Bagian Satu: The Beginning:
Sometimes curiosity can lead you to something amazing.
-Unknown
CRATIRONE ADALAH desa yang tertutup dari dunia luar. Ayah bilang, Cratirone terkutuk. Tapi aku malah bersyukur karena dapat tinggal di desa yang damai dan tenteram ini. Selain bisa bersekolah tanpa biaya, aku juga dapat menikmati buku-buku yang terkirim dari luar desa oleh para anak-anak yang sudah magang, menerima bunga-bunga langka dan surat yang datang setiap tahun.
Kenapa aku mengatakan kalau Cratirone adalah desa yang tertutup? Kami sebagai warga menuruti apa yang para Tetua katakan, bahwa dunia luar itu sangat berbahaya. Bahkan sampai ada peraturan yang sangat tegas, siapa pun yang melanggar untuk pergi ke luar desa tanpa izin, akan dieksekusi. Tetua juga tak akan mau membedakan orang tua atau anak kecil yang akan dieksekusi nantinya. Menurutnya, lebih baik mendapat hukuman di sini daripada mendapat hukuman yang lebih-lebih dari dunia luar.
Lalu, apa kegiatan kami selama terkurung di sini? Cratirone adalah desa yang besar. Cratirone memiliki bukit yang tinggi, hutan yang luas, sungai yang bersih serta hewan-hewan ternak. Para perempuan, biasanya menghabiskan hari dengan sekolah, menjahit, memasak dan membersihkan rumah. Kami juga bertani, mengurusi para ternak sebagai pengembara yang hanya mutar-mutar di sekitar desa. Beda dengan para laki-laki yang bekerja keras di hutan. Entah itu menebang pohon, membuat kertas, melakukan perdagangan dan mencari ikan. Hasil yang didapat akan dijual ke pasar maka kami mendapatkan keuntungan.
Semua terasa cukup. Namun, entah apa yang membuat Ayah begitu membenci para Tetua dan menyebut Cratirone sebagai "Desa Terkutuk". Terkadang Ibu akan marah besar dan terjadilah pertengkaran.
Sekarang, sebagai anak pertama aku harus menjemput kedua adik pulang dari sekolah. Tak terlalu jauh, sebenarnya mereka juga bisa pulang sendiri. Hanya saja, Ibu terus-menerus memperingatiku agar aku tak lupa menjemput mereka dan memastikan kedua adik kecil itu kembali ke rumah tanpa berkeliaran ke mana-mana lagi.
"Grill!" sahut seseorang, suaranya terdengar familier. "Aku mendapat nilai A!"
Ternyata William sudah lebih dulu menghampiri tanpa aku harus berdiri mematung di depan gerbang sekolah. "Hebat! Di mana Teressa?" tanyaku kemudian.
Ini yang membuatku khawatir. Teressa sering sekali mampir ke rumah temannya yang terletak di ujung desa, sangat jauh dari rumah.
"Dengan Tera." William memasukkan kertas ulangannya ke dalam tas. "Tapi tidak pergi ke rumahnya, mereka akan pergi ke perpustakaan."
"Kenapa kau tidak melarang?" Aku menghela napas.
"Ayolah, Grill. Teressa itu sudah besar. Dia seumuran denganku, kenapa kau melarangnya untuk bermain?" William menarik tanganku. "Kita pulang saja dan bantu aku untuk belajar. Tahun ini aku harus mempertahankan peringkat agar Teressa tetap berada di bawah."
Aku menolak. Meski hampir semua adikku intelektual, penurut dan tak pandai berbohong, mereka itu licik. Aku tahu karena mereka memanfaatkan setiap keadaan untuk mencuri, bersikap jahil, dan menukar pakaian yang sedang dijemur. Maka tak jarang warga sekitar sering memarahi, tapi tidak berlebihan. Aku sebagai anak tertua selalu menjadi orang pertama yang diinterogasi, mencoba mencari alasan agar tak dimarahi dua kali di rumah oleh Ibu.
William terus menarik tanganku agar berjalan bersamanya menjauhi sekolah walau aku terus menolak agar menyusul Teressa lebih dulu. Akhirnya, William menyerah. Yah, bagaimanapun juga aku tak bisa pulang tanpa membawa Teressa ke hadapan Ibu. Jika sekarang aku memilih pulang dan membiarkan Teressa, Ibu akan menyuruhku untuk kembali dan mencarinya. Sama saja, bukan?
"Aku janji akan mengajarimu tentang benda langit nanti malam kalau kau berjanji akan pulang ke rumah tanpa pergi ke mana-mana lagi. Mengerti?" Aku berjongkok dan membetulkan tali sepatu William. "Juga tolong katakan pada Ibu kalau aku harus menjemput Teressa di perpustakaan."
"Baiklah."
Aku tersenyum melihat William yang murung berjalan sendirian di tengah-tengah orang-orang yang sedang berlalu-lalang. Kemudian, aku berbalik arah dan berjalan melewati sekolah menuju pasar yang ini masih dalam keadaan sibuk.
***
Perpustakaan desa itu terletak di tengah jalan besar yang menghubungkan kami ke berbagai arah. Entah itu menuju sungai, ujung-ujung desa, sekolah, gerbang utama, dan apartemen kecil yang berjejer saling menghimpit satu sama lain. Perpustakaan ini juga tak sering dikunjungi oleh anak-anak seperti kami. Kebanyakan mereka hanya mampir jika diberi tugas atau jadwalnya pembelajaran sebelum hari magang.
Bangunannya cukup tinggi, berdiri tiga lantai dengan jendela-jendela besar di setiap dindingnya agar penerangan di dalam dari sinar matahari langsung, menghemat penggunaan listrik dan minyak. Dindingnya terbuat dari bata merah dan pintu kayu. Terdapat beberapa tanaman merambat yang memang dibiarkan liar. Desainnya memang tak begitu menarik perhatian, tapi bagi kami pecinta buku ini semua adalah anugerah yang tiada tara!
Harum semerbak dari buku-buku begitu menggetarkan jiwa. Rak-rak yang selalu bersih tak berdebu, lantai yang mengkilap serta karpet bulu di tengah-tengah ruangan untuk membaca. Apalagi seorang pustakawan cantik yang memiliki kebiasaan untuk tidur, membuat kami bebas membaca tanpa larangan.
Aku menemukan keduanya sedang membicarakan hal yang seru di ujung ruangan dengan beberapa buku. Mumpung sedang di perpus, aku juga ingin melihat-lihat kembali, sepertinya Teressa juga takkan pergi ke mana-mana lagi. Maka, aku mencoba naik ke lantai dua, menyentuh rak-rak yang berwarna marun, menyusuri setiap judul bacaan yang tertera. Di sini banyak sekali buku yang belum aku baca selain buku-buku sejarah Cratirone dan buku dongeng. Untuk buku astronomi juga baru membaca sedikit.
Buku-buku ini hanya dapat dibaca oleh anak-anak berumur dua belas tahun---yang akan magang ke luar desa. Entah nanti bekerja sebagai pembantu para bangsawan atau memulai usaha sendiri. Buatku, banyak yang janggal dalam benak. Teman-teman yang sudah magang dan keluar desa hanya pulang selama tiga tahun sekali. Kondisi mereka tak terbilang baik, terkadang aku dapat melihat tatapan takut mereka yang seolah meminta tolong, tapi tertahan.
Sebenarnya, ada apa dengan dunia luar?
Buku-buku astronomi tentang benda langit ini juga dibawa oleh mereka sebagai hadiah akhir tahun. Kami tak banyak diajari hal-hal berbau "luar desa", selain cara berdagang dan bertahan hidup. Tetua bilang, di luar sana banyak mahkluk buas. Kami sebagai anak yang akan bekerja tidak boleh takut dan harus menyiapkan diri akan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Dalam buku yang aku baca ini juga terdapat banyak kata-kata yang sulit aku pahami. Seperti aterisma, astrofisika, wahana, stasiun. Apa itu? Bahkan ada Yunani, Inggris. Ketika aku bertanya pada guruku, beliau menjawab kalau itu adalah nama negara dari dunia luar.
Kalau benar, aku ingin mengunjunginya!
Aku juga banyak membaca dongeng-dongeng seperti Putri Salju yang baik hati yang memiliki ibu tiri kejam dan hidup dibantu para manusia kerdil, dongeng tentang seorang anak dengan bintang-bintang, kemudian seorang pelukis yang hidupnya berakhir dengan daun terakhir. Tak ada nama penulis yang tertera di sampul buku, semuanya dicoret oleh tinta permanen.
Seandainya saja, ada nama penulis yang bisa aku tahu. Aku hanya ingin bertanya, ide mereka berasal dari mana hingga dapat membuat cerita yang begitu menyenangkan sebelum tidur.
Seperti buku ini.
Buku ini?
Aku melirik tanganku dengan jeli, mengamati buku yang tak sengaja aku ambil di ujung rak. Bukunya sangat tipis, ukurannya juga kecil hanya seperempat dari ukuran buku biasanya. Sampul depan begitu polos tanpa coretan sewarna cokelat tua, dan bagian belakang hanya terdapat satu nama tertera, "Charles George".
Bagaimana bisa buku sekecil ini ditempatkan di dalam rak berisi buku-buku tebal tentang sejarah? Apakah pustakawan cantik itu tidak memeriksanya? Aku membuka isi buku, tak menemukan tahun terbit dan ini salinan ke berapa. Isi bukunya hanya menjelaskan tentang enam desa yang terjebak dalam dimensi semesta, yang disebut "Parallel Universe".
Buku aneh. Apa itu Parallel Universe? Sepertinya ini buku bergenre fantasi, atau buku dongeng lain yang terjebak di lantai dua.
Aku menutup bukunya dan berjalan ke lantai bawah. Teressa dan Tera sedang duduk di atas karpet bulu, tampak anteng membaca buku bergambar tanaman. Aku juga melirik ke arah pustakawan yang tertidur di kursinya, sepertinya dia memang tidak menyadari bahwa ada buku dongeng yang tersesat di lantai dua.
Saat aku berjalan melewati rak pendek yang berada di dekat dinding, aku menginjak tas milik Teressa dan membuat buku di tangan terjatuh. Ketika buku itu tergeletak di lantai, bukunya dalam keadaan terbuka, menandakan bahwa buku ini sudah sering dibaca dan tampak lusuh dengan bercak merah yang kentara di antara halaman-halaman. Namun, aku terkejut saat mendapati kata "Cratirone" tertera di sana dengan huruf kapital. Segera aku mengambilnya dan membacanya kembali. Halaman bertuliskan, "Desanya terbagi menjadi enam; Half, Serenity, Bordash, Scoutelland, Iggrid, dan Cratirone".
Aku membalikkan halaman terakhir, membacanya dalam benak, "Dunia yang terkutuk. Itulah mengapa manusia kadang lebih kejam daripada iblisnya sendiri".
"Mereka tak dapat pulang. Mereka akan selalu bilang dunia luar tak aman, justru tempat yang mereka tinggali sangat tidak aman".
"Grill?"
Aku menoleh ke belakang tepat Teressa dan Tera yang memperhatikanku dengan heran. Aku terperangah dan justru tercenung di tempat. Apa maksud buku ini? Bagaimana nama-nama desa kami tercantum di buku yang jelas-jelas terlihat bukan seperti buku sejarah pada umumnya?
"Ada apa, Grill?" Teressa bertanya, membuatku cepat-cepat menutup bukunya.
Aku menggeleng. "Tidak ada. Ayo pulang."
Ini bukan sesuatu yang bisa aku biarkan. Meski ini termasuk buku sejarah, tapi ini tak seperti buku sejarah kebanyakan yang hanya membahas tentang politik, bangsawan, mata uang, atau hal-hal mengenai katedral, gerobak, pembuatan mesin yang akan dikerjakan oleh para magang yang mengambil teknologi.
Akhirnya, aku memilih meminjam buku ini, dan membacanya saat tiba di rumah nanti.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro