Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33. Self Injury?

Ada yang kangen Darren sama Moza?

Bagian Tiga puluh tiga.

Salah satu jalan pintas untuk meluapkan emosi adalah dengan melukai diri sendiri.

-The Cold Princess-

Moza benci, sangat benci ketika melihat Alina yang tiba-tiba datang ke rumahnya. Ada apa wanita jalang itu menginjakkan kakinya di rumah ini lagi?

"Moza? Udah pulang kamu? Sekarang kamu ikut Mama, ya?" Alina menarik pergelangan tangan Moza.

Namun gadis itu menepisnya. "Ngapain kamu ke sini?"

Alina menoleh. "Kamu kenapa, sih?"

"Seharusnya saya yang tanya, kenapa kamu ada di sini?" Nada suara Moza masih sama, dingin dan menekan.

"Mama mau ajak kamu tinggal ke rumah Mama, Papa kamu kan udah mau nikah lagi, mending kamu ikut Mama aja. Oh iya, Nayla mana?"

"Kamu siapa sih?" Moza memandang Alina remeh, sebelah sudut bibirnya terangkat menciptakan senyuman iblisnya.

Alina mengerinyitkan dahinya, "Mama ini Mama kamu, Moza."

"Mama? Saya kira saya gak punya Mama, soalnya sejak kecil saya gak pernah tuh diurus sama yang namanya Mama," ucap Moza dengan mata yang menatap Alina bengis.

"Kamu kok kurang ajar? Ini Mama kamu, yang mengandung kamu sembilan bulan, ngelahirin kamu, itu Mama yang ngelakuin!" Alina mulai menaikkan suaranya.

"Lalu setelah itu sudah, bukan? Kamu kembali dengan profesi kamu yang menjadi wanita hiburan. Tidak membesarkan saya, tidak mendidik saya. Maaf, saya tidak punya Mama seperti kamu!"

"Jaga omongan kamu, uang yang selama ini kamu dapatkan itu uang dari hasil kerja Mama!"

Moza berdecih. "Saya tidak pernah memakai uang itu sepeserpun, buat apa saya senang karena banyak uang tapi uang itu dihasilkan dari perbuatan haram?!"

Plak!

Rasa panas langsung menjalar ke pipi sebelah kiri Moza, gadis itu memegang pipinya dan tertunduk hingga helaian rambutnya jatuh menutupi wajahnya. Matanya tiba-tiba memanas, gadis itu mendongakkan kembali wajahnya dengan sekali hentakan hingga rambutnya kembali tersibak. Moza menatap Alina nyalang.

"Ayo tampar lagi, Ma!"

Alina menatap anaknya tajam, sedangkan Moza masih tidak percaya akan kelakuan mamanya itu. Moza belum pernah merasakan dipeluk seorang ibu, dicium, bahkan dibelai rambutpun Moza merasa belum pernah mengalaminya. Yang ia tahu, Alina mengasingkannya hingga Moza menganggap ibunya adalah orang asing juga.

"Mama yang buat aku kayak gini, karena profesi Mama aku jadi kena imbasnya!" teriak Moza. Gadis itu benar-benar hampir frustasi, profesi Alina yang membuat awal ia tidak bisa memiliki teman, karena profesi terkutuk itu pula, salah satu orang menganggapnya sama kodratnya dengan Alina.

"Apa alasan Mama buat jadi wanita malam di sana?! Apa kurangnya Papa di mata Mama? Mama masih kurang puas sama Papa? Papa kaya, Papa punya segalanya, Papa bisa kasih uang ke Mama sebesar Mama nemenin laki-laki bejat minta minum bareng, bahkan Papa bisa kasih uang ke Mama sebesar ketika Mama nemenin laki-laki bejat yang maunya minta main ranjang." Mata Moza menatap Alina tajam.

"Papa cinta sama Mama, Papa sabar ngadepin Mama belasan tahun yang selalu jual diri, Papa sabar ketika Mama hamil anak dari kerjaan bejat Mama, bahkan Papa mau ngurus Nayla yang sebenernya bukan anak kandung dia. PAPA KURANG APA DI MATA MAMA?!" pekik Moza di hadapan wajah Alina juga air mata yang kemudian luruh bersamaan dengan tubuhnya yang tiba-tiba melemas, gadis itu terduduk di lantai teras rumahnya sambil memeluk lututnya.

Brak!

Alina membuka pintu rumah itu dengan keras dan berjalan masuk ke arah kamar Moza.

Gadis itu mengangkat kepalanya menatap Alina yang masuk ke dalam rumahnya, ia bangkit berlari mengejar wanita itu. Terkejut kala rupanya Alina memasuki kamarnya dan sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam koper. "Kamu ngapain kemas barang-barang saya?!" Moza bangkit lalu menarik kopernya.

"Sudah diam, kan sudah Mama bilang tadi kalo kamu harus ikut Mama!" sentak Alina.

"Ngapain saya ikut kamu?!"

Alina menatap Moza tajam, tidak ada tatapan belas kasihan di kilatan matanya. Kemarahan Alina sudah mencapai puncaknya. "Saya akan buat kamu sama seperti saya, menjadi seorang jalang."

Mata Moza melebar, air matanya turun kembali, menyebar ke seluruh wajahnya. Sakit jika kalian tahu bagaimana wajah Moza sekarang. Ya, ia sangat kacau.

👑👑👑

Setelah selesai menghadapi kegilaan mamanya kemarin, Moza dapat kembali pulang saat Jordi datang di waktu yang tepat. Pria itu mengusir mantan istrinya dengan paksa karena hampir melukai putri sulungnya.

Dan sekarang, terdapat sekitar tiga buah plester yang menempel di tubuh Moza, antara lain kedua tangannya dan lehernya. Tidak ada yang tau kejadian seperti apa hingga Moza mendapatkan ketiga luka itu.

Kini Moza berangkat tidak dengan Darren, gadis itu diantarkan papanya ke sekolah. Kembali dengan keadaan seperti biasanya, tidak ada nuansa yang mencekam dari Moza, ya, biasa saja.

Saat dirinya berjalan di koridor menuju kelasnya, tiba-tiba saja seseorang menepuk bahunya kemudian merangkulnya. "Selamat pagi!"

Moza menoleh, melihat Darren yang datang dengan senyum yang ceria. "Niatnya kemarin gue mau marah sama lo, soalnya main ninggalin gue sendirian."

"Semalem bener-bener niat kalo gue harus marah sama lo, eh taunya malah kangen sama lo, yaudah lah gabisa marah," ocehnya.

Cowok itu menatap Moza yang sedang memperhatikan jalannya. Matanya tidak sengaja melihat plester yang berada di leher gadisnya. Tangannya terulur untuk menyentuhnya.

"Aw!" rintih Moza kemudian memukul lengan cowok di sebelahnya.

"Kenapa diplester?" tanya Darren.

"Luka."

Darren menghela napasnya. "Yang namanya diplester pasti ada luka. Maksud gue, luka karena apa sampe diplester begitu?"

"Tau, ah." Moza berjalan meninggalkan Darren, saat jalannya sudah sampai pada tangga, Darren menahan bahunya, memutar tubuh Moza untuk menatap matanya.

Moza melihat bibir Darren yang mencebik, ada apa dengan Darren pagi ini?

"Kok lo yang marah, seharusnya gue yang marah," ucapnya.

Moza tersenyum melihatnya. "Ngapain?"

"Ngambek sama lo," kata Darren kesal.

Moza terkekeh, gadis itu menarik lengan Darren kemudian melanjutkan perjalanan ke kelasnya. Sedangkan Darren ikut tersenyum saat sebelah tangan miliknya di peluk oleh gadisnya.

"Ke kelas gue dulu aja," kata Darren.

"Bentar, nyimpen tas."

Darren menganggukkan kepalanya, kembali berjalan mengikuti gadisnya. "Kalo di kelas gue, ntar gimana lagi?" tanya Darren.

"Sarapan," jawab gadisnya.

"Lo bawa bekal?"

Moza menoleh, menatap Darren kemudian menggeleng. "Ke kantin."

"Mending langsung ke kantin aja, Za!" Darren menarik gadisnya untuk berjalan menuju kantin tanpa masuk ke kelas Moza terlebih dahulu.

Darren duduk saat sudah sampai di kantin, memesan soto ayam dua porsi untuknya dan untuk gadisnya. Saat duduk bersebelahan, Darren masih penasaran dengan luka plester yang berada di leher Moza.

Matanya secara diam-diam meneliti setiap tubuh gadisnya. Terkejut ketika melihat di kedua tangan gadisnya pun terdapat plester luka. Ia mendekatkan wajahnya pada tangan gadisnya, untungnya Moza sedang memainkan ponselnya hingga tidak sadar jika Darren sedang melihat plester lukanya.

Terdiam kala melihat sedikit luka yang berada di sekitar plester itu. Seperti sebuah sayatan benda tajam, entah itu sayatan pisau atau silet. Darren memundurkan wajahnya, melirik plester di leher gadisnya, dan terkejut beberapa detik.

Lukanya sama.

Darren kembali mematung ketika tidak sengaja melihat sebuah silet di saku baju gadisnya.

Oh God, No!

Bersambung...
Maapkeun nunggu, jadi lur jangan lupa komen ya! Ajak temen kamu buat baca cerita ini juga.

Untuk update cerita ini bakal tiap Minggu aja ya, ambil weekend soalnya 😚

Ada yang mau ditanyakan? Silahkan DM di WP juga gapapa ya.

See you guys, love u my readers 😘❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro