Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Second Problem

Bagian Empat.

Lebih baik aku tidak mengenal seluruh manusia yang berada di dunia ini ketimbang harus mengenal satu orang seperti dirimu.

-The Cold Princess-

Setelah kejadian hujan beberapa hari lalu,Moza masih terpikirkan tentang lelaki yang meneriakinya saat di hadapan rumah kosong itu, dia adalah sosok masa lalunya yang membuatnya menjadi seperti sekarang, menjadi datar dan enggan mempercayai orang-orang.

Kini, ia tengah menyuapi Nayla adiknya, yang tengah makan. "Coba aaaa lagi?" Moza menyedokan bubur bayi itu lalu menyuapi Nayla yang sepertinya enggan membuka mulut.

Moza menghela napasnya, ia tahu mungkin Nayla sudah merasa kenyang. Ia meletakan mangkuk itu lalu mengangkat tubuh Nayla, ia keluar dari rumah menuju taman komplek.

Di sana banyak anak-anak seusia Nayla yang tengah bermain, oleh karena itu Moza selalu membawa Nayla ke taman agar bisa berinteraksi dengan anak-anak seusianya.

Saat berada di taman, banyak orang tua yang mengawasi anak mereka. Moza menurunkan Nayla dari gendongannya, secepat kilat Nayla berlari menuju para teman-temannya.

Moza memperhatikan Nayla dari jauh, ia enggan mendekati, ia beralih pada bangku taman lalu duduk di sana.

Dulu, saat Moza membawa Nayla ke taman dan ikut menemani Nayla kesana-kemari. Tanpa sengaja ada orang yang bertanya kepadanya mengenai ibunya, menanyakan bahwa Nayla ini sebenarnya anak papahnya atau hasil hubungan gelap ibunya.

Moza menghela napasnya. Ingatan yang sungguh buruk sekali, untungnya saja sekarang Nayla sudah bisa berjalan dan mulai bisa berlari-lari kecil. Sehingga, ia tidak terlalu harus berada di samping Nayla.

"Moza ya?" Sontak, Moza menoleh. Ia melihat wanita setengah baya yang masih kelihatan jelas kecantikannya itu menepuk bahunya.

"Kamu Moza kan? Anaknya Alina?" tanya wanita itu.

Wajah Moza langsung pucat. Ia takut jika ada yang menanyakan soal mamanya lagi.

"Saya Disa, temen Mama kamu." Wanita itu mengulurkan tangannya.

Moza menyambut uluran tangan itu. "Saya Moza, Tante."

Disa segera duduk di samping Moza. "Gimana kabar Mama kamu?"

Moza menoleh, ia tersenyum tipis lalu mengendikkan bahunya tanpa ada niatan menjawab.

Pandangan Moza beralih pada Nayla yang sedang berebut mainan dengan salah satu anak. Segera, Moza bangkit dari duduknya lalu menghampiri Nayla. Ia mengangkat tubuh Nayla agar bisa ia gendong lalu menjauh dari anak itu.

Moza tidak kembali ke bangku tadi, namun Moza beralih untuk pulang. Kebetulan adiknya sudah menangis keras, ia harus menidurkan adiknya atau tangisnya akan semakin kencang.

"Moza? Moza?" panggil seseorang yang membuat Moza menghentikan langkahnya dan menoleh.

Ia melihat Disa yang tengah berjalan mendekatinya. "Kamu mau kemana?"

Tanpa ekspresi, Moza menjawab.
"Pulang."

Mata Disa beralih pada Nayla yang sedang menangis kencang. "Ini adik kamu?"

Moza mengangguk. "Saya buru-buru Tante." Lalu Moza pergi meninggalkan Disa yang masih diam.

Wajahnya terlalu datar serta nada bicaranya yang amat ringan. Disa menatap punggung Moza yang menjauh, ia tersenyum lalu berbalik menuju taman kembali.

👑👑👑

Moza turun dari kamarnya. Perutnya terasa lapar selepas menidurkan Nayla.

"Papa pulang!" Suara teriakan itu membuat Moza langsung beralih pada Jordi yang berdiri di ambang pintu.

"Papa?" Moza mendekat, mengambil punggung tangan Jordi lalu menciumnya.

"Nayla sudah tidur?" tanya Jordi.

Moza mengangguk. "Papa lapar?" tanya Moza sambil mengambil tas kerja papa-nya.

Jordi mengangguk. "Mau makan di luar?" tawarnya

Moza tersenyum. "Boleh, tapi nanti Nayla gimana?"

"Kita ajak lah!"

"Kita bangunin gitu?"

Jordi terkekeh. "Ya nggak lah, nanti kita bawa kereta bayinya."

"Yaudah, Moza siap-siap dulu ya Pa."

Jordi mengangguk.

Dengan gerakan cepat Moza beranjak pergi menuju kamar mempersiapkan diri.

Dua puluh menit, Moza telah siap beserta Nayla yang sedang tidur berada di gendongannya. "Ayo Pa!" ucap Moza melihat Papanya yang sedang duduk di sofa sambil membaca tabnya.

"Oh sudah? Oke." Jordi bangkit dari duduknya lalu berjalan keluar menuju garasi mobil.

Moza membuka pintu mobil penumpang lalu masuk. Ia membiarkan Nayla yang tertidur di pangkuannya.

Mobil melaju, membelah kota Bandung yang tidak terlalu banyak kendaraan. Moza diam, ia enggan berbicara serta Jordi yang tidak suka keramaian membuat suasana di dalam mobil benar-benar sunyi.

"Pa?" Panggil Moza memecah keheningan.

"Iya?"

"Papa bener mau cerai sama Mama?" tanya Moza, terselip nada yang begitu hati-hati di sana.

Jordi menoleh. "Kenapa? Itu mau kamu kan?"

Moza menghela napasnya. "Pa, kalau itu buat Papa sakit mending gak usah."

"Enggak Moza, keputusan Papa sudah bulat untuk menceraikan Mama kamu."

Moza hampir menyela, namun Jordi menghentikan mobilnya. "Kita udah sampai, nanti aja di dalam kamu tanyanya."

Moza membuka pintunya lalu beralih pada jok belakang untuk mengambil kereta bayi Nayla. Ia meletakan Nayla di sana lalu mendorong kereta bayi tersebut masuk ke dalam restoran.

Ia dan Jordi duduk pada salah satu meja di dekat kaca jendela. Kaki Moza melilit kereta bayi Nayla, sedangakan tangan dan pandangannya teralih ke depan untuk memesan makanan.

Saat pelayan itu pergi, Jordi menatapnya.

"Za, kamu malu punya Mama seperti Alina?" Entah sejak kapan Jordi berpikiran untuk menanyakan hal itu, Moza benar-benar risih dengan nama jalang itu.

"Ck! Udahlah Pa, jangan ngomongin Mama di sini," ucap Moza dengan nada kesal.

"Papa cuma mau mastiin aja Za."

"Mulai sekarang kalau bisa gak usah bawa-bawa nama Mama."

"Tap--"

"Jordi?" panggilan itu membuat keduanya menoleh.

"Wah! Dalvin!" Jordi berdiri lalu bersalaman dengan lelaki itu.

Jordi mempersilahkan pria itu duduk. "Kamu sendirian Vin ke sini?" tanya Jordi.

"Sama istri, sama anak juga."

"Mereka kemana?"

"Di luar, katanya ada yang ketinggalan di mobil."

Lalu mereka berdua hanyut dalam percakapan bisnis mereka dan mengabaikan Moza disana.

Sedangkan Moza yang sedang memainkan handphone-nya sambil mengayun kereta bayi Nayla dengan kakinya, tiba-tiba terdengar teriakan begitu nyaring memasuki indera pendengarannya.

"Ayah! Kenapa masuk duluan sih! Kan tadi Bunda bilang tungguin! Liat tuh anak kamu, dia mau kabur!" teriak wanita yang datang tergesa-gesa dari arah pintu masuk membuat seluruh pengunjung menoleh, serta teriakan tangisan Nayla yang terkejut.

"Ih! Bunda, anaknya Jordi lagi tidur. Jangan teriak-teriak," ucap Dalvin kepada istrinya.

Wanita itu menoleh ke arah Moza yang hendak mengangkat Nayla dari kereta bayi. "Eh ketemu Moza lagi!"

Moza hanya menoleh lalu mulai mengangkat Nayla dan mengembannya agar tangis Nayla tenang. "Maafin tante ya Za," ucap wanita di depannya.

Moza hanya diam, ia terus menimang-nimang Nayla agar tenang. Wanita itu duduk di samping Moza.

"Mana anak kita?" Tanya Dalvin ke arah istrinya.

"Itu," wanita itu, Disa. Menunjuk seorang lelaki yang sedang berjalan ke arah meja dengan dagunya.

Moza masih menunduk, ia enggan mendongak untuk melihat siapa yang datang dan siapa anak dari tante di sebelahnya ini.

Lelaki itu duduk di hadapan Moza. "Ayah! Masa hp aku juga diambil, kemarin kan udah motor, masa iya hp juga!" adu lelaki itu pada Dalvin.

Dalvin menoleh ke arah istrinya. "Bun, kasiin."

Disa menggeleng kuat. "Nggak Yah! Masa ngerokok hukumannya cuma sita motor doang? Seharusnya ya, hp kamu, uang jajan kamu juga. Karena Bunda baik, Bunda ambil motor sama hp kamu aja."

Lelaki itu menghela napasnya. Jordi menatap lelaki remaja di sebelahnya lalu menoleh ke arah Dalvin.

"Dia anakmu Vin?" Tanya Jordi.

Dalvin mengangguk. "Iya, dia Darren, anak saya."

Moza merasa kenal dengan nama itu, ia mendongakkan kepalanya. Tatapannya bertemu dengan lelaki di hadapannya.

"Yah, tiap hari liat dia mulu. Bosen," ucap Darren sambil menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi.

Jordi menoleh. "Kenapa Ren?"

Darren menegakan tubuhnya lagi. "Dia anak om?" tanya Darren sambil menunjuk Moza.

"Iya, dia anak Om."

"Bilangin ke anak Om, punya wajah tambahin ekspresinya jangan datar doang kayak papan triplek," ucap Darren yang membuat Disa refleks memukul anaknya.

"Aw! Sakit Bun!" ringis Darren.

"Bunda potong uang jajan kamu ya!" ucap Disa.

"Apa hubungannya sih Bun?" tanya Darren tak terima.

"Jordi, Moza. Maafin ucapan Darren barusan ya?"

Jordi mengangguk sambil mengulas senyum. Berbeda dengan Moza yang masih saja datar dengan ekspresi wajahnya.

"Tuh kan Bun, mukannya gitu mulu gak ada perubahan sama sekali."

"Darren, jangan harap kamu dapet jatah makan besok!"

Moza menatap Darren datar, ia malas berdebat dengan lelaki aneh di hadapannya.

Kini, ia sudah mendapat dua masalah dari satu orang yang salah.

Pertama, dia mengenalnya.
Kedua, orangtuanya berteman dekat dengan papa-nya.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro