Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 02: Ar Ais Sa Bhaile

Lucien meregangkan ototnya sambil mengulas senyum kecil, dan memandang mereka berdua bergantian. Ia mengubah aksen Jepangnya itu menjadi aksen Irlandia.

"Nah sekarang, tuan-tuan, kita mulai darimana?"

"Rhys, dan Al bukan?" tanya Lucien kembali, untuk memastikan. Mereka berdua mengangguk.

Lucien menghela nafas singkat, "baiklah, jadi kalian ini angsa yang baru saja berubah menjadi manusia?"

"Benar, kami dikutuk oleh ibu tiri kami." Rhys mewakili mereka berdua, menjawab pertanyaan Lucien.

Lucien mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, aku sudah mengerti sebagian besar kronologisnya, meski terdengar sangat tidak masuk akal."

"Terima kasih atas pengertiannya, Tuan Lucien. Apakah anda juga penguasa negara Jepang?" tanya Rhys dengan polosnya.

"Ehm, bukan begitu...." Lucien mengaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Aku akan menjelaskannya besok, apakah hal itu bisa diterima?"

"Baik!" seru Al yang sedari tadi diam, setidaknya Lucien sadar bahwa Al juga ikut mendengarkan.

"Pertama-tama, ayo ikut aku." Lucien menyuruh Rhys dan Al mengikutinya dari belakang masuk ke dalam kamarnya di asrama.

"Cobalah pakaianku terlebih dahulu, mungkin tidak akan terlalu pas." Lucien menatap Rhys yang lebih tinggi beberapa cm darinya. "Untuk Rhys seharusnya bisa muat, kalau untuk Al... aku ragu."

"Apa dia harus memakai pakaian Miu?" pikir Lucien. Ia segera menggeleng, "tidak...tidak. Itu akan memalukannya, aku tidak akan melakukan hal itu."

"Benar, pasti ada beberapa refrensi yang bisa membantu," gumam Lucien seorang diri. Ia memakai kacamatanya dan membuka laptopnya.

Tangannya bergerak menari-nari di atas keyboard. Lalu akhirnya terhenti di sebuah situs. "Kalau ini pasti akan bisa membantu!"

"Rhys, kamu pakai pakaian ini." Lucien menyerahkan sebuah baju kemeja putih berlengan panjang dan sebuah celana panjang berwarna hitam. Ia berencana untuk memakainya besok tapi sepertinya Lucien harus kembali menggunakan pakaiannya yang lain.

"Dan ini untukmu, Al." Lucien menyerahkan sebuah kemeja berwarna peach dan sweater abu-abu. Dan mencarikan celana terpendek yang ia punya.

"Pakaian yang cukup aneh," ujar Al sambil tersenyum memandangi kemeja dan sweater yang diberikan Lucien. "Menarik."

"Bisa pakai sendiri kan?" tanya Lucien. "Kurasa tidak begitu susah kan? Ini seharusnya tidak jauh berbeda dengan baju kalian."

Mereka mengangguk.

"Baiklah, ganti di toilet." Lucien menunjuk sebuah ruangan yang berada di sudut ruangan dekat pintu.

...

"Ha, ternyata lumayan cocok juga," ujar Lucien puas dengan hasilnya. Yah lagipula dari awalnya wajah Rhys dan Al memang sudah seperti seorang model, memakai baju apa saja juga akan cocok.

"Panas tidak?" tanya Lucien pada Al yang memakai baju berlapis-lapis. Sweater nya yang tampak sedikit kebesaran malah membuat Al terlihat imut.

Al menggeleng, "tidak, aku juga tidak suka kedinginan."

"Kuat juga fisiknya, padahal ini sedang musim panas." Lucien bergumam sendiri sambil mengingat-ingat kembali. Besok 5 Juni, saat mereka akan kembali ke Jepang. Kira-kira puncak terendah nya 9,4°C dan tertingginya 17,2°C. Perkiraan cuaca besok sepertinya tidak akan terlalu panas, bahkan ramalam cuaca mengatakan bahwa pagi nanti akan turun hujan. Ya, tidak akan ada masalah.

"Tuan Lucien? Anda baik-baik saja?" tanya Rhys melihat Lucien diam cukup lama.

Lucien menatap mereka, sambil tersenyum kecil, "sepertinya aku saja yang terlalu cemas."

"Aku baik-baik saja, hanya berpikir sejenak. Dan, jangan panggil aku dengan sebutan Tuan, Lucien saja," balasnya, "dan besok, kalian ikut kami kembali ke Jepang. Jangan memberitahu orang-orang soal identitas asli kalian. Kalau pun diperlukan, katakan saja nama kalian."

"Baik, maaf telah merepotkan anda, Lucien," ucap Rhys merasa bersalah.

Lucien menggeleng. "Tidak apa-apa. Lagipula Miu tidak akan membiarkan kalian berkeliaran seperti anak ayam tanpa induknya."

"Sudahlah, kalian tidur dulu, besok akan jadi hari yang panjang," ujarnya lagi dan mereka menurutinya, sedangkan Lucien duduk di kursi dan membuka laptopnya.

Memang hari itu adalah malam yang panjang, bagi Lucien tentu saja. Rhys, Al dan Miu terlelap duluan tanpa memikirkan apapun. Mata Lucien menatap layar laptopnya dengan serius.

"Anak-anak Lir ya...."

Jarinya menari-nari di atas keyboard, mencari sumber yang tepat untuk jawaban yang ia cari.

"Ini dia... legenda itu... ternyata benar-benar nyata!" serunya seorang diri, namun Lucien tetap menjaga volume suaranya agar tidak menganggu orang-orang.

"Jadi mereka itu benar-benar angsa...," ucapnya seorang diri.
"Yang artinya mereka sudah berumur 900 tahunan, mengejutkan sekali."

"Akan kubicarakan hal itu pada Miu besok."

°●•○•○•○•○•●°

"Apakah semua barang kalian sudah lengkap?" tanya wanita berseragam formal, Himuro--wali guru yang menemani Lucien dan Miu pergi ke Irlandia. "Periksa sekali lagi kalau saja ada yang ketinggalan."

"Tidak ada lagi, sensei." Miu menggeleng sebagai jawaban.

"Lucien, siapa dua orang itu?" Himuro sensei memicingkan matanya saat melihat Rhys dan Al. Miu mulai panik sambil menatap gugup Lucien.

"Mereka berdua sepupuku, Rhys dan Al, juga akan ikut kembali ke Jepang," balas Lucien dengan tenang.

"Mereka juga akan ikut naik pesawat?" tanya Himuro sensei sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Iya, tentu saja. Mereka juga sudah memesan tiketnya sama seperti kita," balas Lucien mengangguk, tak sia-sia ia berlama-lama menyusuri laptop, mencari tiket pesawat yang tersisa semalam, bisa dibilang mereka sangat beruntung meski harganya memang lebih mahal.

"Baiklah kalau begitu." Himuro sensei memgangguk mengerti. "Ayo, berangkat."

Setelah itu, mereka memesan taxi untuk dinaiki sampai bandara.

"Lucien, apa tidak apa-apa berbohong seperti itu?" bisik Miu saat mereka berada di dalam taxi. Himuro sensei duduk di depan, kemungkinan ia dapat mendengar mereka sangat kecil.

"Punya ide lain?" tanya Lucien dalam volume yang ringan, "lagipula ini juga untuk kebaikan mereka, kita saja sudah beruntung bisa mendapat dua tiket tambahan. Aku bahkan sampai membuat paspor dengan bantuan orang dalam. Sudah sampai sejauh ini, kita tidak bisa mundur."

Miu mengangguk mengerti. Keputusannya untuk menghubungi Lucien malam itu benar, kalau saja Lucien tidak bersamanya, mungkin ia akan menimbulkan kekacauan dan kericuhan pada sensei mereka, maupun Rhys dan Al.

"Semalam aku menelusurinya," bisik Lucien lagi, Miu memasang wajah penuh tanda tanya namun tetap diam untuk mendengar lanjutannya.

"Ini adalah sebuah legenda dari Irlandia. Anak-anak Lir yang terkutuk selama 900 tahun oleh ibu tiri mereka. Setelah kucari, ada beberapa akhir dari legenda itu, katanya, kutukan itu akan terlepas ketika mereka mendengar suara lonceng gereja."

"Ah, aku ingat, di sebelah asrama perempuan ada sebuah lonceng tua, namun aku tidak yakin itu sebuah lonceng gereja atau tidak," balas Miu. "Dan lonceng itu berdentang semalam."

"Hm? Benarkah?" tanya Lucien sungguh-sungguh.

"Iya, aneh ya? Kupikir lonceng itu tidak bisa digunakan lagi," balas Miu sambil bertanya-tanya sendiri dalam hati.

"Versi yang lain, dikatakan bahwa mereka menemui seorang pendeta dan meminta untuk di kembalikan wujudnya," ujar Lucien melanjutkan.

Miu menggeleng, "sepertinya bukan itu, karena disaat itu tidak ada orang yang terlihat, karena sudah sangat larut."

"Mungkin karena loncengnya," ujar Lucien. "Namun ada yang aneh, tidak salah lagi, seharusnya mereka itu berempat."

"Eh? Berempat?" tanya Miu yang membuat Lucien mengangguk.

"Iya, berempat." Lucien menekan kata berempat.

"Apakah mereka terpisah?" tanya Miu dengan nada khawatir.

Lucien menggeleng, "tidak mungkin. Menurut legenda, mereka diikat dengan rantai perak untuk memastikan bahwa mereka akan tetap bersama selamanya."

Miu menelan ludah dengan kasar, "apakah itu benar?"

"Benar, aku melihat bekas rantai di kaki mereka," balas Lucien.
"Kemungkinan besar mereka sudah...."

"Tidak mungkin...." Miu menahan tangisnya, ia tak bisa membayangkan betapa sulitnya kehidupan yang harus mereka alami, terpisah dengan saudara sendiri, itu hal yang paling menyakitkan! Meski Miu tidak mempunyai saudara, namun Miu paham sekali rasanya ditinggal oleh orang yang sangat ia cintai.

Miu kehilangan kedua orang tuanya saat ia masih muda, sekarang ia hidup bersama neneknya. Miu merasa cukup bersalah ketika ia harus meninggalkan neneknya sendiri karena harus berangkat ke Irlandia selama setahun. Namun mereka sering berbicara di telepon dan bertukar kabar.

"Kita tanyakan saja pada mereka nanti, saat sampai ke Jepang. Akan kubiarkan mereka tinggal di rumahku," ujar Lucien.

"Ha'i..." balas Miu dengan lirih.

°●•○•○•○•○•●°

Saat sampai di pesawat, Lucien langsung tertidur karena terlalu lelah. Rhys dan Al juga duduk diam sesuai janji mereka pada Lucien agar tidak mengganggu dan membuat kekacauan.

Miu menatap Lucien yang tertidur, alisnya berkerut, tidak dapat tidur dengan nyenyak. Mungkin ia sedang bermimpi buruk.

Miu meletakkan tangannya yang dingin ke kening Lucien dan wajahnya tampak membaik, alisnya tidak menekuk lagi. Akhirnya, Miu bersyukur mempunyai tangan yang mudah dingin. Akhirnya ... ia dapat melakukan sesuatu untuk Lucien, meski mungkin tidak berarti banyak.

Miu menatap ke jendela pesawat, awan-awan terlihat menutupi pemandangan dibawah. Namun melihat langit biru membuat pikirannya tenang.

...

"Sekarang pesawat telah sampai di bandara Haneda, Tokyo, pada pukul 17.30. Silahkan membuka sabuk pengaman dan jangan lupa memeriksa semua barang milik kalian."

"Lucien." Miu menepuk pundak Lucien, mencoba membangunkan lelaki itu. Karena perjalanan yang lumayan lama mereka semua bosan dan tertidur.

Lucien mengucek-ngucek matanya, "oh... sudah sampai ya?"

Miu mengangguk.

"Bagaimana dengan Rhys dan Al?" tanya Lucien.

"Rhys yang membangunkan Al tadi. Ayo, kita juga turun."

"Hm," balas singkat Lucien yang masih dalam keadaan setengah sadar, padahal ia sudah tidur 10 jam lebih.

...

Tokyo, ibu kota dari Jepang. Udara dan pemandangan khas dari Tokyo membangkitkan rasa rindu mereka terhadap kampung halaman mereka. Meski mereka hanya pergi selama setahun.

Rhys dan Al memandang sekitar, pemandangannya memang cukup berbeda dengan di Irlandia, terlebih lagi mereka sekarang sama sekali tidak mengerti bahasa Jepang, membuat mereka seakan orang asing yang tersesat diantara kerumuman orang di Tokyo.

Akhirnya mereka kembali ke Jepang. Miu ingin cepat-cepat pulang kembali dan langsung memeluk neneknya itu.
Ia sangat merindukan rumah kecil penuh kehangatan itu.

Lucien berdeham, kembali mengingatkan Miu ada sesuatu yang harus mereka urus, benar, Rhys dan Al.

"Mereka tidak bisa berbahasa Jepang, selama liburan ini kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya dengan memberi mereka semua pengetahuan yang mereka perlukan," ucap Lucien. "Setelah itu, mungkin akan ada murid baru yang masuk ke sekolah kita."

"Lucien, kamu berniat memasukkan mereka ke sekolah?" tanya Miu. "Berapa umur mereka?"

"900 tahun," balas Lucien dengan mudah. Terlihat asap keluar dari kepala Miu.

"M-Miu, kau baik-baik saja?"

"Akwu, bwaik-bwaik saja... aaa...900 tahun...."

"Miu! Bertahanlah!!!"

Yah, setidaknya, kita sudah berada di rumah.

*Tbc

Notes:

Ar Ais Sa Bhaile: Kembali ke rumah.

Halo, halo, gimana chapter kali ini? Penuh basa-basi yak? Hooh, soalnya baru perkenalan.

Lanjutan chapternya (chapter 3 dan 4) bisa ditemukan di akun lemonychee.

Ditunggu ya kelanjutannya~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro