Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

41. Hampa

Bagian empat puluh satu.

Mereka semua hanya merasa kasihan, tidak dengan kasih sayang.

-The Cold Princess-

Sheila menenteng tasnya, ia berjalan cepat menuruni tangga. Ia melihat jam di pergelangan tangannya, lima belas menit lagi gerbang sekolah akan di tutup sedangkan ia masih berada di rumah.

"Mama, anterin Shei sekolah ya!" teriakkan Sheila menggema rumahnya.

Sheila menoleh ketika mendengar suara derap langkah dari belakang tubuhnya. Ia melihat mamanya yang terlihat sangat buru-buru.

"Ma, ayo cepetan!" seru Sheila.

Marina menatap putrinya. "Mama gak bisa anterin kamu, Moza kabur dari rumah dan Mama harus bantu Om Jordi."

Sheila mengernyitkan dahinya. "Loh, kabur? Kenapa?"

Marina mengendikkan bahunya. "Mama juga gak tahu, kamu berangkat sekolah sendiri aja, ya," ucapnya, "Oh iya, kamu juga harus cari Moza di sekolah." Kemudian wanita paruh baya itu berjalan keluar rumah.

Sheila menatap mamanya yang mulai hilang dari pandangannya, tangannya tiba-tiba mengepal kuat.

"Nyusahin aja!"

👑👑👑

"Pulang bareng, kan?" tanya Alia kepada Moza yang baru saja turun dari motornya.

"Liat nanti."

Alia menganggukkan kepalanya, gadis itu melepas helmnya dan turun dari motor. Moza berjalan mendahului Alia yang masih bercermin pada spionnya sebelum memasuki area sekolah.

Ketika Alia menatap punggung Moza yang sudah menghilang dari pandangannya, ia langsung mengambil ponselnya. Alia sadar jika pesan Darren sudah terbuka padahal pesannya baru saja lima menit yang lalu, ia pun yakin kalau Moza lah yang membukanya.

Ia turun dari motor kemudian berjalan menuju ruangan ujiannya. Tangannya mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang. Dan saat panggilan itu tersambung dan diterima, Alia langsung mempercepat langkahnya.

"Ren, gue mau ngomong sama lo."

"Ngomong apaan? Gue lagi sikat gigi."

"Lo belum nyampe sekolah? Gue kira udah, anjir."

"Ya udah sekarang aja ngomongnya kalo emang penting banget."

Alia terdiam, ia harus bicara dengan Darren soal Moza yang menginap di rumahnya, dan kemungkinan Moza yang sudah tau nomor ponsel milik Darren.

"Al? Mau ngomong kaga?"

"Iya..."

"Bentar gue kumur dulu." Kemudian suara berkumur terdengar jelas di telinga Alia. "Nah, sok mau ngomong apa?"

"Anu Ren, ini tentang Moza," bisik Alia.

"Moza? Moza kenapa?"

"Keknya, dia udah tau deh nomor lo yang sekarang."

"Kok bisa?"

Alia terdiam, ia ingin mengatakan semuanya hanya saja ia ragu untuk mengungkapkannya.

"Al?"

"Cepat dateng deh, ga enak ngobrol di telpon gini!"

Tut.

Pukul 10.15 am

Moza berlari menuju toilet. Biasa, ia menutup kloset kemudian duduk di atasnya. Ia membuka ponselnya dan menatap foto yang ia ambil dari ponsel Alia.

Moza membacanya berulang kemudian menghapalkannya, ketika sudah hapal ia mengetikkan nomor itu dan menekan panggilan.

Tut...

Tersambung!

Moza mengangkat sedikit kedua sudut bibirnya. Pasti panggilannya akan terjawab.

"Halo?"

Ah, demi apapun, ia akhirnya mendengar suara itu lagi. Suatu kebahagiaan besar yang ia nanti hampir selama sebulan ini. Ia merindukan suara cowok itu.

"Hallo, siapa?"

Moza mulai membuka suara, "Ha-lo?"

"Ini siapa?"

Moza terdiam, apa ia terlalu gugup sehingga Darren tidak mengenali suaranya?

"Gue Moza."

Moza terdiam menunggu jawaban, ia merasa bahwa Darren tidak menjawabnya sama sekali. Ia menatap ponselnya, tanda jika telfonnya masih terhubung dengan Darren, namun tidak ada suara sama sekali.

"Oh, Moza."

Gadis itu menghela napasnya mendengar suara Darren kembali, namun seperti terasa sedikit nyeri di hatinya ketika mendengar nada suara yang berubah.

"Ada apa?"

Moza tersenyum kecut mendengar nada bicara dari Darren.

"Simpan nomor gue, ya."

"Hm... Ada lagi? Gue harus belajar sekarang."

"O-oke, selamat belajar," ucap Moza kemudian panggilan itu terputus.

Moza menatap ponselnya yang memperlihatkan menu. Rasanya ia seperti menyesal telah menghubungi cowok itu, luka yang ia terima tidak terobati, dan juga tidak ditangani.

Gadis itu bangkit kemudian pergi meninggalkan toilet. Ia harus belajar kembali karena jam ujian akan berbunyi sepuluh menit lagi.

Saat memasuki ruangan ujiannya, Moza dapat melihat teman-temannya atau kakak kelasnya menatap dirinya. Sejak kejadian perban tangan itu, semua siswa di ruangan ujiannya selalu perhatian padanya, selalu menanyakan kabarnya, dan juga menatapnya dengan tatapan kasihan.

Ingat satu hal, sesuatu yang paling mengerikan adalah ketika semua orang menyayangimu atas dasar kasihan.

👑👑👑

Sheila keluar dari kantin saat teman-temannya mengajaknya untuk ke ruangan ujian kembali. Gadis itu berjalan di koridor sambil membawa beberapa camilan yang sempat ia beli. Ketika melewati ruangan ujian siswa IPA 2 kelas 11, Sheila dapat melihat Moza yang sedang sibuk membaca buku.

Drt...

Sheila merogoh saku roknya dan mengambil ponsel miliknya.

Mama

Nama yang tertera di layar ponselnya. Sheila menggeser ikon dan menempelkannya pada telinga.

"Gimana, Shei? Moza berangkat sekolah gak? Kamu udah kunjungi ruangannya, kan?"

Sheila mengepalkan tangannya, ia jadi teringat ucapan mamanya pagi tadi. Ia disuruh untuk mencari Moza yang kabur dari rumah dan membuatnya harus berangkat terlambat.

"Iya, Ma." Sheila menatap Moza dari jendela luar.

"Kamu liat dia?"

Sheila tersenyum kecut mendengarnya.

"Nggak, Ma. Sheila gak liat Moza di sekolah."

Bersambung...

Halo guys, jumpa lagi, maapkeun telat ya. Harusnya kemaren, cuma karena ketiduran yauda sekarang yang penting update ya hehe.

Love u all ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro