Bagian Tiga puluh dua.
Apapun keadaannya, aku tetap nyaman bersamamu.
-The Cold Princess-
Darren menjemput Moza tepat pukul delapan pagi. Sambil menemani Nayla bermain di halaman rumah, Darren menunggu Moza keluar dari dalam.
Ceklek!
Darren menoleh kala suara pintu terbuka itu terdengar. Ia melihat Moza yang menggunakan celana panjang hitam dan kaos panjang berwarna kuning. Dan kebetulan entah apa, Darren juga sedang menggunakan hoodie berwarna kuning.
"Wah, bajunya samaan nih," kekeh Darren lalu mengangkat Nayla dan menggendongnya, ia mendekat ke arah Moza di teras rumah.
"Ini Nayla-nya." Moza mengambil alih Nayla kemudian masuk ke dalam rumah untuk menitipkannya kepada papanya.
Gadis itu kembali keluar rumah, mencari Darren yang rupanya sudah berada di luar. Ia membuka gerbang dan terdiam beberapa detik.
"Gak papa kan pake motor beat dulu? Motor gue lag-"
"Iya gapapa, ayo!" Moza memberikan senyum kepada Darren.
Cowok itu termangu. "Gak papa, Za?"
Moza mengambil salah satu helm di spion motor itu. "Emang apa yang salah sama motor beat?"
Darren menggelengkan kepalanya. "Lo gak malu, kan?"
Sekali lagi, Moza menaikkan kedua sudut bibirnya. "Malu kenapa?"
Darren terkekeh, "Hehehe, nggak kok. Sini helm-nya gue yang pakein."
Cowok itu mengambil helm yang dipegang Moza kemudian memakaikannya di kepala gadisnya. Merapikan anak rambut yang berada di wajah Moza.
"Cantik," ucapnya.
Moza semakin tersenyum lebar. Darren kemudian memakai helm miliknya dan menaiki motor matic itu. "Ayo naik!"
Moza menaiki motor itu, menjaga sedikit jarak dengan Darren kemudian motor itu melaju. Dengan kecepatan sedang, keduanya merasakan angin yang berhembus pagi itu.
Darren melihat dari kaca spionnya kemudian menggerakkan kaca itu, sehingga Moza ikut melihat kaca tersebut. "Enak kan pake yang matic juga?"
Moza tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya. "Suka yang ini."
Darren terbahak, "HAHAHA, yang disukain motornya aja nih? Yang nyetirnya nggak?"
Moza terkekeh menanggapi ucapan Darren. Ia kembali menatap sekitar, begitu indah rupanya Bandung ketika masih pagi seperti ini. Saat sedang menghirup segar udara, sesuatu menyentuh telapak tangannya membuatnya terkejut.
Darren menggenggam tangannya kemudian meletakan lengannya di dalam kantong hoodie-nya. Mengelusnya di dalam kantong itu kemudian melirik gadisnya kembali dari kaca spion.
"Kenapa, hey?" Sambil tersenyum menggoda, Darren bertanya kepada gadisnya yang masih terdiam.
"Ngga." Wajah gadis itu kembali datar, membuat Darren tersenyum.
Saat di lampu merah, Darren mengerem motornya secara tiba-tiba membuat kepala Moza yang tertutup helm mengadu helm milik Darren.
Duk!
Darren terkekeh. "Diem aja, Neng?"
"Apa?"
Tangan Darren bergerak untuk mengelus lutut gadis itu. "Ngomong dong."
"Ngomong apa?"
Darren memundurkan kepalanya yang membuat kedua helm itu kembali menimbulkan suara. Moza mengerti ajakkan Darren, gadis itu ikut memajukan kepalanya untuk kembali mengadukan helm miliknya. Keduanya tertawa saat sadar bahwa tindakan mereka dilihat aneh oleh banyak orang.
👑👑👑
"Akhirnya sampe!" seru Darren.
Moza menatap sekeliling tempat itu. "Kebun Teh?"
Darren mengangguk kuat. "Lo pernah gak ke sini?"
Moza menggelengkan kepalanya. "Pernah nya ke Lembang."
Darren melepaskan helm miliknya kemudian berbalik menatap Moza yang masih menatap sekitar tempat itu. "Di lepas dulu helm-nya Mbak Moza."
Moza menoleh menatap Darren yang kini menyuruhnya untuk mendongak. Cowok itu melepaskan kaitan helm dan membukanya. Sedangkan Moza merapihkan kembali rambutnya, sambil sesekali masih terkejut dengan pemandangan di hadapannya.
"Di mana?"
Darren menunjuk sebuah warung kecil dengan dagunya. "Di situ aja."
Moza menganggukkan kepalanya lalu berjalan mendahului Darren. Gadis itu duduk di bangku warung kecil itu, matanya masih menatap sekitarnya yang amat indah baginya, hingga seukir senyum mengembang di wajahnya.
"Seneng banget kayaknya gue ajak ke sini," kata Darren lalu duduk di hadapan Moza.
Gadis itu masih tersenyum saat menatap Darren. Dan Darren akui, jika hari ini Moza sedang banyak tersenyum, ia senang, apalagi jika gadisnya tersenyum karena dirinya.
"Mau foto gak? Gue fotoin deh," ucap Darren kemudian mengambil kamera dari dalam tasnya.
Moza menggeleng. "Belajar, Ren!"
Darren jadi teringat tujuan awalnya. "Ah males tau, udah libur aja belajarnya."
Tatapan Moza tiba-tiba berbeda. "Empat hari bolos bimbel."
"Ck, ya udah iya." Darren mengambil buku catatannya dari dalam tas. Cowok itu menatap malas tumpukan buku milik Moza di hadapannya.
Niat banget ngajar ya Moza ini, sampe pemandangan sebagus ini dilewatin aja-batinnya.
Ia melihat Moza yang sedang membalik lembaran buku dengan wajah seriusnya. Tangannya terulur pada kamera di sampingnya, membukanya dan memotret wajah gadisnya secara diam-diam. Akan ia simpan foto itu, bahkan jika bisa akan ia bawa kemanapun ia pergi.
"Baca!" Moza menyodorkan bukunya.
Darren mengambil buku itu dan meletakkan kameranya. Mencoba membaca materi yang diberikan oleh Moza. Sedangkan gadisnya, sudah mulai berdiri dan berjalan di sekitar kebun itu.
"Za, kemana?!" teriak Darren memanggil.
Moza menoleh kemudian berjalan kembali menuju tempat yang ia duduki tadi. "Udah?"
"Belum, tadi lo ke sana ngapain?"
Moza menggeleng, mengatakan tidak ada apa-apa.
Pukul 16:00 acara belajar itu telah selesai. Banyak pengunjung yang datang, namun untungnya, tempat yang Moza dan Darren kunjungi bukan termasuk dari bagian wisata. Jadi, tidak ada pengunjung di sana, sepi, hanya ada mereka berdua dan penduduk asli tempat itu.
"Udahan ya Za, pegel ih belajar Mulu dari jam 12."
Moza menghela napasnya kemudian mulai mengumpulkan buku-buku miliknya.
"Laper gak?" tanya Darren.
Moza menggeleng. Darren bangkit dari duduknya, mengambil kameranya dan berjalan di sekitar area itu. Ia memotret beberapa objek lalu memutar tubuhnya, melihat Moza yang sedang ikut memotret menikmati pemandangan sambil mengabadikannya dengan kamera ponsel membuat fokus Darren teralihkan.
Kamera miliknya terangkat untuk memotret objek yang lebih indah dari pemandangan sekarang menurut Darren.
Mengabadikan setiap gerakan Moza sepertinya sudah menjadi hal favorit baginya.
"Za? Mau keliling ga?"
Moza menoleh, menatap Darren yang sudah mengalungkan kameranya. "Kita keliling pake sepeda, minjem aja sama orang sini sepedanya."
Moza tersenyum. "Boleh."
Senyum Darren merekah indah, menarik lengan gadisnya menuju perkumpulan warga di sebelah warung yang tadi Darren tempati.
"Punten Mang, boleh pinjem sepedanya?"
"Mangga atuh, Jang."
"Makasih ya Mang."
Darren langsung mengambil salah satu sepeda dan menyuruh Moza untuk duduk di belakangnya.
"Pinjem sekedap nya Mang."
"Yo mangga jang!"
Darren mengayuh sepedanya, Moza berpegangan pada pinggang cowok itu. Ia merekam dirinya dengan kamera ponselnya, banyak sekali senyum di video itu.
Saat Darren mengayuh lebih cepat menaiki tanjakan, refleks Moza mengalungkan tangannya pada pinggang cowok di hadapannya. sambil memeluk pinggang itu, mata Moza menatap sekitarnya, dua kata yang menjabarkan apa yang ia lihat saat ini, indah sekali.
Saat berada di atas bukit, Darren menggenggam tangan gadisnya yang berada di pinggangnya. "Bagus, kan?"
Moza mendongak menatap Darren kemudian mengangguk. sebuah senyum indah terukir di wajah cantiknya.
Tiba-tiba saja Darren mengayuh sepedanya menuruni bukit itu membuat Moza memeluk pinggang Darren. Gadis itu tertawa kala angin yang menerpanya membuatnya tidak bisa bernapas.
Darren terdiam beberapa saat. Apakah barusan ia mendengar tawa Moza? Jika iya, ia harap tawa itu akan selalu ada bersama gadisnya, jangan menjauh dan tetap menemani gadisnya.
👑👑👑
Moza memakan makanan yang berada di hadapannya, sambil sesekali men-slide layar ponselnya. Melihat jepretan foto yang sempat ia tangkap tadi.
Sedangkan Darren juga sama, sedang berkutat dengan ponselnya. Duduk di sebelah Moza sambil sesekali melirik ponsel Moza yang berisikan foto pemandangan itu.
"Pernah Selfie ga, Za?" tanya Darren.
Moza menoleh, kemudian mengangguk. "Tapi sedikit."
"Liat dong!" seru Darren sambil memainkan kedua alisnya.
"Ga."
Darren berdecak, "Ck, pelit amat sama pacar sendiri."
"Privasi."
Darren menghela napasnya. "Btw, lo seneng gak gue ajak ke sini?"
Moza mengangguk. "Seneng, banget malah."
Darren tersenyum, tidak sia-sia ia mengajak gadisnya hari ini. Ia bisa melihat senyum seorang Moza sejak pagi hingga sekarang sudah larut malam, ditambah ia mendapatkan bonus, yaitu suara tawa milik Moza.
Drt...
Keduanya menoleh bersamaan, melihat layar ponsel Moza.
Tante Ara.
Moza langsung mengambil ponselnya, menggeser ikon di handphone itu kemudian menempelkannya pada telinga.
"Za, Mama kamu ke rumah, dia nyari kamu sama Nayla. Rumah kamu sepi, Jordi sedang di rumah Marina, Nayla sedang sama Tante. Dari tadi Mama kamu menggedor pintu rumah Tante, mending kamu pulang Za. Tante ga enak kalo Alina terus-terusan gedor pintu, tetangga pasti keganggu."
Tangan Moza bergetar, hingga mengeluarkan keringat. Ia bangkit dari duduknya, membereskan barang miliknya kemudian pergi begitu saja.
"Eh, Za, ke mana?" tanya Darren.
Moza mengabaikan pertanyaan Darren, gadis itu berlari menuju pangkalan ojek tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.
Bersambung...
Punten, maaf update nya telat. Lagian kalian ga pada komen sih, bikin males:(
Tapi aku sayang kalian kok, serius😘😘 kasih bonus picture deh, pict nya Moza aja ya yang lagi senyum.
Ini versi Moza yang masih SMP nih, yang masih doyan senyum wkwk.
Wajib ya slur😗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro