamit pulang."
Wanita itu mengangguk kemudian Alia pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, Alia masih terkejut dengan apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar tadi. Sungguh tidak ada celah sedikitpun perbedaan antara wanita tadi dan Moza, mereka berdua sangatlah mirip. Bahkan, tubuh mereka ini bisa dianggap sama. Hanya saja, tubuh Moza lebih kurus dan tidak berisi, berbeda dengan wanita tadi. Untuk tinggi badan, Alia yakin, tinggi mereka sama.
Tapi tunggu sebentar.
Alia menepikan motornya, ia berhenti. Otaknya berpikir keras, sepertinya Alia tahu kenapa Moza suka melukai dirinya sendiri.
Iya, Moza terlalu mirip dengan ibunya, dan Moza tidak mau terlihat seperti itu.
Bersambung...
Asique dua part. Biar klean seneng, biar klean ngajak temen buat mampir ke ni lapak, anjay wkwk
Semoga puasa kalian lancar ya, maafin ya kalo aku ada salah, kalo kalian gak mau maafin nanti aku minta maaf lagi pas lebaran hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro