Bagian Tiga puluh.
Setiap orang memang mempunyai privasi. Tapi bagaimana jika privasi itu mencakup semua orang? Apakah itu masih layak disebut sebuah privasi?
-The Cold Princess-
Rasanya, aneh. Benar-benar aneh. Tiap kali Darren mengingat semua kejadian bersama Moza sejak awal, rasanya sungguh sulit dipecahkan tentang, apa inti dari masalah hidup Moza?
Moza memiliki ibu bernama Alina.
Baru saja orangtua mereka bercerai.
Nayla tidak mirip dengan Jordi ataupun Moza.
Jordi sudah mempunyai wanita lain untuk dinikahi kembali.
Sheila akan menjadi kakak tiri Moza.
Dari semua fakta itu, ada satu pertanyaan di dalam benak Darren.
Reza berperan sebagai siapa di kehidupan Moza?
Ia bahkan masih bisa mengingat ucapan Reza yang mengatakan bahwa Moza adalah cewek murahan di depan toilet bioskop, berucap tentang main di atas ranjang ketika di depan rumah Moza, keadaan yang sama ketika di parkiran sekolah, dan yang terakhir adalah, kejadian tadi sore.
Isakan memilukan Moza berdengung di telinganya secara tiba-tiba. Wajah kusut penuh rasa lelahnya terbayang oleh Darren saat ini juga.
"Siapa si Reza ini?" gumamnya.
Ia mengacak rambutnya, memejamkan matanya, berusaha menenangkan pikirannya. Namun tiba-tiba saja, sebuah kalimat berdengung di telingannya.
"Kita lawan basket timnya Reza aja."
Darren langsung membuka matanya. Itu adalah kalimat yang terucap dari Anton, teman SMP nya dulu. Cowok itu langsung berlari ke arah lemari yang menyimpan beberapa foto saat dirinya masih SMP.
Mencari sebuah album yang berisikan foto dalam satu angkatan. Darren mencoba mencari dalam jejeran murid tiap kelas. Mencari dari kelas A hingga ke kelas H. Saat berhenti di kelas F, Darren bisa melihat ada Moza di sana dengan wajah datarnya.
Ia memang pisah kelas dengan Moza saat kelas sembilan, di saat ia kelas D, sedangkan Moza di kelas F.
Darren kembali meneliti wajah siswa di foto itu. Dan saat jarinya berhenti pada wajah siswa yang baru saja ia hapal beberapa minggu ini. Ya, di sana ada Reza. Pandangannya beralih kembali pada sebelah foto itu, terdapat seluruh nama di kelas itu yang diurutkan per-alfabet. Pada bagian huruf R, nama Reza memang ada.
Dan sekarang Darren tahu siapa Reza, ya cowok itu adalah teman SMP nya. Juga sebuah masa lalu dari Moza karena pernah satu tahun bersama dalam satu keluarga di sekolah.
Tangan Darren langsung mengambil ponselnya di saku celana dan mencari kontak Alia.
"Hallo, Al?"
"Naon, Ren?"
"Iyeu, bisa teu ka imah urang?"
"Bisa, kunaon emang?"
"Ya geus tuh buru!"
Darren memutuskan panggilan lalu membawa album foto itu ke atas kasurnya, membuka kembali album itu dan meneliti tiap wajah siswa di sana. Ia harus mengingat kejadian saat SMP kembali, dan yang ia ingat adalah ketika perpisahan saja.
Darren membuka kembali ponselnya, membuka akun instagramnya dan mengetikkan #GradueteGemilang16/17 di kolom pencariannya. Ratusan foto kemudian keluar, saat acara perpisahan sekolahnya. Darren melihatnya satu persatu, melelahkan memang, tapi bagaimanapun ia penasaran dengan Reza.
"Ren?" panggil seseorang.
Darren menoleh, melihat Alia yang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Eh, udah sampe?"
Alia melangkah memasuki kamar Darren lalu duduk di tepi ranjang. "Kenapa, Ren?" tanya Alia lalu matanya menatap lembaran foto di atas kasur. Ia menarik salah satu foto itu.
"Ini foto kelas kita nih, Ren." Alia menunjukan foto itu ke arah Darren.
"Gue nyuruh lo ke sini mau tanya tentang Reza. Lo tau dia?" tanya Darren.
"Reza yang mana?"
"Reza pacarnya Sheila," jawab Darren. "Ya kan lo orangnya friendly banget, gampang gaul, pasti juga temen lo banyakkan? Ya siapa tau aja salah satu temen lo ada yang namanya Reza, anak kelas F waktu SMP. Sekarang dia satu kelas sama Moza."
Alia menganggukkan kepalanya. "Oh, Reza Aditya? Pacarnya Kak Sheila, kan?"
Darren mengangguk kuat. "Lo kenal?"
Alia terkekeh. "Ya kenal lah, anjir. Orang rumahnya aja cuma beda gang sama gue."
Darren terkejut. "Serius, Al?"
"Iya, Ren. Kalo gak percaya, boleh kita ke sana."
"Lo deket sama dia?"
Alia menggeleng. "Gak terlalu, dia orangnya tertutup. Jarang keluar rumah juga. Kalo kata gue sih, dia tuh kasian. Orang tuanya meninggal pas dia masih SMP, terus adiknya masuk rumah sakit jiwa karena setres yang katanya gegara kehilangan orang tuanya."
Darren terdiam, mencerna baik-baik ucapan Alia. "Saudaranya yang lain gimana?"
Alia mengendikkan bahunya. "Katanya, orangtua dari Reza itu anak tunggal. Jadi dia gak punya Bibi atau Uwa. Dia di sini hidup sendiri, parahnya lagi dia cuma punya nenek satu-satunya dan itu sudah sakit-sakitan."
Darren mendengarnya jadi sedikit iba. Tapi tujuan utamanya masih tetap mengarah pada gadisnya.
Terus apa masalahnya sama Moza?
"Lo pernah tau kalau dia deket sama Moza gak?"
Alia mengendikkan bahunya. "Gak tau tuh," jawab Alia. "Emang iya gitu pernah deket?"
Darren langsung menggelengkan kepalanya. "A-ah, enggak kok. Ya siapa tau aja, Al."
Sudah dua petunjuk yang Darren dapatkan tentang Moza.
Pertama, perbedaan wajah Nayla dengan Jordi maupun Moza.
Dan yang ke dua, Reza seorang yatim-piatu dan bisa jadi mensangkutpautkan dengan Moza, karena sebelumnya ia mendengar percakapan mereka ketika berada di rooftop.
👑👑👑
Moza mendudukkan tubuhnya di ambang jendela kamarnya. Ingatkan kembali, jika jendela kamar Moza berada di lantai dua dan tidak terdapat balkon di sana.
Gadis itu duduk bersandar di sisi jendela, memenuhi kotak jendela itu dengan tubuhnya. Menantang jiwanya yang sedang tidak tertata.
Ia memejamkam matanya. Dua tahun yang lalu, ia berhasil mencari sekolah dengan jarak yang jauh dari sekolah SMP-nya, berhasil menjauh dari teman-teman lamanya, dan berhasil mencari sekolah yang tidak didapati alumni sekolah SMP-nya.
SMA Merah Putih. Jaraknya jauh dari rumahnya, bahkan jauh sekali dari sekolah SMP-nya dulu. Kemungkinan alumni SMP-nya berada di SMA Merah Putih hanya sedikit. Namun siapa sangka jika dua orang alumni, seangkatan dengannya malah memilih sekolah yang sama.
Ya, Darren dan Alia.
Sedikit lega ketika tahu jika Darren dan Alia tidak terlalu dekat dengannya. Sehingga tidak terlalu tau apa masalahnya saat masih duduk di bangku SMP.
Pikiran Moza masih belum tertata, salah satu telapak kakinya tiba-tiba terlepas dari ambang jendela yang membuatnya terhuyung. Bukannya teriak, Moza malah memejamkan matanya. Berasa jika ia ingin cepat pergi dari dunia yang sangat jahat untuknya. Jikapun sekarang ajalnya memang menjemput, Moza tidak keberatan sama sekali.
Namun rupanya, sebuah tarikkan membuat Moza tidak jadi untuk jatuh.
"Astaghfirullah!"
Suara itu membuat Moza membuka matanya, melihat Jordi yang berlutut di bawahnya dengan tatapan yang begitu mencemaskan.
"Kamu lagi ngapain, Moza?"
Bukannya menjawab, Moza malah kembali bertanya. "Kenapa Papa di sini?"
Jordi menghela napasnya kemudian menarik lengan putrinya perlahan untuk menjauh dari jendela itu. "Kamu ngapain duduk di situ? Papa udah bikin balkon beserta kursi dan mejanya, lalu untuk apa balkon itu kalau kamu malah duduk di situ? Tadi itu berbahaya, Moza."
Kilatan kekhawatiran Jordi menjadi sebuah sengatan listrik di jantung Moza. Melihat papanya yang begitu mengkhawatirkan dirinya membuatnya tersenyum. Ia lupa, jika ia tidak sendirian, papanya akan selalu ada, akan terus bersamanya, selamanya.
"Kamu punya masalah?" tanya papanya. Jordi menatap dalam mata putri sulungnya. "Kamu boleh cerita sama Papa," katanya.
"Kamu punya beban?" lanjutnya lagi, "Ungkapin semuanya ke Papa." Tangan Jordi terulur untuk mengelus kepala putrinya. "Kamu gak pernah sendirian, Papa akan sama kamu terus, apapun keadaannya, Papa gak akan berubah."
Dalam hati Moza, ia sudah berteriak sekencang mungkin, lelah dengan beban hidupnya. Namun pada kenyataanya, wajahnya tidak murung, melainkan cerah. Sudut bibirnya mulai terangkat dan sebuah senyuman itu menghiasi wajah cantiknya.
"Moza sayang Papa."
Senyum Jordi mengembang. "Papa juga."
Catat baik-baik. Senyum tadi hanya sebuah penenang untuk papanya saja tidak untuk rasa yang lainnya.
Bersambung...
UTS sudah dekat, belajar dulu ya sayang, readersku yang kucinta, jangan nge-wetpet aja, ingat nilai rapor kita perjuangkan demi tidak dibandingin sama anak tetangga wkwk.
Maunya lanjut bab berikutnya kapan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro