Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38. wound

Bagian Tiga puluh delapan.

Luka dan lara akhirnya datang menyerang secara bersama.

-The Cold Princess-

Berada dalam bus, Moza sedang menghapal rumus fisika. Sambil menghadap jendela, ia mengingat semua rumus di bukunya. Matanya tidak sengaja menatap perban tangan kirinya. Sudah dua hari, luka itu masih belum sembuh.

Moza tidak betah dengan perban itu, Moza ingin segera sembuh kemudian membuat luka baru. Dirinya memang gila, tapi hidup Moza lebih tenang dengan melakukan hal gila.

Ketika bus sudah sampai di halte dekat komplek perumahannya, ia berjalan keluar. Kembali melanjutkan perjalanan menuju rumahnya dengan jalan kaki. Komplek perumahannya sepi, karena semua yang tinggal di perumahan itu adalah orang kaya.

Moza membuka gerbang rumahnya. Ia melihat jam tangan miliknya, waktu sudah menunjukkan pukul lima petang. Ia harus segera memandikan Nayla dan memberi makan adik kesayangannya.

Kakinya berjalan memasuki pekarangan rumahnya, ia melihat mobil papanya terparkir di garasi. Tumben matahari belum terbenam tapi papanya sudah di rumah. Moza membuka pintu dan mengucapkan salam. Ia melihat rumahnya sepi, mungkin papanya berada di ruang kerja, ia lebih baik menjemput adiknya di rumah Tante Ara.

Hampir setiap hari, Nayla di titipkan di rumah Tante Ara karena Moza yang sibuk sekolah dan Jordi yang sibuk bekerja. Untungnya, Tante Ara tidak merasa terbebani ketika Moza menitipkan Nayla padanya.

Moza berjalan keluar rumah, menuju rumah Tante Ara yang berada di seberang jalan rumahnya. Ketika di depan pintu rumah itu, Moza mengetuknya. Dan tak lama, Tante Ara keluar dengan pakaian rumahan.

"Ah, Moza? Ada apa?" tanya Tante Ara.

"Jemput Nayla."

Tante Ara mengernyitkan dahinya. "Siang tadi Papa kamu udah jemput Nayla loh. Emang di rumah, Nayla nya gak ada?"

Moza mengendikkan bahunya. "Gak tau juga, ya udah, makasih ya, Tan."

Moza langsung berbalik berlari menuju rumahnya kembali. Ia membuka pintu dan melihat papanya yang sedang sibuk dengan laptopnya duduk di ruang tamu.

"Pa, Nayla mana?" tanya Moza.

Jordi melepas kacamatanya kemudian menatap putri sulungnya. "Nayla dibawa sama Mama kamu," ucap Jordi membuat Moza tersentak.

Apa Moza salah dengar?

"Tenang, cuma semalam kok, besok Nayla pulang ke sini. Mama kamu juga kirim alamat apartemennya, kalo kamu mau nyusul Nayla."

Hah?

Mata Moza membelalak, ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan papanya. "Papa gila? Kenapa sama dia?"

"Za, Alina itu ibu dari Nayla, dia berhak atas hak Nayla karena Nayla anaknya," ucap Jordi.

Moza tidak habis pikir, ada apa dengan papanya? Memberikan Nayla pada mamanya begitu saja? Apa ia tidak ingat bagaimana mamanya mencoba menggugurkan kandungannya sendiri ketika tahu bahwa dirinya hamil?

"Pa, Nayla gak mudah beradaptasi sama orang lain. Nayla pasti merasa asing sama wanita itu. Gimana kalo di sana Nayla nangis terus? Pa, Nayla adik Moza. Moza yang besarin dia sampe sebesar itu, Moza yang perhatikan dia tanpa lelah," ucap Moza.

"Alina ibu kandungnya, mereka pasti punya hubungan batin," kata Jordi.

Moza menghela napasnya. "Mana alamatnya?"

Jordi menatap putrinya lagi. "Kamu mau nyusul dia? Besok saja."

"Gak, harus sekarang!" Nada bicara Moza terdengar sangat menekan.

"Za, biarkan Mama kamu bersama anaknya sebentar," ucap Jordi.

Amarah Moza sudah berada di ubun-ubun, sebentar lagi kemarahan itu akan meledak. "ANAK DIA CUMA NAYLA? TERUS MOZA ANAK SIAPA?!"

Jordi terdiam, putri sulungnya baru saja berteriak di depan wajahnya?

"Papa biarin Nayla sama Mama karena Papa masih cinta kan sama Mama?" tanya Moza dengan nada yang menekan.

Jordi tersentak dengan ucapan putrinya.

"Moza tahu Papa masih cinta sama Mama, Moza tahu kalau Papa sebenarnya tidak ada rasa sama sekali sama Tante Marina. Dan asal Papa tahu, Moza gak suka itu, Pa."

Moza langsung berlari menuju ke dalam kamarnya, suara bantingan pintu terdengar jelas di seluruh sudut rumah. Jordi mengejar putrinya, berdiri di depan pintu dan mengetuknya pelan.

"Gak usah peduliin Moza, Pa. Gak ada gunanya Moza hidup!" teriak Moza dari dalam kamar.

"Dulu Moza dicela, sekarang Moza kesepian. Nayla satu-satunya orang yang bisa temenin aku, Pa, tapi Papa malah membiarkan Mama ngambil gitu aja. Jadi terbukti, gak ada yang sayang sama Moza sama sekali, MOZA BENCI HIDUP!"

Hati Jordi teriris mendengar semua jeritan putrinya, tangannya mulai melemas untuk terus mengetuk pintu. "Maafkan Papa, Moza."

👑👑👑

Pukul : 09.45 pm

Moza telah selesai menangis selama hampir dua jam. Gadis itu mengambil sebuah kotak kecil yang ia masukan ke dalam saku bajunya dan berjalan keluar rumah. Moza dapat melihat papanya yang sedang terduduk di sofa ruang tamu sambil bekerja.

"Moza, mau ke mana? Sudah malam," tegur Jordi.

Namun, Moza tidak menggubrisnya sama sekali, ia menutup telinganya rapat-rapat. Jordi hendak bangkit mengejar, hanya saja Moza sudah berlari meninggalkannya terlebih dahulu.

Moza berjalan dengan tangisan yang masih berderai. Ia berlari tanpa arah, pikirannya tidak akan sinkron ketika dalam keadaan parah seperti ini. Hingga ia sadar jika langkahnya telah lelah dan berada di taman kota yang lumayan sepi karena malam sudah larut.

Taman sebelah perumahan besar yang sepi. Moza duduk di salah satu bangku di sana, menatap jalan yang terang tanpa penghuni. Dirinya terdiam sembari terus berpikir keras. Ia ingin ingatannya hilang, tapi dengan cara apa? Menabrakkan dirinya sendiri di jalanan? Apa itu akan menjamin ingatan hilang? Atau bagaimana jika menghilangkan nyawanya saja sekalian? Terdengar lebih cepat untuk mengakhiri neraka dunianya.

Moza menatap jalanan terang yang disinari lampu taman. Matanya memburam karena air mata yang terus mengalir, ia masih menggunakan kemeja putih dan rok abu-abu sekolahnya. Tangannya merogoh saku bajunya, mengambil cutter dan mulai membuka jam tangan yang ia gunakan. Banyak bekas sayatan yang tertutupi oleh jam tangan yang selalu ia pakai, dan lukanya sudah mulai menghilang, Moza berniat untuk membuatnya kembali.

Sret!

Satu sayatan berhasil menyayat bagian atas pergelangan tangan Moza. Gadis itu menutup matanya, ingatan buruk mulai mendatanginya.

"Kasian, Mamanya Moza sebenarnya pelacur. Kalian harus jaga Papa kalian."

Sret!

"Cantiknya menurun dari nyokapnya, nanti gede menurun ikut jadi pelacur gak, tuh?"

Sret!

"Suruh siapa punya orang tua pelacur, tukang rebutin suami orang. Mampus kan gak punya teman!"

Moza membuka matanya, menatap pergelangan tangannya yang sudah banjir darah, menetes hingga ke tanah. Rok abunya sudah berlumuran darah, hingga ke kemeja putihnya. Ia mengambil tisu di dalam kotak kecil yang ia bawa sebelumnya.

Mengusap habis semua darah yang berada di pergelangan tangannya. Bekas tisu yang digunakan untuk mengusap darah bertebaran di sekitar Moza. Gadis itu sudah berhenti menangis namun bekas air matanya masih terlihat jelas.

Penampilannya sudah benar-benar tidak keruan. Baju yang sudah penuh darah, rambut yang dicepol asal, wajah yang lusuh bersimbah air mata.

"Moza?"

Moza menoleh dan menatap seseorang yang memanggilnya.

"Alia?"

Bersambung...

Jadi siapa yang mau join grup wa nanti? Kalo kalian mau, kalian boleh kirim nomernya di DM Wattpad aja. Kalo pesertanya kurang dari 5 aku gak bakal bikin ya.

Oke see ya, maaf gantung😂
Love u all❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro