tigapuluh empat
Hari ini merupakan hari terakhir tim Senja di Pelupuk Borneo menginjakkan kaki di Kota Baru, Kalimantan Selatan. Mereka menggelar acara syukuran kecil-kecilan dan makan bersama. Seluruh kru serta pemain yang harus kembali ke Jakarta mengucapkan perpisahan baik kepada pihak perusahaan, Julak Ibung juga talent lokal yang terlibat dalam project ini.
Mereka kemudian mengambil foto bersama. Kiev dan Kivia duduk bersila di tengah-tengah paling depan bersama Liora. Kemudian perpisahan pun benar-benar tiba.
Yang paling mengundang haru tentu Julak Ibung yang selalu melepas Kiev pergi seperti anak sendiri. Sementara Pi'i begitu senang bisa foto bareng bersama Early.
Mereka lalu menuju Bandara dan memasuki ruang tunggu. Kivia menyipit melihat ayahnya bersama Sean datang memasuki ruang tunggu Bandara. Ayahnya itu memang sosok yang begitu mudah mengurus akses masuk.
"Kenapa tidak pakai pesawat pribadi kita saja. Di sini kan perlu menunggu," ujar Kumara setelah Kivia mencium punggung tangannya begitu pula Kiev yang duduk di hadapan gadis itu.
Kivia tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ayah...."
Mereka kemudian hanya duduk diam setelah Kiev berbincang-bincang mencairkan suasana. Terlebih, Maya yang baru saja bergabung. Gadis itu tersenyum canggung dan berpikir untuk beranjak dari sana. Tapi Kivia mengisyaratkannya untuk duduk saja.
Bagaimana ya, Maya rasa Tuan Kumara Nararya ini terlihat sangat berwibawa walau hanya menggunakan kaos polo dan celana bahan santai. Rasanya seperti sedang berhadapan dengan pemimpin negara saja.
Maya sampai menegakkan tubuh saat duduk saking tegangnya. Sementara Sean yang duduk di hadapan Maya tampak menyembunyikan tawa geli melihat tingkah laku Maya yang kikuk sendiri. Sampai saat pemberitahuan keberangkatan terdengar, Maya akhirnya bisa mengembuskan napas penuh kelegaan karena akan segera keluar dari situasi canggung itu.
"Pamit dulu, Yah."
"Hm." Kumara memeluk Kivia singkat.
Kiev terdiam kaget saat Kumara beralih ke arahnya lalu memeluk sekilas, menepuk pundaknya dua kali.
"Kami pamit, Om," ujar Kiev dengan perasaan senang menyadari sikap ayah Kivia yang terasa hangat padanya.
Kumara hanya mengangguk. Kemudian Kiev dan Kivia berlalu dari sana bersama yang lainnya. Mereka sampai tidak menyadari seseorang yang tertinggal di belakang.
Maya terlonjak dan nyaris menjerit ketika Sean menahan ranselnya.
Sean kontan melepaskan tangannya yang tadi memegangi ransel kecil yang Maya kenakan. "Eh, maaf mbak, tapi jangan kabur dulu."
"Hah?" ujar Maya melongo. Matanya yang seperti kucing mengerjap polos.
"Tuan Besar mau ngomong. Kurang dari 5 menit, masih sempat buat nyusul."
Maya makin tercengang. "Ha?"
Jantung Maya rasanya mau copot melihat Kumara yang datang menghampirinya.
"Kamu manajer anak saya?" tanya Kumara langsung.
Maya meneguk ludah. "I-iya, Pak."
"Ini list makanan yang dia suka dan tidak suka. Yang tinta merah adalah hal yamg sangat terlarang. Dia punya alergi. Kamu bisa konfirmasi ke Kivia," ujar Kumara sambil mengangsurkan sebuah notes kecil.
"Ba-baik, Pak." Maya membungkuk, darah dan kebudayaan Jepang dalam dirinya terpanggil saat ini. Kemudian menyambut notes tersebut.
"Terimakasih. Maaf kalau anak saya merepotkan."
Maya menggeleng dan mengibaskan tangannya. "Nggak sama sekali, Pak. Mbak Kivia sangat kooperatif dan nggak ribet, apalagi merepotkan."
Kumara lalu mengangguk. "Hm. Bergegaslah, kamu sudah ditunggu."
Tatapan Kumara beralih ke arah Sean. "Sean, antar dia."
"Baik, Tuan Besar." Sean menoleh ke arah Maya. "Silakan."
Maya membungkuk lagi lalu dengan langkah cepat menyusul yang lain bersama Sean yang ada di sisinya.
***
"Kita beda tower ternyata," ujar Kiev saat mengetahui letak apartemen Kivia. Saat ini mereka sedang ada di bangku pesawat.
"Nggak apa-apa deh, yang penting deket." Kivia menyengir.
Kiev mengangguk dan mengacak rambut Kivia. "Nanti kita dijemput Pak Jarwo, supir keluargaku."
"Oke, ini kamu pulang ke rumah?" tanya Kivia.
"Nggak, Ya. Aku pulang ke apart. Soalnya Bunda juga lagi trip sama teman-teman arisannya," jelas Kiev sambil membuka air mineral untuk Kivia.
Jika sedang hectic, Kiev memang sering pulang ke apartemennya yang terhitung sangat dekat dengan K-Entertainment dan memang berada di kawasan bisnis. Sementara rumah Kiev dan Bunda bisa mencapai waktu 30 menit kalau tidak ada macet. Namun, karena Jakarta dan macet adalah sebuah persandingan yang seringkali terjadi, maka Kiev memilih tinggal di apartemen. Apartemen Kiev juga memiliki mini studio dan membantu Kiev untuk memproduksi musik.
Sesampainya di Bandara Soekarno Hatta dan selesai mengurus koper. Kiev dan Kivia berpamitan dengan yang lainnya.
"Mbak, aku tadi dipesenin sama ayahnya Mbak, lho," ujar Maya saat merasa menemukan waktu yang tepat untuk membahas kejadian mendebarkan yang dialaminya tadi. Terlebih saat teman-teman yang lain sudah berpencar dan menuju tujuan masing-masing.
Kivia dan Kiev lantas kaget bukan main mendengar hal yang diungkapkan Maya.
"Eh, gimana-gimana, May?" tanya Kivia penasaran.
"Masa ya Mbak, mas yang bagi-bagi pizza kemarin ituuu nahan ransel aku. Aku kaget dong. Ternyata katanya ayah Mbak mau ngomong. Langsung gemeteran akunya. Ayahnya mbak itu hawa-hawanya berwibawa banget kan soalnya. Ternyata beliau ngasih ini." Maya membuka ransel kecilnya dan menyodorkan sebuah pocket notes.
"Ah, iya bentar ya, Mbak." Maya menepi dan mengangkat ponselnya.
Kivia membuka notes itu dan terenyuh melihat goresan tinta yang Kivia tahu betul itu merupakan tulisan tangan ayahnya.
"Papa sama mama aku udah jemput, kebiasaan deh emang jemputnya paket lengkap gitu. Padahal anaknya udah gede." Maya tertawa kecil. "Oh iya, kata Ayah Mbak, aku disuruh konfirmasi sama Mbak dulu. Tapi daftarnya banyak banget dan nggak cuman soal makanan."
"Oke-oke, Papa-Mama kamu udah nunggu kan? Kita bahas nanti ya," ujar Kivia tersenyum tipis.
"Makasih, Mbak, maaf aku duluan ya, Mbak, Bos," kata Maya pada Kiev juga.
"Iya, hati-hati," pesan Kiev.
Maya mengacungkan jempol dan berjalan mundur sambil melambaikan tangan ke arah keduanya. Kemudian gadis itu berbalik dan berlari sambil menggeret koper menuju ayah dan ibunya yang terlihat celingak-celinguk dari kejauhan.
Kivia yang memandang Maya yang ceria memeluk kedua orangtuanya. Kivia memandang lagi notes itu dan mengusapnya perlahan. Ia kemudian memasukkan notes tersebut ke dalam saku coat yang ia pakai. Kemudian tersenyum ke arah Kiev.
"Lets go," ujar Kiev sambil menggenggam tangan Kivia.
Tidak menyadari jepretan kamera yang membidik keduanya di titik tersembunyi.
Seseorang yang mengenakan pakaian hitam-hitam serta masker dan topi hoodie yang melingkupi wajahnya itu tersenyum miring melihat hasil jepretan kameranya.
***
"Makasih ya, Kiev," ujar Kivia di depan pintu apartemennya.
Kiev menyunggingkan senyum manis. "Sama-sama.... Ya udah, sana kamu istirahat."
Kivia menganggukan kepala. "Hm, kamu juga."
"Kamu masuk dulu. Sampai ketemu besok."
Keduanya saling memeluk sekilas. Kivia melambaikan tangan ke arah Kiev yang kini sudah menuju lift. Kemudian saat Kiev memintanya untuk masuk sekali lagi, Kivia mengangguk dan akhirnya benar-benar memasuki apartemennya.
Gadis itu merebahkan tubuh di sofa panjang yang berada di ruang tamu apartemen. Kivia mengedarkan pandangan. Terdapat TV layar datar, mini bar di pojok dan beberapa furnitur lainnya. Juga foto-foto keluarga Nararya. Ada Kivia, ayah dan juga sang mama.
Kivia menarik napas dan mengubah posisi menjadi duduk, kemudian melepas coat yang ia kenakan. Menyisakan kaos putih dengan bordiran kecil bentuk kucing. Kivia lalu merasakan sesuatu ketika menyentuh coat yang ia pakai tadi. Ada notes yang Ayah kasih pada Maya pada bagian saku.
Tangan Kivia bergerak mengambil notes tersebut. Kemudian menyandarkan punggungnya ke bantalan sofa. Senyumnya terukir ketika tangannya mulai membuka notes berukuran kecil itu dan membaca isinya lembar demi lembar.
"Tulisan ayah selalu rapi dan indah," gumam Kivia sembari mengusap goretan pena yang tertera dalam kertas itu.
Seperti yang Maya katakan, ini bukan hanya mengenai makanan dan minuman yang ia suka dan tidak suka atau bahkan yang tidak bisa Kivia konsumsi sama sekali. Air mata haru Kivia jatuh begitu saja membaca penjelasan ayah tentang dirinya yang panjang lebar.
Warna favoritnya hitam, putih, dan abu. Hewan kesukaannya Kucing. Hobi Kivia adalah off road, memanah, main alat musik piano, flute, harpa, kalimba, juga menari kontemporer, klasik,...
"Kenapa ayah coret?" Kivia menyipitkan mata. Membalik kertas dan walau meraba-raba dapat melihat hal apa yang ayahnya coret.
"Ba ... let?" lirih Kivia. Kivia termenung sekejap kemudian seolah tersadar. "Ah ... ayah kurang suka melihatku menari balet."
Kenangan Kivia terlempar saat ia berumur belasan tahun, Kivia terus melakukan gerakan berputar hingga sepatu baletnya yang berwarna putih berubah warna menjadi merah.
"Hal yang paling kusuka saat itu entah kenapa ayah terlihat tak suka. Aku emang payah, nggak sehebat mama. Tapi ... apa ... aku mengingatkannya pada mama?" gumam Kivia lirih.
Kivia tersenyum tipis pada potret sang mama yang begitu anggun. "Andai mama masih ada, pasti aku akan belajar langsung sama mama dan kita akan menari sama-sama."
Kivia bangkit berdiri. Mengabaikan slipper miliknya dan bertelanjang kaki menapaki lantai dingin malam itu. Kivia mencepol ulang rambutnya kemudian menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.
Gadis itu memutar-mutar engkel kakinya ke kanan dan ke kiri sebagai pemanasan.
Setelah itu, Kivia mengatur posisi berdiri dengan bahu dan pinggangnya agar berada dalam satu garis yang sama. Posturnya dijaga untuk tetap tegap dan indah. Kuda-kuda kakinya membentuk segitiga.
Lutut Kivia diposisikan lurus dengan tungkai dan kaki. Telapak kakinya kemudian berjinjit. Mulai bergerak secara lembut. Senandung indah terdengar dari mulut Kivia sembari ia menari. Kemudian membuat gerakan lompatan yang indah.
Selanjutnya Kivia memposisikan satu kakinya rata di atas lantai lalu menekukkannya. Kaki lainnya dilemparkan ke samping membuat suatu putaran dan diletakkan di lutut saat kaki yang lain berjinjit.
Kivia terus mengulang putaran bernama fouettés ini. Tak hanya sekali, Kivia melakukan putaran fouettés dua kali. Tiga kali. Kemudian menambah tempo putarannya. Sepuluh kali. Lima belas kali.
Saat berputar, sekelebat bayangan muncul. Kivia seolah mendengar langsung alunan yang ia gumamkan sebelumnya.
'Yaya, coba lihat gerakan mama ya.'
'Yaya pasti bisa kok. Ayo sekali lagi.'
"Yaya hebat!'
Kivia terus berputar. Hingga duapuluh sembil kali. Sampai akhirnya ia jatuh tersungkur. Keringat menetes di pelipisnya. Napas Kivia tak beraturan. Air matanya mulai merebak.
'Yaya akan bisa jadi Ballerina yang baik alau bisa putaran fouettés 32 kali'
"I really miss you, Ma...." Kivia mulai terisak.
Gadis itu menatap lekat foto sang mama sambil memukul dadanya sendiri yang terasa sangat sesak.
Saat menyadari hal yang aneh dalam dirinya, Kivia mulai menggigiti kukunya sendiri.
"Apa ... apa yang sebenarnya terjadi...."
***
Kivia tersenyum ketika keesokan harinya Kiev mengajak untuk datang bersama ke tempat syuting. Kivia bahkan sempat tertidur di mobil Kiev karena ia hanya bisa terpejam selama satu sampai dua jam sebelumnya.
Kiev tampak begitu khawatir. Dari mata Kivia, gadis itu jelas sedang tidak baik-baik saja. Tapi Kivia menyembunyikan fakta tersebut dan mengatakan tidak ada masalah apa pun.
Sesampainya di lokasi syuting, Kiev memarkirkan mobilnya dengan hati-hati. Alih-alih langsung membangunkan Kivia, Kiev membelai rambut gadis itu dengan gerak seringan kapas.
Beberapa lama kemudian Kivia pun membuka matanya. "Eung, udah sampai ya? Maaf aku ketiduran."
Kiev menggeleng sambil tersenyum hangat. "Nggak apa-apa."
Lalu Kiev menempelkan tangan besarnya ke kening Kivia. "Kamu nggak demam, kan? Nggak panas sih... Tapi beneran kamu ngerasa nggak apa-apa?"
Kivia tertawa kecil. "Nggak apa-apa, Kiev.... Udah berapa kali sih aku bilang...."
"Soalnya keliatannya ada apa-apa," kata Kiev sembari mengusap pipi Kivia.
Kivia menggenggam tangan Kiev di pipinya. "Nanti kalau ada apa-apa aku akan bilang. Sekarang aku masih bisa handle sendiri. Jangan terlalu khawatir, okay?"
"Okay," ujar Kiev akhirnya.
Kivia yang masih menggenggam tangan Kiev kemudian mengecup punggung tangan Kiev berulang kali. "Si Baik."
Kiev yang sempat terperangah hanya bisa tersenyum lebar kali ini. "Astaga, Ya...."
"Semangat syuting hari ini suamiku, anak kita udah datang tuh," tunjuk Kivia pada Liora yang baru keluar dari mobil bersama orang tuanya.
"Iya, semangat istriku." Kiev mencium kening Kivia singkat sebelum mereka keluar dari mobil.
Keduanya menyapa Liora dan kedua orang tuanya.
"Pagi anak cantiiik," sapa Kivia riang.
Liora berseru antusias. "Pagi mamaa Kivia...."
"Mama Kivia aja nih? Ayah Kiev nggak disapa?" kata Kiev memasang wajah cemberut.
"Ayah Kiev...." Liora berlari kecil dan Kiev langsung berjongkok memeluk Liora.
"Ini siapa yang ngiketin rambutnya lucu banget...." ujar Kivia yang ikut menyejajarkan tubuhnya dengan tinggi Liora.
"Papah terus Mamah bantuinnn," celoteh Liora. Papa dan Mama Liora yang berjalan di belakang Liora lantas tertawa.
"Mama-nya protes, kalau saya yang ngiket suka miring," ujar Papa Liora.
Mama Liora tergelak. "Nggak simetris gitu kalau papanya yang ngiket."
Kivia dan Kiev ikut tertawa. Mereka lalu memasuki lokasi dan berjalan beriringan.
"Mbak beneran nggak apa-apa? Muka Mbak keliatan pucet," kata Agri yang berperan sebagai make up stylist tepat ketika Kivia duduk untuk dirias.
Kivia menerbitkan senyum tipis. "Nggak apa-apa, emang kurang tidur aja."
Sembari mengobrol ringan dengan Kivia, Agri menjalankan tugasnya dan menyapukan brush ke wajah Kivia yang sesekali memejamkan mata atas permintaan Kivia.
Rambut Kivia digelung dan pakaiannya kali ini dengan tema vintage.
Kivia berkenalan secara langsung dengan seorang aktris remaja yang tengah naik daun yang akan berperan sebagai putrinya, Kaia. Jika Kaia kecil diperankan oleh Liora maka Kaia yang sudah remaja akan diperankan oleh Shea Anindita.
Shea merupakan pemenang ajang pencarian bakat dan Kiev berperan sebagai salah satu juri. Popularitas Shea melejit karena selain parasnya yang manis, bakat menyanyinya tidak perlu diragukan lagi. Setelah kontrak dengan agensi terdahulunya berakhir, Shea masuk ke K-Entertainment.
Karena jadwal Shea yang cukup padat dan ia memang hanya memiliki adegan di bagian akhir, jadi Shea tidak ikut ke Kalimantan.
Setelah kembali memantapkan proses blocking, Shea dan Kivia juga Kiev akan mengambil adegan terakhir mereka.
Kivia yang akhir-akhir ini belajar menggunakan mesin jahit juga sudah siap duduk dengan nyaman. Sesekali ia melihat naskahnya dan mengobrol ringan dengan Shea.
Shea tertegun ketika Kivia menggenggam tangannya yang dingin karena dilanda gugup yang teramat sangat.
"Aku gugup banget, Kak. Biasanya di depan kamera cuma nyanyi, bukannya akting," kata Shea dengan jantung yang masih berdebar tak karuan.
Kivia tersenyum menenangkan. "Tenang ... tarik napas ... keluarkan... yakin pasti bisa. Aku juga nggak familiar sama kamera sebelumnya. Shea coba bayangin lagi bicara sama mama di rumah. Pas sutradara bilang action otomatis Shea sedang menjadi Kaia dan aku ... adalah mama Kaia. Okay?"
Shea mengangguk penuh keyakinan. "Okay, makasih banyak ya, Kak."
"Sini peluk dulu." Kivia merentangkan tangannya. Shea langsung menghambur ke pelukan Kivia.
"You can do it," bisik Kivia.
"Makasih banyak, Kak. Huhuuu."
Shea menghapus air mata di sudut matanya setelah pelukan mereka terurai. Walau bagaimana pun ia benar-benar gugup. Berkat Kivia, sekarang Shea sudah jauh lebih tenang.
"Ayahnya Kaia nggak dipeluk juga?" kata Kiev yang baru saja berganti baju. Cowok itu menggunakan kemeja flanel dan kacamata bening.
Kiev merentangkan tangannya pada Kivia. Semua kru dan pemain lainnya langsung berseru menggoda keduanya.
"Apa ya, kayak ada yang ngomong," canda Kivia pura-pura tak melihat keberadaan Kiev.
Kiev terkekeh dan mendekat pada Kivia sambil masih merentangkan tangan. Kivia langsung bergerak gesit menghindari pelukan Kiev dan berlindung pada Bu Maysha. Gelak tawa terdengar hangat pada ruangan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro