tigapuluh dua
tulung spam komen dan hype cerita ini yaaa 😘
***
Fakta mengejutkan mengenai latar belakang keluarga seorang Rembulan Kivianisya yang baru saja terungkap lantas membuat para kru dan pemain lain mengadakan konferensi meja kantin.
Tak ketinggalan rekan kerja Kivia selama menjadi operator haul truck juga ikut dalam pertemuan itu. Sebenarnya acara ini tidak diadakan seserius itu, tetapi karena tepat saat jadwal mereka makan malam bersama. Jadi sengaja tidak sengaja hal itu juga turut tentu diperbincangkan.
“Jadi, yang sempat gue sinis-sinisin sebelum casting waktu itu, putri tunggal konglomerat sekelas K-Corporation alias direktur utamanya, which is itu ayahnya, pernah masuk majalah Forbes? Demi apa?” tanya Renald dengan mimik wajah syok tidak terkira.
“Yailah, emang mengejutkan banget sih ini. Tapi ya kita nerima Kivia juga karena kemampuannya. Kita nggak tau sama sekali sama latar belakangnya yang wadidaw banget,” ujar Tari sambil menepuk bahu Renald.
“Insting lu kenapa sih, Tar? Bisa ngendus manusia nggak terduga kayak gitu?” tanya Early.
“Mana gue tau, ih. Emangnya gue punya indra ke enam apa? Satu-satunya yang gue pikirin waktu pertama kali ketemu Kivia cuman karakter Citra bakalan klop banget nih kalau diperankan sama dia,” jelas Tari panjang lebar.
“Saya sebagai rekan kerjanya aja nggak tau, Mbak dan Mas Bro sekalian,” timpal Pi’i.
“Wah, beneran Mas Pi’i?” tanya Dio.
Pi’i mengangguk. Begitu juga dengan Pakde Bambang dan Bang Juned. Bagaimana pun mereka termasuk rekan kerja yang paling lama dan terdekat dengan Kivia.
“Kivia memang agak tertutup. Dia nggak pernah menyinggung tentang keluarganya. Kami juga segan kalau nanya-nanya,” ujar Pakde Bambang.
“Jadi, emang udah sembilan tahun Kivia kerja di sini, Pak?” tanya Tari mengintrograsi.
“Kalau ditilik kembali, belum sampai sembilan tahun,” jawab Pakde Bambang sembari mengingat, ia memang yang paling senior di tempat itu.
“Coba ya, diliat-liat make sense banget sih. Cara jalan Kivia, cara makannya, semua sikapnya berkelas banget gitu, kan? Kayak orang yang udah dapat kursus kepribadian sejak kecil,” jelas Tari menjelaskan hasil observasinya terhadap Kivia dengan penuh semangat yang langsung diangguki oleh yang lainnya.
“Sekarang gue merasa nggak ada apa-apanya. Di balik kesombongan duniawi gue yang nggak seberapa, ada anak sultan yang selaw aja selama ini di sekitar gue,” kata Early sambil meringis-ringis. Yang lainnya pun lantas tergelak.
“Ini boleh kita rilis nggak sih? Kalau identitas Kivia terungkap, bukannya makin meledak nih film?” heboh salah satu kru.
“Hm, itu privasi Kivia sih, kita nggak bisa nyenggol-nyenggol tanpa seizin dia,” kata Dio bijak.
Mendengar hal itu, Maya sebagai manajer Kivia lantas menyahut. “Dalam kontrak manajemen, Mbak Kivia juga menolak pembahasan tentang family background. Jadi, dalam konteks ini sepertinya biar kita keep fakta ini buat diri sendiri.”
“Iya, agak complicated sih emang, tapi kita nggak boleh lancang dan harus percaya diri film kita dilirik karena memang berkualitas. Biar penilaian akting Kivia juga nantinya nggak bias. Dia berhak diakui karena kualitasnya. Bukan latar belakang keluarganya,” jelas Dio.
***
Sementara itu, Kivia memasuki kamar tidurnya didampingi oleh lima belas asisten pribadinya. Kivia terpukau melihat kamar tidurnya yang begitu rapi dan masih sama ketika ia meninggalkan rumah. Atau bahkan lebih dari sebelumnya?
“Kami membersihkan kamar dan barang-barang Nona setiap hari. Nona tahu betapa kami merindukan Nona?” tanya Bu Mia, kepala asisten pribadi Kivia.
Mata Kivia memanas, ia sungguh merasa terharu. “Kalian benar-benar tidak perlu melakukan hal ini....”
“Tuan Besar yang memerintahkan kami melakukan ini, Nona. Beliau juga tidak memecat kami dan meminta kami selalu mengurus semua yang berkaitan dengan Nona di rumah ini.”
Kivia tercekat sejenak, tetapi detik selanjutnya ia mengembangkan senyuman. “Ayah sudah minta maaf padaku, Bu.”
Kemudian Kivia duduk di atas tempat tidurnya. Ia meneguk ludah, menahan air matanya yang akan mengalir. “Dari dulu, aku selalu ragu apa ayah menyayangiku.”
Bu Mia mengusap lembut helai rambut sang nona. “Tuan Besar sangat menyayangi Nona.”
Gadis itu tersenyum tipis memandang potret keluarganya secara lengkap. Mendiang ibu Kivia duduk di kursi mewah dengan tersenyum manis. Kebaya berwarna hitam dipadukan dengan rok dengan motif kain sasirangan melekat indah di tubuh mamanya. Kesan anggun begitu terpancar pada mama Kivia yang dulunya berkarier sebagai ballerina itu.
Sementara ayah Kivia berdiri seraya meletakkan satu tangannya di bahu mama Kivia. Kivia kecil mengenakan baju senada dengan kedua orang tuanya, duduk di pangkuan sang mama.
“Nona....”
Kivia menghapus air matanya yang jatuh dengan cepat. “Iya, Bu?”
“Saya tau saya amat lancang dan tidak memiliki hak untuk bicara seperti ini pada Nona. Tapi ... bisakah Nona tinggal di sini? Di sini adalah tempat Nona pulang....”
“Aku memutuskan untuk berkunjung setiap minggu. Namun, untuk tinggal ... Nanti akan aku pikirkan. Terimakasih sudah merawat kamar ini, Bu.”
Bu Mia mengangguk senang.
“Selamat untuk film pertama Nona. Kami sangat menantikannya.”
“Iya, Non. Saya juga sangat menggemari lawan main nona, Kiev Bhagaskara. Nanti boleh foto dan minta tanda tangan, Non?” tanya salah satu asisten pribadi Kivia yang langsung ditegur Bu Mia.
Kivia tertawa kecil. “Nggak apa-apa, Bu. Boleh, nanti aku bantu ngomong sama Kiev ya.”
Kemudian mereka lanjut membahas banyak hal. Kivia memang sangat dekat dengan asisten pribadinya. Rata-rata mereka menemani Kivia sejak kecil hingga Kivia remaja. Maka saat Nona mereka kembali dan kini sudah beranjak dewasa, semuanya merasa terharu atas pertumbuhannya.
Tak lama, Kivia keluar kamar karena salah satu pelayan menyampaikan pesan ayahnya untuk makan malam. Kivia akan melaksanakan makan malam di meja makan bersama ayahnya dan Kiev yang sudah berada di sana. Entah apa yang mereka bicarakan sebelum kedatangan Kivia. Namun, pembicaraan keduanya sepertinya seru sekali.
Kivia duduk di hadapan Kiev. Sementara Kumara Nararya menduduki kursi kebesarannya di tengah-tengah meja makan. Pelayan datang silih berganti menyajikan hidangan makan malam. Setelah selesai, mereka menunduk hormat dan berlalu dari sana.
“Silakan dimakan, maaf hanya menu seadanya. Namun, ini adalah menu andalan sekaligus kesukaanku,” ujar Kumara pada Kiev.
Kiev mengangguk. “Terimakasih, Om.”
Mereka mulai makan bersama dengan tenang.
“Bagaimana syuting kalian?”
“Hanya perlu mengambil beberapa adegan di sini. Kalau lancar, pekan depan kami akan ke Jakarta.”
“Aku akan stay di Jakarta dalam kurun waktu yang lumayan, Ayah,” ujar Kivia.
“Tak apa, nanti ayah yang berkunjung. Kamu bisa tempati apartemen di sana.”
“Hm, aku bisa cari apartemen sendiri, ayah tidak perlu repot.”
“Apanya yang repot? Untuk tempat tinggal, harus pastikan yang aman.”
“Iya, Ayah.”
“Yakin, setuju?” tanya Kumara lagi.
Kivia mengangguk. “Iya, aku setuju.”
“Kamu tinggal sendiri?”
“Biasanya juga sendiri.”
“Hm, Ayah tau kalian sudah dewasa juga sama-sama serius. Tapi aku berprinsip memegang budaya ketimuran," ujar Kumara serius.
Kiev langsung tersedak lalu mengambil minum.
Kivia melirik sang ayah. “Ayah .... kami tau batasan kok.”
Kiev menyeka air di sekitar bibirnya menggunakan serbet putih. “Iya, Om. Kami akan menjaga diri.”
Kumara mengangkat alis. “Ya, kita kan tidak ada yang tau. Aku hanya memberikan nasihat seperti ayah lainnya yang memiliki anak perempuan.”
“Siap, Om.”
“Terimakasih, ayah,” bisik Kivia dalam hati.
Meski ekspresi ayahnya seringkali datar. Kivia dapat merasakan perhatian laki-laki itu. Ia rindu menghabiskan waktu bersama ayahnya seperti ini. Sudah sangat lama.
Usai menghabiskan hidangan masing-masing, ketiganya larut dalam obrolan ringan hingga berat. Topik yang ringan saja masih ada sangkut pautnya dengan masalah bisnis. Diam-diam Kumara menyimpan rasa salut pada Kiev. Terlihat sekali anak muda itu berwawasan luas.
Meski jauh di bawah level K-Corporation yang memang sudah lama berkancah di dunia bisnis. Kumara tidak berniat meremehkan, tetapi memang begitu kenyataannya.
Lagi pula K-Entertainment Kiev bangun dengan cemerlang. Kumara yakin perusahaan yang Kiev pimpin itu punya masa depan yang baik.
***
Kilas balik 22 tahun yang lalu....
Sekitar 2 minggu lagi, Kivia tepat berusia 6 tahun. Gadis itu tumbuh dengan cantik. Kumara berdiri memperhatikan Kivia yang sedang asik menari balet bersama istrinya, Kaia. Gerak mereka begitu indah. Kumara tersenyum tipis melihat pemandangan itu. Kivia seperti bentuk mini istrinya, mereka sangatlah mirip satu sama lain.
"Ayaaaah!!!" Kivia yang menyadari keberadaannya berseru girang. Kumara, masih dengan senyum tipisnya melambaikan tangan lalu berjalan mendekat.
"Eh, mama dulu yang peluk ayaaah," ujar mama Kivia melingkarkan tangannya di pinggang Kumara erat.
"Ih, Mamaaa! Yaya duluuuu," rengek Kivia seraya mengangkat kedua tangannya dan melompat-lompat minta dipeluk.
"Pian nih ketuju banar meajaki anak," ujar Kumara menggunakan bahasa Banjar. (Kamu ini suka banget ngeledekin anak)
Kaia hanya tertawa dan mengurai pelukannya pada sang suami. "Utuuu sayang anak mamaaa."
Kivia cemberut meski kini sudah dalam gendongan ayahnya. Ia menyandarkan kepalanya ke ceruk leher sang ayah. Memeluk ayahnya erat, mengabaikan mamanya yang masih menggodanya. Bibir Kivia manyun, ceritanya lagi ngambek.
Gadis kecil itu baru tertawa ketika tangan mamanya bergerak jail menggelitikinya. Untung ayahnya menolong untuk menghindari serangan gelitikan mama. Sehingga terjadi kejar-kejaran kecil dan gelak tawa memenuhi studio tari di rumah besar itu.
Gelak tawa antara Kivia dan Kaia tepatnya. Kumara tidak pernah tertawa seperti orang-orang. Wajahnya flat cenderung dingin. Namun, bersama anak dan istrinya, tawa kecil itu selalu berhasil muncul.
Malamnya, Kumara akan berperan sebagai pendongeng di sisi Kivia yang sayup-sayup ingin tidur. Sementara Kaia di sisi lain menepuk-nepuk bahu anaknya, membuai gadis kecil itu agar semakin terlelap.
"Hudah guring?" tanya Kumara. (Udah tidur?)
Kaia sedikit melongokkan lehernya melihat Kivia, kemudian mengangguk. "Inggih."
Kumara menutup buku dongeng anak-anak itu dan meletakkannya di nakas samping tempat tidur. Kumara lalu menunduk mengecup pipi Kivia. Gadis kecil itu terlelap dengan begitu nyenyak.
Kaia tersenyum melihat pemandangan itu, ia kemudian turun dari tempat tidur dan beralih untuk berbaring di belakang Kumara. Memeluk suaminya erat dari belakang. Kumara yang tadi sibuk memandangi Kivia hampir tersentak kaget.
"Bungas banar lo kaya ulun?" (cantik banget kan kayak aku?) tanya Kaia sembari meletakkan dagunya di bahu Kumara.
Pipi mereka berdua menempel satu sama lain. Keduanya jadi berbaring menyamping memerhatikan Kivia yang tenang, bibir kecilnya yang berwarna merah muda sedikit terbuka.
"Bungas Yaya," (cantikkan Yaya) kata Kumara. Jarinya mengelus pipi lembut Kivia.
"Ih, mamanya pang bungas makanya anaknya bungas." (Mamanya cantik, makanya anaknya cantik)
"Ayahnya bungas jua." (Ayahnya juga ganteng) ujar Kumara menegaskan ia juga terlibat menyumbangkan bibit unggul pada putri mereka.
Kaia mendengus. "Bungas ay mun rancak senyum." (Ganteng kalo sering senyum)
Kumara spontan mengulas senyum, Kaia memang sering protes dengan mimik wajahnya yang seringkali datar. Lantas, ia menggenggam tangan Kaia di pelukannya.
"Dasar kaya ini kayapa?" (Emang dasar kayak gini gimana?"
"Hudah ay, kayapa lagi," (ya udah gimana lagi) ujar Kaia mencium pipi Kumara gemas. Meski terlihat cuek, Kumara sebenarnya sosok suami dan ayah yang penyayang dan penuh perhatian.
Kumara mengurai pelukan Kaia dan memposisikan dirinya agar tidak lagi membelakangi istrinya itu.
Kaia menyandarkan kepala di dada suaminya. Menghidu aroma tubuh Kumara yang nyaman. "Habis Yaya, mamanya lagi yang ungah." (Setelah Yaya, mamanya lagi yang manja)
Lantas Kumara menjepit singkat hidung mancung Kaia. "Kivia hudah ganal, mamanya jadi kaya bayi." (Kivia udah gede, eh mamanya kayak bayi)
"Biar," ujar Kaia sambil tertawa kecil.
***
Keesokan harinya, Kumara dan Kaia berangkat ke Washington DC menaiki pesawat pribadi mereka untuk keperluan bisnis. Mereka juga membawa serta Kivia dalam perjalanan itu. Termasuk Bu Mia, yang bertugas sebagai nanny Kivia.
Kivia duduk di pangkuan ayahnya. Mulutnya terus berceloteh dengan riang. Sementara Kaia menyandarkan kepala di bahu Kumara seraya memeluk lengan sang suami. Kaia secara aktif berbincang dengan Kivia mengenai banyak hal. Menjawab pertanyaan putrinya yang memang punya rasa ingin tahu yang besar.
Kumara lebih banyak diam dan bicara seperlunya. Namun, pria itu menyimak dengan jelas pembicaraan anak dan istrinya. Tawa kecilnya beberapa kali terbit mendengar Kaia yang kewalahan menghadapi berondongan pertanyaan Kivia.
Orang-orang di sekitar mereka memandang kagum dengan interaksi keluarga kecil itu. Keluarga yang dianggap memiliki segalanya itu, tampa begitu hangat dan saling menyayangi satu sama lain. Sebagian dari mereka bersyukur karena Kumara dan Kaia bisa bangkit dari keterpurukkan mereka setelah kehilangan anak laki-laki yang sangat diidam-idamkan. Putra pertama mereka, Kevin Bintang Nararya meninggal ketika masih hitungan hari.
Saat hamil Kivia, Kumara jadi sangat protektif menjaga Kaia. Kala Kivia lahir, Kumara membentuk perusahaan pasukan keamanan. Bertujuan untuk melindungi keluarga Nararya dari orang-orang yang disinyalir berbahaya.
Namun, manusia hanya bisa berencana. Karena saat peristiwa mengerikan itu tiba, pasukan keamanan yang Kumara bentuk tidak bisa berbuat banyak meski sebelumnya sudah melakukan langkah pengamanan. Memastikan tempat yang akan dikunjungi keluarga Nararya bebas dari penyadap dan hal yang membahayakan lainnya.
Kumara berjalan tegap, di sampingnya ada Kaia yang mengiringi. Tangan kedua suami istri itu saling bertautan, sedangkan Kivia tidur dalam stroller yang didorong oleh Bu Mia.
Puluhan pria bersetelan hitam setia mengawal keluarga itu. Lantai resort tempat mereka berpijak sengaja dikosongkan untuk sebuah pertemuan penting dengan para kolega bisnisnya. Langkah-langkah kaki mendominasi koridor yang hening.
Kumara berhenti di depan ruangan yang berada di bagian paling ujung lantai ini. Pintu besar ruangan itu memiliki ornamen yang begitu indah. Pria bermata tajam itu kemudian mengangkat satu tangannya. Mengisyaratkan para pengawalnya untuk berhenti di sana sebab pertemuan ini bersifat sangat rahasia.
Kaia menggendong Kivia yang bangun dari stroller. Mereka akan ikut masuk ke dalam ruangan sementara Bu Mia akan tetap di luar bersama pegawai yang lain.
Keluarga kecil itu masuk ruangan bersama Harya Danuatmaja, sekretaris pribadi Kumara. Sesekali Harya menggoda Kivia yang masih mengantuk.
Sinar rembulan terpancar memasuki kaca besar ruangan itu. Pemandangan pohon-pohon yang tak jauh dari pantai menari-nari karena desau angin malam.
Kumara disambut oleh rekan-rekan bisnisnya. Mereka berjumlah lima orang dan telah menunggu kehadiran Kumara. Pria itu duduk pada satu-satunya kursi bagian tengah meja panjang itu, menunjukkan bahwa ia merupakan orang terpenting dalam pertemuan ini.
Sementara Kaia dan Kivia duduk tak jauh di sofa dalam ruangan itu. Kaia menjelaskan pada Kivia, untuk tidak mengganggu sang ayah. Kivia mengangguk patuh dan kembali fokus pada video pertunjukkan balet yang diperlihatkan ibunya.
Tatkala diskusi antara para konglomerat itu berlangsung, di atas atap gedung yang tepat bersebelahan dengan resort tersebut, terdapat seorang pria misterius. Pria itu mengenakan masker untuk menutupi sebagian wajahnya.
Detik berikutnya, kaca ruangan tempat terselenggaranya pertemuan itu hancur berkeping-keping oleh tembakkan yang dilancarkan oleh pria misterius itu. Ia adalah seorang snipper yang tak ragu memuntahkan pelurunya secara bertubi-tubi. Situasi saat itu begitu kacau. Pengawal yang berjaga di luar langsung menghambur masuk dan mencoba melindungi atasannya.
Kumara lantas berlari untuk mencapai Kaia dan Kivia. Kaia memeluk Kivia yang menjerit mendengar suara tembakan. Perempuan itu bergegas mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Menyerahkan Kivia pada Bu Mia yang memang sudah berada di tempat yang cukup terlindung.
Para pengawal juga mengeluarkan senjata, mencoba melumpuhkan serangan pria misterius itu. Namun, naas. Dewi keberuntungan sama sekali tak berpihak pada mereka. Tembakkan jitu dari snipper itu berhasil membuat orang-orang di tempat tersebut ambruk dan menemui kematiannya.
Termasuk Kaia Nararya. Sedetik setelah menyerahkan Kivia pada Bu Mia, selangkah lagi untuk berada di titik aman, pengawal yang bertugas mengcover Kaia ambruk dan secepat itu pula peluru selanjutnya tertuju pada Kaia.
Kumara yang melihat langsung istrinya tertembak sontak melepaskan diri dari pengawal yang melindunginya. Kaia terbaring bersimbah darah. Matanya menatap sedih Kumara yang datang memeluknya. Juga Kivia yang menangis histeris memanggil-manggilnya.
"Mama .... Mamaaaa..... Mamaaaa...." Kivia kecil meronta dalam pelukan Bu Mia.
"Kaia... tahan. Pian kada bakal kenapa-napa...." (kamu nggak akan kenapa-napa) ujar Kumara terbata-bata. Tangannya yang menyangga kepala Kaia kini dipenuhi oleh darah.
Kaia yang merasa waktunya memang tidak banyak lagi lantas bicara meski sulit. "Ma ... maaf ... maafkan ulun...."
Kumara menggeleng lemah. "Kaia...."
"Tolong ... to-tolong ja ... jaga Kivia ... ga-gasan ulun...." (tolong jaga Kivia untuk aku) ujar Kaia terbata-bata.
Kumara terisak hebat. Tangis yang membanjiri pipinya semakin turun dengan deras ketika mata sang istri terpejam. Kaia telah mengembuskan napas terakhirnya. Kumara memeluk istrinya erat-erat dan menangis keras.
Berharap ini hanyalah bagian dari mimpi terburuknya.
bersambung
aku baru sadar di tengah-tengah soal nama mama Kivia sama dengan nama karakter anak Bagas dan Citra di film merekaaaa :(
komen pokoknyaaa yaaa huhuuhuuuu kalo ga komen aku nangis nihhh :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro