Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 03: Rudaí Nua


[Chapter 1 dan 2 dapat ditemukan di akun Fururun]

Himuro sensei berpisah dengan mereka, ia memilih menaiki kereta sampai ke tujuannya, sedangkan Lucien menyewakan mobil untuk ke Shibuya, menuju ke rumah Miu.

Perjalanan menuju rumah Miu memakan waktu yang cukup lama, rasa kantuk dengan cepat menghantam Miu yang menjadi satu-satunya yang tidak tertidur saat perjalanan pulang tadi.

Manik hijau Lucien menatap langit biru tua yang dihiasi titik-titik bintang melalui jendela mobil, sembari memikirkan apa yang harus ia lakukan pada dua angsa itu.

Sesekali ia menatap Miu yang sedang tertidur pulas, gadis lugu ini selalu menerima respon tidak baik dari teman sekelasnya baik di Jepang maupun di Irlandia.

"Apa yang salah ya?" ucapnya dalan hati. Lucien berharap bahwa selanjutnya tidak akan lagi ada masalah yang menimpa Miu.

...

"Miu, Miu." ujar Lucien seraya menggoyangkan bahu Miu agar ia terbangun.

"Um, Lucien, sudah sampai?" Miu mengucek-ucek netranya, ia juga masih berusaha menstabilkan tubuhnya yang baru berdiri.

"Rhys, Al, turun," ucap Lucien, sesaat kemudian mereka semua sudah berada di depan pintu rumah Miu.

Buku jari Miu mengetuk pelan pintu berwarna coklat, setelah mengetuknya dua kali, pintu itu terbuka.

"Oba-san!!" Tangan Miu langsung memeluk neneknya dan sontak neneknya memeluknya balik.

"Miu, oba-san rindu padamu." Tangan keriput Aoki-san membelai rambut merah Miu disertai senyuman yang terukir di atas bibir.

"Lucien, dan ...." Manik Aoki-san menatap ketiga Lelaki yang berada di belakang Miu, matanya menyipit lantaran merasa asing dengan dua mantan angsa itu.

"Mereka itu teman kami, Rhys dan Al." Lucien menunjuk Rhys dan Al dengan matanya, kedua tangannya sedang memegang koper miliknya dan koper Miu.

"Ah, Rhys dan Al." Aoki-san menjeda kalimatnya sebentar lalu melanjutkannya. "Ayo semuanya, masuk ke dalam."

"Oba-san menyuruh kalian masuk." Lucien menerjemahkannya pada Rhys dan Al.

Rhys dan Al yang penurut pun ikut masuk bersama Miu dan yang lainnya.

"Nenek masakan makan malam dulu, kalian istirahat dulu," ujar Aoki-san sebelum pergi ke dapur, meninggalkan mereka berempat di ruang tengah.

"Miu, kamu harus hati-hati." Lucien menatap manik Miu seraya berbicara menggunakan bahasa Jepang agar Rhys dan Al tidak mengerti.

"Tapi kenapa? Mereka sepertinya orang yang baik," balas Miu yang sedang memandangi layar ponselnya, membaca legenda Lir. "Justru ada yang menjahati mereka."

"Aku hanya khawatir, pokoknya kamu jangan sampai lengah." Lucien memandang Rhys dan Al, mereka berdua hanya membalasnya dengan pandangan bingung, tidak mengerti apa yang Lucien ucapkan.

"Ha'i." Miu mengepalkan kedua tangannya dengan erat.

"Apa yang kalian bicarakan?" Rasa penasaran Al melunjak, anak itu selalu diburu rasa ingin tahu yang besar.

"Oh iya, Lucien, kita harus mengajari mereka bahasa Jepang," saran Miu yang mendapatkan anggukan kecil dari Lucien.

"Iya, saat kalian tinggal di rumahku, aku akan menyewa guru privat yang akan mengajar kalian pelajaran dasar SMA dan juga bahasa jepang," ujar Lucien kepada Rhys dan Al dalam bahasa Irlandia.

"SMA?" Alis Rhys terangkat sebelah.

"Iya, sekolah menengah atas," balas Lucien dengan singkat.

"Etto, bagaimana kalau kita belajar bersama-sama saja?" saran Miu dalam bahasa Irlandia agar semuanya dapat mengerti. "Daripada menyewa guru privat, merepotkan Lucien-kun."

"Boleh saja." Netra Lucien kembali memandang Rhys dan Al yang mungkin saja ingin mengutarakan pendapat.

Sebaliknya mereka tenggelam dalam keheningan, mereka tidak tahu seperti apa dunia saat ini jadi memberikan komentar bukanlah sebuah pilihan.

"Apa kalian sanggup mempelajari semuanya hanya dalam waktu kira-kira sepuluh bulan?" Lucien memberikan tatapan ragu.

"Aku yakin kami bisa." Tersirat nada percaya diri dalam ucapan Al, sedangkan Rhys hanya menampilkan wajah datar.

Lucien meraba-raba dagunya, sembari berpikir, "kita mulai minggu depan? Di rumahku?"

Semuanya mengangguk tanda setuju.

"Ah semuanya, makanannya sudah siap, ayo makan, sudah pukul delapan malam, kalian pasti lapar." Suara hangat Aoki-san terdengar dari arah dapur.

"Nenek menyuruh kita untuk makan malam," Miu menerjemahkannya.

"Wah! Sedap sekali! Aku akhirnya bisa makan ramen." Miu tersenyum ceria saat melihat makanan khas jepang yang tertata di atas meja, sejak tinggal di Irlandia, ia sangat merindukan masakan jepang.

Rhys dan Al kembali memberi tatapan bingung, menatap makanan asing yang tidak pernah mereka lihat.

Miu, neneknya dan Lucien serentak mengucapkan 'itadakimasu' dan mulai menyantap ramen tersebut dengan lahap.

Rhys dengan tatapannya yang datar menatap semangkok mie itu dan juga Al yang bahkan masih kebingungan melihat sumpit.

"Kalian tidak bisa menggunakan sumpit?" tanya Aoki-san yang melihat ekspresi mereka.

"Aku ambilkan garpu ya." Miu beranjak dari duduknya dan mengambilkan mereka garpu.

"Rasanya tidak buruk," ujar Al yang tengah menguyah ramen masakan nenek Miu.

Disela-sela makan malam, Miu menceritakan apa saja yang ia alami di Irlandia, sekolahnya dan kegiatannya pada neneknya, Lucien juga ikut dalam perbincangan ini. 

Kehangatan tercipta, Miu akhirnya bisa melepaskan rasa rindunya pada rumah kecil ini.

...

"Aku pulang dulu." Lucien melambaikan tangan kirinya, satu tangannya lagi memegang gagang koper. "Miu, cepatlah istirahat nanti, jangan tidur larut malam."

"Ha'i." Miu mengangguk kecil kepalanya.

"Nenek, jaga diri nenek baik-baik ya," ujar Lucien seraya membukakan pintu mobilnya dan menyuruh Rhys dan Al masuk ke dalam lalu diikuti dirinya.

Mobil itu melaju di jalanan yang masih saja ramai meski sudah pukul sepuluh malam.

"Ah, teman Lucien-sama?" Supirnya melirik ke arah jok belakang mobil yang diduduki oleh Rhys dan Al.

"Iya." balas Lucien.

"Mau diantar kemana?" tanya supirnya dengan netra masih memperhatikan jalan.

"Ke rumahku, Oka-san dan Otou-san belum pulang kan?" tanyanya yang dibalas dengan gelengan kepala.

"Belum." Supirnya tampak menambah kecepatan kendaraan karena jalanan tidak terlalu macet.

"Kita mau kemana?" tanya Rhys yang sedang memandang Lucien meski ia tidak memandang balik.

"Kalian akan tinggal di rumahku sementara," ucap Lucien.

"Maaf, aku tidak membalas budi anda, aku tidak punya koin emas dan nenek itu, aku tidak bisa membayarnya karena telah menyediakan makanan," kata Rhys dengan perasaan yang sangat bersalah sedangkan Al hanya diam tak berkutik.

"Tidak apa-apa, lagipula rumahku besar dan banyak kamar kosong," balas Lucien. "Dan nenek Miu adalah orang yang baik, dia tidak akan meminta imbalan."

"Akan aku bayar suatu saat, berapa koin em-"

"Tidak masalah, aku tidak butuh, lagipula pembayaran zaman ini menggunakan uang kertas," ucap Lucien dengan tegas.

Lucien kembali berpikir mengapa ayah dan ibunya begitu tergila-gila dengan pekerjaan mereka, bicara tentang uang, dia punya banyak--hasil kerja orang tuanya.

Uang tidak memberikan segalanya bukan?

"Lucien-sama? Anda baik-baik saja?" tanya supirnya yang baru saja mendengar Lucien berbicara agak keras dari biasanya menggunakan bahasa Irlandia dikarena sifat Rhys yang mudah merasa bersalah.

"Aku baik-baik saja." Netra Lucien yang tadi memandang jok belakang kini telah menatap lurus ke depan.

...

"Ini rumahmu?" tanya Al seraya memandang bangunan putih yang berdiri megah di depannya

"Iya," balasnya singkat.

"Kukira rumahmu lebih besar," komentar Al.

"Sudah kubilang aku bukan penguasa Jepang," balas Lucien seraya menarik kopernya. "Ayo masuk."

Rhys memandang sekeliling rumah Lucien, megah walaupun rumah lamanya lebih besar dan lebih megah dari ini.

"Selamat datang kembali, Lucien-sama." Salah satu asisten rumah tangga datang menyambut Lucien. "Teman anda ingin menginap disini?"

"Iya, Haruka-san, tolong siapkan kamar mereka." Haruka mengangguk dan kemudian langsung pergi ke lantai atas.

"Kalian, ayo masuk," ajak Lucien yang tengah membuka pintu kamarnya yang terkunci karena tidak dipakai selama setahun.

"Kalian duduk dulu di sofa, aku ingin ke kamar mandi." Jari Lucien menunjuk sofa yang ada di samping kasurnya.

"Rhys, siapa dia, kenapa dia mau menolong kita?" Al mulai bersuara saat terdengar suara keran menyala dalam kamar mandi, tanda bahwa Lucien sudah disana.

"Aku tidak tahu," balas Rhys dengan lirih.

"Dimana saudara kita yang lain?" tanya Al yang membuat mata Rhys membulat sempurna.

Namun mulutnya tidak terbuka, ia memilih untuk diam, tidak menjawab pertanyaan Al.

Lima menit dipenuhi keheningan total, sampai Lucien yang baru saja keluar dari kamar mandi--mendatangi mereka.

"Eh? Kalian kenapa wajahnya tegang begitu?" ujar Lucien yang melihat mereka memasang wajah serius.

Al memandangi Lucien lalu berkata, "kamu sebenarnya siapa?"

"Aku manusia, sama seperti kalian, hanya saja aku dari zaman yang berbeda," jawab Lucien diselingi tawa ringan. "Dan aku bukan penguasa Jepang, hanya lelaki biasa."

"Lalu gadis itu? Miu? Siapa dia?" tanya Rhys. "Apakah dia yang melepaskan kutukan kami?"

"Ah, dia yang kebetulan melihat kalian setelah lonceng di sekitar asrama berdentang, dan dia meneleponku," jelas Lucien yang kini ikut duduk di sofa.

Al kembali bertanya, "menelepon?"

Lucien dengan senang hati menjelaskan, "kalian tahu benda pipih yang Miu dekatkan pada telinganya? Itu ponsel, untuk berkomunikasi dengan orang lain yang jaraknya jauh dari kita."

Wajar saja mereka tidak tahu, mereka hidup di zaman dimana suratlah yang menjadi alat komunikasi.

"Kalian harus ku beritahu banyak hal supaya tidak ada yang curiga kalau kalian sudah berusia 900 tahun lebih." Lucien bangkit dari duduknya, membuka kopernya untuk merapikan barang-barangnya

"Ngomong-ngomong, kalian berempat bersaudara bukan?" Lucien tahu pertanyaan ini terdengar menyakitkan, mengingat mereka sedang tidak bersama. 

"Iya." Iris dingin Rhys menatap punggung Lucien yang sedang membelakanginya.

"Semoga kalian bisa bertemu lagi," ujar Lucien seraya menepuk pundak Rhys dan Al secara bersamaan.

Ketukan pintu terdengar, sesaat setelah Lucien berkata, "masuk," Haruka membuka pintu tersebut.

"Kamar Rhys-sama dan Al-sama sudah saya siapkan, Lucien-sama," ujar Haruka seraya menundukkan kepalanya sedikit.

"Rhys, Al, kalian ikuti Haruka-san, dia akan mengantar kalian ke kamar kalian, besok kita bicara lagi." Lucien menerjemahkan ucapan Haruka yang membuat Rhys dan Al sontak berdiri dan keluar dari kamar Lucien.

Sejenak setelah Rhys dan Al pergi, Lucien mengaktifkan laptopnya dan jarinya menari diatas keyboard, menelusuri sesuatu.

"Sepuluh bulan? Apakah cukup? Aku harus merangkum materi." Lucien memegang kepalanya, berusaha mencari titik pencerahan. 

Matanya terasa amat berat, perjalanan tadi menguras banyak tenaganya, ia mengucek matanya beberapa kali dan masih setia menatap layar laptop yang terang itu.

Hatinya tidak tenang, terlalu banyak kejadian tidak lazim yang telah terjadi, membuatnya enggan tidur dan terus memikirkan masalah itu.

Tanpa perintah, kelopak matanya terbenam sendiri karena kelelahan, membuatnya mulai masuk ke dalam dunia mimpinya.

*Tbc

 Lemony's note

Rudaí nua artinya hal yang baru.

Glosarium:

Sensei = guru/pengajar.
• Oba-san = nenek.
• Akhiran -san = panggilan universal (bisa untuk cewek ataupun cowok) untuk orang yang lebih tua ataupun orang yang belum terlalu kenal.
Akhiran -sama = panggilan untuk orang yang lebih tinggi derajatnya.
Otou-san = ayah.
Oka-san = ibu.

Ditunggu kelanjutannya~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro