p r o l o g
Bulan purnama yang sudah mengintip sejak senja itu kian bersinar seolah menerangi langkah Kivia yang sedang berlari secepat mungkin. Melintasi jalanan yang masih dipadati oleh pejalan kaki lainnya karena malam masih belum terlalu larut.
Midi dress biru pastel dengan floral printed yang dikenakan gadis itu berkibar-kibar seiring langkah kakinya yang cepat dan melawan arus angin. Kepala Kivia beberapa kali menengok ke belakang, memantau pengejarnya yang hampir berjumlah dua puluh orang. Mereka bersetelan serba hitam dengan tubuh tinggi besar dan juga kekar. Beberapa di antara mereka berteriak, menyuruh Kivia untuk segera berhenti. Gadis itu menyebut pria-pria itu dengan sebutan, ‘Pasukan Tirex’.
Meski fisiknya tak sebanding dengan pengejarnya, jangan ragukan kemampuan gadis itu dalam hal berlari. Ia sudah terbiasa berlari, apalagi lari dari kenyataan.
Dengan napas yang terengah, Kivia berhenti sebentar dan buru-buru melepas kedua sepatu hak tinggi yang ia kenakan untuk dilempar kepada pengejarnya yang mengekor beberapa meter di belakang.
“Yes!” sorak Kivia girang kala sepatunya berhasil mengenai pria yang berlari di barisan terdepan. Ia menghela napas lega, menyadari jaraknya dengan pasukan tirex semakin membentang. Tapi sedikit menyesal juga karena itu merupakan salah satu sepatu favoritnya.
Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama karena detik berikutnya ia harus kembali menuntut kakinya untuk berlari secara gila-gilaan. Kali ini, ia tidak boleh tertangkap. Tidak boleh. Sama sekali.
Gadis berumur tujuhbelas tahun itu mulai memindai tempat ideal yang bisa ia jadikan tempat sembunyi. Matanya menyipit melihat seorang cowok yang menatap sendu ke arah langit. Cowok dengan setelan jas warna biru dongker itu berdiri di samping mobilnya yang berhenti di pinggir jalan menunggu lampu merah berganti hijau. Barisan mobil cukup panjang karena malam minggu yang padat sering menimbulkan kemacetan.
Kivia sempat termangu beberapa detik memandangi cowok itu, wajahnya tidak terlalu terlihat dengan jelas. Namun, ia dapat melihat rambut cowok itu yang tertata dengan sangat rapi. Penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki bak seorang model yang biasa termuat pada cover majalah ternama.
Ah, wajar saja, Kivia sedang berada di kota besar.
Gadis itu terkesiap melihat cowok yang sedari tadi menjadi objek pandangnya mendongak, memandangi angka-angka yang ada di samping lampu merah sedang menghitung mundur berganti hijau. Cowok itu masuk ke dalam mobilnya, membuat gadis yang bersembunyi di samping pohon tepi jalan itu tancap gas menyusul cowok asing tadi masuk ke dalam mobil. Tepat di sebelahnya.
Seperti yang sudah diduga, cowok itu terkejut bukan main akan kehadirannya yang begitu tiba-tiba. Gadis dengan rambut awut-awutan, bertelanjang kaki dan sedang mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Semoga dia nggak mengira aku orang gila, batin Kivia sungguh-sungguh.
“Lo siapa?” tanya cowok itu dengan mata yang melebar maksimal. “Elo stalker?”
Bukannya dikira orang gila, Kivia malah dikira penguntit. Tak terima, gadis itu balas melotot. “What? Idih, emang lo siapa sampai gue harus nguntit lo?”
Sebelum cowok itu lanjut bicara, gadis di sampingnya itu sudah memblokade bibirnya dengan jari telunjuk. Sementara leher jenjang Kivia celingukan menatap keluar jendela.
“Sst! Lo jangan banyak cincong. Kenalannya entar aja. Sekarang elo harus bantuin gue kabur dari....” cerocosan gadis itu terpotong ketika banyaknya pria bersetelan hitam berlarian dan berhenti di dekat mobil yang mereka tumpangi. Pria-pria berbadan besar itu berpencar di pertigaan. Pengemudi mobil lainnya juga dibuat kebingungan dengan keberadaan mereka.
Cowok itu terlonjak kaget saat gadis asing itu menyusruk ke belakang punggungnya.
“Mampus gue....” desis Kivia dan tak bisa mengelak rasa takut yang ia rasakan.
“Mereka ngejar lo?” tanya cowok itu penasaran.
“Menurut lo?” Kivia bertanya balik dengan nada yang cukup ketus. Membuat si cowok kesal dengan responnya, namun rasa kesal itu langsung lenyap ketika ia melihat gadis itu menghela napas selega-leganya saat gerombolan pengejarnya telah menjauh.
Lampu merah sudah berganti hijau. Karena paduan suara klakson di belakang, cowok itu mulai menginjak gas. Walaupun posisi mobilnya hanya bisa bergerak selamban siput encok karena macet yang luar biasa parah.
Sedangkan si cewek sibuk melotot memperhatikan traffic light. “Duhhh! Bentar lagi kita lewat malah lampunya balik merah. Lo sih nggak gesit banget bawa mobilnya!”
“Ya mau gimana lagi, lo nggak liat sekeliling nih padat banget?”
Cowok itu benar, tapi gimana dong? Kivia makin panik ketika salah satu dari pengejarnya yang berbalik arah dan menuju barisan mobil yang masih ... alias kembali menunggu lampu hijau menyala. Ia mengetuk beberapa kaca mobil di depan dengan tatapan curiga.
“Gue tau gue udah kurang sopan masuk mobil lo tiba-tiba. Tapi tolong sembunyiin gue dari mereka. Gue nggak boleh tertangkap,” lirih gadis itu hampir menangis ditambah kecemasan level tertinggi.
Permohonan yang terdengar jelas diliputi keputus-asaan itu membuat hati laki-laki di sampingnya terenyuh. Kivia terkejut saat cowok itu melepaskan jas yang dikenakannya, menyisakan kemeja putih yang sangat pas di tubuhnya. Cowok itu juga mengambil kain tartan berukuran kecil yang ada di kursi belakang.
“Cepet pake ini. Tutupin dress lo.”
Agak kagok pada awalnya, melihat cowok itu mengisyaratkan agar Kivia segera melaksanakan perintahnya, Kivia bergegas menggunakan jas yang super wangi itu sebagai selimut sampai ke leher, sedangkan bagian kaki tertutup oleh kain tartan yang tidak terlalu lebar. Ia sedikit tersentak ketika cowok itu tiba-tiba memegang sisi kepalanya dan mendarat dengan nyaman di bahu cowok itu.
“Sekarang lo pura-pura tidur.”
Adrenalin mereka semakin terpacu ketika pria itu semakin dekat dan mengetuk kaca mobil yang mereka tumpangi. Menurut, cewek itu tanpa ba-bi-bu memejamkan mata dengan kepala tersandar nyaman di bahu cowok yang baru ia temui beberapa menit yang lalu. Rambutnya ia atur untuk menutupi wajah agar tidak dikenali.
Ia menahan napas ketika cowok itu menurunkan kaca jendela. Yang langsung disambut oleh wajah horor berkepala plontos yang memajukan lehernya mencari sang buronan.
Cowok itu berusaha sesantai mungkin dengan satu tangan yang mengetuk-ngetuk mengikuti irama di setir kemudi. “Ada apa?”
Gugup, si cewek bergerak untuk membenarkan posisi kepalanya yang masih tersandar, dan membeku saat cowok itu membelai puncak kepalanya dan nyaris ambyar ketika mendengar cowok itu berkata,
“Ssst.... udah, kamu tidur aja lagi.”
Dalam keterpejaman matanya di balik rambut yang tertata kayak kuntilanak, hati gadis itu berdesir akan perlakuan sekaligus kata-kata yang dilontarkan cowok di sampingnya ini.
Di sisi lain, laki-laki itu mencoba mengontrol ketakutannya sendiri dan dengan berani memberi lirikan sengit pada pria botak yang dari tadi nemplok jendela mobilnya. Beribu syukur, lampu hijau yang dari tadi dinanti-nanti menyelamatkan mereka yang langsung melesat. Meninggalkan pria botak di tengah-tengah lalu lalang kendaraan yang melaju dan tak lupa menyajikan orkestra klakson untuknya.Pria botak itu berdecak sembari memicingkan matanya dengan tajam pada mobil sport berwarna putih yang sudah melaju jauh.
Sementara itu, si cewek yang masih memejamkan matanya takut-takut lantas mengangkat kepala ketika mendengar cowok pemilik bahu yang dijadikannya sandaran itu berdeham. Cowok itu meminggirkan mobilnya dan berhenti di area yang tentunya sudah cukup jauh dari lampu merah awal mereka bertemu tadi.
Awkward, sang perempuan kontan duduk dengan tegak kemudian menengokkan kepala ke belakang. Memastikan pengejarnya benar-benar tidak lagi terlihat.
“Hwah, jantung gue hampir aja meletus,” ujarnya dengan perasaan begitu lega.
“Lo siapa dan kenapa lo bisa dikejar-kejar sama orang-orang itu?” Cowok itu bertanya penasaran.
“Jadi begini, gue ini adalah putri dari kerajaan dinosaurus. Bapak gue itu raja dinosaurus dan mereka yang ngejar gue itu jenis tirex. Paling tsadest,” cerocos gadis itu sembari mengucir rambutnya asal. “Tapi makasih ya, coy. Kenalin, gue Kivia. Rembulan Kivianisya.”
Si cowok terkaget-kaget ketika gadis asing itu tiba-tiba menjabat tangannya layaknya teman lama.
“Hng, ... gue Kiev. Kiev Bhagaskara.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro