Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Dua: A Journey:

You're afraid of an ending, that doesn't mean you have to stay put and come back. All you have to do is step forward from where you are now, don't look back, and turn an ending you dreaded into a happy ending.
Cale Howkins

"Grill." William memanggil. Aku menoleh ke belakang sambil berjalan. Sekarang, kami memutuskan untuk tidak berhenti di sini, kami harus segera mencari jalan keluar dan menjauh dari para makhluk itu. Daripada makhluk, mereka cocok dipanggil monster. Aku betul-betul tak menyukainya, meski aku takut jika berhadapan langsung. "Apa kita akan baik-baik saja?"

Pertanyaan yang bagus, William. Aku tak bisa menjamin bahwa kami akan selalu baik-baik saja. Kemungkinan besar yang akan terjadi adalah, nyawa kami akan menjadi taruhan untuk bisa selamat. Dilihat dari cara monster itu bergerak dan membuat Ayah dan Ibu pergi, mereka menginginkan nyawa kami.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Chloe.

Choir mengeratkan genggaman tanganku. "Grill, kita akan pergi ke mana?"

"Aku takut ... Grill." Suara Gimmy menggema.

Aku menghentikan langkah. Tak ada yang dapat aku lakukan selain membuat mereka tenang. Aku benci ketika para adik memiliki rasa ingin tahu yang tinggi-aku benci kami memiliki banyak kesamaan perihal rasa takut dan kecemasan. Jika sekarang aku kehilangan kendali untuk segera putus asa, sudah pasti Ayah akan kecewa. Aku yang tenggelam rasa takut, aku yang memadamkan api harapan, aku yang tak becus menjaga adik-adik.

Aku tak tahu, aku tak menyiapkan banyak hal perihal ini. Aku betul-betul tidak tahu .... Aku tak tahu apa yang mesti dilakukan setelah kami berhasil kabur dari sini. Bisakah semua pertanyaan tidak dilempar padaku? Dalam benak ini penuh rasa takut serta berbagai pertanyaan buruk yang berharap hal itu takkan pernah terjadi.

Aku tak mau kehilangan lagi.

"Maafkan aku," aku berujar, "Aku tak bisa menjamin bahwa kita akan selalu baik-baik saja, William. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mencari jalan keluar dari gua ini dan pergi sejauh mungkin dari monster itu."

"Grill," sahut Teressa. Suaranya parau.

"Gimmy, untuk rasa takutmu ..." Aku menahan napas. "Maafkan aku jika aku tidak dapat meredakan rasa takut itu. Tapi, maukah kau percaya padaku, dan melewati semua ini bersama-sama?" Maukah dia untuk menerima segala kekuranganku sebagai kakak? Maukah dia tetap bersama denganku meski suatu saat aku melakukan banyak kesalahan?

Gimmy tidak ragu, dia mengangguk dan berjalan kemudian memelukku. "Maafkan aku terlalu merepotkan, Grill."

Aku menggeleng. "Ini juga berlaku untuk kalian. Berjanjilah untuk saling percaya, untuk saling melindungi. Tolong berjanji padaku kalau kalian akan selalu bersama-sama."

Chloe dan Choir tersenyum, diikuti William kemudian Teressa yang memaksakan diri untuk ikut tersenyum. Aku tak tahu ketakutan apa yang disembunyikannya. Saat kejadian di ruang bawah tanah, aku melihatnya seolah bukan adikku. Teressa jauh lebih pucat pasi-aku mengerti dia terkejut dan tertekan. Apalagi begitu melihat Ibu dan Ayah ....

Aku tak dapat mengutarakannya.

"Kami berjanji," ujar William, diangguki yang lain.

Aku ikut menarik senyum. Meski aku mengerti akan ketakutan-ketakutan yang sama, aku tetap tak satu pikiran dengan mereka. Banyak hal yang tak dapat dimengerti hanya dengan melihat atau mendengar. Manusia selalu bisa menutupi hal yang dia anggap tak perlu diberi tahu atau, belum waktunya untuk memberi tahu.

Namun, aku meyakinkan diri bahwa aku juga berjanji. Untuk hal apa pun, untuk segala ketakutan yang semakin melahapku dalam-dalam, untuk segala kecemasan yang akan mendatang, atau kejutan lain yang di luar keinginan, aku berjanji bahwa aku akan selalu ada untuk mereka. Bahwa aku tak akan pergi meninggalkan mereka, aku akan menjaga mereka seperti apa yang Ayah katakan padaku.

Kami kembali bergenggaman tangan, berjalan menyusuri lorong yang gelap dan senyap ini. Saling melindungi dan berusaha untuk mengerti rasa takut dari diri masing-masing kami disembunyikan.

***

Mungkin sudah sejauh dari ujung Cratirone arah Utara menuju Cratirone arah Selatan kami berjalan. Tak ada cahaya apa pun di depan sana sebagai tanda bahwa kami sudah mencapai ujung dari gua ini. Kami juga tak dapat tahu sekarang jam berapa, yang pasti kalaupun sudah malam kami tak akan tidur.

Senyapnya gua dengan hawa dingin yang menusuk-nusuk kulit membuatku sedikit menggigil. Bau darah yang kentara beserta bercak hitam dari monster itu sesekali menyumbat indera penciuman. Suara gema dari kaki kami membuat semuanya terasa begitu tegang. Seperti habis saja dibacakan dongeng yang menyeramkan-membuatmu tak bisa tidur semalaman.

Aku berpendapat, gua ini adalah gua yang belum pernah ditemui oleh warga desa. Aku juga berpikir kalau gua ini dibentuk beberapa tahun lalu-dilihat dari batu yang berdebu dan berlumut. Sesekali kami juga menemui hewan-hewan melata; cacing, ular, siput, kadal. Banyak sarang laba-laba yang terbentuk di langit-langit gua, juga sarang lebah yang membuat kami harus hati-hati melewatinya.

Kami pikir, gua ini hanyalah gua biasa. Tapi ternyata salah. Tepat saat Chloe melihat cahaya biru yang menyala di ujung, kami berlari cepat-cepat ke sana. Berharap itu adalah pintu keluar, walau ternyata bukan. Jalan yang kami tapaki menjadi dua arah-memutar, di sisi-sisi tebing yang membuat kami seolah berada di dalam stadion tempat festival diadakan. Di tengah-tengah hanya terdapat batu-batu tajam yang begitu berkilauan. Warnanya kebanyakan biru, tapi beberapa memiliki warna merah muda.

Itu membuat kami terpukau.

"Batu yang aneh," ujar William.

"Sebaiknya kita tidak mendekat, kita tidak tahu batu itu aman atau tidak. Bisa saja batunya beracun." Aku menggenggam lebih erat tangan adik-adik. "Lebih baik kita terus berjalan."

"Sepertinya aku pernah melihat batu itu, Grill." Teressa melepas genggaman tangan, dia merogoh tas selempang untuk mengambil satu buku di sana-buku yang belum pernah aku baca atau aku lihat. "Ini buku milik Tera. Buku yang kami temui kemarin di perpustakaan."

Hatiku terenyak. Kehilangan bukanlah rasa yang menyenangkan.

"Awalnya kami hanya ingin melihat bunga matahari dan bunga-bunga lain untuk ditanam di belakang perpustakaan agar anak-anak bisa tertarik untuk membaca. Tapi dia menemukan buku yang menarik, buku tentang batu-batu aneh." Teressa membuka buku tersebut. "Kristal Cheshio Biru, kristal yang bisa mengubur bau jika kita menyimpan kristal tersebut untuk mengelilingi kita."

"Batu kristal?" tanya Choir.

"Bukankah itu berguna, Grill?" tanya William, langsung berlari mendekat ke arah batu kristal itu.

Teressa hendak menarik tangan William. "William, tunggu! Batu itu dijaga oleh---"

Telat. Anak laki-laki yang ceroboh itu sudah menyentuh batu kristal yang mengkilap sewarna biru langit di pagi hari. Aku terkejut, melihat sosok bayang-bayang hitam mulai bermunculan. Dengan segera, aku mendelik ke arah William dan menarik tangannya. "LARI!!"

William terhuyung, membuat batu kristal di tangannya patah dan berhasil dia bawa. Kami kembali berlarian begitu sosok hitam mulai berjalan cepat di belakang kami, lurus-berharap sebentar lagi kami sampai di ujung gua.

"Sebenarnya dijaga oleh siapa, Teressa?!" tanya Choir.

"Entahlah, di sini disebut bayang-bayang Goblin!"

Bayang-bayang Goblin? Apa itu? "Sudah kubilang untuk tidak mendekat, 'kan?! Kenapa kau tidak mendengarkan aku?" tanyaku sedikit menyentak.

William fokus berlari dengan kristal itu di tangan. "Maaf, maafkan aku, Grill."

Aku tidak membalasnya, kami masih berlari. Sampai mataku menangkap genangan air-tidak, lebih tepat sebagai danau-mungkin? Ada di depan kami. Aku berhenti. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa lagi!

Adik-adik mulai panik. Aku menoleh ke belakang, bayang-bayang itu semakin cepat mendekat ke arah kami. Dengan rasa takut serta tak ada pilihan lain, aku berteriak, "Kita lompat!"

"Kau serius?!" Teressa membalas.

Aku, dengan napas terengah-engah mengangguk mantap. "Pegangan tangan, dan tahan napas selama mungkin," kataku, menggendong Gimmy dengan satu tangan, dan tangan lain menggenggam tangan Teressa. "William, jangan lepaskan tangan Choir, begitu juga Choir jangan lepaskan tangan kembaranmu. Teressa, kau jago berenang, bukan?"

Mereka mengangguk. Aku kembali meluruskan pandangan, menatap air sewarna hijau tua yang sedikit menyala. Aku tak tahu air ini dalam atau tidak, tapi kami tak ada jalan lain untuk bisa selamat dari bayang-bayang hitam itu!

Aku menarik napas dalam, dan menahannya. Dalam hitungan ketiga, kami bersama-sama berlari-melompat dan menceburkan diri ke dalam air.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro