Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Re-do.

29-30 Oktober 2016.
Genre : Teen Fiction.

Re-do.

"Apa kau selalu di sini?" Pemuda itu menoleh ketika aku menyapanya. Dia, orang yang akhir-akhir ini menarik perhatianku.

Tidak, aku bukan jatuh cinta. Aku hanya penasaran mendapatinya selalu berada di kursi taman yang sama setiap sore.

Entah apa yang ia lakukan. Mungkinkah ia tengah menunggu? Namun, apa yang ia tunggu?

Satu garis senyum terpoles tipis, ia hanya menatapku tanpa menanggapi.

Dengan alis bertaut, aku beranikan diri duduk di sampingnya. Diam, mengikuti ke mana arah pandang sepasang netra hitamnya berlabuh.

Menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatan, aku mendapati sesuatu yang menarik di seberang sana.

Seorang gadis berambut pirang. Ah ... jadi pemuda itu sedang melihat gadis manis tersebut.

Siapa dia? Perlahan, aku melirik pemuda yang berada di sampingku, ekspresinya tetap tidak berubah.

Kemudian aku memberanikan diri untuk bertanya, "Kau mengenal gadis itu?"

"Apakah itu urusanmu?" Ia membalikkan pertanyaanku dengan seulas senyum manis di bibir.

Dan sungguh ..., kalimat sinis yang berbanding terbalik dengan ekspresi manisnya itu membuatku bungkam.

Namun, ia segera tertawa ketika mengamati perubahan ekspresiku. "Maaf," katanya.

Sebuah senyum kuulas kemudian. Tawanya terdengar amat merdu, membuat kalimat sinisnya barusan dengan cepat kulupakan.

"Apa aku dapat kembali bertanya?" Mungkin ini sedikit lancang, tapi aku sungguh ingin tahu.

"Tentang siapa gadis itu?" Tanggapan berupa tanya membuatku kembali menumpukan atensi kepadanya, dan lagi, matanya tetap tertambat pada si gadis di kejauhan sana.

Tidak ada jawaban untuk beberapa menit. Dan aku mendapati diriku menunggu jawabannya.

Pemuda itu menatapku lekat lantas kembali tersenyum. "Seberapa besar rasa penasaranmu?"

Aku membuka mulut lalu kembali mengatupkannya, tidak tahu harus menjawab apa.

Masih terdiam untuk beberapa lama, kemudian aku mengatakan apa yang terlintas di kepalaku saat itu juga.

"Sebesar butir pasir," jawabku membuatnya tertegun. "Kecil, tapi kau takkan bisa menghitung jumlahnya.

"Sebesar itulah yang kurasakan." Aku menjawab seadanya.

Kudengar ia mengurai tawa. Entah bagian mana dari jawabanku yang begitu menghiburnya.

"Kau lucu," katanya lugas.

Aku tertegun, meresapi kalimat yang kuucap sebelumnya untuk menemukan "kelucuan" yang ia maksud.

"Lucu katamu?" Tanpa kusadari pertanyaan tersebut lolos dari bibirku.

Pemuda itu kembali tertawa. "Ya ... kau lucu."

"Eh?"

Ia mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku tanpa sadar menarik diri. Lantas ia kembali menyunggingkan segaris senyum lembut.

"Kau tak perlu tahu," tuturnya lembut, "yang perlu kautahu hanyalah ... kau takkan ingin terlibat denganku. Jadi, menyerah saja."

Dan ia berdiri dari tempatnya setelah berkata demikian, melangkah santai, menyisakanku yang masih terpaku oleh kalimatnya yang terkesan sendu.

Ah, apa yang ia maksud dengan kalimat tersebut?

Tertegun, aku sungguh tak mengerti. bukankah aku bertanya tentang gadis yang ia pandang, lantas mengapa ia menyuruhku menyerah? Menyerah dari apa?

Sadarkah ia ... akan ketertarikanku terhadapnya?

"Siapa namamu?"

Pertanyaanku berhasil membuatnya menghentikan langkah. Diam-diam aku mengulum senyum.

"Mengapa kau menyuruhku untuk menyerah? Menyerah dari apa?" Aku menatap punggungnya. Entah dari mana keberanianku untuk bertanya seperti itu.

Ia tertegun. Perlahan ekspresi di wajahnya berubah, membuatku seketika menyadari ... langkah yang kuambil mungkin terlalu jauh.

"Aku takkan menjawab itu,"--ia tersenyum dingin--"dan sebesar apa pun rasa tertarik yang mungkin kaurasakan terhadapku, kuharap kau menghentikannya."

Pemuda itu berbalik, menatapku dingin dari tempatnya berdiri. "Ataukah perlu bagiku untuk melenyapkannya saat ini juga?" Ia menyeringai.

Statis. Mataku mencari sesuatu dalam sepasang iris kelamnya. Namun, apa yang kudapati hanya cemoohan.

"He? Kau takut? Mengapa wajahmu menjadi begitu pucat, hm?"

Gelak tawa kembali mengudara, membuatku semakin bungkam karenanya. lantas, kualihkan pandangan pada si gadis yang masih berada di kejauhan.

"Apa karena gadis itu?" Suaraku terdengar sangat pelan nyaris bergumam.

"Itu bukan urusanmu!" Kalimatnya kali ini lebih tajam dan sinis dari sebelumnya. "Kau mau tahu siapa gadis itu?"

Keningku bertaut, dari ekspresi wajahnya aku tahu ia tidak akan memberitahukannya padaku. Akan tetapi, apa maksudnya dengan pertanyaannya tadi?

Ia melangkah kembali, mendekatiku yang masih duduk di kursi taman yang sama. Kini kami kembali berhadapan, dengan aku yang harus mendongak demi menatapnya.

Posisinya yang tepat di hadapanku dengan melawan arah matahari membuat raut di wajahnya kian gelap. Aku hanya bisa menelan ludah gugup tatkala kedua lengannya memenjarakanku, berikut senyum dingin yang kian sinis.

"Kautahu? Aku benci orang sepertimu, yang tak peduli seberapa bahayanya dunia yang kautinggali. Kau harus tahu, di dunia ini banyak sekali orang yang baik ... tapi aku bukan salah satunya."

"Dan aku yakin kau juga bukan bagian dari orang jahat." Kalimat itu terlontar tanpa dapat kucegah, tersampaikan dengan begitu lugas walau nyatanya aku mulai meragu.

Meski wajah di hadapanku masih berselimut gelap, dapat kulihat sepasang alisnya menukik tajam. Memperlihatkan dengan jelas bahwa ia kebingungan, atau mungkin ... tidak suka mendengar apa yang kuucapkan.

"Bagaimana kau bisa sebegitu yakin?"

"Aku bisa merasakannya. Kau bukanlah bagian dari orang jahat."

Aku tidak peduli seberapa jauhnya aku terjatuh, seberapa bencinya dia terhadapku, seberapa kuatnya ia ingin aku menyingkir dari hidupnya.

Aku sungguh tidak peduli, mungkin aku bodoh ... dan aku tidak peduli.

"Beri aku kesempatan untuk mengenalmu lebih jauh ... aku akan menunjukkannya padamu, bahwa kau bukanlah bagian dari orang jahat itu."

Kembali, kurasakan waktu membeku untuk beberapa saat, sampai akhirnya ia mendengus dan menjauhkan tubuhnya dariku, melepaskan kungkungannya. "Aku tidak bisa memberimu kesempatan itu. Maaf." Dan ia berbalik tanpa berkata apa pun lagi setelah berkata demikian.

"Kalau begitu, bisakah kita bertemu lagi di sini? Besok, besok, dan besoknya lagi?" tanyaku lagi, membuat langkahnya terhenti.

"Mungkin?" sahutnya. "Bukan untuk menyenangkanmu. Namun untuk suatu alasan, aku selalu di sini setiap sore. Tapi kuharap kau menghentikan niatmu itu," lanjutnya, membuatku kembali teringat alasanku menyapa pemuda ini.

Satu garis senyum kembali kuulas. Namun, kali ini senyum pahit. Aku bahkan belum sempat menanyakan apa yang ingin kuketahui dari pemuda itu sebelumnya.

"Setiap sore, ya," hanya sebuah gumaman, "aku akan kembali, seberapa tidak sukanya pun kau dengan keberadaanku di sekitarmu."

Ia tidak akan dapat mendengar apa yang kuucap, setiap langkah panjangnya membawa tubuh jangkung itu menjauh. Kian menipis dari jarak pandangku.

.

.

.

Hari ini, aku kembali lagi ke taman itu. Mataku menyapu sekitar untuk menemukan sosok yang kucari.

Ah ... aku menemukannya. Dia duduk di kursi taman yang sama seperti kemarin, memandang jauh ke depan. Seulas senyum terukir di bibirku. Kakiku melangkah ke arahnya lantas duduk di sampingnya.

"Hai ... aku kembali." Aku tersenyum manis padanya walau ia tak menggubrisku, aku tidak peduli.

Ia menoleh sekilas. Menatapku datar sebelum seulas senyum hambar tergaris di bibirnya untukku.

"Oh, hai," balasnya singkat. Pemuda itu merogoh sakunya kemudian, mengambil sebuah earphone dari sana, lantas menyumpal kedua telinganya dengan benda itu dan mengaktifkan MP3 player yang ia bawa.

Aku hanya bisa tersenyum masam. Hanya dengan melihat pun aku tahu, ia telah memutuskan kontak denganku. Ia menolak untuk berbicara padaku.

Untuk waktu yang cukup lama, kami hanya sama-sama diam membisu. Dia dengan lagu apa pun itu yang sedang didengarkannya (hanya jika dia benar-benar mendengarkan lagu, aku agak sangsi dan mulai mengira dia memakai earphone hanya sebagai bentuk penolakannya berkomunikasi denganku), dan aku bersama pertanyaan yang terus berkecamuk dalam benak.

Namun, semakin lama, terjebak dalam keheningan tidak menyenangkan ini membuatku jemu.

Aku meliriknya dengan sudut mataku. masih seperti sebelumnya; mata yang menyorot datar, wajah tanpa ekspresi, dan geming pada seluruh tubuh.

Sebenarnya apa yang dia lakukan di taman ini? Kuperhatihan taman ini dengan saksama; pohon-pohon rindang, beberapa permainan anak, semak-semak yang di pangkas dengan rapi, kursi taman yang tersebar di beberapa sudut. Aku merasa tidak ada sesuatu yang spesial.

Aku teringat sesuatu! Gadis berambut pirang, di mana dia? Kuedarkan pandanganku dengan sangat hati-hati agar pemuda tersebut tidak menyadari tindakanku.

Gadis itu tidak ada. Jadi, ia datang ke taman ini bukan untuk si gadis berambut pirang? Lalu, untuk apa?

"Kau tidak bosan seperti ini terus?" Suara yang tiba-tiba tertangkap telingaku membuatku terkesiap. Tepat di sebelahku, kulihat ia melepaskan earphone-nya ketika aku menoleh.

"Tiga puluh tujuh menit," gumamnya, membuatku semakin bingung. "Kau duduk di sebelahku selama itu tanpa melakukan apa pun. Apa kau berharap aku mengagumi kegigihanmu sekarang?"

Dan kalimat yang selanjutnya terlontar dari pemuda itu semakin membuatku terperangah. Dia ... sejak tadi dia terus menghitung waktu?

Alih-alih menjawab pertanyaan sarkastisnya, aku malah mengucapkan pernyataan retoris. "Kau bicara padaku."

Bibirnya mencebik, lantas sepasang netra hitamnya menatapku lekat. "Kapan kau akan pergi?"

Senyum yang semula telah terkembang lebar di wajahku mulai memudar. Menelan ludah, aku kembali menyelami sepasang iris gelap penuh intimidasi tersebut. Sebegitu mengganggunyakah eksistensiku bagi dirinya?

"Aku akan pergi bila kau pergi."

Sepasang iris gelap itu menatapku tajam sementara bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Tanpa berkata apa pun, pemuda itu bangkit berdiri lantas melewatiku begitu saja.

Aku memutar tubuhku cepat, menatap punggungnya yang mulai menjauh. "Aku akan kembali lagi besok, sampai jumpa!"

"Jangan," sahutnya tanpa nada suara yang berarti. Ia menoleh tanpa benar-benar berbalik padaku.

"Jangan temui aku lagi meski aku masih berada di sini besok, atau besoknya lagi," lanjutnya, "bukankah sudah kukatakan sejak awal? Aku bukan orang baik, kau takkan ingin terlibat denganku ... sebab aku bisa menempatkanmu dalam bahaya.

"Dan aku tahu kau dan aku sangat berbeda. Aku tidak ingin melibatkanmu dalam hidup yang kumiliki saat ini. Hanya itu."

Lima detik adalah waktu yang kami habiskan untuk saling memandang. dia dengan tatapan dinginnya, dan aku hanya mampu menatap penuh tanya.

Menit kemudian, aku tersenyum lebar. Membuat sepasang alisnya berkerut dalam.

"Aku akan tetap kembali."

Pemuda itu mendengus, senyum sinis kembali terukir di bibirnya. "Kau akan menyesal."

"Aku akan tetap kembali."

"Terserah. Aku sudah memperingatimu." Kemudian, pemuda itu pun menjauh dan aku hanya bisa memandang punggungnya.

Namun, baru berapa langkah ia menarik jarak menjauhiku, kulihat langkah pemuda itu terhenti. Membeku di tempatnya berdiri. Tak jauh dari hadapannya, kulihat seseorang melangkah dari arah berlawanan. Gadis pirang yang sama ... yang kulihat pertama kali.

Kurasakan waktu seolah terhenti. Untukku, pun kurasa bagi pemuda itu. Sampai kemudian mereka bersisian di jalan setapak yang sama ... lantas gadis pirang itu melewatinya begitu saja.

Dilihat sekilas pun aku tahu, itu bukanlah sebuah kesengajaan. Gadis pirang itu jelas tak mengenalnya, namun reaksi yang pemuda itu tunjukan membuatku semakin tidak mengerti. Apa yang sekiranya terjadi di antara mereka? Atau setidaknya ... apa yang terjadi pada pemuda itu?

Pemuda itu menoleh, matanya mengikuti arah kepergian si gadis pirang. Aku tetap diam menyaksikan dari tempatku berdiri. Dapat kulihat kepedihan melintasi sorot mata hitam si pemuda. Perlahan, raut wajahnya mengeras, seakan tengah menahan apa pun itu yang dia rasakan.

Mataku membulat sempurna kala pemuda itu menyusul langkah si gadis berambut pirang. Ia sedikit berlari kecil. Lantas tangannya dengan cepat menyambar pergelangan si gadis, membuat yang bersangkutan menoleh dan menatap bingung kepadanya.

Aku geming menanti kelanjutan interaksi mereka. Sebagian diriku ingin melangkah lebih dekat agar bisa mendengar lebih jelas. Namun, aku tahu itu tindakan yang cukup bodoh.

Gadis berambut pirang itu tersentak kaget mendapati pemuda yang tidak ia kenal menghentikan langkahnya. Mereka terlibat beberapa pembicaraan yang membuatku semakin penasaran.

Dengan segala pertimbangan yang akan aku sesali nantinya, kulangkahkan kakiku mendekat ke jarak pendengaran yang cukup aman.

"Kau berada di sana bukan? Di tempat terjadinya peristiwa itu? Sekarang ... katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi."

"Apa yang kaubicarakan? Lepaskan aku, kau orang aneh!" Kudengar suara gadis itu meninggi. Ia lantas menyentak lengannya dengan kuat, membuat genggaman pemuda itu terlepas darinya.

Hening kembali menguasai tatkala gadis itu melangkah pergi dengan cepat, menyisakan si pemuda yang masih geming di tempatnya berdiri. Dengan membulatkan tekad, kulangkahkan kakiku mendekati posisi pemuda itu berdiri.

"Gadis itu ... dia di sana. Saat pembunuh itu menikam kakakku, dia ada di sana. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kakakku tidak pernah benar-benar bercerita tentang kehidupannya. Namun, aku yakin ia memiliki suatu hubungan dengan gadis itu," pemuda itu menggumam kosong, "aku mengamatinya selama beberapa minggu, dan kemudian aku tahu ia selalu berada di sini setiap hari minggu dan kamis sore. Dan yang kulakuan ... aku di sini menunggu kesempatan untuk bertanya. Atau mungkin, aku menunggu kesempatan untuk membunuhnya? Ahahahah. Entahlah. Aku tidak tahu? Tapi kurasa aku sudah memberitahumu semua yang ingin kautahu. Jadi ... KAU PUAS SEKARANG?! KALAU BEGITU PERGILAH!!"

Terkesiap kaget, mataku membelalak atas bentakannya. dan mungkin juga, atas segala jawaban mengejutkan dari pertanyaan yang selama ini menggelayuti pikiranku. Itukah alasannya? Jadi, bukan karena dia menyukai si gadis?

Aku tidak tahu harus merasa senang atau turut berduka. Mengetahui ia bersedih sebab kematian tragis saudaranya membuatku ingin menangis. Dia menyimpan derita, dan mengingat kalimat "menunggu kesempatan membunuhnya" yang dia ucapkan meyakinkanku dia juga menumbuhkan dendam. Pasti sangat menyiksa. Itukah sebabnya ia berkata bahwa ia bukan orang baik?

"A-aku ...." Tergagap, dan klausa yang ingin kuucap tak dapat kusampaikan ketika menyelami sepasang netra hitamnya. Begitu kelam, sarat akan luka yang dalam.

Aku menunduk. Tidak tahu harus berbuat dan berkata apa untuk menenangkannya. Untuk membuatnya merasa lebih baik.

Aku takut apa yang akan kukatakan semakin membuatnya marah. Apa yang bisa aku perbuat untuknya?

Aku tidak pernah berpikir akan melangkah sejauh ini hanya karena rasa penasaranku, tetapi melihatnya menyimpan luka yang begitu dalam ... aku ingin ... ingin apa? Aku pun tidak tahu.

Sesuatu merambat perlahan di hatiku, yang awalnya tidak kusadari ... aku merasakan rasa sakit yang sama ketika melihatnya seperti itu.

"Apa? Ada apa dengan tatapan itu? Kau bersimpati padaku, heh? Dengar, wanita aneh! Aku tidak butuh simpati darimu. Biar kutebak, semua yang kaulakukan sampai hanya karena rasa penasaranmu, bukan? Kau penasaran karena aku berada di sini setiap hari, bukan? Hanya itu, bukan?! Sekarang sudah kukatakan semuanya, termasuk tentang rencanaku. Jadi ... apa yang akan kaulakukan? Melaporkanku ke polisi?"

Ia tersenyum sinis. Telapak tangannya terangkat, lantas mencengkeram kuat sisi wajahku berikut ekspresinya yang kian tak terbaca. Aku tak dapat memastikan apakah itu adalah bentuk dari amarah atau justru rasa sakit.

"Kau benar-benar membuatku muak!"

Aku berusaha berucap. Namun, tak satu frasa pun keluar dari mulutku. Bibirku bergetar, membuka dan menutup tanpa ada suara yang berarti.

Telapaknya yang masih mencengkeram sisi wajahku terasa dingin, dan perlahan, dapat kurasakan getaran dari sana. Entah karena emosi yang sudah tak terbendung, atau kesedihan yang mati-matian ia tahan.

"Kau," ia menepuk pipiku cukup keras, "tidak berhak untuk memberiku rasa iba. jadi, enyahlah! Enyahlah sebelum aku yang mengenyahkanmu dengan caraku."

Sebulir air mata jatuh menuruni pipiku dan terus mengalir bagaikan air sungai.

Aku menutup mataku sejenak. Mungkin ini tindakan bodoh yang paling bodoh yang pernah kulakukan.

Dengan menantang bahaya di hadapanku, tetapi untuk kesekian kalinya ... aku tidak peduli.

"Sebesar itukah kau membenciku hingga ingin mengenyahkanku? Dan bagaimana bila aku mengatakan aku akan tetap disini? Aku tahu ... Ini tindakkan bodoh, tetapi aku juga tahu kau bukanlah bagian dari orang jahat itu, kau adalah kau." Menelan ludah. "Aku akan tetap di sini meskipun kau ingin mengenyahkanku...."

Pemuda itu kembali menyeringai untuk yang ke sekian kalinya. "Hmph! Coba lihat~ apa kaucoba mengatakan kalau kau menyukaiku? Kau ingin menempatkan dirimu dalam hidupku? Konyol sekali! Sudah kubilang aku tak butuh simpatimu. Jangan bersikap baik padaku ketika kau tak tahu apa pun! Kau tak mengerti apa pun!!"

Ia berbalik, lantas melangkah melewatiku setelah berkata demikian. Aku tak tahu apa yang mendorongku. Namun, tanpa kusadari ... seolah tubuhku bergerak dengan sendirinya. Punggung yang menjauhiku dengan dinginnya itu ... aku tak ingin melepaskannya.

Aku ingin meraihnya.

Pemuda di hadapanku tersentak ketika akhirnya ia tertangkap oleh kedua lenganku. Entah ke mana perginya harga diriku, aku tak tahu. Yang kulakukan hanya memeluk punggungnya. Di luar kesadaranku.

"Kalau begitu, tolong biarkan aku memahami orang yang ada di hadapanku...."

Dapat kurasakan tubuh dalam dekapanku menegang. Hingga ketika aku mengeratkan pelukan, ia melepasnya dengan gusar. Berbalik, raut wajah pemuda itu kentara sekali menyiratkan amarah.

"Kau," ia meraup oksigen dengan rakus, "bagaimana kau ... merasa begitu layak menyentuhku?!"

Bukan bentakan, hanya desisan. Namun, justru itulah yang membuatnya terdengar lebih menyakitkan.

"Aku hanya mengikuti kata hatiku saja. Dan kurasa itu layak untuk dilakukan...," jawabku sekenanya.

Pemuda itu mendengus, netranya menatapku kian tajam. Amarahnya perlahan menghilang dan tergantikan dengan wajah dingin.

Seakan-akan itu adalah dinding pembatas yang dibuatnya untuk menghentikanku.

"Kaupikir kau pantas? Aku tidak mengerti dari mana kaudapatkan kepercayaan dirimu itu? Kau ... kau ... kau...."

Hening. Aku terdiam menunggu ia menyelesaikan ucapannya. Namun, beberapa detik hanya berlalu dengan hampa. Sampai kemudian, ia kembali bersuara dengan seulas senyum tanpa dosa.

"... Maaf, aku lupa dialogku."

"CUT!!"

Suara lain segera menginterupsi obrolan kami. Dari kejauhan, seorang pemuda lain menghampiri kami dengan langkah cepat sembari menggulung kertas naskah di tangannya.

Plok!!

Dan dengan sadisnya ia menghantamkan gulungan kertas itu ke pucuk kepala pemuda di hadapanku. Membuat baik aku maupun dia hanya bisa meringis.

"Ketua, kau kasar sekali!" gerutu pemuda di hadapanku, mengelus kepalanya yang kuyakin pasti tengah berdenyut. Di sisi lain, sosok yang ia panggil "ketua" itu masih menatapnya kesal.

"Tugas kita takkan selesai jika kau terus seperti ini ya ampun. Tiga hari lagi film pendek ini harus sudah selesai dan diserahkan ke panitia! Ini kegiatan terakhir kelas kita sebelum lulus, tak bisakah kau serius sedikit?"

Plok!!

Lagi-lagi gulungan naskah itu menghantam kepalanya, dan aku hanya bisa kembali meringis.

"Aku minta maaf, ketua kelas~ salahkan Ami yang berwajah sedih seperti itu. Membuatku sulit untuk fokus. Dia terlalu imut~"

Aku hanya bisa melengos pasrah ketika ia memelukku dengan wajah gemas. Dan tampaknya ketua kelas juga sudah habis akal menghadapi pemuda ini. Ya ampun....

"Aku tidak peduli apa yang kaupikirkan, aku hanya ingin ini selesai dengan cepat!"

Plok!!

Dan lagi-lagi kepalanya kembali mendapat elusan sayang dari ketua kelas.

"Berhentilah memukul kepalaku! Kalau aku jadi bodoh sepertimu, bagaimana?!" pekik pemuda di hadapanku tiba-tiba. Tampaknya ia sudah kepalang kesal.

"Sudahlah, kita ulangi lagi, ya? Ini tidak akan selesai jika kalian justru bertengkar. Tinggal satu scene lagi kan? Kita akan selesaikan ini dengan cepat, oke?" Aku coba menengahi mereka.

Dan tampaknya itu berhasil. Kami kembali ke posisi begitu ketua kelas meninggalkan kami dan salah satu siswa lain kembali menyiapkan kamera.

"Ami."

Aku menoleh ketika namaku dipanggil. "Ya?"

"Aku tidak tahu mengapa drama yang kita mainkan semenyedihkan ini, dan mengapa aku harus menolakmu dengan ketus, tapi di dunia nyata ... aku akan selalu menyayangimu."

"Ke-kenapa tiba-tiba kau mengatakan itu? Ayolah, kita bahkan tidak pacaran." Ahh, wajahku panas.

Jujur saja aku menyukai pemuda ini. Sejak lama. Dan bukan rahasia lagi jika ia pun menyukaiku, namun sejauh ini hubungan kami hanya sebatas teman akrab.

"Yahh, aku hanya ingin mengatakan itu. Setelah kita diwisuda nanti, aku punya proposal yang menarik untukmu, jadi kuharap kau menyiapkan diri." Ia tersenyum lebar, membuatku kembali terhenyak.

"Proposal ... apa?" tanyaku ragu.

"Kau akan tahu jika saatnya tiba!"

Dan aku tahu, tak seperti akhir tragis drama yang kami mainkan ... cerita yang menunggu kami di dunia nyata pastilah akan jadi sesuatu yang indah.

End.

0911'16

Regards,


SiofraQuelene, RedCherry98, Alulalyriss.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro