Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08. Ujung Sementara dari Kegelapan

Air ini dingin, tapi tidak menyentuh kulitku---air ini tak membuatku basah. Bisa dibilang, kami seperti terbang, tapi kami tetap harus menahan napas karena tidak ada oksigen di sini. Walau airnya tidak menyentuh kulit dan membuat baju basah, gelembung-gelembung itu tetap keluar, memperjelas kami kalau kami memanglah sedang berenang.

Tidak sulit sama sekali. Di sini aku merasa lebih ringan, dan ketakutan yang tadi membuatku panik mulai mereda begitu aku melihat apa yang ada di dalam sini; ikan-ikan, batu kristal berbagai warna, dan kerang-kerang. Namun, tentu saja kami bukan sedang bermain. Adik-adik akan kehabisan napas jika aku egois, menginginkan lebih lama untuk mengeksplorasi lebih lanjut ada apa saja di sini.

Aku menunjuk ke atas, agar kami segera menyembulkan kepala untuk mengambil napas. Kami masih di dalam gua sekarang, juga, kami semakin jauh dari daratan. Begitu aku menoleh ke belakang, bayang-bayang itu seolah menunggu kami untuk kembali. Tentu saja aku takkan kembali ke sana! Itu berbahaya!

"Grill," panggil Teressa, suaranya terdengar lemah. Aku mengerti. Kami melewati banyak kesulitan untuk bisa menjauh dari desa. Kami juga tidak seharusnya memaksakan diri untuk terus berjalan kalau kami tahu, kami butuh istirahat.

Aku menarik kedua sudut bibir. "Sebentar lagi, Teressa."

Akhirnya, aku menyuruh adik-adik untuk bergenggaman tangan lebih erat, dan kami kembali mengayuh kaki, berenang kembali sampai di ujung-tempat kami keluar dari air, berharap setelahnya kami dapat istirahat dari segala yang sudah terjadi.

***

Mungkin sekitar enam menit kami menghabiskan tenaga untuk berenang, sekarang sampai juga di bebatuan---daratan yang aku harap. Ini masih di dalam gua, tapi samar-samar kami melihat cahaya yang memaksa masuk dari ujung sana. Masih sangat jauh.

Sangat jauh.

Gimmy Gimm tidak kuat menahan kantuk, matanya memerah dan tubuhnya demam. Aku tidak membawa obat, bahkan aku menduga bahwa kami tidak mungkin menemukan tabib di sekitar sini. Maka, aku hanya bisa beralih untuk menggendongnya, menyelimutinya dengan kain yang Chloe bawa agar tetap hangat.

Lindungi adik-adik.

Ayah, aku ragu. Apa aku bisa melarikan diri? Apa aku bisa melindungi adik-adikku?

Aku menoleh ke belakang, semuanya tampak lesu dan kuyu. Ingin memberi semangat pun, aku tidak bisa menyemangati diri sendiri. Apa yang bisa kulakukan agar mereka dapat ceria seperti hari-hari kemarin? Aku menggenggam tangan adik-adik, kami kemudian berjalan lagi menuju cahaya samar di depan. Aku berharap ini bukanlah halusinasi karena haus keinginan, aku harap apa yang akan kami temui di depan adalah jalan keluar.

Namun, sepertinya aku salah mengira. Cahaya itu memang ada, itu adalah jalan keluar---ujung dari gua yang kami masuki. Bau amis tercium begitu kami berjalan semakin dekat. Sangat bau, dan sesekali terdengar Geraman makhluk yang kami dengar di desa. Perasaanku mulai tidak enak, aku takut apa yang kami dapat di depan adalah apa yang aku takutkan sekarang.

"Grill," adikku menyahut lagi, Choirul. "Kita akan sampai, bukan?"

Aku menelan dahaga, rasa lapar tahunya datang. "Ya, sebentar lagi kita keluar." Dengan tenaga yang masih aku punya, aku ingin tidak tumbang lebih dulu. Kami kembali berjalan beriringan, sampai pada akhirnya di depan cahaya yang sudah mulai terang-ujung lorong ini.

Bukan rasa senang didapat. Bukan lega yang membuat kami menghela napas dan berucap syukur karena dapat keluar, alih-alih begitu, tapi kami sama-sama terkejut takut---tegang, membuat bulu kuduk meremang, melihat banyaknya makhluk itu berbaris memanjang. Begitu bau, dan berbadan besar, kuku-kukunya panjang membentuk sebilah pisau tajam.

Kami terjebak.

Aku tak dapat membawa adik-adik untuk menyelinap masuk dan mencari jalan aman agar dapat terbebas dari para makhluk itu, karena kami di sini sangat kecil-tak ada kemungkinan untuk mengira ada berapa banyak makhluk di luar sini.

"Bagaimana, Grill?" tanya Choirul. Aku memeluk Gimmy lebih erat. Berusaha memutar balik otak agar dapat menemukan cara lain selain menyelinap masuk.

"Kita butuh cara." William membuka tas selempangnya, merogoh sesuatu di dalam sana.

"Tapi yang bisa kita lakukan hanya menyelinap, William!" Teressa bersandar pada dinding gua.

Choirul menutup matanya. "Aku takut."

Aku menghela napas lagi. Mengintip, mencuri pandang agar dapat melihat sejauh mana mereka ada dan mencari ruang lapang-setidaknya agar kami bisa berlari.

Tidak kutemukan.

Aku mulai panik, kami tak bisa terus berada di sini untuk waktu yang lama. Sebisa mungkin, kami harus benar-benar menghindari monster-monster itu. Tidak mungkin kami juga kembali ke dalam gua atau kembali ke desa---itu tidak mungkin.

Karenanya, aku mengandalkan otak adik-adik yang biasanya dapat berpikir cerdik dalam waktu-waktu tertentu.

"Kayu api." William yang lebih dulu menemukan ide. "Apa yang kautahu tentang makhluk itu, Grill?"

"Mereka rentan terhadap bau, mungkin juga suara." Aku hanya menduganya, tapi kalau tidak bisa, itu berarti ....

"Kita butuh umpan." Chloe menatap dengan serius. "Biarkan aku yang menjadi umpan."

"Tidak." Aku menolak. Bagaimanapun, kita harus bersama-sama. Walau aku tahu Chloe ahli dalam berlari, lincah, dan memiliki fisik yang kuat, aku tetap tak mau menjadikannya umpan agar kami dapat pergi dengan aman. Aku tidak mau.

Chloe mengerutkan dahi. "Kenapa? Hanya ini bukan, satu-satunya cara?"

"Tidak." Aku menolak lagi, kini sedikit ketus.

"Itu benar, Chloe." Kembarannya menyentuh satu bahunya. "Kita harus bersama-sama."

"Lalu? Apa yang mesti dilakukan untuk mencuri perhatiannya? Apa kalian mau kita di sini terus-menerus?"

"Ada cara lain, Chloe." Aku ikut mengerutkan dahi, marah. "Jangan membuatku harus menceramahi dirimu hanya karena tindakanmu yang gegabah. Kita punya banyak cara, itu pasti." Aku tidak mau kejadian dulu terulang lagi. Saat-saat di mana Chloe menceburkan diri dengan sok berani ke dalam sungai dan berhasil tenggelam, dia kemudian jatuh sakit dua hari dua malam.

Si kembar ini punya sifat yang bertolak belakang. Choirul lebih penakut dibanding Chloe. Choir selalu gugup dan menjadi yang terbelakang di antara kami. Dia lebih senang melihat ketimbang ikut bermain. Berbeda dengan Chloe. Chloe yang frontal dan pemberani, dia periang dan punya rasa kepercayaan diri yang tinggi.

Makanya, aku tidak mau tindakan Chloe sekarang akan berakibat fatal. Kami harus lebih berhati-hati.

"Ada kadal pesiar di sekitar lumut-lumut." Aku menoleh pada Teressa yang memegang dagunya, berpikir. "Bagaimana jika kita melemparnya saja?"

Ide bagus, Teressa. Kadal pesiar itu adalah kadal yang sering bersuara keras sekitar enam detik lamanya jika meremas perutnya. Kadal itu biasanya terdapat di sisi-sisi lumut. Dan kami berada di dalam gua, lumut-lumut pasti ada.

William segera bangun dan berjalan mengendap-endap ke dalam gua. "Biar aku yang ambil."

Aku tersenyum. "Terima kasih, Teressa, William," kataku, kemudian melirik ke arah Chloe yang cemberut.

"Maaf, Chloe. Kita tidak bisa gegabah sekarang, aku khawatir padamu."

Chloe memalingkan wajah. "Aku mengerti." Tidak, dia hanya berpura-pura. Mungkin setelah ini, Chloe akan benar-benar mendiamkanku.

William kembali dengan dua kadal pesiar di tangan. Dia tersenyum penuh kemenangan dengan tangan yang kotor. "Kita bisa pergi!" katanya mantap.

Aku menarik senyum. "Kita lempar kadalnya sejauh mungkin setelah diremas perutnya, menunggu monster itu teralihkan dan kita akan lari lagi sejauh mungkin. Kalian mengerti?"

Mereka mengangguk.

"Tapi tolong berjanji lagi padaku. Kalian tidak boleh berlari menjauh dariku. Mengerti?"

Mereka mengangguk lagi. Aku mengeratkan pelukanku dengan Gimmy. Adik-adik juga sudah siap berlari. William mulai menghitung, meremas kadalnya kuat-kuat agar dia dapat bersuara lebih lama.

Kemudian, di hitungan ketiga, kadalnya berhasil William lempar sejauh mungkin seraya menghasilkan suara keras yang menggema. Para makhluk-makhluk yang berbaris itu mulai gelisah, mereka menggeliat dan berlari tanpa arah ke depan. Cukup lama menunggu agar semuanya benar-benar teralih dan jalan di depan gua ini kosong.

Setelahnya, kami mulai berlari. Masuk ke dalam hutan yang gelap, tanpa arah, cahaya juga bermodalkan cahaya bulan yang kentara dengan kayu api.

Kami terus berlari, berusaha menjauh dan semakin jauh dari tempat kelahiran kami.

***

pict all credits to pinterest

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro