10. Tamu Tak Diundang
Bagian Sepuluh.
Silent is better than bullshit
-The Cold Princess-
Drtt...Drtt..
Perhatian Moza langsung teralihkan dari buku Biologinya, ia menatap ponselnya yang terpampang jelas nama Om Dalvin di sana. Moza menggeser ikon hijau di handphonenya lalu menempelkannya pada telinga.
"Hallo?"
"Ya?"
"Om udah nentuin jadwal bimbelnya Darren, jadi Darren bakal bimbel di mana aja terserah kamu setelah pulang sekolah setiap hari Senin, selasa, rabu, kamis, sabtu, sama minggu."
"Tiap hari?"
"Hari jum'at libur, selebihnya bimbel. Biar mampus si Darren suruh Om belajar."
"Iya."
Dari seberang sana, Dalvin menghela napasnya.
"Yaudah kalo gitu, Om matiin telfonnya ya?"
"Hm."
Sambungan telfon terputus, Moza segera meletakan ponselnya kembali di atas meja lalu melanjutkan kegiatannya. Pukul 07:16pm, Moza menatap jam digital di atas mejanya lalu menatap ke arah luar balkon.
Ia menopang dagunya dengan sebelah tangan. Sekarang pikirannya berkecamu, ia berhenti menjadi Asisten Guru BK, namun sekarang ia menjadi guru bimbel Darren, sama saja seperti merobek baju lalu dijahit kemudian dirobek lagi.
Moza menghela napasnya, setidaknya ia harus mulai bisa mengajari Darren dengan efektif agar bisa lebih cepat untuk hidupnya kembali tenang.
Suara ketukkan pintu kamarnya membuat Moza menoleh. Ia melihat papa-nya tengah menggendong Nayla yang masih terjaga sambil memegangi mainan bebeknya.
"Za? Ikut Papa ke rumah Om Dalvin ya?" ajak Jordi.
Moza menggeleng. "Nggak Pa, Moza mau di rumah."
"Kenapa? Tugas kamu belum selesai?" tanya Jordi.
Moza menggeleng lagi. "Nggak ada tugas buat satu minggu ke depan, udah Moza kerjain semua."
"Jadi kenapa gak mau ikut?"
"Moza mau di rumah Pa," jawab Moza.
"Kasian Nayla, dia mau jalan-jalan kayaknya, dari tadi nunjuk-nunjuk jalan luar terus," ucap Jordi.
"Yaudah, sini Nayla-nya." Moza mengulurkan tangannya berusaha mengambil Nayla dari gendongan Papa-nya.
"Papa juga ada urusan sama Om Dalvin, kamu ikut ya? Di sana ada tante Disa ada Darren," desak Jordi.
Moza memutar bola matanya jengah. "Pa, aku-gak-mau-ikut-Papa," ucap Moza penuh penekanan.
Jordi terkekeh lalu mengacak puncuk kepala putri sulungnya itu. "Yaudah, Papa bakal ke rumah Om Dalvin sendiri. Kamu jaga rumah ya? Tapi Nayla nanti Papa bawa, gak pa-pa kan?"
Moza mengangguk. "Moza mending di rumah aja."
Jordi tersenyum. "Yaudah, Papa mau siap-siap dulu, kamu jagain Nayla sebentar ya?"
Moza mengangguk lagi. Ia memangku Nayla di pahanya lalu memutar kursi belajarnya menatap laptop, ia membuka beberapa situs anak-anak untuk Nayla tonton.
Duapuluh menit Moza dan Nayla menonton video anak-anak, Jordi papanya itu datang. "Sini Nayla-nya Nak."
Nayla tertawa melihat papa-nya merentangkan tangan, Moza langsung memberikan Nayla pada papa-nya.
"Papa berangkat dulu ya, awas kunci semua pintu, kalo ada tamu gak dikenal gak usah dibukain pintu, ya?"
Moza mengangguk meng-iya'kan. Ia mencium punggung tangan Jordi.
"Dadah Kakaa!" Jordi mengangkat tangan mungil Nayla untuk melambai pada Moza.
Moza tersenyum tipis lalu melambaikan tangannya untuk adik kesayangannya itu. Setelah punggung papa-nya hilang dari pandangan, Moza kembali membuka bukunya dan membaca beberapa materi untuk esok.
Sudah setengah jam papa-nya pergi, Moza mendengar bahwa suara bel rumah berbunyi. Ia mengerinyitkan dahinya, siapa yang bertamu jam segini? Biasanya rumah Moza tidak pernah kedatangan tamu, pertama, karena papa-nya selalu bertemu dengan teman atau rekan kerjanya di sebuah kafe atau restoran, sedangkan dirinya? Memberikan alamat rumahnya pada orang lain saja tidak pernah. Jadi, siapa yang bertamu saat ini?
Moza keluar balkon, ia melihat ke arah bawah, tidak terlalu terlihat siapa yang datang karena pandangannya tertutup oleh salah satu pot bunga. Moza menghela napasnya, dengan langkah beratnya Moza berbalik menuju pintu utama.
Ia membuka kunci pintu, menarik gagang pintu dan melihat siapa yang bertamu di rumahnya. Baru saja Moza melihat siapa yang bertamu, bahkan ia belum melihat jelas seseorang di hadapannya Moza sudah ingin menutup pintunya, namun kaki tamu-nya itu menyangkalnya.
"Tunggu."
"Apa?" Tanya Moza nyalang.
"Ada nyokap lo nggak? Mau nyewa nih," ucap si tamu kurang ajarnya itu.
"Pergi!" titah Moza.
"Tante Alina-nya gak ada ya? Yaudah deh, gue sewa anaknya aja."
Mata Moza menajam, ia menatap tamunya bengis, siap menerkamnya sekarang juga.
"Hayu dah, berapapun gue bayar," ucapnya lagi.
Telinga Moza sudah panas mendengar ucapan konyol Reza, tamunya saat ini. "Pergi."
Reza tertawa, ia lalu membuka pintu itu semakin lebar. Walaupun Moza berusaha menahannya namun tenaga Reza tetaplah lebih kuat.
Moza menggigit bibir dalam bawahnya, ia tidak memiliki satpam, juga tidak memiliki pembantu rumah tangga, jadi siapa yang akan menolonginya saat ini?
"Rumahnya sepi ya, enak nih bisa sampe pagi mainnya." Mata Reza menyapu sekeliling rumah Moza.
"Pergi!" titah Moza dengan nada yang dinaikan.
Reza menatap Moza, ia memegang kedua bahunya membawa tubuh mungil itu masuk ke dalam. Namun, dengan sisa tenaganya, Moza berusaha bertahan agar lelaki berengsek ini tidak masuk ke dalam rumahnya.
Moza berusaha melepaskan tangan Reza dari bahunya dengan seluruh tenaga yang ia punya. "Pergi lo berengsek!" teriak Moza sambil mendorong Reza.
Tangan Reza terlepas dari bahu Moza, ia menatap Moza senang. Ia melihat Moza yang tengah mengatur napasnya, mungkin kehabisan tenaga untuk mengusirnya. Reza tertawa.
"Duh, katanya mau. Seharusnya layanin dong, kek nyokap lo gitu," kekeh Reza. Ia mendekatkan tubuhnya ke arah Moza, Moza siaga satu, ia menghalang agar Reza tidak masuk rumahnya lagi. Reza mendekatkan bibirnya pada telinga Moza.
"Nyokap lo keren, dia bisa bermain di atas ranjang sesuai apa yang gue mau. Gue harap anak sulungnya juga gitu,"
Bulu kuduk Moza langsung berdiri, ia merinding mendengar ucapan Reza. Dengan berani, Moza mendorong tubuh itu lalu menatap matanya tajam.
"Gue perempuan yang masih punya harga diri! Jangan pernah samakan gue sama nyokap gue!" ucap Moza tajam.
Reza tertawa meremehkan. "Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, begitupun sifat anak yang tidak akan jauh dengan sifat orangtua-nya."
"Jaga omongan lo berengsek!" Telunjuk Moza kini sudah berada di hadapan wajah Reza.
"Hahaha!" Reza tertawa meremehkan. "Gue bicara sesuai fakta bitch."
👑👑👑
"Selamat malam Jordi! Datangnya cuma berdua? Anak sulungmu mana?" tanya Dalvin ketika Jordi telah sampai di rumahnya.
"Gak mau ikut katanya."
"Jordi, sini anak kamu, saya aja yang jagain ya?" Disa datang dengan berlari kecil.
Jordi tersenyum. "Oh iya, silahkan, ini." Jordi menyerahkan Nayla pada Disa.
Ia kemudian duduk pada sofa ruang tamu dan mulai berbicara banyak hal dengan Dalvin, rekan kerjanya sekaligus teman kampus-nya dulu.
Sedangkan Disa saking sukanya dibawakan Nayla, ia berlari ke arah kamar putranya, Darren. Ia mengetuknya keras.
Tok..Tok..Tok..
"Ren! Buka Ren!" teriak Disa.
Pintu tak lama terbuka menampilkan penampilan Darren yang berantakan. "Kenapa Bun?" tanyanya.
"Liat!" Disa mengangkat tubuh Nayla.
Darren membelak. "Ini anak siapa Bun?!"
Disa berdecak. "Ck, ini adiknya Moza, anaknya Om Jordi."
Darren mencubit pipi gembil Nayla. "Ih gemay dech !" ucap Darren.
Disa mendorong tubuh anaknya lalu masuk ke dalam kamar bernuansa biru dongker itu. "Uuuh, lucu banget sich!" Disa menciumi wajah Nayla yang membuat si empu tertawa.
"Ih Ren! Liat, ketawa!" teriak Disa pada Darren.
Darren langsung mendekat ke arah bunda-nya yang kebetulan tengah duduk di tengah ranjang miliknya. Darren langsung mengambil Nayla dan menidurkannya, ia menindih tubuh Nayla dengan menopang berat badan dengan kedua sikunya. Ia langsung menghujani wajah Nayla dengan kecupan.
"Iih! Lucu banget! Cara buatnya gimana nih, bisa dicoba kalo Darren udah punya istri."
Plak!
"Kamu ini Ren, udah ngomongin kek gitu." Disa memukul kepala anaknya keras.
"Aw! Sakit Bun!" Kesal Darren, ia bangkit lalu mengelus kepalanya.
"Lagian masih kecil loh kamu ini, udah ngomong buat anak, gak boleh!" sungut Disa.
"Ya ampun Bun, Darren udah tujuhbelas tahun jalan, masa gak boleh?"
"Kamu tuh umur tujuh belas masih dua bulan lagi, sekarang umur kamu enam belas, ya jelas gak boleh lah!"
Darren menghela napasnya. Kapan ia bisa berdamai dengan bunda-nya ini?
Disa mengangkat Nayla lalu meletakannya di atas pangkuannya. "Dulu Ren, kamu waktu kecil mirip banget sama Nayla. Banyak ketawanya,"
"Darren cowok Bun, bukan cewek kek Nayla."
"Sifatnya, sayang," ucap Disa, mereda emosinya.
Darren mengangguk-anggukkan kepalanya. Tak lama, suara tangisan menggema kamar Darren.
"Eh, Bun, anak Darren, eh, anak Om Jordi kenapa nangis?!" tanya Darren panik ketika melihat Nayla.
Disa menimang tubuh Nayla. "Dia capek, mau tidur. Kamu jangan berisik dulu," ucap Disa lalu bangkit dari ranjang, mengayun-ayunkan tubuh Nayla agar cepat tertidur.
Saat Nayla sudah tertidur, Disa langsung melirik putranya. "Ren? Bisa anterin Nayla ke rumahnya?"
"Kan ada Om Jordi, Bun."
"Om Jordi ada kerjaan sama Ayah kamu, jadi dia pulang malem. Kalo Nayla suruh tidur di sini Bunda takut nangis, Om Jordi gak bawa botol susunya."
Darren menghela napasnya. "Sama Bunda ya nganterinnya?"
Disa langsung menggelengkan kepalanya. "Ih, Bunda ada urusan sama Ibu RT. Kamu aja ya?"
"Rumahnya aja Darren gak tau Bun!" kesal Darren.
"Ck! Itu lho, rumahnya Moza kamu masih inget?"
Darren mengangguk.
"Yaudah, itu rumahnya. Nayla adiknya Moza."
Darren berdecak. "Itu juga Darren tau! Maksud Darren di perumahan mana? Darren lupa nama kompleknya."
"Perumahan Dusun Indah, blok-C no. 13. Udah sana kamu siap-siap," titah Disa.
Darren menghela napasnya lalu berbalik mengambil kunci motornya.
"Eh Darren! Kamu mau bawa motor? Kamu bawa bayi, anak pinter," geram Disa.
Darren menatap kunci motornya lalu menyengir ke arah bunda-nya. "Oh iya-ya Bun, Darren kok bego sih,"
"Udah tau bego masih aja gak mau kalo disuruh bimbel," sindir bundanya.
Darren memutar bola matanya jengah. "Udah sini Nayla-nya, kunci mobilnya sama Ayah kan?"
Disa mengangguk. "Iya, ada di Ayah kamu. Yaudah, kamu hati-hati ya."
Darren berjalan keluar kamar sambil menggendong Nayla yang tengah terlelap itu. Saat berada di ruang tamu, ia melihat Ayahnya juga Jordi yang tengah sibuk diiringi banyak lembar kertas di sana.
"Ayah?" panggil Darren.
Dalvin menoleh. "Ya?"
Sedangkan Jordi menatap anaknya yang berada di gendongan Darren. "Nayla tidur Ren?"
Darren mengangguk. "Iya Om, mau Darren anterin ke rumah Om ya, siapa tau Moza ada di rumah."
Jordi tersenyum. "Ya ampun, ngerepotin."
"Enggak kok Om," jawab Darren.
Nayla-nya sih gak ngerepotin, ketemu kakak-nya nanti yang ngerepotin.-Batin Darren.
"Ada apa Ren?" tanya Dalvin.
"Kunci mobil Yah, mau antar Nayla."
Dalvin merogoh kantung celana-nya lalu memberikan kunci mobilnya. "Nih, sekalian pulangnya isi bensinnya ya,"
"Hm.."
👑👑👑
Perjalanan antara rumahnya ke arah perumahan rumah Moza tidak jauh. Kini Darren sudah berada di depan gerbang rumah Moza.
Ia mengerinyit melihat sebuah mobil terparkir di sana. Ia keluar dari mobil sambil menggendong Nayla hati-hati, menjaga tidur Nayla agar tetap tenang.
Darren mendekati gerbang yang terbuka, baru ia melangkah memasukki pekarangan rumah Moza, seseorang datang menghampirinya.
"Eh, ketemu lagi. Pacarnya anaknya tante Alina ya?" tanya-nya.
Darren menatap lelaki di hadapannya tajam. Di depannya ini, lelaki yang ia temui di toilet studio bioskop.
"Lo siapa?" tanya Darren.
"Gue? Gue pelanggan setia anaknya tante Alina," jawab lelaki itu.
Darren mengerinyitkan dahinya. "Maksud lo?"
Lelaki itu tertawa renyah. "Anaknya tante Alina kalo main rupanya lebih memuaskan."
Darren masih bingung, apasih yang dikatakan lelaki di hadapannya ini?
"Main?" beo Darren.
Lelaki di hadapannya mengangguk. "Main di atas ranjang."
Darren membelak, tiba-tiba pikirannya menjadi kosong. Sosok seperti Moza tidak akan pernah melakukan hal sehina itu.
"Bohong lo lucu man! Salut gue." Darren menepuk bahu lelaki itu lalu berjalan melewati Reza, lelaki yang entah siapa berada di kehidupan Moza.
Sambil berjalan menuju pintu utama, Darren semakin berpikir keras. Sudah ada dua kejanggalan dari sosok Moza. Pertama, Alina yang katanya ibu-nya, Darren tak pernah melihatnya. Kedua, Reza, lelaki satu-satu nya tahu keberadaan Moza selain dirinya.
Ia semakin penasaran dengan kehidupan si Cold Princess sekolah itu. Dan satu ide terlintas di benak Darren, ia tersenyum miring.
" We start this game now, Princess Moza."
Bersambung...
(Harus wajib dijawab yaa)
1. Apa perasaan kalian setelah membaca part ini?
2. Apa kalian suka sama cerita ini? Kenapa?
3. Karakter siapa yang kalian suka? Jelasin kenapa!
4. Jadi setelah baca dari bagian pertama sampai sekarang udah bagian sepuluh, menurut kalian apasih kekurangannya dan kelebihannya?
Wajib banget kalian isi yaa, jangan cuma jadi siders aja. Sedih akutu kalo cuma ngebaca doang gak ngasih apresisasi sama sekali:(
Yaudah ya, awas diisi, yang nggak aku bakal ngaret buat post bagian berikutnya.
Salam, Author yang lagi sedih :'(
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro