Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09. Milis si Penyihir Pengelana

Semakin kami masuk ke dalam hutan, semakin tinggi pohon-pohon yang kami temui. Semuanya berukuran raksasa dan membuat kami merinding takut. Ditambah lagi di sini begitu gelap, banyak suara gagak, tapi juga sangat menakjubkan. Serangga-serangga yang berterbangan memiliki cahayanya sendiri walau sekecil cahaya korek api pada tubuhnya, juga, pohon-pohon liar yang belum pernah kami temui secara langsung tetapi ada dalam buku di perpustakaan desa. Saat aku mendongak, ada kabut di atas bersamaan dengan tribun daun-daun pohon raksasa---membuatku tidak dapat melihat langit. Sepertinya, jika ada matahari pun, sinarnya takkan dapat menerangi seluruh hutan ini.

Aku dengan adik-adik dapat beristirahat dengan sedikit tenang di sini----karena sedari tadi tak tampak hewan-hewan besar yang mengerikan, karenanya kurasa kami aman.

Aku berusaha mengumpulkan ranting kering, rumput-rumput menguning yang bertebaran di sekitar. Kemudian, menyalakan api unggun dengan menggunakan batu api yang William temukan, kain arang, dan menggeseknya perlahan hingga mengeluarkan percikan panas di sana.

Dengan begitu, muncul api.

Aku sudah pernah belajar cara menyalakan api dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar. Saat itu, desa sering mati listrik dan minyak tiba-tiba sulit didapati. Alhasil, mau tidak mau, kami memanfaatkan batu api dan kain arang untuk membuat api unggun, sekalian membantu sumber pencahayaan kami di malam hari. Begitu menyenangkan, aku juga bisa sambil bermain-main walau pada akhirnya Ibu akan marah dan menyuruhku untuk diam.

"Grill, aku mengantuk. Apa kita bisa benar-benar beristirahat di sini?" Suara Gimmy membuatku menoleh ke belakang dan tersenyum.

"Beristirahatlah, kalian juga. Biar aku yang berjaga."

"Kita kehabisan air." Teressa berjalan mendekatiku.

"Haus ...." Chloe memegangi perutnya. "Aku juga lapar."

Senyumku surut, aku mengerti kalau mereka lapar, karena aku juga merasakan hal yang sama. Sekarang, aku sudah tidak lagi berada di desa yang di mana aku dapat dengan mudah mengambil air dari sumur. Aku dengan adik-adik berada di hutan yang tak kutahu namanya apa, seberapa jauh dari rumah, atau apakah aku dapat melihat langit esok pagi. Aku tidak tahu di mana, bahkan aku tidak tahu apa-apa tentang hutan ini.

Tentunya, yang aku yakini, akan ada banyak bahaya yang menimpa. Mengingat apa yang terjadi di desa membuatku harus selalu waspada.

"Chloe dan Choirul, jaga Gimmy. Teressa dan William, tolong tetap di sini dan lindungi mereka. Aku akan mencari air atau, hal lain setidaknya yang dapat dimakan." Aku menyimpan tas selempang di atas tanah, membukanya.

"Lalu bagaimana denganmu, Grill? Apa kau akan pergi sendirian?" tanya Teressa.

Aku mengangguk.

"Aku harap kau dapat mempertimbangkannya. Ini bukan pilihan baik. Kita tidak tahu apa-apa tentang hutan ini, bagaimana jika kau tersesat?"

Aku mengerutkan alis. "Aku tidak akan pergi jauh," jawabku, mengeluarkan buku misterius itu dari dalam tas. "Sepertinya aku menemukan petunjuk."

"Petunjuk?" William berjalan mendekat. "Buku ini, kau membawanya?"

Aku mengangguk. "Buku ini adalah satu-satunya yang dapat membantu kita untuk bertahan hidup. Mungkin, ada banyak informasi lain di dalamnya." Aku membuka acak buku tersebut, membaca setiap kata yang aku temui; "Ada hutan yang menjadi medan tempur, ada hutan yang menjadi sumber kehidupan, ada hutan yang membuat mati. Jika gelap, jangan mendekat pada semak-semak. Jika gelap, jangan berlari dan berteriak".

Kemudian pada halaman 124 pada baris ke delapan bertuliskan; "Air ada pada akar pohon dengan daun merah".

Meski mengerikan, buku ini ternyata dapat membantu. Jika apa yang tertulis dalam buku ini benar adanya, maka aku dapat menemukan pohon dengan daun merah agar mendapatkan air. Namun, jika bukan, sepertinya buku yang kupegang ini tak akan berguna.

Aku mengulas senyum seraya menutup buku dan berdiri, kemudian pandanganku terarah pada adik-adik yang menatapku khawatir. "Jangan cemas, aku tidak akan pergi jauh. Kalau terjadi sesuatu padaku, aku akan berteriak dan saat itu juga, kalian harus berlari sejauh mungkin dari sini."

"Kenapa kita tidak mencarinya bersama?" tanya Chloe.

"Kita tidak bisa membawa Gimmy lebih jauh lagi. Kita harus istirahat di sini." Aku melirik pada William. "Batu kristal yang kau pegang itu, kau tahu harus diapakan, bukan?"

William menghela napas dan mengangguk.

Aku tersenyum. "Mungkin, Teressa bisa ikut denganku?" tanyaku memiringkan kepala.

Mata Teressa membulat terkejut, dia segera mendekat dan meraih tanganku. "Terima kasih, Grill!"

Aku mengangguk, lantas berjalan bersamanya, meninggalkan adik-adik yang lain dengan khawatir. Aku mengerti, tapi kami tidak dapat membawa Gimmy lebih jauh lagi. Begitu juga melihat Chloe dan Choirul yang kelelahan, mereka perlu istirahat.

Karena kami juga pergi tanpa kesiapan apa-apa, yang akan terjadi selanjutnya harus bisa dilewati. Kami harus menerima konsekuensi apa pun yang dunia beri pada kami.

Teressa mendekatkan diri padaku, tangannya cukup gemetar dan menggigil menahan dingin. Sepertinya pilihan salah untuk membawa Teressa bersamaku. Tapi, aku tidak mungkin kembali. Teressa sudah terlanjur antusias dan mau menerimanya. Aku juga merasakan hal yang sama. Dingin juga ngeri, melihat pohon-pohon tinggi yang kelabu warnanya. Begitu suram dan seolah dimakan kegelapan, sangat hampa, terkesan dapat membawakan rasa sedih yang begitu mendalam. Aku harap kami bisa cepat keluar dari hutan ini dan bertemu cahaya.

"Teressa, apa kau melihat pohon dengan daun yang berwarna merah?" tanyaku.

Teressa menggeleng. "Tapi aku melihat sesuatu yang bercahaya."

Aku menghentikan langkah. "Di mana?"

"Di sana," kata Teressa, menunjuk ke arah semak-semak belukar, "kau tahu bunga matahari? Tapi warnanya merah muda."

Aku menyipitkan mata agar tampak lebih jelas apa yang ditunjuk oleh Teressa. Di sana ada semak-semak liar, tapi samar-samar cahaya terlihat meski tidak terlalu terang. Aku berjalan mendekat dengan Teressa, sampai lupa apa yang buku itu sebutkan bahwa, kalau gelap tidak boleh mendekati semak-semak. Tapi aku mendekatinya, entah karena apa, mungkin aku tertarik dan ingin tahu. Sebab semakin aku mendekat, cahayanya semakin terang. Aku pun menyibak semak-semak tersebut yang kasar dan membuat luka di tangan, sampai kemudian aku melihat bunga yang berbentuk seperti bunga matahari, tapi sewarna merah muda yang cantik. Bunga itu menyala terang, seperti lampion yang indah.

"Bunganya sangat harum ... harum yang enak." Teressa berjongkok di sebelah bunga itu.

Aku mengangguk setuju. Bunga ini juga begitu harum yang membuat perutku terasa lapar.

"Apa ini beracun?" tanya Teressa, menyentuh pelan mahkota bunganya.

"Sepertinya? Tapi, sebaiknya kita menghindar---- Teressa! Apa yang kau lakukan?" Aku bertanya dengan ketus begitu melihat Teressa mencabut setangkai bunganya, membuat cahaya dari bunga itu meredup-----hingga lenyap. Warna merah mudanya perlahan berubah menjadi abu, buangannya jadi layu. "Kita tidak boleh menyentuhnya sembarangan!"

Teressa terkejut dan membuang kasar bunga itu. "Maafkan aku, Grill!"

Aku menghela napas.

"Tapi, bunga ini tidak terlalu berbahaya, bukan? Sangat cantik. Choirul pasti menyukainya." Teressa menarik senyum. "Bolehkah kita membawanya, Grill?"

Aku menghela napas lagi. Kalau dilihat dari bunganya, itu memang tidak terlihat berbahaya. Bungan yang cantik seperti bunga hias kebanyakan. Saat aku menyentuh bunga itu juga tidak bereaksi apa-apa. Tangkainya lembut sedikit berbulu halus, mahkotanya licin seperti menyentuh belut.

"Ambilah. Kita harus segera mencari pohon dengan daun merah dan kembali pada yang lain." Aku berdiri, lantas membalikan badan, menjauhi Teressa.

Adikku itu terlihat senang dan memasukkan bunganya ke dalam tas.

Begitu aku berjalan sedikit jauh, aku mulai merasakan hawa yang aneh. Seperti ada sesuatu yang sedari tadi memerhatikan. Kadang terdengar juga suara grasak-grusuk dan gagak yang terbang dari pohon ke pohon. Teressa di belakangku juga merasakan hal yang sama. Sampai kami terkejut mendengar suara William berteriak, akhirnya kami berlari ke arah suara dan mendapati sesosok hewan besar sejenis laba-laba berada di depan mereka.

Aku lantas meneriaki nama William untuk mendekat padaku beserta yang lain, tapi William malah membatu di tempat dengan tatapan mengerikan. Saat aku menoleh ke belakang, satu ekor hewan yang sama berada di belakangku.

Kakiku lemas seketika.

Lantas, yang dapat kami lakukan saat itu, hanyalah berlari!

Langkah kaki hewan yang lamban itu membuat gempa. Suaranya sangat berisik dan menyeramkan. Mereka menggeram dan memuncratkan lendir putih dari mulutnya. Apa pun yang terkena lendir itu berubah menjadi serpihan abu. Karenanya, kami berusaha menghindari cairan itu dan berlari sejauh mungkin.

Sampai kemudian ribuan kunang-kunang tiba-tiba berterbangan ke arah kami----sesosok melesat terbang melawan arah angin, memegang tongkat kayu yang terdapat cahaya di ujungnya yang dia angkat tinggi-tinggi. Setelahnya, hewan itu menggeram lebih keras----dan kepalanya terputus dari badannya.

Hewan itu lenyap menjadi butiran abu.

Kami tak kuat berlari lebih jauh. Kaki sudah pasti lemas, seolah aku akan benar-benar tumbang saat ini juga.

"Kalian baik-baik saja?" Sosok itu bertanya, suaranya seorang perempuan. Apakah dia manusia? Tapi kenapa dia bisa terbang?

Aku maju, merentangkan tangan dan sedikit mundur. Waspada, takut-takut dia adalah orang jahat.

Sosok itu turun dan menapaki tanah. Dia memakai jubah abu yang menutupi wajahnya. "Tenang saja, aku hanya seorang penyihir. Kalian pasti manusia dari desa-desa terkutuk itu, ya?"

Terkutuk? "Apa yang kau mau?" tanyaku cepat.

Senyumnya merekah. "Desamu sudah tidak aman, ya? Sayang sekali. Padahal sesekali aku ingin berkunjung, tapi Demuka mengacaukannya."

"Demuka?" Aku mengerutkan dahi. "Apa kau yang mengirim monster-monster itu?"

Dia menggeleng, seringai senyum masih terpasang di bibirnya. "Jangan takut. Aku juga manusia, tapi aku penyihir. Hutan ini tidak aman untuk kalian, bagaimana jika kalian ikut denganku?"

"Kami tidak bisa memercayaimu begitu saja."

"Aku Milis. Penyihir pengelana. Aku bukanlah kanibal yang memakan sesamaku, dan aku kasihan melihat kalian berlari tanpa tujuan di dunia ini." Dia membuka tudung, menampilkan wajahnya---rambut merah bergelombang dan mata hitam. "Kalian yang terjebak dan melanggar perjanjian, pasti sulit untuk hidup tenang. Ke mana pun pergi, kalian tidak akan pernah aman."

Aku menurunkan rentangan tangan. Napasku yang masih menggebu-gebu itu membuatku terduduk. Aku sudah tidak kuat berdiri.

"Grill!" Teressa menjerit, ikut duduk di sebelahku.

Aku mengatur napas. "Apa kau ... yang mengutuk kami?"

Milis terkejut, tapi senyumnya masih terpasang di sana. "Bukan aku. Kubilang aku hanyalah penyihir yang mengelana. Bukan penyihir bangsa Nyx terdahulu yang membuat perjanjian bodoh dengan kalian, para manusia biasa."

"Apa ada dunia lain, selain dunia ini? Apa kau tahu, apa itu Parallel Universe? Apa kau mengenal Charles George ...?"

Milis melipat kedua tangan di dada. "Entahlah ... tapi aku tertarik dengan kalian." Dia berjalan mendekat ke arah kami. "Apa aku boleh ... membantumu?"

Aku menelan ludah dengan berat. Terdiam sejenak menatap wajah Milis yang begitu dekat. Aku ingat dalam buku milik Charles George itu disebutkan, bahwa ada penyihir yang mengutuk desa-desa kami. Penyihir baik dan jahat, para monster dan peri. Aku takut mengiyakan, karena bisa saja Milis memiliki keinginan terselubung dari kami.

Jika itu terjadi, bagaimana caranya aku bisa melindungi adik-adik? Kami butuh informasi, karena kami hanyalah anak-anak kecil yang belum tahu banyak tentang isi dunia. Banyak misteri yang Tetua sembunyikan dari kami sebagai warga. Bahkan monster-monster yang datang itu, aku tidak tahu mengapa mereka mendatangi kami. Lalu kini, penyihir bernama Milis ada di hadapan kami.

Dia seorang penyihir. Penyihir nyata, bukan dari dongeng-dongeng yang kubaca sebelum menutup mata untuk tidur.

"Kau diam begitu lama, aku anggap kau mengiyakannya." Milis menjauhkan badan. "Baiklah, sekarang ikuti aku," katanya, kemudian berjalan di depan kami.

Aku bangun dari duduk dibantu Teressa dan Choirul. "Apa tidak apa-apa kita ikut, Grill?" tanyanya.

"Kita butuh informasi, Teressa. Kita juga butuh istirahat, bukan?"

Chloe menyentuh keningku. "Kau demam."

"Biar aku yang menggendong Gimmy." William mengambil alih Gimmy dariku. "Setidaknya, kita harus bernegosiasi dengannya. Karena tidak mungkin Milis mau membantu dengan cuma-cuma."

William benar. Selagi kami bisa berpikir, setidaknya itu akan baik-baik saja. Meski semua aman, aku harus tetap waspada.

Milis lantas tersenyum, menatap ke arah kami dengan seringai yang mirip sebagai tanda kemenangan. Dengan tongkat yang digenggamnya, Milis mengetuk tongkat tersebut sekali hingga muncul cahaya biru yang begitu terang menyilaukan, membuatku memejamkan mata agar tak rusak kemudian kembali membukanya setelah merasa suasana sekitar tiba-tiba berubah menjadi lebih dingin. Suara-suara juga terasa lebih manusiawi----ada suara burung, air, dan katak.

Tepat di hadapanku sekarang berdiri sebuah rumah berpagar cokelat---begitu megah seperti kastel kecil yang cantik. Pepohonan yang tumbuh di dalam area pagar ataupun di luarnya tampak dirawat rapi, rumput-rumput juga seolah selalu digunting rutin setiap bulannya. Ada bebatuan yang menjalar dari depan pintu gerbang sampai depan pintu rumah, di sisi kanan dan kirinya terdapat dua buah kaca bulat yang melayang---kutebak itu adalah pencahayaan dari minyak. Dindingnya terbangun dari kayu pilihan, tapi bagian depan (daerah pintu) dindingnya banyak ditempeli batu emerald yang cantik. Jendela-jendela besar dibiarkan terbuka, membuat banyak burung bertengger di sekitarannya dan pohon-pohon. Selain burung, di dalam area pagar juga terdapat rusa-rusa, kelinci, para tupai, rubah, dan kucing.

"Tadinya aku ingin berjalan bersama kalian, tapi sepertinya energi kalian sudah terkuras habis. Ayo masuk." Milis berjalan lebih dulu, dan membuat kakiku melangkah dengan sendirinya.

Aku tersihir! Ini menakjubkan!

Saat aku menoleh ke belakang, tampak hamparan laut terbentang luas. Matahari di ujung sana akan terbenam, membuat suasana jadi begitu menenangkan. Hari kian gelap, sepertinya di sini setiap malam hari tiba akan selalu datang gagak bergerombol---bertengger di atap0atap rumah.

Aku kembali menoleh ke depan, adik-adikku sudah menungguku di dekat pintu dengan Milis. Sebenarnya, ini di mana? Bukankah tadi kami ada di dalam hutan? Hutan yang gelap dan mengerikan. Ternyata penyihir itu mengagumkan, ya, dapat berteleportasi menggunakan sihir dengan mudah.

Aku berjalan maju, bersamaan dengan Milis membukakan pintu dan adik-adikku pun masuk.

Sepertinya aku masuk ke dalam kandang singa. Entahlah, mungkin Milis benar-benar penyihir yang berbeda.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro