Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44. Patah

Jangan lupa vote sama komennya ya, komen perbaris, semakin cepet aku update bagian berikutnya. Fighting ❤️

Bagian Empat puluh empat.

Terkadang yang setia pun akan kalah dengan yang selalu ada.

-The Cold Princess-

"Permisi, ada Moza gak?" tanya Alia ketika sudah sampai di depan kelas IPA 2.

Salah satu siswa kelas itu menjawab pertanyaan Alia. "Kayaknya di perpustakaan Al, soalnya baru aja dia keluar."

"Makasih, ya," ucap Alia kemudian berjalan kembali menuju perpustakaan.

Alia kesal dengan Darren yang memutuskan hubungan dengan Moza, sedangkan gadis itu sedang diincar oleh seniornya. Saat berlari menuju perpustakaan, rupanya Moza sedang berjalan ke arahnya.

"MOZA!" panggilnya.

Moza menatap Alia yang berlari mendekatinya. Gadis itu seperti menatap Alia sama halnya seperti ia menatap orang lain, datar dan tajam, tidak seperti biasanya.

Saat Alia hampir sampai di hadapan Moza, gadis itu malah berbalik dan pergi meninggalkan Alia yang masih berlari mendekatinya. Entahlah, pikiran Moza benar-benar kacau saat ini.

Darren mau putus karena dia lebih suka sama Alia.

Satu kalimat itu menjadi alasan kenapa Moza enggan bertemu Alia. Ia merasa seperti kesal dengan gadis itu. Alia sudah memiliki banyak teman, sifat yang sangat mudah bergaul dengan banyak orang, salah satu siswa populer seantero sekolah, cantik, dan juga memiliki kekasih sesempurna Sagara. Tapi, kenapa Alia masih menginginkan Darren?

Apa ini yang disebut, Yang setia akan kalah dengan yang selalu ada?

Moza benar-benar membenci situasi ini.

Ia kembali berjalan menuju ruangan pojok di perpustakaan. Tempat istirahatnya setiap hari, tempat yang benar-benar tidak terlihat karena tertutup oleh rak-rak buku.

Ia mengintip dari cela buku di rak, ia melihat Alia yang terlihat kebingungan kemudian gadis itu pergi. Moza menghela napasnya, akhirnya ia terhindar dari Alia.

Moza menyenderkan punggungnya ke rak buku. Bohong, jika saat ini Moza baik-baik saja. Kemarin Darren mengakhiri hubungannya, menambah luka, menambah sakit yang ia tahan selama satu bulan itu. Moza ingin marah kepada semuanya, kepada Darren, kepada Alia, kepada papanya, ataupun kepada setiap orang di sekelilingnya.

Ia rasa, di mana hari di hidupnya semakin bertambah, semakin pula terasa tidak ada jalan keluar untuk menyelesaikan semua masalah. Yang Moza inginkan hanya mengakhiri hidupnya saja.

Satu bulan yang lalu, pikiran tentang itu benar-benar tidak ada. Satu bulan yang lalu, di pikirannya hanya ada, bagaimana dengan hari esok? Ayo cepat berganti hari, besok akan menggunakan aksesoris yang mana? Ayo cepat samakan dengan benda yang lain.

Dan sekarang pikiran itu lenyap begitu saja.

Moza menatap kedua lengannya, menatap semua bekas luka yang sekarang semakin sering ia buat. Semua orang tidak pernah menyadari semua bekas luka itu karena Moza pintar membuat lukanya, Moza akan membuat luka di mana luka itu berada di bagian tubuhnya yang akan tertutup sesuatu.

Pergelangan tangan yang tertutup oleh jam tangan, leher yang akan tertutup oleh rambutnya, telapak tangan yang jarang orang perhatikan kegunaannya, juga di bagian keningnya yang tertutup oleh poninya.

Moza memang pintar menyembunyikan rasa sakitnya.

👑👑👑

Sudah hampir dua jam Moza terlelap di tempatnya. Gadis itu terbangun karena ponsel yang berada di atas meja sedari tadi bergetar.

Darren: misscalled (3)
Darren: Pulang sekolah gue tunggu di parkiran

Moza mengernyitkan dahinya, ada apa Darren kembali menghubunginya?

Ia melihat jam yang berada di pergelangan tangannya, pukul 16.30. Sepuluh menit lagi kelas akan dibubarkan dan Moza sudah membolos selama dua jam pelajaran.

Moza membereskan beberapa buku kemudian meletakkannya kembali di rak. Ia berjalan keluar menuju parkiran. Lebih baik ia tidak kembali ke kelas karena akan sia-sia, paling-paling hanya ditanya dari mana? Atau, kenapa baru masuk?

Sebenarnya, antara sedih dan senang ketika Darren menghubunginya lagi. Tapi, Moza tahu Darren yang sekarang tidak akan memberinya kehangatan lagi, melainkan memberinya sebuah goresan luka di hatinya lagi. Moza lelah dengan itu.

Saat ia berjalan keluar, rupanya kelas sudah dibubarkan, parkiran tiba-tiba ramai. Moza mencari keberadaan Darren di area parkiran itu, namun nihil cowok itu tidak ada di sana.

Nah, kan. Belum saja sepuluh menit, Darren sudah memberinya luka lagi.

Matanya tiba-tiba memanas begitu saja. Sebenarnya, saat ini Moza sedang mengalami patah hati layaknya remaja lain ketika berakhir hubungan dengan kekasih. Semalam saja Moza masih belum menerima kenyataan jika Darren menyuruhnya menjauh dari kehidupan cowok itu. Rasanya sakit, Moza merasakan bagaimana sakitnya. Benar-benar seperti terhantam kenyataan yang sangat pahit.

Ia benci dengan perasaannya. Kenapa ia harus mencintai Darren jika berujung begini? Kenapa ia bodoh sekali?

Moza menetralkan napasnya agar air matanya tidak turun. Saat melihat parkiran kembali, tempat itu sudah sepi, hanya tersisa beberapa motor saja. Ia menatap pergelangan tangannya, dan waktu sudah menunjukkan pukul 17.03.

Dua, Moza merasa dirinya tersakiti lagi.

Ting!

Reza: Za, tolong gue.
Reza: Ke rumah sakit, cepet!

Moza mengernyitkan dahinya, ada apa Reza mengiriminya pesan itu? Ia berbalik menuju kelasnya untuk mengambil tas. Di dalam kelas sudah sepi hanya tersisa tas miliknya saja. Namun saat Moza berbalik hendak pergi meninggalkan kelas,

"Gue cariin di parkiran, eh di kelas."

Moza berbalik, menatap Darren yang sudah berdiri di ambang pintu kelas. Cowok itu berjalan mendekat, Moza terdiam, Darren sangat berbeda sekali.

Darren benar-benar datang dengan senyuman? Moza sedang bermimpi? Atau ini hanya imajinasinya saja?

"Pulang bareng gue, yuk!"

Lagi, Moza semakin bingung. "Ada apa?" tanyanya memberanikan diri.

Darren tersenyum. Ah, akhirnya Moza dapat melihat senyum itu lagi.

"Anu, gue mau minta maaf," ucapnya.

Moza mengernyitkan dahinya. "Hah?"

Ting!
Reza: Za, cepet Reva kritis.

Ponselnya berbunyi lagi, Moza membaca pesan itu, dirinya semakin terhimpit oleh keadaan.

"Gue minta maaf karena udah jauhin lo, soalnya-"

"To the point aja!" kesal Moza. Pikirannya langsung panik ketika membaca pesan dari Reza, ia benar-benar khawatir dengan Reva.

Darren terdiam kemudian memulai bicara kembali, "Soal-"

Ting!
Reza: Za, Reva udah ga ada.

Badan Moza langsung melemas ketika membaca pesan itu. Gadis itu menatap Darren di hadapannya.

"Gue ada urusan, besok aja ya," ucap Moza kemudian pergi meninggalkan Darren di dalam kelasnya.

Darren menatap punggung Moza yang menghilang dari pandangannya. Hatinya merasa teriris ketika melihat sebuah nama di ponsel Moza. Darren tahu, sedari tadi Reza menspam Moza.

Darren tahu itu.

Drrtt...

Darren merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya. Ia melihat nama yang tertera di layar.

Bunda ❤️

"Halo, Bun. Ada apa?"

"Antar Bunda check ke rumah sakit ya, Ayah pulang malem hari ini."

Darren menghela napasnya. "Iya Bun, sekarang Darren pulang."

👑👑👑

Moza berlari di koridor rumah sakit. Dari kejauhan, Moza dapat melihat Reza yang sedang terduduk di lantai depan pintu ruang kamar Reva. Ia mendekat dan menyentuh bahu cowok itu.

Reza mendongak. Yang Moza lihat, wajah Reza benar-benar seperti seseorang yang sudah putus asa dengan hidupnya.

"Za, Reva..." lirihnya.

Moza berjongkok, ia melihat Reza tidak menangis. Namun saat Moza menggeleng, cowok itu tidak bisa menahan emosinya lagi, ia menangis.

Moza memeluk tubuh cowok itu, Moza benar-benar seperti merasakan apa yang dirasakan oleh Reza kali ini.

"Reva, sekarang Kakak harus sama siapa?" Reza terus mengoceh.

"Jangan susul Mama sama Papa sekarang Reva, Kakak belum siap."

Lama kelamaan, Moza ikut menangis. Semua ucapan Reza benar-benar kalimat yang benar-benar menyayat hatinya, kali ini Moza merasakannya. Ia semakin erat memeluk tubuh cowok itu.

"Sekarang, ada gue Reza..."

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro