13. Para Skeleton
Sejak kecil, di antara aku dan adik-adik, Choirul yang paling mudah tertebak. Dia hanya beda beberapa jam sebelum Chloe lahir, dan termasuk bayi yang susah menangis. Aku sendiri yang mengamatinya, Choir lebih banyak diam, berbeda dengan kembarannya----Chloe---yang sangat ekspresif. Namun, ketika keduanya berumur empat tahun, ketika Chloe menangkap seekor katak di pagi hari yang hujan, entah mengapa Choirul menangis dengan sangat kencang membuat Ibu kewalahan untuk meredakan tangisnya.
Dari sana kami mulai tahu, kalau Choirul itu penakut. Hingga seiring berjalannya waktu, Choirul menjadi semakin mudah menangis oleh hal-hal kecil dan oleh hal-hal yang bukan terjadi padanya. Seperti, saat aku terjatuh dan berdarah, Choirul yang menangis. Ketika William dan Teressa bertengkar, Choirul juga yang menangis. Dia begitu lemah dan mudah tersentuh, membuatnya gampang sekali tertebak.
Seperti sekarang. Kami masih di dalam tempurung magis yang dibuat Milis, dengan adik-adik yang diam karena tegang, suara ribut di luar, dan dengan aku yang masih melirik Choirul dengan khawatir. Adik laki-lakiku itu tengah menutup kedua telinganya dengan keras.
Hingga setelah suasana kembali tenang, Milis melepaskan sihirnya membuat kami dapat melihat keluar kembali. Banyak pohon rusak, tanah retak, gagak mati berserakan, seolah pertengkaran tadi menyebabkan bencana alam. Aku bernapas lega sambil menepuk-nepuk bokong, kemudian melirik adik-adik yang ikut terlihat tenang.
Kami mulai berjalan lagi, tapi aku tak kuat melihat Choirul yang bercucuran keringat dingin. Jadinya aku menempelkan lenganku ke bahunya, dan sepertinya itu membuat Choir terkejut----sampai-sampai tanganku ditepis dengan ketus. Suara tepukan tangannya membuat kami berhenti, Chloe pun segera mendorong Choirul, memegang kedua bahunya dan menggoyangkan tubuhnya.
"Ada apa denganmu, Choir?!" Chloe bertanya, sedikit meninggikan nada suaranya. "Kenapa kau terlihat seperti orang lain?"
"Aku baik-baik saja." Choir menghela napas. "Aku hanya terkejut. Maafkan aku."
"Apa kau lelah? Tenanglah, kita baru saja berjalan, kita akan segera sampai di Alphard kemudian ke desa Serenity."
"Choir ..." panggilku, pelan.
Choirul menoleh padaku, dia menunduk sedih. "Maafkan aku, Grill."
Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi sekarang bukan saatnya. Kami masih di dalam hutan, masih dikelilingi oleh bahaya yang bisa saja datang. Choirul juga tidak bisa terus aku sudutkan agar mau mengaku. Jadinya, saat itu aku mendiamkannya. Sampai kami benar-benar keluar dari hutan tanpa adanya halangan dan ditemani sunyi yang mencekam.
Inilah desa Alphard.
Setelah berhasil keluar dari hutan, yang didapati bukanlah cahaya matahari terang-benderang seperti apa yang kami harapkan. Kami malah mendapati kegelapan yang sama---yaitu awan mendung seolah mengepung suatu desa di depan.
Sebuah permukiman yang biasa, tapi tampak seolah tak berpenghuni karena begitu senyap dan sepi. Ke mana orang-orang yang tinggal di sini? Ah ya, aku lupa. Desa Alphard adalah desa yang dihuni oleh para Skeleton. Itu berarti tidak ada sosok 'manusia' melainkan hanyalah tulang-belulangnya.
Gimmy meraih tanganku dengan erat, dia terlihat takut.
Benar. Tidak ada tempat yang aman.
Kami berjalan maju, masuk ke wilayah desa Alphard yang dingin. Di sini aku dapat melihat rumah-rumah berbentuk bundar dengan atap penuh rumput kering, dindingnya dari kayu keropos, dan pintu yang sudah ditumbuhi jamur serta lumut. Permukiman yang tidak terawat. Banyak tumbuhan mati dan layu, tentu saja karena tidak mendapat cahaya matahari.
"Kalian harus berhati-hati. Para Skeleton bisa saja mengepung tanpa kita sadari. Tujuan awal di sini adalah mencari perpustakaan dan mengorek informasi di sana. Jangan terpikat pada apa pun." Milis berkata sambil terus berjalan.
Aku dan adik-adik mengangguk, mengekor dari belakang.
Sayang sekali, ada satu orang yang tidak mendengarkan Milis dan malah mendekat ke arah rumah di dekat pagar jalan keluar. Choirul. Anak itu mengintip dengan gemetar, sebelum kemudian sesosok kerangka manusia membuka pintu rumah itu dan memergoki keberadaan Choir. Kami yang terkejut membuat Chloe berteriak memanggil nama kembarannya--tentu saja Skeleton itu juga jadi sadar kalau keberadaan kami mengganggunya.
Aku menarik tangan Chloe yang hendak berlari mendekat pada Choir, membuat kami sama-sama membeku. Choirul di sana jatuh terduduk. Mungkin saking terkejutnya, Choir tidak dapat berkata apa-apa. Tubuhnya benar-benar gemetar hebat, matanya membulat sempurna.
Saat Skeleton itu mendekat, panah Teressa mendarat dan tersangkut di lobang mata Skeleton, membuatnya berhenti dan menoleh ke belakang. Kesempatan itu diambil Chloe untuk menarik Choir agar menjauh, sayangnya mereka menabrak Skeleton lain yang entah muncul dari mana. Sontak aku menarik panahan di tangan, tapi dihentikan oleh Milis.
"Jangan menambah keributan, perhatikanlah sekitar kita sekarang," kata Milis, berbisik.
Aku menurut, menurunkan tangan dan menoleh pada William yang diam membatu. Ketika aku menoleh ke arah sekitar, barulah sadar kenapa William seperti itu. Para Skeleton tiba-tiba menjadi banyak dan berdiri di sekeliling kami. Mereka berkumpul seolah untuk mengepung kami---keberadaannya benar-benar secara tiba-tiba. Kami tidak sadar sama sekali.
"Kita terjebak." Milis melepas lenganku. "Kalau sudah seperti ini, kita tidak akan dapat melarikan diri dengan mudah."
"G-grill." Choir memanggil dengan suara tercekat.
Aku menatapnya seraya mengepal erat telapak tangan. Lagi-lagi kami dalam bahaya.
"Kita harus bagaimana, Milis?" tanyaku, tanpa menoleh padanya.
"Membunuh, atau berlari," jawab Milis.
Aku menarik napas, kemudian menoleh ke samping hendak meminta jawaban Teressa, tapi yang berpapasan denganku adalah wajah yang lain---Skeleton dengan mata yang bolong---tembus pandang. Melihatnya membuatku bergidik ngeri, seolah dibawa ke masa lalu, pada saat-saat seseorang tertusuk di bagian lehernya--aku dibawa ke masa perang. Ada apa ini? Apa yang aku lihat?
"Grill." Suara Milis menyadarkanku. "Sadarlah. Jangan pernah melihat mata mereka dengan waktu yang lama."
Aku mengangguk.
"Manusia, makhluk sampah." Suara serak yang aneh terdengar. "Makhluk sampah ada di sini."
Aku mengepalkan tangan lagi. Suaranya menggema ....
DEG
"MAKHLUK SAMPAH ...."
DEG
"MAKHLUK SAMPAH ...."
DEG
"MAKHLUK SAMPAH ...."
DEG
"MAKHLUK SAMPAH ...."
DEG
"MAKHLUK SAMPAH ...."
DEG
"""ENYAH DARI SINI!!"""
"GRILL!" Suara Milis yang lebih keras memanggil, membuat aku segera sadar dan melirik adik-adik yang lain. Chloe serta Choirul di depan sana bengong dengan tubuh yang perlahan-lahan menghitam. "Jika mereka menghitam seluruhnya, maka perlahan-lahan mereka akan pecah seperti kaca atau terbang seperti abu."
Aku menggeleng, kemudian melepas paksa tangan Milis, segera menggoyangkan tubuh Choir dan Chloe hingga mereka sadar. Sejurus kemudian, aku menarik kedua tangan mereka untuk bangun dan diajak berlari.
"LARI!" teriakku sambil berlari. Milis juga ikut berlari, tapi larinya teramat cepat. Dia bilang, ikuti aku dari belakang! Dan kami pun berlarian lagi. Ini mengingatkan aku saat di mana kamu berlari dari kejaran para monster di Cratirone menuju gua misterius. Bedanya, kami kini sedikit lebih berani. Dan kami juga tidak berenam.
Ada Milis, bersama kami.
Namun, suasananya masih sama. Kedinginan yang sama, ketakutan yang sama. Sebenarnya jika aku benar-benar 'sadar' aku merasa akan sakit. Saat hari ketiga di rumah Milis, Teressa bilang kalau kami beruntung karena tidak menyadarinya. Jika saja kami 'sadar', kami bisa memiliki trauma dan mati di dunia ini dengan menyedihkan.
Kami terus berlari, menerobos kabut di hadapan dan mendorong para Skeleton yang menghalangi. Sampai kemudian Milis merapalkan sihirnya, membuat sebuah pintu besar dengan motif bunga dan bulan itu terbuka. Kami pun segera masuk ke dalamnya, dan Milis menutup pintu dengan cepat.
Semuanya terduduk lelah. Aku juga begitu sembari mengatur napas yang menggebu-gebu, sebelum kemudian berhenti dan menajamkan indera penciuman.
Ada harum buku.
Dan saat itu pula karena harumnya segera membuatku serta-merta sadar, kalau kami berhasil menemukan perpustakaan dan masuk ke dalamnya. Kami sampai di perpustakaan ini.
Perpustakaan yang ajaib, perpustakaan yang dibangun oleh Peri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro