42. Permintaan ketiga
Bagian Empat puluh dua.
Yang aku inginkan bukan perpisahan.
-The Cold Princess-
Selasa, 25 November. Pelaksanaan porak hari ke dua di SMA Merah Putih berjalan lancar. Alia mengarahkan teman-temannya untuk mengambil posisi di lapangan, karena tim kelasnya akan bertanding voli.
"Alia!" panggil seseorang yang membuat sang pemilik nama menoleh.
Alia melihat Adit, alias Aditama Darren Wikramawardhana putra dari pemilik sekolah. "Eh, Adit, ada apa?"
Adit menyerahkan ponselnya kepada Alia. "Aa telpon, katanya mau ngomong sama lo."
"Aa? Kenapa gak telpon di hp gue aja?" tanya Alia.
"Emang lo bawa hp?"
Alia langsung merogoh kantongnya mencari ponsel miliknya. Namun saat sibuk mencari, Adit mengangkat ponsel Alia di depan wajah gadis itu. "Lo taruh ni hp di kelas. Masih tanya kenapa Aa telponnya ke gue?"
Alia menyengir lebar. "Oh iya, gue lupa!" Gadis itu mengambil ponsel miliknya dari Adit.
"Bilang ke A Gara, gue yang telpon dia," ucap Alia kemudian gadis itu meninggalkan Adit.
Alia berjalan ke tempat yang lumayan sepi. Saat panggilannya tak kunjung diangkat, Alia menatap sekitar area parkir yang berada di hadapannya. Matanya tiba-tiba menyipit ketika melihat sesuatu yang aneh.
Gadis itu berjalan mendekatinya secara perlahan.
"Moza kan berangkat terus ke sekolah, kenapa kamu bilangnya gak lihat Moza? Kamu gak mau nurut perintah Mama?"
Alia menahan napasnya untuk mendengar lebih jelas lagi percakapan itu.
"Maaf, Ma..."
"Kamu tau–"
"Halo sayang?"
Alia menatap ponselnya, panggilannya sudah terhubung dengan Gara. Ia langsung memutuskan panggilan kemudian memasang telinga kembali untuk mendengar percakapan yang sempat terpotong.
Ia merasa jika tidak ada suara sama sekali, Alia memberanikan diri untuk mengintip pada salah satu celah motor di depannya.
"Aih, tadi ke mana?" Alia kembali menatap ponselnya. "Ini gara-gara Aa!"
Gadis itu masih terdiam, dan berjongkok di cela antara ke dua motor. Barusan saja, ia melihat Sheila yang dimarahi oleh ibunya, mungkin? Alia tidak tahu siapa wanita yang memarahi Sheila tadi. Tapi, dengan jelas Alia mendengar bahwa wanita yang bersama Sheila tadi menyebut nama Moza.
Ada apa?
Drt...
Alia menatap ponselnya lagi, panggilan itu dari kekasihnya, Sagara.
"Halo? Kenapa A?"
"Halo sayang? Tadi kenapa sambungnya dimatiin?"
"Ini gara-gara Aa, kalo aja tadi aku gak telpon Aa, mungkin aku udah tau informasi!" kesal Alia.
"Informasi apa? Kamu ikut olimpiade ekonomi lagi?"
"Bukan, aku tadi lagi dengerin omongannya Kak Sss—" Ucapan Alia terputus. "Aa telpon ada apa?"
"Ssss siapa? Kamu dengerin omongannya ular? Kamu lagi coba jadi penerjemah bahasa hewan?"
"Ih, apasi? Serius!"
"Hahaha gitu doang ngambek. Aa cuma mau bilang besok Aa pulang."
"Dih, pulang? Emang di Aussie udah ujian?"
"Udah dong. Oh iya, Papa bilang hari ini di sekolah bakal ada pengumuman hasil nilai UAS kamu kemarin. Liat ya di Mading, liat nilai ekonomi kamu, jangan sampe turun."
"Tenang aja A, Alia kan pint—"
"Ngapain lo di sini?"
Alia mendongak, ia melihat Sheila yang berdiri di hadapannya.
Anjir, ketauan gue!—gumamnya.
Alia bangkit berdiri, wajahnya menatap Sheila yang terlihat curiga padanya. "Gue abis ambil duit gue, ini jatoh di bawah mesin." Untungnya, saat itu Alia sedang memegang uang yang ingin ia belikan air minum untuk teman sekelasnya setelah berbicara dengan Sagara.
Sheila mengernyitkan dahinya, terlihat sekali dari wajahnya Sheila sangat tidak percaya dengan ucapan Alia.
"Motor lo yang itu, kan?" tanya Sheila dengan menunjuk salah satu motor yang terparkir di sebelah jalan keluar.
"Iya, kenapa emang?" jawab Alia.
"Terus ngapain lo lewat sini? Itu jalan lebar kenapa harus lewat yang sempit-sempit begini?" tanya Sheila memojokkan Alia.
"Kalo ada yang sulit, kenapa harus yang mudah?" Alia menutup sambungan teleponnya dengan Gara. "Udah ah, punten ya Kak gue mau balik ke kelas."
Alia kemudian berjalan meninggalkan Sheila. Ia berlari kemudian berhenti, ia menghela napasnya dan mengusap dadanya. "Untung aja kagak ketauan."
👑👑👑
Moza hendak membuka bukunya namun tertahan ketika pop up di ponselnya berbunyi. Ia terkejut ketika melihat nama yang tertera di pop up ponselnya.
Darren A.
Gadis itu langsung membuka ponselnya dan membaca pesan yang baru saja ia terima.
Darren A. : Gue ada perlu, ke warungnya Mang Agus, cepet.
Sontak saja membuat Moza langsung kembali menumpuk bukunya dan cepat keluar perpustakaan menuju warung Mang Agus.
Namun saat ia sudah sampai di tempat itu, tidak ada Darren. Tapi, tempat itu sepi. Mungkin karena perlombaan di lapangan baru saja dimulai.
Moza akhirnya duduk di salah satu tempat sambil menunggu Darren, ia sesekali bermain ponsel untuk mencoba menghilangkan rasa bosannya. Namun tiba-tiba,
Bruk!
Moza menatap selembar kertas di atas mejanya. Gadis itu mendongak menatap cowok yang sudah ia rindukan hampir satu bulan itu.
"Ada apa?" tanya Moza dengan suara halusnya.
Darren menunjuk selembar kertasnya dengan dagu miliknya, membuat Moza langsung melihat selembar kertas itu.
Nama : Darren Adinata
Kelas : XI IPS 3
Mapel : Matematika (wajib)
Nilai : 98
Moza tersenyum tipis melihat selembar kertas itu lalu mendongak kembali menatap Darren.
"Lo berhasil," ucapnya.
Darren mengangguk. "Emang, nilai gue udah bagus." Tidak ada senyuman jail di bibir cowok itu, namun Moza masih tetap memberikan senyum tipisnya juga tatapan merindukan miliknya.
"Karena itu gue mau berhenti bimbel sama lo."
Kalimat itu memudarkan senyum tipis Moza. "Kenapa?"
Darren memutar bola matanya malas. "Nilai gue udah bagus, gue udah berhasil, udah gak butuh lo lagi."
"Tapi nilai bahasa Inggris lo belum keluar," ucap Moza, mengelak semua pernyataan yang diucapkan Darren.
Cowok itu tiba-tiba memberikan ponselnya ke arah Moza, memperlihatkan sebuah hasil ujiannya dalam satu angkatan jurusan IPS. Moza semakin terkejut ketika melihat nama Darren berada di urutan nomor delapan dengan nilai 96.
Moza tertegun. Ia menarik kedua sudut bibirnya, upayanya berhasil membimbing Darren.
"Udah, kan? Gue gak perlu lo lagi sekarang."
Hati Moza tertohok, sedang berpikir kenapa dengan Darren sekarang? Apakah ia punya salah?
"Gue bakal bilang ke Bunda, kalo nilai gue berhasil naik dan gak perlu lo lagi sekarang. Kewajiban lo udah selesai, bukan?" ucapnya.
Moza menatap Darren, ia sungguh tidak percaya dengan ucapan cowok di hadapannya. Ia mengaku sudah nyaman dengan cowok itu, bahkan ia juga sudah mencintainya. Moza juga percaya jika Darren membalas cintanya, ia yakin Darren juga mencintainya.
"Tapi, hubungan kita?"
Darren tersenyum kemudian terkekeh, seperti tawa menyepelekan. "Lo kan gak pernah anggap gue sebagai pacar lo. Apa perlu gue ingetin lagi waktu lo menolak gue, pas gue ajak pacaran?"
Moza membisu, ia bingung ingin berbicara apalagi.
"Oh iya, lo masih inget tentang tiga permintaan itu, kan?" tanya Darren sambil menatap mata nanar Moza.
"Permintaan ketiga, mulai hari ini, besok, dan seterusnya, jangan pernah lo deketin gue lagi."
Bersambung...
Maaf telat lagi😭 pas hari Minggu aku ulangan, work nya jadi ga sempet dilanjutin, belum lagi aku sekarang gampang banget capek. Doain aja ya aku selalu ada niat buat lanjutin work ini.
Luv u ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro