Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Broken

Tolong pada komen ya slur >:(

Bagian Dua puluh sembilan.

Mempercayai seseorang tidak semudah membalikkan telapak tangan, upaya untuk mengetahui jika mereka benar-benar peduli atau hanya sekedar menggali informasi adalah hal tersulit untuk kita mempercayai seseorang.

-The Cold Princess-

Darren masih bisa memutar kejadian ulang ketika ia dibuat terkapar oleh sekelompok orang. Ia melihat wajah mereka asing, benar-benar asing, dan Darren yakin hal itu.

Ketika pukulan bertubi-tubi menyerangnya, otaknya berpikir apa kesalahan yang baru saja ia lakukan, dan sebelum ia menemukan apa kesalahnnya, salah satu dari mereka berbicara.

"Moza sudah punya pacar, jangan pernah deketin dia lagi!"

Darren membuka matanya, ia merasa bahwa itu adalah mimpi buruk. Badannya masih terasa sakit, ia diantar oleh Moza, dan sekarang gadis itu sudah pulang dijemput papanya, Jordi.

Ia melirik ke arah kalender di atas nakasnya, mengambilnya dan melihat bahwa besok ia ada bimbingan belajar dengan Moza. Setelah pertandingan persahabatan itu selesai, bimbingan belajarnya kembali dilanjutkan.

Tangan Darren bergerak ke atas nakas kembali mengambil ponsel di sana untuk mengirim pesan.

Darren : Al, isuk aya tugas teu? (Al, besok ada tugas ga?

Alia : Teuing Ren, urang arek dahar heula. Encan buka buku. (Gatau Ren, saya mau makan dulu. Belum buka buku)

Darren : Badogan wae maneh teh. Awas, ngke gendut deui, diet deui, asup imah sakit deui. (Makan aja kamu mah. Awas nanti gendut lagi, diet lagi, masuk rumah sakit lagi)

Alia : Ulah ngomong kos kitu atuh, blegug!
Alia : Eh, isuk teu aya tugas, tapi ulangan matematika. (Jangan ngomong kayak gitu, goblok!
Eh, besok gak ada tugas, tapi ulangan matematika)

Darren : Anjir, urang ncan belajar deui! (Anjir, saya belum belajar!)

Alia: lah, bujang kos maneh we belajar, masa depan we teu dipikirkeun. (Pemuda kayak kamu aja belajar, masa depan aja gak dipikirin)

Darren : Sia teh ngomong ulaheun kos kitu, Al. Urang keur jadi suami maneh, kumaha?
(Kamu tuh kalo ngomong jangan kayak gitu, Al. Saya yang jadi suami kamh, gimana?)

Alia : Amit atuh, Ren! Mbung urang keur maneh mah, bujangan loba, teu maneh doang. Jodoh urang teu bolehan maneh.
(Amit-amit, Ren! Gak mau saya sama kamu mah, pemuda banyak, bukan kamu doang. Jodoh saya gak boleh kamu)

Darren : Urang ge embung keur maneh mah, Moza geulis, geus urang mah keur Moza wae :p
(Saya juga gak mau sama kamu mah, Moza cantik, udah saya mah sama Moza aja :p)

Belum ada pesan balasan dari Alia, cowok itu mencoba membuka roomchat nya dengan Moza. Melihat tanda online  itu masih ada, tangannya bergerak untuk mengirimkan pesan ke gadisnya.

Darren : Besok bimbingan ya, jangan lupa>:(

Send.

Tak lama mengirimkan itu, centang dua abu itu berubah menjadi warna biru dan sebuah balasan langsung datang.

Moza : Bsk ad tgs ap?

Darren : Gak ada tugas, tapi besok ulangan MTK:'((

Moza: Ywdh slmt bljr:)

Darren : Besok nilai gue pasti tinggi, mau nunjukin ke lo kalo gue udah bisa.

Moza : Bljr aj dl.

Darren tertawa membacanya. Hingga akhirnya ia lupa, bahwa besok ulangan matematika dan tidak belajar hingga larut malam.

👑👑👑

"Setan!"

Reza menoleh, melihat Moza yang berdiri di belakangnya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Cowok itu berbalik dan dapat melihat jelas gadis yang beridiri di depannya itu.

"Kenapa lo?"

Moza berdecih, rasa takutnya pada Reza sudah menghilang entah sejak kapan. Di rooftop, Moza dapat melihat cowok di depannya sedang menelpon seseorang sambil sesrkali menyebutkan nama Darren di sana.

"Najis tau, gak!" Moza berjalan mendekat ke arah cowok itu. "Maksud lo apa kroyok Darren?!"

Reza kini tahu kenapa Moza mendekatinya, cowok itu tersenyum miring lalu tertawa hambar. "Itu akibatnya kalo ada orang yang deket sama pacar gue!"

"LO BUKAN PACAR GUE!" teriak Moza.

Mata gadis itu menyala, marah terhadap cowok di depannya. "Lo anggap apa Kak Sheila, hah?!"

"Pelarian." Dengan ringannya, Reza mengatakan itu.

"Lo emang setan!"

Reza menatap gadis itu, matanya hampir sama tajamnya dengan tatapan Moza. "Sebut gue setan, Za! Kalo itu yang lo mau, dan beranggapan kalo gue seperti itu." Bibir Moza terkatup rapat menunggu kelanjutan ucapan Reza. "Tapi apa pantas orang yang manggil gue dengan sebutan setan itu pernah ninggalin seseorang ketika terpuruk kehilangan orangtua? Ditambah merasa kesepian ditinggal semua anggota keluarga?"

Deg!

Kejadian dua tahun lalu berputar kembali di kepala Moza, sebuah ingatan yang entah sampai kapan berada di pikirannya dan kapan untuk menghilangnya. Di mana Moza meraung, menghadapi kenyataan yang begitu pahit di hidupnya. Ia sangat membenci fisik dan wajahnya, dan pada titik itulah, Moza hampir saja ingin mengakiri hidupnya.

Mata Moza memerah, gadis itu tidak tahan untuk menangis. Ia segera membalikkan badan, namun saat ia memutar tubuhnya, Darren sudah berdiri di depan Moza. Cowok itu langsung melihat gadisnya dengan tatapan bingung, ditambah kenapa tatapan Reza hampir sama dengan Moza?

Darren menahan lengan gadisnya dan membantunya menuruni tangga. Gadis itu tidak jadi mengeluarkan air mata, entah kenapa. Hingga saat cowok itu mengajak gadisnya pulang dan mengenakkan helmnya, ia masih bungkam dan tidak berani berbicara.

Awalnya, Darren mencari Moza di kelasnya karena jam pelajaran telah selesai. Namun saat berada di kelas gadis itu, ia tidak menemukannya. Hingga salah satu siswa mengatakan bahwa gadisnya berjalan menuju rooftop.

Terpaksa, bimbel hari itu tidak bisa dilanjutkan. Cowok itu memilih agar gadisnya pulang saja, sepeetinya Moza sedang banyak pikiran.

Saat di perjalanan, serintik hujan mulai jatuh, Darren yang sadar akan itu mulai menepikan motornya dan berhenti di suatu kafe. Masih dengan suasana diam, keduanya tidak ada yang bicara. Moza pun menurut saja, ia mengikuti langkah Darren yang memasuki kafe. Duduk di pojok kafe, di sebelah kaca jendela.

Darren dapat melihat Moza yang masih diam, pandangannya lurus ke arah luar menatap kaca jendela yang transparan yang terkena embun hujan. Derai hujan semakin deras yang membuat keduanya semakin lama untuk diam.

Darren menatap gadisnya yang sudah hampir dua puluh menit menatap jalanan di luar dari kaca jendela transparan. Wajahnya tertutup helaian rambut, tidak terlalu jelas dilihat untuk Darren. Tapi, cowok itu masih tetap memperhatikannya.

Setetes air tiba-tiba saja mengalir dari tangan Moza yang jatuh ke atas meja. Darren terkejut, cowok itu langsung melihat lebih dekat dan mencoba membuka helaian rambut yang menutupi wajah gadisnya.

Matanya terpejam, dengan pipi yang sudah basah dan lingkaran mata yang merah. Refleks, tangan Darren mengapus jejak air mata di pipi gadisnya yang membuat Moza membuka matanya.

Gadis itu langsung menutup wajahnya, mengusap kasar pipinya dan mengucak kuat matanya.

Darren terkejut melihatnya, cowok itu menahan tangan Moza untuk tidak menyakiti dirinya sendiri. "Jangan, Za," ucap Darren dengan nada lembut.

Moza menghentikkan gerakannya, matanya terbuka menatap Darren yang berada di hadapannya. Dan tanpa disuruh oleh siapapun, air matanya kembali turun melihat tatapan Darren yang begitu menghawatirkannya. Ia ingin merengkuh tubuh cowoknya, menumpahkan semua masalahnya, ia butuh seseorang untuk mendengarkan semua masalah hidupnya yang hampir dua tahun bergelanyut di hidupnya.

Darren menggeser tempat duduknya, cowok itu duduk tepat di sebelah Moza. Jujur saja, ini pertama kalinya ia melihat Moza menangis. Wajah galak, tatapan tajam, serta ucapan pedas gadis itu kali ini menghilang. Yang Darren lihat sekarang adalah bukan Moza yang galak, sinis, dan bermulut pedas. Yang Darren lihat sekarang adalah Moza yang rapuh, penuh sakit, penuh dengan masalah, dan yang pasti beban hidupnya sangatlah berat.

Darren menggeser tubuhnya hingga berhadapan dengan Moza. "Za, lo butuh cerita?" tawar Darren.

Moza menggelengkan kepalanya, gadis itu kemudian mendunduk berupaya menghapus air matanya dengan menekan kelopak matanya, dan tindakan itu dilihat oleh cowok di hadapanya. Tangan Darren langsung menahan tangan gadisnya.

"Jangan sakiti diri sendiri, Za."

Kedua tangan Moza diam, tidak menolak jika tangannya akan selalu dipegang oleh Darren. Sedangkan Darren yang merasa tidak ada berontak dari Moza, ia menurunkan tangan gadisnya dan menggenggamnya di atas paha miliknya. Ia menatap Moza yang wajahnya masih tertutup helaian rambut.

"Permintaan kedua," ucapnya tiba-tiba. "Biarkan gue buat masuk ke kehidupan lo, lebih dalam."

Moza langsung mendongakkan kepalanya, menatap Darren di hadapannya dan menggelengkan kepalanya. Bermaksud jangan pernah ikut dalam masalah hidupnya.

"Maaf Za, Tidak ada penolakkan."

Bersambung...

Lanjut jangan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro